• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP

C. Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat

Salah satu hasil seminar, masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang diselengarakan di Peureulak pada tanggal 25 sampai 30 September 1980, adalah bahwa Islam masuk pertama sekali ke Nusantara melalui Peureulak pada abad petama Hijriyah.61

Kepercayaan animesme yang meyakini orang Gayo dan adat istiadat yang mereka pegang teguh turun-temurun sejak berabad-abad sebelum Islam, berangsur- angsur dirobah dan disesuaikan dengan nilai dan norma jaran Islam. Walaupun kenyataannya menunjukan bahwa animisme masih mempengaruhi kelompok orang tertentu sampai sekarang.62

Perinsip keterpaduan antara nilai dan norma agama Islam dan adat istiadat, yang ditetapkan sejak berdirinya kerajaan Islam Peureulak pada tanggal 1 Muharram 225 H, atau 840 M dan kerajaan Islam Lingga tahun 295 H atau 910 M, serta kerajaan Islam Lingga Isaq pada tahun 376 H atau 989 M, serta kerajaan Islam lainnya, tetap merupakan keyakinan masyarakat pendukunya untuk dapat mewujudkan keteraturan, ketertiban, ketentraman, keamanan, kesejahteraan dan kebahgian.

Keterpaduan itu berangsur-angsur pudar sejak Belanda menduduki wilayah Gayo tahun 1901, setelah C. Snouck Hurgronje mencetuskan teori resepsi yang

61

Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan Jilid 1,Op Cit,halaman 1

62

memisahkan agama dan adat. Sebelumnya adat berfungsi menunjang pelasanaan ajaran agama Islam setelah teori itu menjadi terbalik, agama diupayakan menunjang pelaksanaan adat. Karena pelaksanaan perinsif keterpaduan antara syari’at dan adat istiadat telah terpisah, tidak seperti sebelumnya yang merupakann suatu kewajiban yang terpadu dan menyatu antara pemerintah (reje) sebagai penanggung jawab pelaksanaan dan ulama(imem)sebagai penanggung jawab pelaksanaan syari’at maka nilai dan norma adat tererosi dan berangsur-angsur terkikis dari diri pemimpin dan anggota masyarakat.63

Berlakunya hukum adat dan hukum Islam pada masyarakat menimbulkan polemik antara kedudukan hukum adat dan hukum Islam, disatu pihak menghendaki berlakunya hukum Islam tanpa melalui hukum adat atau langsung sebagai sumber hukum. Namun masyarakat sendiri tidak mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam bahkan dapat hidup berdampingan dan telah ditentukan pula tempat kedudukanya masing-masing.

Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Keberadaan Islam di Indonesia telah sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat setempat, ataupun sedikit banyaknya praktek keberagamaan telah dipengaruhi adat istiadat setempat. Termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah kewarisan.

63

Bagi masyarakat yang memegang teguh ajaran agama Islam, maka dia akan terus konsekuen dengan keyakinannya untuk membagikan harta warisan dengan cara- cara Islam (faraidh). Akan tetapi tidak sedikit juga, masyarakat yang dikenal keislamannya kuat, pada akhirnya masih menggunakan cara-cara pelaksanaan pembagian waris menurut hukum adat dan kebisaaan adat setempat. Maka hal inilah yang menjadi problematika masyarakat, disatu sisi ketentuan faraidh merupakan hukum Islam yang harus dilaksanakan, disisi lain masyarakat kurang mempercayai dan mempergunakan hukumfaraidh.

Hal inilah yang perlu diperhatikan kembali akan pentingnya reaktualisasi hukum faraidh dengan memperhatikan perkembangan kehidupan masyarakat setempat akan tetapi hal tersebut masih dalam koridor syari’at. Rasanya sebagian asas-asas dalam hukum adat masih layak untuk dijadikan pertimbangan pembaharuan hukum waris Islam di Indonesia yang tidak bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.

Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi:

1. Ibadah,

2. Al-ahwal alsyakhshiyah(hukum keluarga), 3. Uamalah(hukum perdata),

5. Qadha(peradilan), 6. Tarbiyah(pendidikan), 7. Dakwah,

8. Syi'ar, dan 9. Pembelaan Islam.

Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyahyang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atassyari'atIslam.

Ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa Indonesia.64

1. Hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama

2. Banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku.

3. Adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai harapan cukup besar.

64

Konstribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional,

http://www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-- %20HUKUM%20ISLAM-muchsin.pdf, diakses tanggal 11 April 2013

Karena, hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri secara umum memang diakui sebagai salah satu sumber dalam rangka pembaruan hukum di Indonesia, selain hukum adat dan hukum barat. Bagaimana pun, hukum barat, hukum adat, maupun hukum Islam itu, mempunyai kedudukan yang sama sebagai sumber norma bagi upaya pembentukan hukum nasional.

Namun perlu diakui keberadaan hukum adat yang ada di Indonesia paling tidak akan memberikan pengaruhnya juga dalam pembentukan hukum waris Islam kontemporer di Indonesia. Disamping itu, keberadaan Kompilasi Hukum Islam tidaklah seperti ayat-ayat suci yang tidak bisa diotak-katik lagi ketentuannya. Tentunya para pakar dibidangnya bisa terus menggali lagi ketentuan-ketentuan hukum waris islam kontemporer supaya selaras dengan perkembangan zaman dengan mengandung kearifan lokal.

Sebenarnya umat Islam yang ada di Indonesia telah memiliki peraturan khusus tentang masalah warisan ini yang telah tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun masyarakat Islam di Indonesia tidak semua menjadikan KHI sebagai rujukan dalam pembagian warisan. Tgk. Daud Zamzami mengatakan bahwa masyarakat tidak terlalu memahami aturan-aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga tidak terlalu memahami ajaran-ajaran yang ada dalam kitab fiqih.

Masyarakat hanya akan bertanya kepada guru-guru mereka, dalam hal ini ulama, jika mereka mendapatkan kesulitan dalam masalah warisan.65

Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) apakah telah mengatikan hukum kewarisan darifikih mawarisatauFaraidh?. Suatu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa hukum kewarisan Islam selama ini yang bernama fikih mawaris atau Faraidh itu di jadikan salah satu bahkan sumber utama dari kompilasi.66

Istilah ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam Indonesia dipopulerkan oleh Hazairin di penghujung tahun 70-an. Beliau menyebut konsep ahli waris pengganti dengan istilah Mawali. Dalam Konsep mawali, anaknya anak dan anaknya saudara ditempatkan sebagi pengganti dan kedua ahli waris langsung ( anak dan saudara ).

Menurut Hazairin garis pokok penggantian tidak ada sangkut pautnya dengan ganti mengganti. Dia hanyalah sebuah cara untuk menunjukkan siapa-siapa ahli waris. Tiap–tiap ahli waris berdiri sendiri sebagai ahli waris, dia bukan menggantikan ahli waris yang lain, sebab penghubung yang tidak ada lagi bukan ahli waris?67 Ahli waris pengganti yang dimaksud adalah bukan mengangkat seseorang yang bukan ahli

65

Hukum Patah Titi Di Aceh, IDLO di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM, diakses tanggal 20 maret 2012

66

Amir Syarifuddin, Op cit,halaman, 309

67

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits. Jakarta: Tintamas. hlm. 137

waris menjadi ahli waris. Karena kualifikasi ahli waris sudah mendapatkan kepastian hukum yang jelas melalui asas ijbari hukum kewarisan.

Sebagai contoh, kedudukan cucu baik laki-laki maupun perempuan dalam ilmu faraidh pada umumnya adalah sebagai ahlul warits dzaw al-arham apabila terdapat kelompok ahli warits dzam al-furudl atau ashabah. Sehingga cucu tidak dapat menerima warisan dari kakeknya apabila ayahnya telah meninggal. Namun dengan adanya konsep ahli waris pengganti yang terdapat dalam KHI pasal 185 merupakan terobosan terhadap hak cucu atas harta warisan ayah apabila ayah lebih dahulu meninggal dari pada kakek. Sehingga cucu bisa mendapatkan bagian dari warisan tersebut. Lembaga ahli waris pengganti ini lebih cenderung sebagai platsvervulling (penggantian tempat) sebagai mana yang dikenal dalam BW dan Hukum Adat.

Adanya konsep ahli waris pengganti merupakan konsep asas keadilan yang berimbang di karenakan masalah cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu dari pewaris, menjadi masalah keadilan yang benar. Sehingga perumusan ahli waris pengganti itu sangat beralasan, karena dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan dalam lingkungan komunitas keluarga.

Hal ini sekaligus dapat menutup kekecewaan dari pihak-pihak tertentu. Sementara dari segi persaudaraan, diharapkan dapat melihara keutuhan dan hubungan harmoni dengan anggota keluarga.

Dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam, Masyarakat Aceh yang terkenal dengan sebutan “Serambi Mekkah” hal ini sesuai dengan kehidupan masyarakat Aceh yang benuansa Islami, dan dalam hal pembagian warisan pada masyarakat Aceh dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.

Tetapi hukum adat masih tetep melekat dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh seperti dengan adanya pembagian harta warisan yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia. Dan juga apa bila anak yang merawat semasa hidup almarhum mendapat hak warisan yang lebih banyak dari pewaris yang lainnya dengan cara musyawarah.68

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi hukum adat pada masyarakat umumnya masyarakat Gayo pada khususnya masih tetap ada bahkan terjadi hubungan yang harmonis tanpa menimbulkan perselisihan dalam pembagian harta warisan baik yang mengunakan hukum Islam maupun hukum adat.

Didalam masyarakat adat Gayo juga dikenal dengan istilah Pematang yaitu bagian untuk mengangkat derajat ibu, sehingga ibu tidak bekerja lagi mengurusi harta pematang itu, tetapi menerima hasilnya dari anak yang mengurus atau mengerjakannya. Harta waris pematangmerupakan jaminan untuk kesejahteraan ibu selain bantuan anak-anaknya. Kalau ibu janda usia lanjut dibiarkan anaknya bekerja

68

mencari nafkah, maka dalam syari’at dan adat, anak itu dipandang tidak berahlak mulia bahkan dimasukan ke dalam katagori anak durhaka.69

Dalam penentuan besar kecilnya harta pematang ini harus ada persetujuan dari semua ahli waris yang dimusyawarahkan pada saat pembagian warisan untuk memberikan persetujuannya, dan untuk menentukan dengan siapa sang ibu akan tinggal selama ia masih hidup, biasanya seorang ibu akan menunjuk sendiri dengan siapa ia akan tinggal dan memberikan harta pematangnya kepada anak yang ditujuknya.

Hal ini dilakukan masyarakat Gayo agar Ibu tidak diterlantarkan dan tidak ingin memasukan Ibunya ke Panti Jompo karena hal ini merupakan hal yang sangat memalukan bagi orang Gayo khususnya dan merupakan anak yang tidak membalas budi dan jasa orang tuanya yang telah membesarkanya, oleh karena itulah maka adanyapematangdalam masyarakat Gayo.

Akan tetapi pada saat ini pematang ini udah jarang dilaksanakan karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan hukum syariat maka tidak ada lagipematang dan sekarang biasanya orang tua digilir oleh anak-anaknya untuk menjaganya bergantian baik itu dirumah orang tua tersebut atau di bawa kerumah anaknya.

69

Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan,Syariat dan Adat Istiadat Jilid 3,Takengon, Maqamamahmuda, 2005, halaman, 175

Dalam pembagian harta warisan oleh pewaris yang berdasarkan hukum adat, kadang tidak melaksanakan hukum adat itu secara murni misalnya pengolongan ahli waris berdasarkan ketentuan hukum waris Islam. Tetapi dalam penentuan besar bagian ahli waris ditentukan dengan cara musyawarah dan mufakat, sehingga hukum adat masih dominan dalam menyelesaikan sengketa kewarisan dibandingkan hukum Islam.

