• Tidak ada hasil yang ditemukan

J00830

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " J00830"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Vol. 27 No.2 Desember 2011

HUBUNGAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UKIM AMBON

J.T Lobby Loekmono dan Julianus C. Joltuwu

137-150

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mawardi dan Arief Sadjiarto

151-168

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK

Slameto

169-187

PSYCHO EDUCATIONAL GROUP INTERVENTION FOR ADOLESCENT: IMPROVING EMOTIONAL INTELLIGENCE Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan

189-201

STUDI KORELASI ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN OTONOMI GURU

Prasetyo

203-219

STRATEGI PEMECAHAN MASALAH RASIO PADA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani

221-231

PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Yari Dwikurnaningsih

233-244

PENDALAMAN DEMOKRASI DI ERA PEMASARAN POLITIK

(Studi Kasus Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011) Bambang Suteng Sulasmono dan Saptono

(2)
(3)

HUBUNGAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN INDEKS

PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA FAKULTAS

FILSAFAT UKIM AMBON

J.T Lobby Loekmono dan Julianus C. Joltuwu Program Studi S1 Bimbingan & Konseling FKIP - Universitas Kristen Satya Satya Wacana

ABSTRAK

Penelitian ini melibatkan 222 orang mahasiswa sebagai sampel penelitian pada Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aca-demic Adjustment Inventory disusun Bakare, tahun 1977 untuk mengungkap tingkat penyesuaian diri mahasiswa, dan Studi dokumentasi untuk mengetahui Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. Hasil analisis penelitian menemukan rxy= 0,228 p=0,001 < 0,005 berarti ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM. Dengan demikian tujuan penelitian ini tercapai.

Kata kunci: Penyesuaian diri, IPK.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

(4)

Berdasarkan evaluasi belajar pada Fakultas Filsafat UKIM periode II tahun ajaran 2007/2008, ditemukan IPK rata-rata bagi seluruh mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM yaitu 2,21 dengan skala antara 0 sampai 4,00 (http:/ /www.dikti.go.id/evaluasi.or.id, 2008). Mengingat semakin tingginya persaingan di antara perguruan tinggi, maka capaian IPK rata-rata mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM tahun 2007/2008 tergolong cukup, namun tidak tinggi. Selain itu, standar IPK yang ditentukan bagi Fakultas Filsafat UKIM agar ouput-nya dapat diterima sebagai calon pegawai organik (vikaris) Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah 2,75, sehingga diperkirakan sebagian besar mahasiswa Fakultas Filsafat belum memenuhi ketentuan IPK 2,75.

Prestasi yang dicapai oleh mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM dipengaruhi oleh sejumlah faktor pendukung. Zhang (2002) menyebutkan salah satu faktor yang turut memberi pengaruh adalah penyesuaian diri akademik. Penyesuaian diri pada lingkungan akademik menunjuk kepada mahasiswa yang mengubah sikap, perilaku dan norma sosial agar sesuai dengan lingkungan belajar yang baru di tingkat Perguruan Tinggi. Penelitian Ross dan Hammer (2002) menemukan bahwa kebanyakan mahasiswa tidak betah pada perkuliahan tahun pertama dan tahun kedua, bahkan ada yang tidak melanjutkan perkuliahannya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi serta gaya belajar mengajar di kampus.

Dokumentasi UKIM (2008) mencatat jumlah mahasiswa Fakultas Filsafat yang mengalami drop out atau berhenti kuliah sebanyak 60 orang. Jumlah mahasiswa drop out pada Fakultas Filsafat merupakan jumlah yang paling banyak, dibandingkan dengan jumlah mahasiswa drop out pada tiga

fakultas lain di UKIM. Penyebab dominan mahasiswa drop out ialah,

mahasiswa memutuskan berhenti kuliah atau keluar dengan sendirinya dari perguruan tinggi. Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ross & Hammer (2002), maka salah satu indikator yang mengakibatkan mahasiswa

mengalami drop out adalah kurangnya kemampuan menyesuai-kan diri

mahasiswa dengan lingkungan pendidikan baru yang lebih menantang. Berkaitan dengan IPK, maka muncul pertanyaan adakah hubungan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa?

(5)

dipastikan melalui suatu penelitian ulang.

Masalah Penelitian

Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

Adakah hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon.

KAJIAN SINGKAT TEORI

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

Prestasi Belajar menurut Good (2000), Sukmadinata (2003), dan Winkel (2007), merupakan indikator keberhasilan individu dalam pencapaian, keahlian dan pengetahuan terhadap bidang yang dipelajari. Prestasi belajar yang dicapai peserta didik diperoleh berdasarkan pengukuran tertentu. Dalam dunia perguruan tinggi, prestasi merupakan indikator keberhasilan mahasiswa dalam usaha mencapai kemampuan tertentu dari proses perkuliahannya.

Statuta UKIM (2002) mendefinisikan IPK sebagai gambaran prestasi yang dicapai oleh mahasiswa tiap semester atau secara bertahap, yang dinyatakan dalam bentuk nilai, yang dihitung dengan cara mengalikan beban Satuan Kredit Semester (SKS) tiap matakuliah dengan bobot yang diperolehnya, dibagi total SKS matakuliah yang diambil/diikutinya dalam satu tahap pendidikan.

Proses penilaian hasil belajar mahasiswa di UKIM meliputi tiga do-main/ranah penting yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) serta psikomotor (keterampilan). Winkel (2007) menyatakan bahwa belajar kognitif memiliki ciri khas yaitu memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili semua objek yang dihadapi melalui pengalaman belajar. Ciri khas belajar afektif yaitu belajar menghayati nilai dari objek-objek yang dihadapi melalui perasaan, serta belajar mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Sedangkan ciri belajar motorik adalah belajar menghadapi aneka objek secara fisik.

(6)

(2002), maka dapat dirumuskan bahwa indeks prestasi kumulatif adalah tolok ukur yang digunakan untuk mengetahui pencapaian prestasi mahasiswa melalui suatu pengalaman belajar secara terstruktur dan berkesinambungan, yang meliputi penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan, terhadap beberapa matakuliah yang disajikan dalam satu tahapan pendidikan, serta mengacu pada sistem penilaan akademik yang telah ditentukan.

Penyesuaian Diri

Penyesuaian Diri dikonsepkan Bakare (http://www. hadizaoyas. com) sebagai tindakan yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan seseorang untuk menghadapi berbagai tekanan dan konflik. Penyesuaian diri tersebut merupakan karakterisasi yang berkembang dari kenyataan pada setiap masa perkembangan manusia. Setiap orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, akan memperoleh keberhasilan dalam setiap aktivitasnya. Ciri-ciri orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, antara lain mampu bersahabat, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis, memiliki keinginan untuk berhasil dan mencapai prestasi yang baik, memiliki kemampuan untuk mengejar tujuan yang diinginkan dalam kelompok/komunitasya, memiliki keterampilan untuk berhubungan baik dengan orang lain, emosi yang seimbang dan terkontrol (dalam Adebayo & Ogunleye, 2008).

Konsep penyesuaian diri Bakare dipengaruhi oleh teori psikososial Erikson membahas tentang kemampuan penyesuaian diri seseorang. Erikson (1989) mengkonsepkan penyesuaian diri seseorang mengacu pada skema perkembangan manusia yang dimulai dari lahir sampai usia tua, dan perkembangan manusia itu terbentuk oleh pengaruh sosial yang saling mempengaruhi dengan suatu organisme fisis dan psikologis yang sedang menjadi matang. Erikson (1989) melihat bahwa hubungan timbal-balik hanya mungkin oleh perkembangan relasi manusia dengan sesama manusia, masyarakat serta kebudayaannya. Hubungan timbal-balik antara individu secara pribadi dengan kebudayaannya, membentuk individu tersebut menjadi dewasa, bukan hanya dalam bentuk fisis dan psikis, tetapi juga dalam hubungan sosial.

(7)

dan dewasa. Dalam tindakan menyesuaikan diri, selalu ada hubungan timbal-balik antara individu dengan masyarakat serta kebudayaan setempat.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional merupakan penelitian yang menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan garis lurus (linear) antara dua variabel atau lebih. Ukuran untuk derajat hubungan garis lurus ini dinamakan koefisien korelasi. Dalam penelitian ini, diupayakan agar dapat memastikan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Lokasi penelitian ini dilaksanakan pada Universitas Kristen Indo-nesia Maluku, Jalan Ot. Pattimaipauw, Ambon.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa yang masih aktif kuliah pada Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon berjumlah 498 orang mahasiswa. Penetapan ukuran sampel digunakan tabel ukuran sampel, dengan batas-batas kesalahan tertentu serta berdasarkan ukuran populasi yang ditetapkan (Sugiyono, 1999). Dengan populasi 498 orang mahasiswa tabel sampel menunjukkan ukuran sampel sebanyak 222 orang mahasiswa dengan batas kesalahan yang ditolerir

sebesar 5 persen. Sampel diambil dengan random sampling yaitu

mahasiswa yang ditemui ketika dilakukan pengumpulan data di kampus.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri (X) dan IPK mahasiswa (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri (X) sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah indeks prestasi kumulatif (Y).

