• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORGANISASI PERANTAU MINANG SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA TAHUN 1986-1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ORGANISASI PERANTAU MINANG SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA TAHUN 1986-1998"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

i

ORGANISASI PERANTAU MINANG

SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA

TAHUN 1986-1998

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Pada Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh:

METHADWI UTAMI

NIM: C0505037

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

ORGANISASI PERANTAU MINANG

SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA

TAHUN 1986-1998

Disusun Oleh:

METHADWI UTAMI

NIM: C0505037

Telah di Setujui Oleh Pembimbing

Pembimbing

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum

NIP. 195402231986012001

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

ORGANISASI PERANTAU MINANG

SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA

TAHUN 1986-1998

Disusun Oleh:

METHADWI UTAMI

NIM: C0505037

Telah di Setujui Oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada Tanggal ……….2010

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Penguji

Sekretaris Penguji

Penguji I

Penguji II

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M. A

(4)

iv

HALAMAN PERNYATAAN

Nama: METHA DWI UTAMI

Nim : C0505037

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul ORGANISASI PERANTAU MINANG Sulit Air sepakat Surakarta Tahun 1986-1998 adalah betul-betul karya sendiri, bukan dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 2010

Yang membuat pernyataan,

(5)

v

HALAMAN MOTTO

“Kegagalan hanya terjadi bila kita menyerah (Lessing) “

“Sesali masa lalu karena ada kekecewaan dan kesalahan-kesalahan, tetapi jadikan

(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi Ini Ku Persembahkan Kepada :

· Bapak dan Ibu

· Kakak dan adik-adikku

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur alhamdullilah kehadirat Allah SWT atas

berkat rahmat dan hidayah-Nya, serta dengan usaha yang sungguh-sungguh,

akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebagai salah satu syarat

mencapai gelar sarjana ilmu sejarah pada fakultas sastra dan seni rupa Universitas

Sebelas Maret.

Penulis menyadari bahwa penulis tidak akan menyelesaikan skripsi ini

tanpa bimbingan, pengarahan dan petunjuk dari beberapa pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Sudarno, M. A, selaku Dekan Universitas Sebelas Maret.

2. Ibu Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum, selaku ketua jurusan fakultas sastra

dan seni rupa Universitas Sebelas Maret. Dan selaku pembimbing utama

yang telah memberikan arahan serta nasehat kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak M. Bagus Sekar Alam, S. S, M. Si, selaku pembimbing akademik

yang membantu penulis selama menempuh studi di fakultas sastra dan seni

rupa Universitas Sebelas Maret.

4. Seluruh staf dosen fakultas sastra dan seni rupa Universitas Sebelas Maret.

5. Bapak Rusdi Salim selaku ketua SAS Surakarta, yang telah meluangkan

waktunya untuk membantu penulis sampai selesainya skripsi ini.

6. Segenap pengurus dan anggota SAS Surakarta, yang telah mau membantu

penulis mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu tercinta, mas angga, gani, agil, adel dan semua keluarga

besarku, terimakasih untuk semuanya,

(8)

viii

9. Sahabatku sekalian Yuni, Shinta, Acik, Wanti, Weni, Dona, , Siti, yang

selalu memberi semangat buatku hingga terwujudnya skripsi ini, sukses

untuk kita semua, Amin.

10.Sobat-sobat ilmu sejarah, Ari, Benjenk, Cahyo, makasih atas

persahabatannya dan teman –teman seperjuangan angkatan 2005 ilmu

sejarah makasih atas semua kebaikannya.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu hingga terselesainya skripsi ini

Semoga Allah senantiasa melimpahkan segala rahmat dan anugrahnya

sebagai balasan atas segala puji yang telah dilakukan.

Akhirnya dengan menyadari segala kekurangan dan keterbatasan dalam

menyajikan skripsi ini maka kritik dan saran penulis harapkan demi sempurnanya

skripsi ini, dan penulis berharap semoga skripsi yang penulis sajikan dengan

segala kekurangan dan keterbatasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Waasalamu’alaikum Wr.Wb.

Surakarta, 2010

(9)

ix

G. Sistematika Penelitian ... 14

BAB II. MASYARAKAT PERANTAUAN MINANGKABAU ASAL SULIT AIR SURAKARTA A. Kedatangan Perantauan di Surakarta ... 16

B. Faktor Pendorong Pergi Merantau ... 23

1. Faktor Pendorong... 23

(10)

x

b. Faktor Sosial... 24

c. Faktor Pendidikan... 25

d. Faktor Keamanan... 28

2. Faktor Penarik... 29

C. Perkembangan Perantau Minang di Surakarta ... 30

D. Adaptasi... 32

1. Hubungan Sosial dengan Sesama Perantau ... 34

2. Hubungan Sosial dengan Penduduk Pribumi ... 35

BAB III. SEJARAH ORGANISASI PERANTAU SULIT AIR SEPAKAT

3. Bidang Pertanian dan Peternakan... 61

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Tingklat Pendidikan Perantau Sulit Air di Surakarta

(12)

xii

DAFTAR SINGKATAN

· AD/ART : Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga

· BMI : Bank Muamalat Indonesia

· BPR : Bank Perkereditan Rakyat

· DPP : Dewan Pimpinan Pusat

· DPC : Dewan Pimpinan Cabang

· GEBU : Gerakan Seribu

· KAN : Kerapatan Adat Nagari

· KK : Kepala Keluarga :

· Mubes : Musyawarah Besar

· PWSB : Persatuan Warga Sumatra Barat :

· PRRI : Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia

· RAPIN : Rapat Pimpinan

· SAS : Sulit Air Sepakat

· SD : Sekolah Dasar

· SMP : Sekolah Menengah Pertama

(13)

xiii

DAFTAR ISTILAH

· Darek : Daerah pedalaman yang subur

· Pasisie : Dataran rendah yang diselang-selingi oleh rawa

· Sumando : Kedudukan seorang suami Minangkabau, ia

dihormati tetapi tidak memiliki hak atas harta dan keturunan.

· Mamak : Saudara laki-laki ibu, baik adik maupun kakaknya

· Panghulu : Pemimpin dalam adat minangkabau yang

bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku dan

nagarinya

· Kemenakan : Anak saudara perempuan, baik laki-laki maupun

perempuan.

· Studie Fonds : Perkumpulan amal yang bertugas memberikan

bantuan demi cita-cita memajukan bidang pendidikan.

· Familie Kongsi : Lembaga yang berperan dalam mengirimkan

anak-anak belajar ke luar negeri.

· Nagari : kesatuan wilayah setingkat desa, terdiri dari

kumpulan kampung.

· Matrinineal : sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan

dari pihak ibu.

· Migrasi : mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke kota

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pernyataan Keputusan Musyawarah Besar (MUBES) Organisasi

Sulit Air Sepakat (SAS)

Llampiran 2 : Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari Sulit Air Kecamatan X

Koto Diatas tentang Pemberian Wewenang Kepada DPP SAS Untuk Penelitian

Perkawinan Secara Adat Bagi Warga Sulit Air

Lampiran 3 : Keputusan Kerapatan Adat Nagari Sulit Air tentang Pengesahan

Kedudukan Adat Warga Sulit Air yang Nikah Dengan Orang Lian.

Lampiran 4 : Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari Sulit Air Kecamatan X

Koto Diatas Kabupaten Dati II Solok tentang Pengesahan Hasil Musyawarah

Pemangku Adat Nagari Sulit Air

Lampiran 5 : Keputusan Kongres Kebudayaan Minangkabau Kelima tentang

Ajaran Dan Pengamalan Adat Basandi Syrak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak

Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru Untuk Seluruh Keluarga

Besar Minangkabau Di Tanah Minang dan Di Rantau

Lampiran 6 : Surat Kabar Harian Terbit, Sabtu 4 Sebtember 1993 tentang

mengubah kebiasan pengiriman wesel

Lampiran 7 : Surat kabar Singgalang 26 Sebtember 1993 tentang

(15)

xv

Lampiran 8 : Surat kabar Canang Sabtu 19 November 1994 tentang warga SAS

sisihkan 5 % keuntungan untuk pembangunan kampung halaman.

