• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP

B. Pengertian Hukum Waris Islam dan Hukum Waris adat

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peningalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Dalam Pasal 171 huruf b, Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian pewaris yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Dan dalam Pasal 171 huruf c, memberikan pengertian ahli waris yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan

35Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan,Syariat dan Adat Istiadat Jilid 1,Takengon,

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Hasbi Ash-Siddieqy mengemukakan Hukum waris Islam adalah suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara pembagiannya.36

Hukum kewarisan disebut juga dengan ilmu Fara’idh oleh sebagian faradhiyun memberi pengertian yaitu ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.37

Dengan demikian sistem kewarisan Islam yang dimaksud baru dapat berlaku jika dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dan juga pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam adalah merupakan suatu ibadah.

Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur proses pemindahan kepemilikan atas harta peninggalan (tirkah atau maurut) milik pewaris kepada ahli

36Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, halaman 18

37

warisnya sesuai dengan bagian masing-masing hukum Allah. Hal ini yang diatur adalah:38

a. Bagaimana pemindahan kepemilikan harta peninggalan yang dimiliki pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan baik berupa rukun maupun syarat-syarat kewarisan termasuk didalamnya pengaturan kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.

b. Penentuan siapa-siapa diantara ahli waris yang berhak menjadi ahli waris dari pewarisnya, yang berasal dari jumlah ahli waris yang ada atau hidup, tetapi tidak semuanya menjadi ahli waris, kecuali mereka yang menurut hukum syara mempunyai hak untuk mendapatkan bagian harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris.

c. Penentuan berapa besarnya bagian masing-masing yang akan diterima oleh ahli waris yang berhak menerimanya menurut hukum syara sesuai dengan kedudukan ahli waris dalam struktur dan tingkatan kekeluargaan pewaris yang bersangkutan.

d. Pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang berhak dengan tidak menutup kemungkinan setelah masing-masing ahli waris yang berhak menyadari bagiannya dengan mengadakan “kesepakatan” untuk melakukan “perdamaian” dalam pembagian harta peninggalan tersebut.

Berdasarkan dengan hal tersebut diatas dalam pewarisan Islam terdapat rukun pewarisan yang mempunyai 3 (tiga) rukun, yaitu:

1. Tirkah, yaitu harta peninggalan si mati setelah di ambil biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat.

2. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan.

3. Ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi atau menerima harta peninggalan.

38Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam,

Ada tiga unsur dalam hukum kewarisan Islam yaitu:

1. Pewaris (Al-Muwarrist)

Adalah: seorang yang telah meninggal dunia dan meniggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.39

Dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 171 huruf b menjelaskan sebagi berikut:

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli ahris dan harta peninggalan.

Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan menjadi:40

a. Mati sejati(haqiqy)adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra. b. Mati menurut putusan pengadilan (hukmy) adalah kematian yaang disebabkan

adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maaupun sudah mati. c. Mati menurut dugaan (taqdiry) adalah kematian yang didasarkan ada dugaan

yang kuat bahwa yang bersangkutan telah mati. 2. Ahli waris(warists)

Adalah: orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.41

39

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, halaman 206

40

H.R.Otje Salaman S. Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam,PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, halaman, 5

41

Dalam Kompilasi Hukum Islam dalm pasal 171 huruf c, menjelaskan sebagai berikut:

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Disamping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:

a. Ahli waris itu masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris

b. Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.42 3. Warisan(mauruts)

Adalah sesuatu yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia, baaik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.43

Didalam Kompilasi Hukum Islam 171 huruf e memberikan penjelasan tentang pengertian harta warisan yaitu harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama, setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.

42

Ibit,halaman, 213

43

Apa saja asas-asas kewarisan. Pembagian warisan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis yang didalamnya memuat sejumlah asas, yaitu:44

a. Asas mengutamakan musyawarah, pembagian kewarisan dilakukan dengan mengutamakan jalan musyawarah (kesepakatan pihak-pihak).