(8)

Uji coba untuk instrumen variabel penyesuaian diri dilakukan kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon, berjumlah 33 orang mahasiswa. Uji validitas item menggunakan corrected item-total correlation. Kriteria tinggi rendahnya validitas butir digunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Ali (1987). Uji validitas pada 25 item inventori penyesuaian diri menunjukkan koefisien validitas terendah 0,227 dan tertinggi 0,603, yang berarti semuanya valid. Uji reliabilitas instrumen menggunakan teknik

Alpha Cronbach dan dikatakan reliabel jika besarnya alpha minimal α> 0,70. Untuk mengkategorikan inventori dan skala memenuhi syarat reliabilitas, digunakan pedoman George dan Mallery (1995). Hasil uji reliabilitas instrumen penyesuaian diri menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0,810 berarti pada kategori Baik.

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Analisis Data

Deskripsi IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM dapat dilihat pada tabel 1.

Berdasarkan tabel 1, sebagian besar mahasiswa mempunyai IPK pada kategori 3 - 3,49 = 25,7%.

Deskripsi penyesuaian diri mahasiswa dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Deskripsi Kelompok Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa

Sumber: Data Primer diolah, 2009

Kelompok IPK f Persentase (%)

3,5 – 4 3 – 3,49 2,75 – 2,99 2,5 – 2,74 2 – 2,49 < 2

4 57 51 53 50 7

1,8 25,7 23 23,9 22,5 3,1

(9)

Tabel 2 menunjukkan frekuensi penyesuaian diri mahasiswa, sebagian besar berada pada kategori Baik = 67,2 persen.

Sebelum melakukan analisis korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas data. Sugiyono (1999) mengatakan bahwa penggunaan Pearson

product moment yang merupakan statistik parametrik, jika data setiap variabel penelitian yang akan dianalisis harus mempunyai distribusi

nor-mal. Uji normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov,

menunjukkan bahwa signifikansi (p) untuk data penyesuaian diri adalah 0,052 > 0,05, dan indeks prestasi kumulatif adalah 0,648 > 0,05, sehingga distribusi penyesuaian diri, dan IPK berdistribusi normal. Perhitungan

koefisien korelasi dalam penelitian dapat menggunakan Pearson product

moment karena data berdistribusi normal.

Hubungan Penyesuaian Diri (X) dengan IPK (Y) disajikan dalam tabel 3.

Pada tabel 3 koefisien korelasi antara penyesuaian diri dengan IPK (rx1y)= 0,228 dengan p = 0,001. Berpedoman pada taraf signifikansi 5 persen didapatkan p = 0,001 < 0,05, maka korelasi antara penyesuaian diri

Tabel 3 Hubungan Penyesuaian Diri dengan Indeks Prestasi Kumulatif Correlations

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Kategori Skor f Presentase

(%)

Tabel 2 Deskripsi Kategori Penyesuaian Diri mahasiswa

Sumber: Data Primer diolah, 2009

(10)

mahasiswa dengan IPK mahasiswa dinyatakan signifikan. Artinya jika skor penyesuaian diri mahasiswa meningkat, maka skor IPK mahasiswa naik dan jika skor penyesuaian diri mahasiswa menurun maka skor IPK mahasiswa juga turun karena arah hubungannya positif.

Pembahasan Hasil Penelitian

Temuan penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon, berarti semakin tinggi skor penyesuaian diri mahasiswa, pencapaian IPK mahasiswa juga semakin meningkat.