Lampiran 9 : Surat kabar Singgalang 17 Juli 1994 tentang pelantikan DPC SAS

Sydnei

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Peta Kabupaten Solok

Gambar 2 : Konferensi SAS I tanggal 3 Juli 1970

Gambar 3 : Kartu Tanda Anggota SAS

Gambar 4 : Pelantikan DPC SAS Solo

Gambar 5 : Pertemuan Rutin SAS

Gambar 6 : Peresmian Rumah Bagonjong Solo

(17)

xvii ABSTRAK

Metha Dwi Utami. C0505037. 2010. Organisasi Perantau Minang (Studi Kasus Mengenai Peranan Organisasi Perantau Minang Asal Sulit Air BagiI Pembangunan Nagari Dan Perantau Di Surakarta Pada Tahun 1986-1998) Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Senirupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) Apa yang melatarbelakangi masyarakat Minangkabau pergi merantau dan bagaimana cara mereka beradaptasi dengan penduduk lokal? (2) Apa yang melatarbelakangi berdirinya Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)? (3) Bagaimana peranan SAS bagi pembangunan Nagari dan bagi masyarakat perantauan Minangkabau di Surakarta tahun 1986-1998?

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui tentang latarbelakang masyarakat Minangkabau pergi merantau dan cara mereka beradaptasi.(2) Mengumpulkan informasi tentang hal yang melatarbelakangi berdirinya organisasi SAS Surakarta serta peranan SAS dalam pembangunan Nagari dan bagi masyarakat perantauan Minangkabau asal Nagari Sulit Air di Surakarta tahun 1986-1998?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Karena jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode historis, maka sumber yang dimanfaatkan terdiri dari sumber dokumen dan sumber lisan. Pengumpulan data terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara menentukan narasumber., melakukan wawancara mendalam dan uji kredibilitas, dengan triagulasi atau crosscheck yang meliputi triagulasi sumber dan metode.

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia terdiri dari beraneka ragam kebudayaan daerah yang sedang dalam proses pembangunan. Keanekaragaman tersebut pada hakekatnya mewujudkan kesatuan yang telah tercermin dalam azas Bhinneka Tunggal Ika. Keanekaragaman dalam kesatuan itu sangat berguna untuk pembangunan bangsa. Adapun kemajemukan masyarakat Indonesia itu adalah terdapatnya berbagai suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat maupun agama. Berdasarkan pada kenyataan ini, maka Harsja W Bahtiar menyebut bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem – sistem budaya besar. Sistem – sistem budaya besar masyarakat Indonesia dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu sistem budaya etnik, sistem budaya Indonesia, sistem budaya agama- agama besar dan sistem budaya asing1.

Berbagai daerah di Indonesia memiliki kebudayaannya masing- masing, begitupula dengan Sumatra Barat, yang lebih terkenal dengan sebutan suku Minang. Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.000 sampai 2.500 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar dan tiba di dataran tinggi Luhak Nan Tigo (darek)2. Kemudian dari Luhak Nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak Nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan

1

Harsja W Bahtiar. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia. Yogyakarta: PT. Hanindita. Hal 3-4

2

(19)

2

Persia. Migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis3.

Masyarakat Minangkabau dikenal dengan budaya merantau. Menurut Mochtar Naim4, merantau mengandung enam elemen utama, yaitu (1) meninggalkan kampung halaman (2) untuk waktu dekat atau lama (3) dengan sukarela atau kemauan sendiri (4) dengan tujuan mencari nafkah disamping mencari ilmu pengetahuan atau mencari pengalaman (5) biasanya mencita-citakan untuk kembali ke kampung halaman (6) merantau secara kultural sebagai pola kebiasaan masyarakat. Sehingga merantau dapat diartikan sebagai sebuah pola migrasi masyarakat Minangkabau kesatu wilayah atau daerah yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan pengembangan diri, dalam upaya mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik.

Kebiasaan merantau dari orang Minangkabau kiranya bukan hanya sekarang saja terjadi, tetapi kebiasaan tersebut telah melembaga, sehingga banyak menarik perhatian dari para ahli. Para ahli sendiri memiliki pendapat yang berbeda – beda tentang awal mula migrasi masyarakat Minangkabau. Diawali oleh teori gelombang perpindahan suku bangsa di jaman pra sejarah di Asia Tenggara, Melanesia dan Polinesia seperti yang selama ini didominasi oleh pendapat pendapat dari Kern dan Heine Gerden mengemukanan bahwa penduduk kepulauan nusantara sekarang ini berasal dari daratan Asia Tenggara. Teori tersebut mengemukakanan bahwa terdapat 2 arah yang ditempuh oleh bangsa dahulu itu dalam perpindahan mereka. Arah barat daya melalui semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa ke Nusa Tenggara dan arah utara ke Taiwan kemudian ke selatan menuju Philipina, Kalimantan dan Sulawesi dan dari sana ke Iran, Melanesia dan Australia.5 Dari teori ini kiranya dapat diambil semacam kesimpulan bahwa nenek moyang orang Minangkabau sekarang ini pastilah datang melalui jalan panjang merantau dari daratan Asia Tenggara terus Semenanjung Malaya dalam masa pra sejarah.

3

<http://www.google./wikipedia.com>.(diakses tanggal 26 Januari 2010 pukul 13.00)

4

Mochtar Naim. 1978. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 3

5

(20)

3

Menurut Mochtar Naim6, masyarakat Minang merantau disebabkan karena laki-laki Minangkabau menghadapi dilema, di rumah isterinya dia dianggap tamu (sumando) dihormati, tetapi tanpa hak dan kekuasaan. Di rumah ibunya dia didudukan sebagai mamak yaitu sebagai pengawal dari keluarga tetapi tanpa hak-hak untuk ikut menikmati hasil sawah ladang yang dapat dibawanya ke rumah isterinya.

Penyebab lainnya ialah, adanya pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dahulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasillan utama mereka itu tidak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Pada akhirnya, dari pada hidup di kampung, lebih baik merantau mengadu nasib ke negeri orang.

Dimasa dahulu ketika tanah air orang Minangkabau masih terbatas pada Luhak yang Tiga, pergi ke pantai timur atau ke pantai barat sudah dipandang sebagai ”merantau”. Dalam percakapan sehari hari pergi hanya ke kota yang dekat saja sudah dianggap sebagai merantau. Pada akhir – akhir ini karena Sumatra Barat dari sudut politik dan budaya telah menjadi satu wilayah dan penduduk Sumatra Barat tidak lagi menganggap dirinya terbagi – bagi ke dalam berbagai subkelompok, mereka terbiasa menggunakan kata merantau hanya untuk bepergian keluar Sumatra Barat.

Apabila seseorang pergi ke luar daerah budayanya dengan kemauan sendiri dapat juga dipandang sebagai perbuatan merantau. Hal ini selanjutnya mengandung makna bahwa orang yang merantau tersebut bukan lagi berkomunikasi dan berinteraksi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang – orang yang berlatar belakang etnis dan budaya yang berbeda – beda.

Kebanyakkan daerah – daerah di Indonesia sekarang mempunyai minoritas – minoritas etnis sebagai akibat dari mobilitas penduduk kota – kota besar khususnya mencerminkan perubahan pola – pola kependudukan dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku ini. Orang Minangkabau

6

(21)

4

terutama termasuk kelompok yang paling banyak bergerak. Masyarakat Minangkabau sendiri dalam merantau biasanya memilih kota-kota yang besar dan padat penduduknya. Karena kota besar dianggap sangat potensial untuk berdagang. Kota di Indonesia yang sangat banyak dijadikan tujuan dari perantau Minang misalnya saja Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan kota besar lainnya. Begitupula dengan kota Surakarta. Sebuah kota yang padat penduduknya dan letaknya sangat strategis. Di Surakarta para perantauan Minangkabau mendapatkan apa yang mereka inginkan seperti di kota – kota besar lainnya karena kota ini merupakan kota yang berorientasi pada sektor perdagangan. Hal ini sangat cocok dengan jiwa perantau Minangkabau yang suka berdagang.

Hidup bermasyarakat tidak terlepas dari proses – proses sosial sebagai wujud yang dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena adanya hubungan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk orang perorangan maupun kelompok sosial. Hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat sering disebut proses sosial. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum dan seterusnya7.

Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial, oleh karena interaksi soaial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas – aktifitas sosial. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara 2 individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebakliknya8. Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi 2 syarat yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Dengan adanya hubungan atau interaksi tersebut maka akan tercirpta suatu pergaulan hidup dan manusia itu hidup dalam suatu pergaulan. Salah satu perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama adalah

7

Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali. Hal 66

8

(22)

5

kelompok sosial yang sering disebut sebagai organisasi sosial. 9 Organisasi adalah suatu kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama baik dalam penggunaan sehari – hari maupun ilmiah.