Hukum waris (faraid) memiliki karakter alternatif. Artinya, ia bisa dipilih dan dijadikan acuan bagi pembagian waris, bisa juga tidak digunakan. Menjadikan faraid sebagai acuan pembagian harta waris adalah mutlak, ketika tidak ditemukan kesepakatan antar sesama ahli waris. Tapi jika ditemukan kesepakatan antar sesama ahli waris,ilmu faraiddapat saja tidak digunakan.

b. Asas keadilan, pembagian harta warisan bertujuan untuk mewujudkan keadilan. c. Asas bilateral, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk

memperoleh harta warisan dan secara bertimbal balik.

d. Asas individual, masing-masing ahli waris memilik hak masing-masing bukan atas nama kolektif/ bersama.

e. Asas kesinambungan dan jaminan hidup, pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris adalah sebagai jaminan hidup bagi generasi selanjutnya.

f. Asas kematian, kewarisan terjadi apabila ada kematian. Tidak ada kewarisan tanpa ada orang yang meninggal dunia.

44

Hak Waris Dan Perwalian dalam Waris Aceh,

komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/materi publikasi/2011/Hak Waris dan Perwalian.pdf, diakses tanggal, 28 januari 2013

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:45

1. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki- laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

2. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakanwala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Penghalang orang mewaris dalam hukum kewarisan Islam ada tiga, yaitu:46

a. Perbudakan

45

Fatchur Rahman, Op.Cit, halaman 113

Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris didasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak atau tidak dapat menjadi subjek hukum hal ini termuat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 75 yang artinya:

”Allah telah membuat perumpamaan ( yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...” Seorang budak tidak dapat mewaris karena ia tidak cakap berbuat. Seorang budak tidak dapat diwarisi jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki harta kekayaan sama sekali. Namun pada masa kini pada dasarnya perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada mungkin jumlahnya amat kecil.

b. Pembunuhan.

Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi pewaris yang dibunuhnya. Adapun kaidah fiqhiyah yang berkaitan dengan masalah itu, yakni ”barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia diberi sangsi tidak boleh mendapatkannya” Dalam hal pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, para ulama sepakat bahwa pembunuhan yang demikian itu merupakan penghalang untuk mendapatkan warisan atau penghalang mewaris. Adapun pendapat para ulama mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan, para ulama syafi฀iyah berpendapat bahwa pembunuhan jenis apapun, tetap merupakan penghalng untuk mewaris.

c. Berlainan Agama

Berlainan agama berarti agama pewaris berlainan agama dengan ahli waris. Misalnya, pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama kristen ataupun sebaliknya. Hal ini didasarkan pada hadits rasulullah yang artinya ” orang Islam tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (hadits riwayat Bukhori dan Muslim).

Didalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 173 yang menyatakan sorang terhalang menjadi ahli waris apa bila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, di hukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan ppengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih besar.

Ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah:47

1. AsasIjbari 2. AsasBilateral 3. AsasIndividual

47

4. AsasKeadilan berimbang 5. AsasSemata akibat kematian

Asas Ijbari yaitu dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematinnya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka menerima atau tidak.48

Asas bilateral bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya, begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Dalam ayat 11 surah An- Nisa dijelaskan bahwa:

a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuannya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan

b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayahnya sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak

48

Asas Induvidual yaitu bahwa harta warisan dapat di bagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain, keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.49

Asas keadilan berimbang yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara umum dapat dikatakan laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluargannya termasuk para perempuan, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah annisa ayat 34.

Asas semata akibat kematian yaitu kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan akibat kematian.50

49

Ibit, halaman, 23

50

Ahli waris atau disebutwaristdalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang di tinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan dan perkawinan itu, mereka berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:51

a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris; b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima

warisan;

c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.