Persamaan dan perbedaan temuan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh sensitifitas instrumen. Wimmer (2007) dalam diskusi tentang hasil penelitiannya mengakui bahwa sensitifitas instrumen yang digunakan dalam penelitian dapat dipertimbangkan, jika temuan penelitian yang dilakukan menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan temuan penelitian sebelumnya. Bahkan, jika instrumen yang sama digunakan dalam penelitian yang berbeda, hasilnya bisa sama, tetapi juga bisa berbeda. Oleh karena itu Wimmer (2007), mengusulkan agar peneliti mampu mengembangkan instrumen penelitian yang spesifik dan sesuai dengan populasi penelitian. Sedangkan Bodenhorn, Miyazaki, Mun Ng & Zalaquet (2007), mengemukakan spesifikasi sub konsep, analisis faktor serta item-item yang digunakan dalam penelitian juga dapat menentukan arah dari hasil penelitian. Penentuan item dalam sebuah instrumen harus meliputi berbagai aspek yang menjadi permasalahan penelitian. Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Omoteso (2006) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK.

Instrumen yang digunakan oleh penulis dalam penelitian kepada

mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon adalah Academic Adjustment

Inventory (AAI) milik Bakare tahun 1977, yang lebih menekankan pada penyesuaian diri dalam lingkungan akademik di perguruan tinggi. Indikator empirik dalam instrumen penelitian ini adalah kemampuan mahasiswa dalam membangun kepercayaan diri dan mengelola kemampuan diri dalam menghadapi tantangan studi, menyesuaikan diri dengan situasi kelas, membangun komunikasi yang baik dengan para dosen maupun sesama mahasiswa, serta kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan sistem perkuliahan.

Penelitian ini menemukan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dan IPK mahasiswa, dikarenakan instrumen yang dipakai lebih mengarah pada pengukuran kemampuan penyesuaian diri mahasiswa

(11)

pada lingkungan akademik. Penentuan item dalam instrumen dapat mengakomodir aspek-aspek penyesuaian diri pada lingkungan akademik di perguruan tinggi, sehingga hasilnya menjadi signifikan. Berdasarkan indikator empirik yang digunakan, mahasiswa yang mampu membangun kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan, mampu menyesuaikan diri dengan situasi kelas, mampu membangun komunikasi yang baik di kampus, mampu beradaptasi dengan sistem perkuliahan, akan memperoleh IPK yang tinggi.

Temuan penelitian ini mempertegas pendapat Bakare (dalam Omoteso, 2006), yang mengemukakan bahwa kemampuan penyesuaian diri yang tinggi pada lingkungan akademik akan mempengaruhi peningkatan prestasi akademik mahasiswa secara optimal. Penelitian Ross & Hammer (2002) juga menemukan bahwa, jika mahasiswa tidak mampu menyesuaikan diri dengan kegiatan akademik di perguruan tinggi, maka kemungkinan mahasiswa akan keluar dari perguruan tinggi.

Bakare (dalam Adebayo & Ogunleye, 2008) mengemukakan bahwa ciri-ciri orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, antara lain mampu bersahabat, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis, memiliki keinginan untuk berhasil dan mencapai prestasi yang baik, memiliki kemampuan untuk mengejar tujuan yang diinginkan dalam kelompok/ komunitasnya, memiliki keterampilan untuk berhubungan baik dengan orang lain, emosi yang seimbang dan terkontrol. Penyesuaian diri pada lingkungan akademik memiliki keterkaitan dengan pencapaian indeks prestasi kumulatif mahasiswa, karena penyesuaian diri mahasiswa memungkinkan mahasiswa untuk menemukan pola-pola studi baru yang sesuai dengan suasana akademik di perguruan tinggi, membangun kepercayaan diri serta mampu menjalin relasi yang baik di kampus.

Temuan penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Yazedjian & Toews (2004) kepada 190 orang mahasiswa keturunan Amerika Latin di beberapa universitas Amerika Serikat. Yazedjian & Toews (2004) menekankan responden penelitian pada mahasiswa tahun pertama. Faktor analisis dalam penelitian Yasedjian & Toews (2004) meliputi faktor pribadi (personal) dan faktor antar pribadi (interpersonal). Instrumen yang digunakan merupakan perpaduan

beberapa instrumen yaitu: Short Acculturation Scale for Hispanics

(SACH) milik Marín, & Otero-Sabogal tahun 1987 untuk mengukur akulturasi; Ethnic Identity Scale (EIS) dari Umaña-Taylor, Yazedjian, &

Bámaca-Gómez's tahun 2004, untuk mengukur eksplorasi (exploration),

(12)

digunakan untuk mengukur akademik, sosial, pribadi/emosional, dan penyesuaian kelembagaan. Mengacu pada Wimmer (2007), sensitifitas instrumen dapat menjadi perbedaan antara temuan penelitian penulis dan penelitian Yazedjian & Toews (2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

Ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon.

