• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Sulit Air di Surakarta

B. Faktor Pendorong Pergi Merantau

2. Faktor Penarik

1992 - 40 1 1 42

1994 - 45 5 - 50

1996 3 47 7 1 58

1998 5 68 8 3 84

Sumber: DPC SAS Surakarta tahun 2009

Dari tabel III dapat diketahui bahwa mayoritas perantau Sulit Air bekerja sebagai pedagang. Hal tersebut sebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan perantau Sulit Air, seperti yang terlihat pada tabel II.

d. Faktor keamanan

Pergolakan di Sumatra pada tahun 1950 turut menentukan bagi lahirnya budaya rantau. Merupakan Sjafri Sairin22 pergolakan tahun 1950 membawa sejumlah implikasi sosial bagi masyarakat Minangkabau. Mereka merasa telah dikalahkan oleh rezim. Kekalahan ini menjadi beban psikologis yang tidak mudah. Untuk meringankan beban psikologis ini, sebagian masyarakat Minangkabau melakukan migrasi secara besar-besaran ke berbagai kota, terutama pulau Jawa. Faktor keamanan tersebut, melatarbelakangi Burhan untuk merantau. Ia mengatakan pergi merantau disebabkan karena kondisi Sumatra Barat sudah tidak aman lagi. Ketika itu Sumatra Barat terjadi PRRI pada tahun 1958. Karena itu ia tauma untuk kembali ke Sulit Air.

2. Faktor Penarik

Faktor – faktor yang menarik seseorang untuk melakukan migrasi biasanya menggambarkan situasi daerah tujuan. Gambaran – gambaran tersebut merupakan gambaran positif dengan berbagai kemudahan dan tersediannya berbagai fasilitas di kota sehingga

22

Sjafri Sairin. “Minangkabau yang Gelisah: Sebuah Catatan Singkat” <http://www.melayuonline.com,> diakses pada tanggal 23 November 2009 pukul 11.00

23

menarik seseorang untuk meninggalkan kampong halaman. Faktor – faktor tersebut adalah daya tarik kota dan informasi dari teman atau saudara yang pernah merantau tentang daerah tujuan sangat mempengaruhi keputusan seseorang, terutama bagi yang belum pernah merantau untuk pergi meninggalkan kampong halaman. Biasanya informasi mengatakan bahwa di kota segala macam pekerjaan mudah didapat dan tersedia segala macam bentuk hiburan. Faktor inilah yang mendorong mereka untuk hidup dan bekerja di kota. Informasi- informasi tersebut di atas dapat menyebabkan (1) dorongan untuk pindah akan semakin kuat diantara tenaga potensial di desa,(2) pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa yang keluar semakin longgar,(3) pergerakan penduduk yang tertuju di daerah tertentu,(4)perubahan pola interaksi dan pemilikan lahan di desa yang melihat lahan sebagai komoditi pasar23.

C. Adaptasi

Dalam perspektif kebudayaan, kemampuan beradaptasi merupakan salah satu bentuk dari daya hidup stamina kebudayaan. Menurut budayawan W.S. Rendra24 kemampuan beradapatasi dalam perfektif kebudayaan ialah kesadaran kreatif untuk mengatasi tantangan keadaan. Sebab, keadaan di suatu tempat tidak sama dengan di tempat lain. Keadaan itu bisa berupa faktor iklim,stuktur geografis, watak manusia, atau sistem sosial dan budaya. Dalam kondisi seperti inilah, stamina kebudayaan suatu bangsa diuji.

Kemampuan beradaptasi para perantau dari Sulit Air memang patut diakui. Sikap familiar, mudah berkomunikasi, dan membaur bersama orang lain dari berbagai latar belakang etnis, menunjukan bahwa mereka memiliki kemampuan beradaptasi dengan baik.

23

Bintaro R. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya. Jakarta:Ghalia Indonesia. 1989. Hal 66

24

24

Stamina kebudayaan Minangkabau, terutama yang tercermin pada pribadi-pribadi perantau, sangat kokoh dan tetap terjaga. “Di mana bumi dipijak,disitu langit dijunjung”, adalah filosofi para perantau Minang, dan hal itulah yang menjadi kunci keberhasilan orang-orang Minangkabau di tanah rantau. Sekalipun harus bercampur baur dengan etnik lain, mereka bisa berdaptasi dengan baik. Meskipun harus berintraksi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa lain, tetapi mereka bisa beradaptasi dengan cepat.

Orang Sulit Air selalu mudah bergaul dengan siapa saja. Kemampuan mereka dalam beradaptasi telah diwarisi secara turun temurun. Orang minang selalu terbuka kepada siapa saja, tanpa melihat latar belakang orangnya. Menurut Gamawan Fauzi25, kemanapun orang-orang Minangkabau merantau selalu dituntut untuk bisa beradaptasi dengan baik. Mereka dituntut supaya bisa membaur dengan budaya setempat. Ditambah dengan kemampuan berkomunikasi, mereka juga harus selalu berusaha menghindari konflik.

Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman. Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka memiliki cara-cara tersendiri yang tidak dimiliki oleh etnis lain dalam hal beradaptasi. Adaptasi tersebut meliputi banyak hal,

25

25

diantaranya dalam hal perkawinan, aktivitas organisasi dan hubungan dengan sesama perantau maupun dengan masyarakat pribumi.

1. Hubungan Sosial dengan sesama Perantau

Perantau yang baru datang datang pada awalnya menjalin kontak dengan sesama perantau, dimana mereka saling menyesuaikan diri terhadap kebiasaan teman-teman satu etnisnya. Penyesuaian antara sesama perantau dapat terjadi dengan sendirinya misalnya mereka saling membiasakan diri hidup dalam satu wilayah kontrakan, bekerja sama dalam satu wilayah, berjualan di lingkungan yang sama. Dalam berkomunikasipun mereka menggunakan bahasa yang sama. Rasa senasip sepenanggungan para perantau menjadikan ikatan menjadi lebih kuat, sehingga lebih cepat terjadi pembauran antar sesama perantau.

Jenis pekerjaan yang dilakukan orang Sulit Air juga tergantung pada pendidikan yang mereka miliki. Mereka yang berpendidikan atas cenderung bekerja di sektor pemerintahan dan mengelompok sesama temannya yang setingkat, sedangkan mereka yang berpendidikan rendah cendrung bekerja disektor perdagangan kecil dan mengelompok dengan sesama pedagang.

Seringnya mereka bersatu dijalanan sebagai pedagang kaki lima membuat mereka bisa leluasa dalam bergaul. Mereka sering saling membantu antara satu dengan yang lain. Bila yang satu membutuhkan bantuan, maka yang lain dengan suka rela bersedia membantu. Jenis bantuan yang diberikan tidak terbatas pada hal yang bersifat sosial saja, namun juga yang bersifat ekonomis. Sehingga hubungan antar sesama perantau Minangkabau asal Sulit Air menjadi akrab.

2. Hubungan Sosial perantau dengan penduduk pribumi

Perantau yang melakukan mobilitas ke kota, akan hidup dan tinggal di kota dengan menempati rumah-rumah yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat pribumi walaupun kebanyakan para perantau tinggal dirumah kontrakan. Letak rumah mereka tidak teratur dan

26

saling berdekatan. Sekalipun mereka tinggal di kontrakan, tetapi mereka tetap melakukan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya dalam kegiatan sehari-hari. Sebagai pendatang, yang memasuki lingkungan yang baru dan berbeda dengan lingkungan sebelumnya, maka mereka harus menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan penduduk setempat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mochar Naim, suku Jawa merupakan salah satu suku yang disukai oleh orang Minangkabau untuk diajak bergaul. Karakter lemah lembut yang dimiliki suku Jawa adalah salah satu alasan mereka suka dengan suku Jawa, mereka membedakan dengan suku Batak ysng menurut mereka berperangai kasar26. Keadaan tersebut menjadikan mereka tidak terlalu susah untuk dapat bergaul dengan orang Jawa. Mereka memiliki berbagai usaha untuk beradaptasi dengan masyarakat pribumi yaitu dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh masyarakat. Kegiatan –kegiatan tersebut seperti kerja bakti, arisan, menengok tetangga yang lagi sakit, mengikuti organisasi pedagang yang diadakan oleh para pedagang pribumi, bahkan banyak perantau yang menikah dengan pribumi.

Perkawinan antar etnis yang dilakukan oleh orang Sulit Air pada masa sekarang ini juga mulai banyak terjadi. Menurut Rusdi Salim27 saat ini hampir 80% peranakan Sulit Air yang menikah dengan penduduk lokal. Jika kebetulan isteri yang Minangkabau atau Sulit Air, kemungkinannya adalah bahwa anak mereka akan mengidentifikasi dirinya kepada ibunya, oleh karena itu si anak akan mengklaim dirinya sebagai orang Minangkabau. Status anak tersebut juga didukung oleh adat Minangkabau yang menghitung keturunan berdasarkan garis ibu. Sedangkan jika kebetulan yang Sulit Air atau Minangkabau adalah suami dan isteri bukan Minangkabau, akibatnya anak-anak akan dikenali hanya sebagai anak pisang28.

26

Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 1978. halaman 204

27

Wawancara dengan Rusdi Salim tanggal 20 Februari 2010

28

Contoh terbaik dalam hal ini diberikan oleh Hamka dalam novelnya : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di mana tokoh utama cerita, yakni Zainudin menemukan dirinya sebagai orang asing di kampung ayahnya di Sumatra barat, yang selama ini ia idam-idamkan untuk melihatnya. Dia akhirnya menyadari bahwa

27

Sehingga jika dilihat mereka benar-benar dapat menyatu den beradaptasi dengan penduduk pribumi.

Dokumen terkait