• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENDUKUNG PERWUJUDAN PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Dalam dokumen J00830 (Halaman 106-111)

DALAM PENDIDIKAN KARAKTER *)

FAKTOR PENDUKUNG PERWUJUDAN PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

1. Kerjasama Orang tua, Sekolah dan Masyarakat

Nilai-nilai kehidupan dipelajari melalui pola-pola dan kebiasan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada - di sekitar individu. Anak meniru dari orang tuanya, dan bila ia sudah sekolah anak meniru dari guru, teman- teman di sekolah dan orang-orang lain yang ada di sekolah. Di lingkungan yang lebih luas masyarakat menjadi acuan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa pendidikan karakter akan lebih efektif bila dijalankan melalui proses penyadaran dan pembiasaan. Proses pembiasaan tidak hanya tercipta di keluarga, tetapi juga di sekolah dan

Hal ini berarti bahwa keluarga menjadi dasar dari pembentukan nilai-nilai yang akan dijadikan acuan dalam mengembangkan karakter, dan sekolah akan semakin memperluas wawasan anak akan nilai kehidupan yang akan memperkuat perkembangan karakter. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat luas juga sudah seharusnya mendukung nilai-nilai penting dalam kehidupan. Banyak contoh di masyarakat yang sangat kontradiktif, misalnya di rumah dan di sekolah anak diajar mengenai konsep kebersihan. Padahal di masyarakat kepedulian terhadap kebersihan sangat memprihatinkan. Di rumah dan di sekolah anak belajar mengenai kedisiplinan, tetapi di jalan raya ternyata kedisiplinan bukanlah suatu hal yang dianggap panting. Sama halnya dengan kekerasan, yang tidak ditunjukkan oleh masyarakat luas di mana toleransi, cinta damai, dan penghargaan akan kebhinekaan tidak tampak pada masyarakat yang lebih luas.

2. Lingkungan yang Nyaman dan Menyenangkan

Model ini membangun lingkungan secara total agar tercipta lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya siswa-siswa berkarakter. Lingkungan yang nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya nurani/batin anak.

3. Kurukulum dan Modul yang Berbasis Karakter

Kurikulum disusun berdasarkan prinsip keterkaitan antar materi pembelajaran tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD dan SMP yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (holistik).

Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.

4. Kultur Sekolah yang Kondusif

Kultur sekolah yang baik dan kondusif akan mendukung pertumbuhan setiap individu dalam lembaga pendidikan. Kultur sekolah merupakan jalinan relasi dan interaksi antar anggota komunitas sekolah yang melahirkan spontanitas, pembiasaan, perayaan dan tradisi yang membentuk habit perilaku yang stabil bagi tiap anggota dalam lingkungan sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat, sekolah. Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah.

Budaya sekolah terbentuk dari jalinan relasi, interaksi dan pertukaran simbolis berbagai macam makna sebuah peristiwa, kejadian, yang terjadi dalam diri komunitas sekolah. Dalam artian tertentu, corak relasi dan interaksi antar individu itulah yang membentuk kultur sebuah sekolah. Selain peranan tiap individu, budaya sekolah juga terbentuk melalui tata peraturan, norma-norma sosial, pemahaman moral, dan etika bersama yang berlaku di suatu sekolah.

Kultur sekolah terbentuk dari interaksi dan komunikasi antar individu dalam komunitas sekolah. Interaksi dan komunikasi ini membentuk tatanan dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungan pendidikan. Tata peraturan dan norma sosial ini dibutuhkan karena hubungan dan interaksi dalam lembaga pendidikan lebih ditentukan pada definisi peranan sesuai dengan tata peraturan yang ada. Dengan kata lain, relasi dan interaksi antar individu ini bersifat politis, yaitu ada kekuatan, kewenangan dan kekuasaan tertentu yang dimiliki oleh individu tertentu dalam bersikap dan bertindak dalam kerangka tindakan pendidikan. Karena itulah, kultur yang rusak dalam sebuah lembaga pendidikan hanya bisa dibenahi melalui perbaikan struktur, seperti tata peraturan yang berlaku, pengkondisian lingkungan sosial yang kondusif, serta, konsistensi dari setiap anggotanya untuk tetap bertindak sesuai dengan tatanan serta norma sosial yang berlaku. Jadi, struktur akan mendefinisikan pola perilaku individu, pola perilaku individu satu sama lain akan melahirkan kultur sekolah yang berlaku, dan kultur sekolah ini pada gilirannya akan memperkokoh kembali struktur sosial yang berlaku dalam lingkungan sosial pendidikan tersebut.

PENUTUP

Seorang guru yang akan mengembangkan karakter siswa harus menunjukkan bahwa integritas adalah hal yang paling berharga. Guru terlebih

dahulu harus berperan sebagai model untuk menyatakan kebenaran, menghormati orang lain, menerima dan memenuhi tanggung jawab, bermain jujur, mengembalikan kepercayaan, dan menjalani kehidupan yang bermoral. Guru harus berperan sebagai model akan pentingnya keterlibatan dalam sebuah pencarian kebenaran yang akan berlangsung seumur hidup sehingga dapat melakukan sesuatu yang benar tidak mudah melakukan sesuatu tindakan yang salah. Guru sebagai pendidik karakter harus mengajar murid-muridnya sebagai individu-individu yang dapat membuat keputusan berdasarkan proses dan prinsip penalaran moral. Dengan cara membantu para siswa untuk mengetahui tentang apa itu nilai-nilai, percaya pada nilai-nilai sebagai bagian integral dari kehidupannya, dan menjalani kehidupannya sesuai dengan nilai- nilai tersebut.

Guru dapat memainkan peran penting dalam membantu siswa belajar dan menerapkan proses penalaran moral. Pelajaran di dalam kelas dan melalui interaksi guru-murid di luar kelas harus didasarkan pada kebajikan. Integritas, kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab harus menjadi ciri khas guru dalam hubungannya dengan siswa. Dalam rangka mengem-bangkan karakter siswa dapat dilakukan melalui pengembangan sikap saling percaya, memelihara saling percaya dan mengembangkan rasa hormat di antara siswa, memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan percaya pada martabat yang melekat pada setiap orang, serta melaksanakan tanggung jawab sebagai guru dengan cara-cara bertanggung jawab secara moral.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar diantaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkan pendidikan karakter, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Akin, Terri, dkk. 1995. Character Education in America's Schools. California : Innerchoice Publishing

Borich, G.D. 1994. Observation Skills for Effective Teaching. Englewood Cliffs: Macmillan Publishing Company

Napitupulu, Washington P. 2001. Universitas Yang Kudambakan, Unesco. Rich, 2008. Ministry of Education, Singapore

Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology (3rd ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall Inc.

PENDALAMAN DEMOKRASI

Dalam dokumen J00830 (Halaman 106-111)

Dokumen terkait