Dengan demikian, maka pengaruh Islam terhadap hukum adat sedemikian rupa sehingga terjadi penyesuaian antara hukum adat dan hukum Islam, adapun ketentuan-ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam sudah di tinggalkan oleh masyarakat Islam, sedangkan ketentuan-ketentuan adat yang lainnya masih tetap dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hukum adat yang masih diakui atau baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.

BAB III

PERKEMBANGAN HUKUM PATAH TITI

PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH A. Deskripsi kabupaten Aceh Tengah

Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten yang terletak ditengah-tengah Provinsi Aceh. Secara geografis Kabupaten Aceh Tengah berada pada posisi antara 4010”-4058” LU dan 96018” - 96022” BT. Wilayahnya yang seluas 431.839 Ha atau setara dengan 4.318,39 Km2, berbatasan langsung dengan:

1. Kabupaten Bener Meriah dan Bireuen di sebelah utara, 2. Kabupaten Gayo Lues di sebelah selatan,

3. Kabupaten Nagan Raya dan Pidie di sebelah barat, 4. Kabupaten Aceh Timur di sebelah timur.

Secara administrative, wilayahnya terbagi menjadi 14 kecamatan yang meliputi 269 desa/kampung defenitif dan 27 kampung persiapan. Pada Triwulan I tahun 2011, jumlah penduduknya mencapai 202.114 jiwa dengan kepadatan rata-rata 47 jiwa/Km2. Keadaan pendududuk berdasarkan suku bangsa.

Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang majemuk dengan komposisi penduduk bersuku Gayo ± 60%, suku Jawa 30%, Aceh Pesisir 5%, dan sisanya merupakan suku lainnya seperti Batak, Padang, Cina, dsb dengan mayoritas penduduk beragama Islam yakni sebanyak 97%. Mata pencaharian penduduknya

didominasi oleh kegiatan pertanian dengan tenaga kerja sebesar 80%, disusul lapangan pekerjaan disektor perdagangan sebanyak 8%, sektor jasa sebesar 5% dan sektor lainnya sebesar 7%.70

Tabel 1 (satu)

Data jumlah penduduk di kabupaten Aceh tengah

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Jumlah Kampung (Desa)

Jumlah Penduduk (Jiwa)

L P Jumlah 1. Linge 2.075,28 25 4.476 4.582 9.058 2. Bintang 429,00 24 4.556 4.652 9.208 3. Lut Tawar 99,56 21 9.203 9.971 19.174 4. Kebayakan 56,34 20 6.947 6.851 13.798 5. Pegasing 99,00 31 8.976 9.295 18.271 6. Bebesen 47,19 28 17.319 18.637 35.956 7. Kute Panang 35,06 23 3.674 3.529 7.203 8. Silih Nara 98,00 33 10.964 10.937 21.901 9. Ketol 404,53 25 5.938 5.902 11.840 10. Celala 89,00 16 4.341 4.346 8.687 11. Atu Lintang 105,04 10 3.645 3.541 7.186 12. Jagong Jeget 82,53 11 4.835 4.335 9.170 13. Bies 28,86 12 3.321 3.601 6.922 14. Rusip Antara 669,00 16 3.663 3.367 7.030 Jumlah 4.318,39 295 91.858 93.546 185.404

Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka 2009,

Kabupaten Aceh Tengah memiliki topografi wilayah bergunung dan berbukit dengan ketinggian rata-rata bervariasi antara 200 – 2.600 meter diatas permukaan laut. Penggunaan lahannya didominasi oleh kawasan hutan seluas 280.647 Ha atau

70

Kabupaten Aceh Tengah, http://acehprov.go.id/images/stories/file/23 Kab_Kota/PDF/ACEH TENGAH.