Dikota Surakarta, telah banyak tinggal masyarakat pernatauan Minang khususnya masyarakat dari Sulit Air. Dan untuk mempererat hubungan antar sesama perantau, maka dibentuklah suatu perkumpulan yang menghimpun para perantau. Di Surakarta terdapat dua organisasi bagi perantau Minang, yaitu PWSB (Persatuan Warga Sumatra Barat) Surakarta dan Sulit Air Sepakat (SAS).

PWSB didirikan pada tahun 1971 yang merupakan perkumpulan para perantau Minang yang berasal dari seluruh daerah Sumatra Barat, yang berada di Surakarta. Anggotanya adalah kepala keluarga (KK) atau perorangan yang berasal dari Sumatra Barat, bertalian darah atau hubungan perkawinan serta bertempat tinggal di wilayah Surakarta10. Kegiatan- kegiatan PWSB yaitu selalu mengadakan acara rutin yaitu pengajian dan arisan rutin setiap bulan yang diadakan dirumah salah satu anggotanya. Selain itu setiap sesudah hari raya Idul Fitri mereka juga mengadakan Halal Bihalal. Dengan berbagai macam kegiatan tersebut diharapkan ikatan yang terjadi antar sesama perantau menjadi lebih erat dan eksistensi mereka di rantau menjadi lebih kuat. Tetapi seiring berjalannya waktu, PWSB menjadi seperti jalan ditempat. Hal tersebut disebabkan karena anggotanya sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga banyak anggota yang jarang berkumpul-kumpul lagi. Sedangkan organisasi SAS adalah organisasi perantau Minang asal Nagari Sulit Air. Sulit Air adalah sebuah nagari setingkat pemerintahan desa dibawah Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Solok, Sumatra Barat. SAS didirikan oleh perantau asal nagari Sulit Air, pada tahun 1918. Anggotanya adalah seluruh masyarakat perantauan Minang asal nagari Sulit air. Organisasi SAS tidak hanya terdapat di Surakarta karena SAS memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia bahkan SAS juga terdapat di luar negri.

PWSB dan SAS memiliki tugas yang sama yaitu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya terutama kesejahteraan dalam bidang ekonomi, yaitu bersedia meminjamkan sejumlah

9

Selo Soemardjan dan Soelaeman. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal 401

10

(23)

6

dana sebagai modal usaha bagi para anggotanya yang sebagian besar memang memulai bekerja sebagai pedagang di daerah rantau. Dengan adanya bantuan tersebut, dapat memudahkan anggotanya untuk berkembang dan hidup mandiri di daerah rantau.

Organisasi SAS didirikan oleh Mahyuddin Dt. Sutan Maharajo Nan Besar atau sering disebut dengan gelar Datuk Bangkik11 yang berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau Tuanku Laras II yang memimpin nagari Sulit Air abad ke-19. Perjalan SAS kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para tokoh Sulit Air yang berada di Jakarta. Mereka disebut dengan kelompok 4 (empat) sekawan yaitu: H.Syamsur Bahri Nur, Jamaluddin Tamban, Rosma Rais dan Rozali Usman yang membesarkan organisasi SAS. Empat tokoh tersebut dianggap dianggap tokoh yang sangat berpengaruh dalam eksistensi perjalanan SAS yang selanjutnya diteruskan oleh para tokoh muda lainnya seperti Rainal Rais, Marjohan Djamin dan Mukhlis Linto. Para tokoh muda ini mengorbitkan SAS menjadi organisasi yang sangat dikenal di kalangan pemerintah daerah provinsi Sumatra Barat dan organisasi perantau Minang lainnya. Hal ini diutarakan oleh Rusdi Salim sebagai berikut:

“ada beberapa tokoh yang membesarkan organisasi SAS, seperti: Pak Rainal Rais, Pak Rozali Usman. Pak Rainal yang menjabat sebagai Ketua Umum selama 12 tahun telah membuat SAS menjadi besar dan terkenal. Banyak juga orang yang mengatakan bahwa SAS identik dengan Rainal karena pengorbanan dan aktivitas beliau terhadap SAS sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh kecintaannya pada nagari Sulit Air yang dalam.”

Eksistensi SAS sebagai sebuah organisasi para perantau mengalami kemajuan setelah sukses melaksanakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-1 di Ciloto Jawa Barat pada tanggal 3Juli 1970. Mubes pertama tersebut berhasil merumuskan SAS secara formal sebagai organisasi perkumpulan bagi masyarakat perantau Sulit Air. Hasil Mubes ini kemudian dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) pada pasal I ayat 2 organisasi SAS dan menjadi pedoman bagi keberlanjutan organisasi yang dipimpin oleh ketua umum. Berikut nama-nama ketua umum SAS dari tahun 1970 sampai 1998:

Tabel I

11

(24)

7

Prioderisasi Ketua Umum DPP SAS Semenjak Dideklarasikan

No Ketua Umum SAS Periode Jabatan

1 H. Syamsur Bahri Nur 1970 s/d 1972

2 H. Rozali Usman, SH 1973 s/d 1977

3 Armon Syamsuddin 1978 s/d 1980

4 Fakruddin Panuh 1981 s/d 1982

5 H. Rozali Usman, SH 1982 s/d 1984

6 Nuraksar 1984 s/d 1986

7 Drs. H. Rainal Rais 1986 s/d 1998

Sumber: DPC SAS Surakarta

(25)

8

Saat ini SAS telah memiliki sekitar 80 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia termasuk di Surakarta dan 4 DPC di luar negeri. Peranan SAS dalam pembangunan nagari telah diakui oleh mantan Gubernur Sumatra Barat Drs. H. Hasan Basri Durin yang menyatakan bahwa organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS) merupakan organisasi perantau Minang yang paling kuat dalam dalam memberikan dukungan dana pembangunan di nagari12.

Dilihat dari awal perkembangan organisasi masyarakat perantauan Minang tersebut, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada periode antara tahun 1986 sampai pada tahun 1998. Periode yang diambil dilihat dari realitas yang ada bahwa pada kurun waktu tersebut merupakan tahun-tahun awal kemajuan organisasi Sulit Air Sepakat (SAS) tepatnya pada saat tampuk pimpinan SAS berada ditangan Rainal Rais.

Melihat latar belakang masalah tersebut maka penulis mencoba untuk mengadakan suatu penelitian yang berjudul Organisasi Perantau Minang Sulit Air Sepakat (SAS) di Surakarta pada tahun 1986-1998.

12

(26)

9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba merumuskan beberapa pokok masalah antara lain:

1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Minangkabau pergi merantau dan bagaimana

cara mereka beradaptasi dengan penduduk local di Surakarta?

2. Apa yang melatarbelakangi berdirinya Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS) Surakarta?

3. Bagaimana peranan SAS bagi pembangunan Nagari Sulit Air dan bagi masyarakat

perantauan Sulit Air di Surakarta tahun 1986-1998?

(27)

10

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui tentang latarbelakang masyarakat Minangkabau pergi merantau dan cara mereka beradaptasi.

2. Mengumpulkan informasi tentang hal yang melatarbelakangi berdirinya organisasi SAS Surakarta

3. Untuk mengetahui peranan SAS dalam pembangunan Nagari dan bagi masyarakat perantauan asal Nagari Sulit Air di Surakarta

4.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat, baik itu manfaat praktis maupun manfaat teoritis yaitu sebagai berikut : (1) Hasil penelitian ini menyajikan seperangkat informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan pendidikan, penelitian lebih lanjut tentang studi life history dan pengabdian masyarakat secara lebih jelas dalam dunia pendidikan. (2) Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang peranan orgasisasi masyarakat perantauan Minang.

E. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa literatur sebagai bahan acuan dan pedoman untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. Literatur – literatur tersebut dipilih berdasarkan hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas. Dengan literatur – literatur tersebut diharapkan dapat membantu memecahkan permasalahan – permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Sehingga akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.

(28)

11

diselingi dengan informasi tentang Minangkabau antara lain mengenai Klasifikasi adat, rumah gadang, pepatah petitih dan lain-lain. Skripsi yang berjudul Masyarakat Perantau Minangkabau (kajian Budaya Masyarakat Perantau Minangkabau asal Sumatra Barat di Kota Salatiga tahun

1975-1998) karya Asykuri Salam, banyak menjelaskan tentang faktor – faktor yang mendorong masyarakat Minang merantau seperti faktor fisik (ekologi dan lokasi), faktor ekonomi, faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor daya tarik kota dan faktor sosial. Selain itu dalam skripsi tersebut juga menjelaskan mengenai etos kerja para masyarakat perantauan Minang, dimana etos kerja para masyarakat perantau sangat dipengaruhi oleh adat dan agama.

Buku selanjutnya adalah karangan Usman Pelly yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi mengangkat tentang tradisi urbanisasi dan adaptasi etnik Minangkabau dan Mandailing. Dua etnik tersebut memiliki motivasi dan perfektif yang berbeda dalam mempraktekkan dan memandang tradisi, namun sesungguhnya mereka mendapat dorongan yang kuat dari dalam untuk menyebarkan misi budaya yang didasarkan pada nilai – nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat mereka yang dalam prakteknya misi itu dihadapkan pada kondisi – kondisi perkotaan, di mana kota merupakan sasaran migrasi yang berubah dengan cepat.

Buku berikutnya adalah karya dari Mu’arif yang berjudul Rahasia Sukses Orang Minang di Perantauan (Suku Paling Sukses Merantau di Indonesia). Buku ini banyak menggali mengenai nilai-nilai tradisi budaya rantau ala Minangkabau yang sudah terkenal. Dalam mengkaji budaya Minangkabau, Mu’arif meletakkannya dalam dimensi sejarah dan kemudian direfleksikan kembali dalam konteks tradisi rantau ala Minangkabau kontemporer. Pada buku ini juga banyak dijelaskan mengenai budaya merantau yang sudah mengakar bagi suku Minang dan adatpun mengajarkan mengenai merantau. Selain itu pada buku ini juga mengulas mengenai nilai- nilai budaya suku Minangkabau, yaitu tentang kecintaan orang Minang akan budaya, ilmu dan agama, tentang kesabaran, kerjasama dan sebagainya.

(29)

12

keberadaan struktur dan proses sosial dalam masyarakat. Bab ketiga dalam buku ini membicarakan tentang kelompok – kelompok sosial sebagai salah satu unsur pokok dari struktur sosial, yang meliputi manusia sebagai makhluk sosial, pengertian kelompok sosial serta bentuk – bentuk kelompok sosial. Organisasi sosial kemasyarakatan yang ingin diteli lebih lanjut termasuk ke dalam bentuk kelompok sosial community ( komunitas ) karena organisasi sosial kemasyarakatan merupakan suatu kelompok sosial yang dinyatakan sebagai masyarakat setempat, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas – batas tertentu pula, dimana kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, agar dapat dikaji secara mendalam dan dianalisis maka digunakan metode sejarah kritis. Metode penelitian sejarah itu sendiri , menurut Gilbert J.G merupakan seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber – sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil – hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis13.

Studi tentang, Organisasi Perantau Minang Sulit Air Sepakat (SAS) di Surakarta pada tahun 1986-1998, merupakan penelitian sejarah dengan menggunakan perangkat metode ilmu sejarah, yaitu (1) pengumpulan sumber, (2) verifikasi ( kritik sejarah, keabsahan sumber ), (3) interpretasi ( analisis dan sistensis ) dan (4) penulisan. Empat tahapan tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain14. Dengan metode ini mampu membantu berusaha memecahkan gejala – gejala berdasarkan masa lampau secara ilmiah untuk menentukan spesifikasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan – kenyataan sejarah.

Tahap (1) yaitu pengumpulan sumber, adalah suatu proses pengumpulan data dalam hal ini dilakukan dengan mencari sumber data, wawancara dan studi kepustakaan lewat buku – buku yang

13

Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logas Wacana Ilmu. Hal 43

14

(30)

13

berkaitan dengan masalah yang diteliti, serta dengan memperbandingkan data – data untuk diambil kesimpulan. Data yang digunakan dari berbagai instansi kemudian diperbandingkan dengan fakta yang ada di lapangan sehingga dapat ditarik kesimpulan. Setelah data terkumpul, masuk pada tahap (2) verifikasi ( kritik sejarah, keabsahan sumber ), yaitu untuk mengetahui kebenaran dari sumber – sumber yang ada, yang berupa kritik intern ( mengenai isi sumber data ) dan kritik ekstern ( mengenai susunan ataupun sistematika yang dipakai dalam sumber tersebut ). Setelah adanya kritik sumber, maka masuk pada tahap (3) yaitu interpretasi ( analisis dan sistensis ) yaitu penafsiran terhadap fakta – fakta diperoleh dari data – data yang telah diseleksi dan telah dilakukan kritik sumber.

Dan tahap (4) historiografi yaitu penulisan dengan merangkaikan fakta – fakta menjadi suatu kisah atau cerita yang dapat dipertanggungjawabkan. Empat tahapan tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Dengan metode ini mampu membantu berusaha memecahkan gejala – gejala berdasarkan masa lampau secara ilmiah untuk menentukan spesifikasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan – kenyataan sejarah.

H. Sistematika

Sistematika penulisan skripsi terdiri dari bagian awal skripsi, bagian isi dan bagian akhir. Bab isi terdiri dari 5 bab antara lain yaitu:

Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika skripsi. Pada bab II berisi mengenai mobilitas orang Minang di kota Surakarta, mulai dari faktor pendorong orang Minang datang ke kota Surakarta, perkembangannya serta bagaimana mereka beradaptasi dikota Surakarta.

(31)

14

(32)

15

BAB II

Masyarakat Perantauan Minangkabau

Asal Sulit Air di Surakarta

A. Kedatangan Perantau Sulit Air di Surakarta

Etnis Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Hampir diseluruh kota di Indonesia terdapat etnis Minangkabau. Mobilitas yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya tradisi merantau pada etnis Minangkabau. Di Minangkabau, laki- laki yang sudah cukup umur, akan pergi keluar daerah untuk merantau. Mereka merantau dengan harapan yang tinggi untuk membawa hasil di rantau ke kampung halaman. Menurut Mantra15, mobilitas perantau Minangkabau tergolong ke dalam mobilitas tidak permanen, artinya mereka masih memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halaman.

Perantau Minangkabau asal Sulit Air muncul pertama kali di Surakarta pada tahun 1960. Pada saat itu hanya ada 2 orang dan merupakan sepasang suami istri. Orang tersebut bernama Munaf dan Nurhayati. Pada saat itu Munaf dan Nurhayati tidak memiliki sanak saudara yang tinggal di Surakarta. Menurut Nurhayati16, ia pergi merantau ke Surakarta karena mengikuti keinginan suami yang ingin berdagang di Surakarta. Menurutnya Surakarta saat itu belum begitu ramai namun sangat strategis untuk berdagang. Ia memulai usaha kecil-kecilan yaitu dengan berdagang sepatu sandal. Ia berjualan dengan cara berkeliling dan mangkal (menetap) di suatu tempat. Menurutnya cara seperti itu lebih menguntungkan daripada hanya diam menunggu barang dagangan. Cara berdagang tersebut memberikan keuntungan yang cukup banyak baginya. Aktivitas dagang yang berpindah- pindah

15

Ida Bagoes Mantra,1983, Migrasi Penduduk Indonesia, Yogyakarta:Pusat Studi Kependudukan UGM. Halaman 24

16

Wawancara dengan Nurhayati, pada tanggal 1 November 2009

(33)

16

tersebut menjadikan ia bertemu dengan teman-teman Minangkabau dari Sumatra Barat dan dari Nagari Sulit Air khususnya.

Sekitar tahun 1970 an mulai banyak berdatangan perantau Sulit Air. Salah satunya adalah Burhan Malin Sutan17. Burhan Malin Sutan pertama kali merantau ke kota Pekanbaru pada tahun 1953, ketika berumur 13 tahun. Ketika itu ia pergi merantau ke Pekanbaru karena kondisi Sumatra Barat sudah tidak aman lagi pasca PRRI dan Pekanbaru merupakan kota yang tidak terlalu jauh dari Sumatra Barat. Ia tinggal di Surakarta karena diajak oleh beberapa orang temannya. Jadi ia pergi merantau bersama dengan beberapa orang temannya. Kebetulan ia memiliki paman yang berada di Surakarta dan akhirnya ia tinggal dirumah pamannya tersebut. Setelah cukup lama tinggal di rumah pamannya tersebut ia merasa tidak enak pada pamannya tersebut karena menumpang terlalu lama dan membebaninya. Ia ingin membantu pamannya dengan cara mencari pekerjaan, tetapi tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan dengan modal ijasah SD. Setelah cukup lama mencari pekerjaan dan tidak dapat, akhirnya pamannya menawarkan agar ia menunggu jualan pamannya, sementara pamannya membuka usaha baru.

Banyak para perantau yang pada awalnya bingung harus bagaimana di rantau. Mereka tidak memiliki ijasah dan pengalaman kerja, sementara beban hidup terus bertambah. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah dengan cara bekerja di sektor informal misalnya berdagang. Berdagang tidak butuh keterampilan dan hanya butuh modal sedikit. Itupun jika tidak memiliki modal, teman-teman yang ada dirantau yang keberadaannya sudah cukup mapan biasanya pasti bersedia membantu misalnya meminjami modal untuk berdagang.

B. Faktor Pendorong Pergi Merantau

Dalam suatu daerah tentu banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap disitu atau orang untuk berpindah dari situ. Secara umum, faktor – faktor tersebut terbagi dalam faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik ( pull factor). Namun keputusan seseorang untuk

17

(34)

17

merantau bukan karena faktor – faktor nyata di tempat asal maupun tempat tujuan, melainkan tanggapan seseorang terhadap faktor – faktor tersebut. Faktor - faktor yang mempengaruhi orang untuk merantau antara lain:18

1. Faktor Pendorong

Ada banyak faktor yang dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk merantau.

Faktor – faktor ini biasanya menggambarkan keadaan dan situasi di kampung halaman.

Antara penduduk yang satu dengan penduduk yang lain sudah pasti ada perbedaan tentang

faktor yang mendorong. Secara garis besar, faktor – faktor tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut:

a. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong banyak orang Minang

merantau ke Surakarta. Sekalipun sawah cukup untuk kelangsungan hidup keluarga, tetapi

orang muda selalu didorong untuk pergi merantau mencari rejeki agar nanti ia dapat berdiri

sendiri dan dapat menghidupi keluarganya disaat ia sudah siap untuk berumah tangga.

Dorongan untuk pergi merantau terasa semakin kuat ketika sawah sudah mulai tidak

mencukupi lagi, kecendrungan untuk pergi merantau akan semakin tinggi.

Faktor inilah yang mendorong seorang Liswarti hingga rela meninggalkan kampung

halamannya di Sulit Air dan hidup dirantau. Ia datang ke kota Surakarta pada tahun 1975.

Menurutnya keluarganya hidup pas-pasan sehingga ia harus mencari penghasilan tambahan

untuk membantu keluarganya. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja dirantau dan

mengirimkan uang ke keluarganya dikampung. Dia sekarang berjualan sepatu dan tas di pasar

Nusukan. Dan dia merasa lebih baik bekerja di Surakarta dari pada hanya tinggal di Sulit Air.

b. Faktor Sosial

18

(35)

18

Struktur sosial di Minangkabau yang Matrilineal tidak cukup memberikan tempat yang

kokoh bagi laki laki dalam kehidupan keluarga. Dalam arti ia tidak mempunyai kekuasaan

yang kuat di rumah isterinya dan tidak pula di rumah ibunya sendiri. Laki-laki Minang

memiliki tanggung jawab ganda yaitu sebagai bapak dari anak-anaknya dan sebagai mamak

dari kemenakannya. Mamak adalah merupakan pembimbing atau pengarah (guide) dari pada

kemenakan dan saudara perempuannya. Ia mempunyai hak dan kewajiban dan bertanggung

jawab penuh terhadap kehidupan kemenakannya. Dan sebagai bapak dari anak-anaknya, ia

juga harus bertanggung jawab kepada keluarganya dan untuk membesarkan anak-anaknya19.

Laki-laki yang belum berumah tangga, walaupun dia merupakan keluarga tetapi tidak

dapat mengerjakan sawah milik keluarganya kecuali atas izin dari saudara perempuannya.

Sehingga laki-laki tidak merasa terlalu diikat dengan tanah dan tanahpun tidak mengikatnya

untuk tetap tinggal di kampung. Ketidaktergantungan mereka kepada tanah juga

menimbulkan sikap menilai rendah terhadap kehidupan bertani. Orang tani yang tiak pernah

kemana-mana dianggap bernilai rendah. Masyarakat sebaliknya menilai keatas kepada orang

yang berdagang dan orang-orang lainnya yang banyak merantau, apalagi kalau mereka

mampu memperlihatkan hasil dari jerih payah yang ia dapatkan di rantau. Tantangan untuk

merantau oleh karena itu tinggi dan pujian yang didapat jika berhasil juga bernilai tinggi.

Anak laki-laki telah didorong untuk meninggalkan rumah sejak berumur muda. Seperti

pantun Minang yang berbunyi: “Karantau madang di hulu, Babuah babungo alun, Marantau

bujang dahulu, Dikampung baguno balun”. Pada pantun tersebut dijelaskan mengenai

kewajiban bagi seorang lali-laki muda Minang untuk pergi merantau. Laki-laki Minang

semenjak kecil telah disuruh untuk tidur di surau dan belajar mempersiapkan diri untuk

menghadapi kehidupan yang sulit dikemudian hari. Dorongan untuk pergi merantau oleh

19

(36)

19

karena itu disiapkan secara berangsur angsur sejak dari umur muda. Oleh karena itu laki-laki

Minang merasa terombang ambing dan akhirnya memutuskan untuk pergi merantau.

c. Faktor Pendidikan

Usaha mencari pendidikan yang lebih baik merupakan salah satu alasan utama orang

Minang meninggalkan Sumatra Barat20. Berbeda dengan faktor ekonomi yang mengenai

keseluruhan penduduk, alasan pendidikan akan selalu terbatas pada anak – anak pembesar

setempat, pegawai yang terhormat ataupun pedagang kaya yang ingin meningkatkan

pendidikan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi lagi di Jawa. Sekalipun hanya terbatas pada

golongan tertentu saja penduduk yang bersekolah, faktor pendidikan terbukti telah menjadi

faktor pendorong yang mampu merangsang yang lainnya, karena setiap pelajar yang

merantau membukakan jalan untuk pelajar yang lainnya. Cerita – cirita tentang kemajuan dan

keberhasilan yang terdengar dengan pencapaian pendidikan oleh para pelajar di rantau

mendorong yang muda – muda untuk mengikuti jejak langkahnya. Para lulusan yang masih

muda ini biasanya tidak kembali pulang tetapi sebaliknya menetap dirantau. Konsep

merantau adalah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri agar dapat hidup

berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau.

Faktor inilah yang mendorong Betty21 untuk merantau. Ia ingin memperoleh pendidikan

yang lebih baik. Menurutnya sekolah di rantau jauh lebih bagus dan berkualitas. Fasilitas

pendidikan yang ada dirantaupun sangatlah lengkap sehingga ia menjadi lebih bersemangat

untuk menuntut ilmu setinggi tingginya. Berkat kegigihannya untuk menuntut ilmu di rantau,

sekarang Betty telah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Surakarta.

Pendidikan menurut Burhan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal saja. Tetapi

juga pendidikan non formal. Walaupun ia hanya seorang yang lulus SD secara formal, tetapi

beranggapan bahwa mencari pengalaman juga merupakan pendidikan. Menurutnya

20

Evers, Hans Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:LP3ES. Hal 110

21

(37)

20

pengalaman adalah guru yang paling berharga, sehingga ia rela merantau karena ingin

mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang seluas mungkin. Pekerjaan yang telah ia

tekuni bermacam-macam mulai dari berjualan sepatu dan sandal, membuka warung makan

dan berjualan ayam. Selain Burhan, banyak para perantau yang mengatakan bahwa dirantau

ia akan mendapatkan pengalaman yang tidak ia dapatkan di kampung halaman. Berikut tabel

tingkat pendidikan kepala keluarga yang berasal dari Sulit Air yang berada di Surakarta :

Tabel II. Tingkat Pendidikan Perantau Asal Sulit Air di Surakarta

Tahun Tingkat Pendidikan Jumlah

SD SMP SMA Sarjana

1986 1 2 16 - 19

1988 1 3 25 - 29

1990 - 6 30 - 36

1992 2 4 41 - 47

1994 - 2 46 - 48

1996 - 1 48 3 52

1998 2 21 52 6 81

Sumber: DPC SAS Surakarta tahun 2009

Melihat data tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan mereka rata- rata SMA, SMP,

sarjana, dan SD. Sehingga demikian pendidikan mereka tergolong pas-pasan. Faktor yang

menyebabkan pendidikannya pas-pasan adalah faktor ekonomi. Keadaan ekonomi orang tua

yang kurang cukup tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih

tinggi karena pendidikan yang lebih tinggi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan

pendidikan yang kurang memadai para perantau tidak mengharapkan pekerjaan sebagai

(38)

21

sektor informal seperti berdagang, sedangkankan peluang yang baik untuk berdaganag lebih

banyak tersedia dirantau daripada di kampung halaman, untuk itulah mereka merantau.

Pekerjaan seperti berdagang menurut mereka tidak memerlukan pendidikan formal yang

tinggi melainkan cukup dengan sabar, ulet dan tidak mudah putus asa. Adapun perincian

mengenai mata pencaharian perantau Sulit Air adalah sebagai berikut

Tabel III

Jenis Mata Pencaharian Perantau Sulit Air

Tahun Mata Pencaharian Jumlah

Pegai Negeri Pedagang Pegai Swasta Lain-lain

1986 - 21 2 - 22

1988 - 34 - 1 35

(39)

22

1992 - 40 1 1 42

1994 - 45 5 - 50

1996 3 47 7 1 58

1998 5 68 8 3 84

Sumber: DPC SAS Surakarta tahun 2009

Dari tabel III dapat diketahui bahwa mayoritas perantau Sulit Air bekerja sebagai

pedagang. Hal tersebut sebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan perantau Sulit Air,

seperti yang terlihat pada tabel II.

d. Faktor keamanan

Pergolakan di Sumatra pada tahun 1950 turut menentukan bagi lahirnya budaya rantau.

Merupakan Sjafri Sairin22 pergolakan tahun 1950 membawa sejumlah implikasi sosial bagi

masyarakat Minangkabau. Mereka merasa telah dikalahkan oleh rezim. Kekalahan ini

menjadi beban psikologis yang tidak mudah. Untuk meringankan beban psikologis ini,

sebagian masyarakat Minangkabau melakukan migrasi secara besar-besaran ke berbagai kota,

terutama pulau Jawa. Faktor keamanan tersebut, melatarbelakangi Burhan untuk merantau. Ia

mengatakan pergi merantau disebabkan karena kondisi Sumatra Barat sudah tidak aman lagi.

Ketika itu Sumatra Barat terjadi PRRI pada tahun 1958. Karena itu ia tauma untuk kembali

ke Sulit Air.

2. Faktor Penarik

Faktor – faktor yang menarik seseorang untuk melakukan migrasi biasanya

menggambarkan situasi daerah tujuan. Gambaran – gambaran tersebut merupakan gambaran

positif dengan berbagai kemudahan dan tersediannya berbagai fasilitas di kota sehingga

22

(40)

23

menarik seseorang untuk meninggalkan kampong halaman. Faktor – faktor tersebut adalah

daya tarik kota dan informasi dari teman atau saudara yang pernah merantau tentang daerah

tujuan sangat mempengaruhi keputusan seseorang, terutama bagi yang belum pernah

merantau untuk pergi meninggalkan kampong halaman. Biasanya informasi mengatakan

bahwa di kota segala macam pekerjaan mudah didapat dan tersedia segala macam bentuk

hiburan. Faktor inilah yang mendorong mereka untuk hidup dan bekerja di kota. Informasi-

informasi tersebut di atas dapat menyebabkan (1) dorongan untuk pindah akan semakin kuat

diantara tenaga potensial di desa,(2) pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa

yang keluar semakin longgar,(3) pergerakan penduduk yang tertuju di daerah

tertentu,(4)perubahan pola interaksi dan pemilikan lahan di desa yang melihat lahan sebagai

komoditi pasar23.

C. Adaptasi

Dalam perspektif kebudayaan, kemampuan beradaptasi merupakan salah satu bentuk dari

daya hidup stamina kebudayaan. Menurut budayawan W.S. Rendra24 kemampuan

beradapatasi dalam perfektif kebudayaan ialah kesadaran kreatif untuk mengatasi tantangan

keadaan. Sebab, keadaan di suatu tempat tidak sama dengan di tempat lain. Keadaan itu bisa

berupa faktor iklim,stuktur geografis, watak manusia, atau sistem sosial dan budaya. Dalam

kondisi seperti inilah, stamina kebudayaan suatu bangsa diuji.

Kemampuan beradaptasi para perantau dari Sulit Air memang patut diakui. Sikap

familiar, mudah berkomunikasi, dan membaur bersama orang lain dari berbagai latar

belakang etnis, menunjukan bahwa mereka memiliki kemampuan beradaptasi dengan baik.

23

Bintaro R. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya. Jakarta:Ghalia Indonesia. 1989. Hal 66

24

(41)

24

Stamina kebudayaan Minangkabau, terutama yang tercermin pada pribadi-pribadi perantau,

sangat kokoh dan tetap terjaga. “Di mana bumi dipijak,disitu langit dijunjung”, adalah

filosofi para perantau Minang, dan hal itulah yang menjadi kunci keberhasilan orang-orang

Minangkabau di tanah rantau. Sekalipun harus bercampur baur dengan etnik lain, mereka bisa

berdaptasi dengan baik. Meskipun harus berintraksi dengan orang-orang yang menggunakan

bahasa lain, tetapi mereka bisa beradaptasi dengan cepat.

Orang Sulit Air selalu mudah bergaul dengan siapa saja. Kemampuan mereka dalam

beradaptasi telah diwarisi secara turun temurun. Orang minang selalu terbuka kepada siapa

saja, tanpa melihat latar belakang orangnya. Menurut Gamawan Fauzi25, kemanapun

orang-orang Minangkabau merantau selalu dituntut untuk bisa beradaptasi dengan baik. Mereka

dituntut supaya bisa membaur dengan budaya setempat. Ditambah dengan kemampuan

berkomunikasi, mereka juga harus selalu berusaha menghindari konflik.

Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan

masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang

yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun

rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung

Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di

kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang,

termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino

(Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan

Pariaman. Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun

diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka memiliki cara-cara tersendiri yang

tidak dimiliki oleh etnis lain dalam hal beradaptasi. Adaptasi tersebut meliputi banyak hal,

25

(42)

25

diantaranya dalam hal perkawinan, aktivitas organisasi dan hubungan dengan sesama

perantau maupun dengan masyarakat pribumi.

1. Hubungan Sosial dengan sesama Perantau

Perantau yang baru datang datang pada awalnya menjalin kontak dengan sesama

perantau, dimana mereka saling menyesuaikan diri terhadap kebiasaan teman-teman satu

etnisnya. Penyesuaian antara sesama perantau dapat terjadi dengan sendirinya misalnya

mereka saling membiasakan diri hidup dalam satu wilayah kontrakan, bekerja sama dalam

satu wilayah, berjualan di lingkungan yang sama. Dalam berkomunikasipun mereka

menggunakan bahasa yang sama. Rasa senasip sepenanggungan para perantau menjadikan

ikatan menjadi lebih kuat, sehingga lebih cepat terjadi pembauran antar sesama perantau.

Jenis pekerjaan yang dilakukan orang Sulit Air juga tergantung pada pendidikan yang

mereka miliki. Mereka yang berpendidikan atas cenderung bekerja di sektor pemerintahan

dan mengelompok sesama temannya yang setingkat, sedangkan mereka yang berpendidikan

rendah cendrung bekerja disektor perdagangan kecil dan mengelompok dengan sesama

pedagang.

Seringnya mereka bersatu dijalanan sebagai pedagang kaki lima membuat mereka bisa

leluasa dalam bergaul. Mereka sering saling membantu antara satu dengan yang lain. Bila

yang satu membutuhkan bantuan, maka yang lain dengan suka rela bersedia membantu. Jenis

bantuan yang diberikan tidak terbatas pada hal yang bersifat sosial saja, namun juga yang

bersifat ekonomis. Sehingga hubungan antar sesama perantau Minangkabau asal Sulit Air

menjadi akrab.