Faraidh adalah kata jamak dari faridhah artinya bagian tertentu bagi ahli waris dari harta pusaka, jadi ilmu faraidh adalah ilmu tentang pembagian harta pusaka, agar masing-masing ahli waris mendapat bagian sebagaimana mestinya yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Sebelum harta si pewaris dibagikan kepada ahli warisnya hendaklah terlebih dahulu di selesaikan hal-hal berikut ini:52

a. Dipenuhinya kewajiban-kewajiban mengenai harta peninggalan tersebut, seperti zakatnya, penebus gadaian apa bila ada.

51

Ibit,halaman, 213

52

b. Dikeluarkan ongkos penyelengaraan dan pemakaman jenazah menurut yang layak, seperti harga kafan, upah mengali kubur.

c. Membayar hutang apa bila si pewaris mempunyai hutang

d. Dipenuhi wasiatnya, dengan ketentuan wasiat itu tidak lebih dari seper tiga harta warisan.

Sebab-sebab adanya hak waris ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris yaitu:53

a. Kekerabatan b. Perkawinan c. Wala’

Kekerabatan (yang ada ikatan nasab), yaitu hubungan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Ditinjau dari dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kepada 3 (tiga) golongan yakni:54

a. Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si mayit

b. Ushul,yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit

53

Ibit,Halaman, 113 54

c. Hawasyi, yaitu keluarga yang di hubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping, seperti saudar, paman, bibi, dan anak turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuanya.

Perkawinan yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

Wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut jugawala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Jumlah bagian yang di terima oleh ahli waris telah ditentukan dalam Al- Qur'an Surat An-Nisaa ayat 11 dan 12 ada enam macam, yaitu:

1. Setengah (1/2) 2. Seperempat (1/4) 3. Seperdelapan (1/8) 4. Dua pertiga (2/3)

5. Sepertiga (1/3) 6. Seperenam (1/6).55

Adapun ahli waris yang menerima bagian dengan besaran setengah (1/2) adalah Ashhabul Furudh yang berhak mendapatkan setengah dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (An-Nisaa: 176)

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.

Pertama seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya " (An-Nisaa: 12)

55

Kedua seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (An-Nisaa: 12)

Dari sederetanAshhabul Furudhyang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (An-Nisaa: 12)

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.

2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. 3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.

4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (An-Nisaa: 11)

Dan firman Nya

"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (An-Nisaa: 176)

AdapunAshhabul Furudhyang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian 1/3 (sepertiga) dengan syarat:

1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki- laki.

2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:

"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (An-Nisaa: 11)

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (An-Nisaa: 11)

Adapun Asbhabul Furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

Firman Allah:

"... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (An- Nisaa: 11)

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ..." (An-Nisaa: 11).

Jumlah para ahli waris Ashabul Furudh itu semuanya ada 12 (dua belas) orang, terdiri dari 8 (delapan) orang perempuan dan 4 (empat) orang laki-laki, Ashabul Furudhgolongan perempuan:56

1. Istri,

2. Anak prempuan,

3. Cucu perempuan pancar laki-laki (bintul ibni) betapa rendah menurunya, 4. Saudari kandung,

5. Saudari seayah, 6. Saudari seibu,

7. Ibu, dan

8. Nenek shahihah.

AdapunAshabul Furudhgolongan laki-laki, yaitu: 1. Suami,

2. Ayah,

3. Kakek shahih, betapa tinggi mendakinya dan 4. Saudara seibu.

Para ahli faraidh membedakan ashabah kedalam tiga macam, yaitu Ashabah binnafsih, ashabah bil-ghairdanashabah ma’alghair.

Ashabah binnafsih adalah kerabat laki-laki yang di pertalikan dengan si mayit tanpa diselingi oleh perempuan, yaitu leluhur laki-laki: bapak dan kakek, keturunan laki-laki: anak laki-laki dan cucu laki-laki dan saudar kandung atau sebapak: saudara laki-laki sekandung atau sebapak.

Ashabah bil-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain