• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Sulit Air di Surakarta

B. Faktor Pendorong Pergi Merantau

1. Faktor Pendorong

merantau bukan karena faktor – faktor nyata di tempat asal maupun tempat tujuan, melainkan tanggapan seseorang terhadap faktor – faktor tersebut. Faktor - faktor yang mempengaruhi orang untuk merantau antara lain:18

1. Faktor Pendorong

Ada banyak faktor yang dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk merantau. Faktor – faktor ini biasanya menggambarkan keadaan dan situasi di kampung halaman. Antara penduduk yang satu dengan penduduk yang lain sudah pasti ada perbedaan tentang faktor yang mendorong. Secara garis besar, faktor – faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong banyak orang Minang merantau ke Surakarta. Sekalipun sawah cukup untuk kelangsungan hidup keluarga, tetapi orang muda selalu didorong untuk pergi merantau mencari rejeki agar nanti ia dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupi keluarganya disaat ia sudah siap untuk berumah tangga. Dorongan untuk pergi merantau terasa semakin kuat ketika sawah sudah mulai tidak mencukupi lagi, kecendrungan untuk pergi merantau akan semakin tinggi.

Faktor inilah yang mendorong seorang Liswarti hingga rela meninggalkan kampung halamannya di Sulit Air dan hidup dirantau. Ia datang ke kota Surakarta pada tahun 1975. Menurutnya keluarganya hidup pas-pasan sehingga ia harus mencari penghasilan tambahan untuk membantu keluarganya. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja dirantau dan mengirimkan uang ke keluarganya dikampung. Dia sekarang berjualan sepatu dan tas di pasar Nusukan. Dan dia merasa lebih baik bekerja di Surakarta dari pada hanya tinggal di Sulit Air. b. Faktor Sosial

18

18

Struktur sosial di Minangkabau yang Matrilineal tidak cukup memberikan tempat yang kokoh bagi laki laki dalam kehidupan keluarga. Dalam arti ia tidak mempunyai kekuasaan yang kuat di rumah isterinya dan tidak pula di rumah ibunya sendiri. Laki-laki Minang memiliki tanggung jawab ganda yaitu sebagai bapak dari anak-anaknya dan sebagai mamak dari kemenakannya. Mamak adalah merupakan pembimbing atau pengarah (guide) dari pada kemenakan dan saudara perempuannya. Ia mempunyai hak dan kewajiban dan bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan kemenakannya. Dan sebagai bapak dari anak-anaknya, ia juga harus bertanggung jawab kepada keluarganya dan untuk membesarkan anak-anaknya19.

Laki-laki yang belum berumah tangga, walaupun dia merupakan keluarga tetapi tidak dapat mengerjakan sawah milik keluarganya kecuali atas izin dari saudara perempuannya. Sehingga laki-laki tidak merasa terlalu diikat dengan tanah dan tanahpun tidak mengikatnya untuk tetap tinggal di kampung. Ketidaktergantungan mereka kepada tanah juga menimbulkan sikap menilai rendah terhadap kehidupan bertani. Orang tani yang tiak pernah kemana-mana dianggap bernilai rendah. Masyarakat sebaliknya menilai keatas kepada orang yang berdagang dan orang-orang lainnya yang banyak merantau, apalagi kalau mereka mampu memperlihatkan hasil dari jerih payah yang ia dapatkan di rantau. Tantangan untuk merantau oleh karena itu tinggi dan pujian yang didapat jika berhasil juga bernilai tinggi.

Anak laki-laki telah didorong untuk meninggalkan rumah sejak berumur muda. Seperti pantun Minang yang berbunyi: “Karantau madang di hulu, Babuah babungo alun, Marantau bujang dahulu, Dikampung baguno balun”. Pada pantun tersebut dijelaskan mengenai kewajiban bagi seorang lali-laki muda Minang untuk pergi merantau. Laki-laki Minang semenjak kecil telah disuruh untuk tidur di surau dan belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang sulit dikemudian hari. Dorongan untuk pergi merantau oleh

19

Murad, Aud. Merantau : Out Migration in a Matrilineal Society of West Sumatra. 1980. Departement of Demography : Australia National University. Hal XIV

19

karena itu disiapkan secara berangsur angsur sejak dari umur muda. Oleh karena itu laki-laki Minang merasa terombang ambing dan akhirnya memutuskan untuk pergi merantau.

c. Faktor Pendidikan

Usaha mencari pendidikan yang lebih baik merupakan salah satu alasan utama orang Minang meninggalkan Sumatra Barat20. Berbeda dengan faktor ekonomi yang mengenai keseluruhan penduduk, alasan pendidikan akan selalu terbatas pada anak – anak pembesar setempat, pegawai yang terhormat ataupun pedagang kaya yang ingin meningkatkan pendidikan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi lagi di Jawa. Sekalipun hanya terbatas pada golongan tertentu saja penduduk yang bersekolah, faktor pendidikan terbukti telah menjadi faktor pendorong yang mampu merangsang yang lainnya, karena setiap pelajar yang merantau membukakan jalan untuk pelajar yang lainnya. Cerita – cirita tentang kemajuan dan keberhasilan yang terdengar dengan pencapaian pendidikan oleh para pelajar di rantau mendorong yang muda – muda untuk mengikuti jejak langkahnya. Para lulusan yang masih muda ini biasanya tidak kembali pulang tetapi sebaliknya menetap dirantau. Konsep merantau adalah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri agar dapat hidup berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau.

Faktor inilah yang mendorong Betty21 untuk merantau. Ia ingin memperoleh pendidikan yang lebih baik. Menurutnya sekolah di rantau jauh lebih bagus dan berkualitas. Fasilitas pendidikan yang ada dirantaupun sangatlah lengkap sehingga ia menjadi lebih bersemangat untuk menuntut ilmu setinggi tingginya. Berkat kegigihannya untuk menuntut ilmu di rantau, sekarang Betty telah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Surakarta.

Pendidikan menurut Burhan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal saja. Tetapi juga pendidikan non formal. Walaupun ia hanya seorang yang lulus SD secara formal, tetapi beranggapan bahwa mencari pengalaman juga merupakan pendidikan. Menurutnya

20

Evers, Hans Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:LP3ES. Hal 110

21

20

pengalaman adalah guru yang paling berharga, sehingga ia rela merantau karena ingin mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang seluas mungkin. Pekerjaan yang telah ia tekuni bermacam-macam mulai dari berjualan sepatu dan sandal, membuka warung makan dan berjualan ayam. Selain Burhan, banyak para perantau yang mengatakan bahwa dirantau ia akan mendapatkan pengalaman yang tidak ia dapatkan di kampung halaman. Berikut tabel tingkat pendidikan kepala keluarga yang berasal dari Sulit Air yang berada di Surakarta :

Tabel II. Tingkat Pendidikan Perantau Asal Sulit Air di Surakarta

Tahun Tingkat Pendidikan Jumlah

SD SMP SMA Sarjana 1986 1 2 16 - 19 1988 1 3 25 - 29 1990 - 6 30 - 36 1992 2 4 41 - 47 1994 - 2 46 - 48 1996 - 1 48 3 52 1998 2 21 52 6 81

Sumber: DPC SAS Surakarta tahun 2009

Melihat data tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan mereka rata- rata SMA, SMP, sarjana, dan SD. Sehingga demikian pendidikan mereka tergolong pas-pasan. Faktor yang menyebabkan pendidikannya pas-pasan adalah faktor ekonomi. Keadaan ekonomi orang tua yang kurang cukup tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena pendidikan yang lebih tinggi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan pendidikan yang kurang memadai para perantau tidak mengharapkan pekerjaan sebagai pegawai negri yang bekerja di sektor pemerintahan. Mereka kemudian memilih bekerja di

21

sektor informal seperti berdagang, sedangkankan peluang yang baik untuk berdaganag lebih banyak tersedia dirantau daripada di kampung halaman, untuk itulah mereka merantau. Pekerjaan seperti berdagang menurut mereka tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi melainkan cukup dengan sabar, ulet dan tidak mudah putus asa. Adapun perincian mengenai mata pencaharian perantau Sulit Air adalah sebagai berikut

Tabel III

Jenis Mata Pencaharian Perantau Sulit Air

Tahun Mata Pencaharian Jumlah

Pegai Negeri Pedagang Pegai Swasta Lain-lain

1986 - 21 2 - 22

1988 - 34 - 1 35

Dokumen terkait