2. Hubungan Sosial perantau dengan penduduk pribumi

Perantau yang melakukan mobilitas ke kota, akan hidup dan tinggal di kota dengan

menempati rumah-rumah yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat pribumi walaupun

(43)

26

saling berdekatan. Sekalipun mereka tinggal di kontrakan, tetapi mereka tetap melakukan

hubungan dengan masyarakat di sekitarnya dalam kegiatan sehari-hari. Sebagai pendatang,

yang memasuki lingkungan yang baru dan berbeda dengan lingkungan sebelumnya, maka

mereka harus menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan penduduk setempat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mochar Naim, suku Jawa merupakan salah satu

suku yang disukai oleh orang Minangkabau untuk diajak bergaul. Karakter lemah lembut

yang dimiliki suku Jawa adalah salah satu alasan mereka suka dengan suku Jawa, mereka

membedakan dengan suku Batak ysng menurut mereka berperangai kasar26. Keadaan tersebut

menjadikan mereka tidak terlalu susah untuk dapat bergaul dengan orang Jawa. Mereka

memiliki berbagai usaha untuk beradaptasi dengan masyarakat pribumi yaitu dengan

mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh masyarakat. Kegiatan –kegiatan tersebut

seperti kerja bakti, arisan, menengok tetangga yang lagi sakit, mengikuti organisasi pedagang

yang diadakan oleh para pedagang pribumi, bahkan banyak perantau yang menikah dengan

pribumi.

Perkawinan antar etnis yang dilakukan oleh orang Sulit Air pada masa sekarang ini juga

mulai banyak terjadi. Menurut Rusdi Salim27 saat ini hampir 80% peranakan Sulit Air yang

menikah dengan penduduk lokal. Jika kebetulan isteri yang Minangkabau atau Sulit Air,

kemungkinannya adalah bahwa anak mereka akan mengidentifikasi dirinya kepada ibunya,

oleh karena itu si anak akan mengklaim dirinya sebagai orang Minangkabau. Status anak

tersebut juga didukung oleh adat Minangkabau yang menghitung keturunan berdasarkan garis

ibu. Sedangkan jika kebetulan yang Sulit Air atau Minangkabau adalah suami dan isteri

bukan Minangkabau, akibatnya anak-anak akan dikenali hanya sebagai anak pisang28.

26

Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 1978. halaman 204

27

Wawancara dengan Rusdi Salim tanggal 20 Februari 2010

28

(44)

27

Sehingga jika dilihat mereka benar-benar dapat menyatu den beradaptasi dengan penduduk

pribumi.

D. Perkembangan Perantau Minang di Surakarta

Perantau Minangkabau yang ada di rantau ada yang berhasil dan ada pula yang kurang berhasil. Tetapi setidaknya jarang dari mereka yang kurang berhasil terus pulang ke kampung halaman. Jika mereka akan pulang, akan menunggu bekalnya cukup dulu atau jika tidak pulang akan mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sanak saudaranya. Mereka ingin meningkatkan taraf hidup keluarga yang ada di kampunga halaman.

Tujuan utama selama berada di rantau adalah menabung atau mengumpulkan sebanyak mungkin uang untuk persiapan dibawa pulang ke kampung halaman. Untuk itu mereka dalam hidup sehari-hari di perantauan harus berlaku hemat dalam pengeluaran dan perbelanjaan. Mereka sangat menghindari pola hidup yang boros dan membuang-buang uang.

Para perantau pada saat berangkat merantau terkadang tidak membawa apa-apa, tetapi setelah berada dirantau mereka banyak memiliki barang-barang seperti barang-barang ektronik, kendaraan atau bahkan memiliki rumah sendiri. Keadaan yang demikian membuat mereka harus berpikir dua kali untuk pulang ke kampung halaman. Dirantau mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan, sedangkan di kampung mereka belum tentu akan mendapatkan hal yang sama.

Memang tujuan semula merantau adalah untuk mengumpulkan uang dan harta untuk dibawa pulang ke kampung halaman, tetapi dalam kenyataannya tidak sesederhana itu. Mereka bingung jika ditanya akan pulang atau tidak, terutama para perantau yang sudah mapan. Jika ditanya untuk mengirimkan uang atau hasil jerih payah ke kampung biasanya mereka akan bersedia, tetapi jika harus kembali dan tinggal di kampung mereka belum tentu bersedia.

(45)

28

Hal ini dialami oleh Muhamad Rusdi Salim29. Ia sekarang telah memili kios sendiri. Ia berjualan tas, helm dan pulsa. Menurutnya ia tidak memiliki keinginan untuk kembali menetap di kampung halaman. Ia sudah mengajak seluruh keluarganya di rantau. Ia bahkan sudah memiliki rumah di rantau. Keadaan yang sudah mapan tersebut menjadikan ia ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya di rantau bersama keluarganya. Ia pulang ke Sulit Air hanya jika ada keperluan penting yang mengharuskannya untuk pulang ke Sulit Air.

Hal yang dialami oleh Sabililah juga sama. Ia tidak ingin pulang ke kampung halaman dan ingin mengembangkan usahanya di rantau. Ia lebih senang tinggal di kota karena di kota segala sesuatunya juga mudah didapat. Ia membayangkan jika harus pulang, mungkin ia belum tentu bisa hidup seperti sekarang. Hal serupa banyak diutarakan oleh para perantau. Mereka yang sudah cukup mapan di rantau atau mungkin sudah memiliki keluarga di rantau tidak memiliki pikiran lagi untuk pulang ke kampung halaman. Yang ada dipikiran mereka adalah bagaimana usaha mereka di rantau dapat menjadi lebih baik dan berkembang sehingga dapat menjamin masa depan mereka. Bagi mereka, pulang ke kampung setelah tinggal cukup lama di rantau dan sudah dapat beradaptasi dengan rantau merupakan proses merantau juga. Karena mereka harus beradaptasi dengan lingkungan kampung yang mungkin sudah banyak berubah dan agak asing karena jarang melihatnya. Mereka terkadang tidak tahu harus mengerjakan apa di kampung karena pekerjaan di kampung berbeda dengan yang ada di rantau.

Para perantau yang sudah cukup berhasil biasanya akan mengajak saudara maupun teman-temannya yang ada di kampung halaman. Keadaan yang demikian menjadikan kampung halaman mereka menjadi sepi. Di kampung halaman mereka jika letaknya di kota, masih ada para pendatang dari luar Sumatra Barat. Mereka inilah yang meramaikan suasanya di kampung halaman para perantau. Tetapi lain halnya jika keadaannya di desa, maka desa akan kekurangan tenaga kerja, terutama tenaga kerja laki-laki karena sebagian besar yang merantau adalah kaum laki-laki. Pada tahun 1993 warga Sulit Air berjumlah 70.000 jiwa, 55.000 diantaranya berada dirantau dan hanya

29

(46)

29

sebanyak 15.000 jiwa yang berada di kampung. Kampung halaman biasanya akan ramai hanya ketika hari raya Idhul Fitri tiba. Para perantau datang ke Sulit Air selain untuk mengunjungi kampung, juga untuk mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) SAS yang memang dilaksanakan di Sulit Air setiap 2 tahun sekali untuk memilih ketua umum SAS30.

30

(47)

30 mendapatkannya, sedangkan air berarti sebuah zat atau benda cair yang bermanfaat bagi kehidupan manusia31. Jadi istilah Sulit Air mengandung makna yang menjelaskan sebuah wilayah yang kering dan tidak subur, sehingga susah mendapatkan air sebagai kebutuhan pokok kehidupan.

Menurut catatan sejarah asal usul nagari Sulit Air dan orang yang pertama sekali menempati nagari Sulit Air adalah Dt. Mulo Nan Kawi beserta rombongannya. Penelusuran sejarah dimulai dari

perjalanan (hijrahnya) Dt. Mulo Nan Kawi dan istrinya Puti Anggo Ati dari daerah asalnya Pariangan Padang Panjang. Perjalanan Dt. Mulo Nan Kawi beserta rombongan bertujuan pergi ke nagari Solok yang dapat ditempuh melintasi jalan Timur melewati pinggiran danau Singkarak. Jalan yang ditempuh tersebut berupa hutan lebat dan bukit-bukit. Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari. Banyak tempat telah dilalui oleh Dt. Mulo Nan Kawi beserta istri dan rombongan, dan akhirnya ia sampai disuatu tempat dataran yang cukup luas dan disanalah mereka memasang kemah untuk beristirahat. Puti Anggo Ati puas dengan tempat itu, karena bukit32 idamannya terlihat jelas dari sana, tempat itu adalah lapangan Koto Tuo sekarang. Sewaktu Puti Anggo Ati bangun pagi dan keluar dari kemah sambil menikmati keindahan pemandangan alam, timbul keinginan untuk menetap selamanya ditempat tersebut dan mengatakan kepada suaminya Dt. Mulo Nan Kawi untuk tidak

31

Kamus Besar Basaha Indonesia. 1998. Jakarta: Balai Pustaka

32

Bukit itu berwarna merah-putih, seperti warna bendera Negara Indonesia. Bukit ini merupakan kebanggaan warga Sulit Air dan menjadi salah satu factor penarik perantau untuk pulang kampong karena memiliki kesan tersendiri untuk dipandang.