64,98% dari luas wilayah, dan sisanya berupa tanah bangunan, sawah, tegal/ kebun, lading/huma, padang rumput, rawa-rawa, kolam, tambak, perkebunan dan areal peruntukan lainnya. Pada umumnya jenis tanahnya bervariasi, 68% diantaranya terdiri dari tanah podsolik coklat dan merah kuning dengan tekstur liat berpasir, struktur remuk, konsistensi gembur permeabilitas sedang. Keadaan tersebut menjadikan Aceh Tengah sebagai daerah yang subur dan menjadi pusat produksi hasil pertanian dataran tinggi di Provinsi Aceh. Sesuai dengan letak geografisnya, iklimnya termasuk iklim equatorial, dengan jumlah hari hujan rata-rata 137 hari/ tahun dan curah hujan rata-rata 1.822 m/tahun. Suhu udara rata-rata berkisar pada 20 derajad celcius dengan kelembaban nisbi antara 80 – 84%.

Suku bangsa Gayo mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering disebut Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini yang banyak mendiami di lima kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau kelompok, Gayo laut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang.

Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Gayo mempuyai adat adalah mengikuti garis keturunan dari orang tua laki-laki, pembagian kelompok atau marga sama sekali tidak ada di etnis suku Gayo, tapi dalam hal pemangku adat di kalangan

masyarakat Gayo masih kuat seperti pepatah gayo “Murib i kandung adat sedangkan binasa i kandung hukum“ artinya hidup tidak lepas dari nilai dan norma adat.

Susunan keperintahan masyarakat Gayo terdiri dari empat unsur yang memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing, namun terpadu dalam satu wadah yang disebutSarak Opat, yaitu empat unsur dalam satu wilayah pemerintahan yang terpadu.

Keempat unsur pemerintahan dimaksud adalah:71

1. Reje (raja atau kepala Pemerintahan)musuket sifet (menyukatdan menyipat), maksudnya berfungsi menegakkan dan memelihara keadilan.

2. Imem(Imam)mu ferlu sunet(melaksanakan yang fardhu dan sunat), berfungsi membimbing dan melaksanakan Syari’at terutama yang hukumnya fardhu dan sunat. Sementara yang haram dan makruh tidak boleh dikerjakan dan yang mubah boleh atau tidak dilaksanakan.

3. Petue (Petua) musidik sesat, berfungsi meneliti dan mengevaluasi keadaan masyarakat.

4. Rayat (rakyat) genap mupakat (musyawarah dan mufakat) berfungsi menyerap aspirasi masyarakat dan memusyawarahkan serta merumuskan pelaksanaannya.

Masyarakat Gayo sangat fanatik terhadap Agama Islam, sehingga semua bersifat berdasarkan ajaran Islam, baik adat, budaya dan sistem pendidikan semua berlandaskan Agama Islam. Prinsip dimaksud dapat dihayati dari ungkapan adat seperti (Agama urum edet, lagu zet urum sifet, agama kin senuwen, edet ken peger) artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat, agama sebagai tanaman,

71

Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan,Syariat dan Adat Istiadat Jilid 2,Takengon, Maqamamahmuda, 2010, halaman. 111

adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut jelas dan tegas, bahwa keterpaduan di antara adat dan syaria`at Islam sangat erat dan saling menunjang.

B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Gayo Di Kabupaten Aceh Tengah

Di Tanah Gayo susunan masyarakat Gayo adalah berdasarkan patrilineaal adalah susunan pertalian menurut garis keturunan lurus bapak , kakek dan seterusnya ke atas, sementara sanak kandung Ibu, sanak nenek dan seterusnya keatas hanyalah semeda. Dalam sistem kekerabatan patrilineaal hanya kaum peria yang meneruskan keturunan (marga) kepada anak dan keturunannya, oleh karena itu anak laki-laki sangat didambakan dalam setiap keluarga di tanah gayo, sebab merekalah yang akan meneruskan kelangsungan keturunan dan dalam kehidupan masyarakat menurut peraturan adat dan sistem pemerintahan Sarakopat.72

Keluarga paling inti dalam adat istiadat Gayo disebut Kuning ni tenaruh (kuning telur) terdiri dari ayah dan ibu kandung serta anak kandung termasuk isterinya atau suaminya. Keluarga inti yang lebih luas dari kuning tenaruh disebut sara ine (satu mamak) terdiri dari ayah dan ibu kandung dan tiri, anak laki-laki dan perempuan kandung dan tiri beserta isteri dan suaminya, kakek dan nenek saudara ayah yang laki-laki dan perempuan baik kandung ataupun tiri beserta isteri adan suaminya serta saudara satu kakek, selain kelurga inti disebutsudere(saudara).