(48)

31

melanjutkan perjalanan ke Solok. Selanjutnya Puti Anggo Ati ingin mandi di sungai, kemudian ia melihat dan memandangi air yang keluar berdesak-desakkan dari celah –celah batu. Hal yang amat mengesankan Puti Anggo Ati dan berkata kepada suaminya: “tuan, lieklah sulieknya aie kalu”. “iyo suliek aie di siko, inggo indak mungkin kito tingga di soko”33 (melihat air tersebut yang berdesak-desakan ingin keluar mereka mengatakan air sulit didaerah ini). Maka dari peristiwa tersebut nama nagari Sulit Air berasal.

Sulit Air hanya memiliki luas 80 km persegi dengan 13 desa yang sebagaian besar terdiri dari tanah gersang dan hanya 690 ha lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan dan 297 ha untuk tanaman keras. Kondisi alamnya yang sedemikian rupa yang menyebabkan sebagaian besar penduduknya pergi merantau34. Terbukti pada tahun 70-an, masyarakat Sulit Air terkenal sebagai terpadat aliran masuk wesel dari luar di seluruh Sumatra Barat35. Sehingga Sulit air terkenal dengan sebutan sebagai Nagari Wesel. Hal itu karena banyaknya perantau dari daerah ini mengirim untuk keluarganya di kampung. Dari tahun ketahun pun, semakin banyak warga Sulit Air yang pergi perantau. Pada tahun 1993 tercatat jumlah warga Sulit Air sekitar 70.000 orang, yang mana hampir 55.000 orang warganya berada diperantauan dan sisanya sekitar 15.000 orang tinggal dikampung36. Dan pada tahun 1994 jumlah warga Sulit Air yang berada dirantau semakin bertambah yaitu menjadi 65.000 orang.

B. Latar belakang berdirinya SAS Surakarta

33

Rozali Usman, Rangkayo Sutan, dkk. 1975. Asal Usul Nagari Sulit Air dan persukuan Sulit Air. Jakarta : Rora Karya. Hal 12

34

Singgalang, “ Gubernur di Sulit Air: Industri RT Atasi Kesenjangan Sosial”. Selasa 23 Maret 1993

35

Oneng Ananda, “Sulit Air Sepakat (SAS): Membangun di dan dari Perantauan” dalam Forum Pemuda, Oktober 1992 Kolom Lensa OK”P”,

36Singgalang

(49)

32

Masyarakat kita merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai organisasi – organisasi. Kita dilahirkan di dalam organisasi, dididik melalui organisasi dan hampir semua dari kita melewati masa hidup dengan bekerja untuk kepentingan organisasi. Definisi organisasi menurut Amitai Etzioni adalah unit sosial (atau pengelompokan manusia) yang sengaja di bentuk dan dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan – tujuan tertentu. Demikian juga dengan masyarakat perantau Minang asal Sulit Air dimana di dalam kehidupannya tidak bisa di lepaskan dari keberadaan organisasi Sulit Air Sepakat (SAS).

Sulit Air Sepakat (SAS) adalah sebuah organisasi warga perantau yang berasal dari kenagarian Sulit Air kabupaten Solok provinsi Sumatra Barat. Organisasi SAS didirikan oleh tokoh-tokoh perantau yang berada di kota Padang pada tahun 191837. Sampai saat ini kota Padang telah disepakati sebagai kota pertama terbentuknya organisasi perantau Sulit Air secara aklamasi.

Organisasi SAS didirikan oleh Mahyuddin Dt. Sutan Maharajo Nan Besar atau serinng disebut dengan gelar Datuk Bangkik38 yang berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau Tuanku Laras II yang memimpin nagari Sulit Air abad ke-19. Gelar Datuk Bangkik merupakan gelar penghargaan dari masyarakat Sulit Air atas jasa beliau yang telah membangun daerah Sulit Air melalui penggalangan organisasi perantauan disamping beliau dianggap sebagai tokoh pemersatu yang telah dikenal baik oleh masyarakat Sulit Air melalui pendirian surat kabar “Pelita kecil” pada tahun 1918 di kota Padang39.

SAS Surakarta berdiri pada tahun 1961, oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Sulit Air yang tinggal di Surakarta yaitu Ismail Datuak Bagindo Rajo, Munaf Arif, Bachtiar Sati Baheran, Munir Sati Keadilan dan Agus Salim.

37

SAS didirikan oleh para perantau Sulit Air yang berada dikota Padang pada tahun 1918, sehingga kota Padang dianggap sebagai tempat berdirinya organisasi SAS.

38

Datuk Bangkik dianggap sebagai pendiri SAS karena penggagas perlunya sebuah organisasi bagi para perantau, pencetus untuk organisasi SAS disamping beliau menjabat sebagai tokoh adat dan tokoh pers nasional.

39 Bukti yang menegaskan Datuk Bangkik sebagai pendiri organisasi SAS tertulis dalam Autobiografi Zainal

(50)

33

Program kerja masing- masing DPC SAS mendapat perhatian dari DPP SAS, terutama dalam pembangunan gedung serbaguna yang sangat vital keberadaannya dalam menggalang rasa persatuan dan kesatuan perantau asal Sulit Air. Dan hampir diseluruh cabang-cabang SAS di seluruh Indonesia dan mancanegara telah memiliki gedung serbaguna masing-masing. Seperti pada DPC SAS Surakarta, dimana gedung tersebut digunakan untuk pertemuan anggota setiap bulannya dan juga merupakan kantor dari DPC SAS Surakarta. Program kerja DPC SAS Surakarta adalah setiap tanggal 1 selalu berkumpul silahturahmi antar anggota. Selain itu juga mengadakan simpan pinjam. Dengan adanya simpan pinjam ini sangat membantu angoota – anggota yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Pinjaman yang di dapat digunakan sebagai modal usaha dan untuk melebarkan usaha agar dapat menghidupi keluarganya baik yang keluarga yang berada di rantau atau yang berada di kampung halaman.

C. Tujuan

Tujuan ialah suatu kondisi atau keadaan pada waktu yang akan datang, yang membantu

pencapaian misi organisasi. Tujuan mempunyai sifat lebih konkret dan khas dibandingkan

dengan misi, tujuan organisasi mencangkup beberapa fungsi, diantaranya yaitu memberikan

pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan masa yang akan datang yang senantiasa

berusaha dikejar dan diwujudkan oleh organisasi. Dengan demikian tujuan tersebut

menciptakan pula sejumlah pedoman bagi landasan kegiatan organisasi40.

Suatu organisasi didirikan pastilah dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas. Karena

dengan maksud dan tujuan tersebut akan mengarahkan pada tegaknya perjuangan, yaitu

menentukan jenis kegiatan yang akan dilakukan dan besarnya usaha yang akan

diperjuangkan. Pada awalnya pendirian organisasi SAS dilatarbelakangi oleh keinginan

masyarakat Sulit Air yang ada diperantauan untuk sekedar berkumpul-kumpul dalam suatu

wadah paguyuban di rantau. Kebiasaan berkumpul-kumpul diwarung (kedai) kopi semasa

40

Gambar

Tabel III
Gambar 1 Struktur Organisasi DPP SAS

Referensi

Dokumen terkait

Malam harinya, nenek datang ke rumah bersama dengan abang dari ibuku dan keluarga yang lain.. Mereka menanyakan apakah berita yang dikatakan orang-orang benar

Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut

Siklamat yang memiliki tingkat kemanisan yang tinggi dan enak rasanya tanpa rasa pahit walaupun tidak berbahaya dan digunakan secara luas dalam makanan dan

Persyaratan bagi independensi auditor yang diatur dalam Sarbanes-Oxley Act diantaranya: menghindari beberapa aktivitas yang dilarang (§201), semua jasa audit harus telah

Menutup kegiatan pembelajaran dengan berdo’a bersama V Alat/Bahan/Sumber Belajar:.. A Kerja logam,

Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif dipergunakan untuk mengukur kesesuaian Pasal 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sebagai produk kebijakan fiskal

Indikator kemampuan penalaran matematis yang penulis gunakan dalam penelitian ini merujuk pada indikator Depdiknas yaitu: (1) Memperkirakan proses penyelesaian:

Tahapan metode yang diusulkan pada penelitian tersebut terdiri dari mendeteksi pulps dengan menggunakan pemindai UV, ekstraksi fitur dari hasil pemindaian UV,