72

Musyawarah keluarga inti ada dua macam, yaitu:

1. Musyawarah (pakat)si kuning tenaruh(paling inti) 2. Musyawarah (pakat) saraine(satu mamak)

Musyawarah (pakat) sudere (saudara), Musyawarah ini terdapat dua macam, yaitu:

a. Musyawarah (pakat) yang diikuti oleh semua keluarga baik karena nasab (keturunan) maupun karena pernikahan

b. Musyawarah (pakat) yang dikuti oleh saudara karena bertetangga, satu belah, satu kampung, teman sepekerjaan, teman sejawat.

Seseorang yang sudah memisahkan diri dari keluarga batih ayahnya atau mertuanya disebut dengan jawe (terpisah periuk nasi dari orang tuanya atau sudah mandiri). Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih dalam kesatuan ekonomis dengan keluarga batih. Pada satu saat keluarga batih ini berdiri sendiri secara ekonomis (jawe) dan terpisah dari keluarga luasnya. Kesatuan keluarga luas yang mendiami satu rumah besar ini sering disebut sara kuru, atau saudere. Kelompok seperti ini kadang-kadang tidak harus dalam satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah.

Perkembangannya pada saat sekarang, menunjukkan suatu gejala akan lenyapnya umah timeruang sebagai tempat tinggal sedere. Sekarang ini kelihatan banyak bangunan perumahan di pedesaan meniru pola perumahan perkotaan. Rumah tidak lagi berbentuk memanjang yang terdiri atas kamar-kamar dalam bentuk panggung (tinggi). Lagi pula keluargasara ine tadi berkeinginan untuk memisahkan diri dari umah timeruang. Lama-kelamaan perkembangan sedere, tidak mungkin tertampung lagi di dalamumeh timeruangtadi, karena jumlahnya semakin besar dan semakin banyak pula membutuhkan tempat tinggal. Maka terjadilah pemisahan tempat dengan mendirikan rumah baru. Rumah baru ini kemudian berkembang pula menjadi rumah besar seperti di atas tadi. Walaupun timbul pemisahan tempat tinggal, akan tetapi tali kekerabatan tetap tidak berubah. Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih diikat oleh pertaliansedere.

Dari ikatan pertalian ini terjadilah klen besar dalam masyarakat Gayo yang disebut denganbelah. Dengan demikian, dalam masyarakat Gayo timbul bermacam- macambelah, adalah,belah Bale,belah Jalil, belah Cik,belah Gunung,belah Hakim dan yang lainnya73

Apabila ibu meninggal, yang bertanggung-jawab terhadap anaknya adalah ayahnya. Tetapi apabila ayahnya meninggal, yang bertanggung-jawab, bukan ibu, tetapi adalah wali dari pihak ayah, yaitu saudara laki-laki dari ayah yang sekandung.

73

Kerja Sama Pemerintah Kabuoaten Aceh Tengah Dengan Tim Peneliti Sejarah Dan Budaya FKIP Unsyiah Banda Aceh,Sejarah Dan Adat Istiadat Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah, Tahun 2004, halaman 39

Kalau saudara laki-laki yang sekandung dengan ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu pihak ayah yang laki-laki dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara sekandung dari ayah yang laki-laki pula.

Wali dari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan. Saudara-saudaranya yang perempuan, karena dianggap lemah dari segi hukum agama dan adat. Dalam masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitukawin angoataujuelen, kawin angkap,dankawin kuso-