Saran

Saran Teoritik

Penelitian sebelumnya oleh Omoteso (2006) menemukan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan prestasi akademik mahasiswa, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yasedjian & Toews (2004) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa. Hasil analisis kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan IPK mahasiswa, berarti temuan ini sejalan dengan temuan penelitian Omoteso (2006). Temuan penelitian ini juga mempertegas konsep penyesuaian diri Bakare yang mengacu pada teori Psikososial Erikson (1989), yaitu semakin tinggi kemampuan penyesuaian diri pada lingkungan akademik akan mempengaruhi peningkatan prestasi akademik mahasiswa.

Saran Terapan

Ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan IPK mahasiswa memberikan implikasi bagi mahasiswa agar dapat meningkatkan IPK, dengan cara meningkatkan kemampuan penyesuaian diri pada lingkungan akademik.

Untuk mengurangi banyaknya mahasiswa drop out pada Fakultas

(13)

akademik yang berlaku serta pola-pola studi yang tepat bagi mahasiswa dan sesuai dengan gaya belajar di perguruan tinggi, sehingga mahasiswa mampu mencapai prestasi yang optimal di perguruan tinggi.

Saran Penelitian Lanjutan

IPK dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penyesuaian diri mahasiswa berhubungan secara signifikan dengan IPK. Sub-konsep penyesuaian diri mana yang memberi sumbangan besar terjadinya korelasi dengan IPK dapat diteliti lebih lanjut dari hasil penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adebayo, S.O. & Ogunleye, A.J. 2008. The Psychology of Participatory De-mocracy and the Personality Profile of the Nigerian Politicians. Bangladesh e-Journal of Sociology 5 (1) January 2008. (http://www. bangladeshsociology.org).

Ali, Mohamad. 1987. Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.

Ames, C., & Archer, J. 1988. Achievement goals in the classroom: Student's learning strategies and motivational processes. Journal of Educational Psychology 80: 260-267.

Bakare, C.G.M. 2008. The Psychology of Adolescence and its Implication for Guidance and Counselling in Nigerian Schools.(http://www.hadizaoyas.com/ tips17.html).

Bodenhorn, Nancy., Miyazaki, Yasuo., Mun Ng, Kok. & Zalaquet Carlos. 2007. Analysis of the Inventory of College Students' Recent Life Experiences. Multicultural Learning and Teaching 2 (2): 65-77. (http://mltonline.org).

Calhoun, James F. & Acocella, Joan Ross. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian

dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Terjemahan Satmoko.

Semarang: IKIP Semarang Press.

Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai I. Terjemahan Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia.

George, Darren and Mallery, Paul. 1995. SPSS/PC : Step By Step. A simple quide and reference. Belmont: Wadsworth publishing co.

Good, C.V.Editor. 2000. Dictionary of Education. New York: McGraw-Hill Book Co.

(14)

Omoteso, Bonke Adepeju. 2006. Influence of Selected Socio-demographic Vari-ables on Academic Adjustment of University Students in Southwestern Nigeria. (http://www.krepublishers.com).

Ross, Justin and Hammer, Nicole. 2002. College Freshmen: Adjustment and Achievement in Relation to Parenting and Identity Style. (http:// murphylibrary.uwlax.edu/digital/jur/ 2002/ross-hammer.pdf).

Runyon, Ricahrd P. and Haber, Audrey. 1984. Psychologhy of Adjustment. Illionis: The Dorsey Press.

Sukmadinata, S. 2003. Landasan Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 1999. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Suwarjono. 2004. Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi. (http://suwardjono.com/ upload/ perilaku-belajar-di-perguruan-tinggi).

Tilaar, H.A.R. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

Wimmer, Christian L. 2007. Assessing Item and Scale Sensitivity to Therapeutic Change on The College Adjustment Scales: Working Toward a Counsel-ing Center Specific Outcome Questionaire. Disertation. Brigham Young University. (http://content-dm.lib.byu.edu).

Winkel, W.S. 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

Yazedjian, Ani and Toews, Michelle L. 2004. Predictors of College Adjustment Among Hispanic Students. Journal of the First-Year Experience & Stu-dents in Transition 18 (2): 9-29. (http://www.sc.edu/ fye/journal/ Journal18201.pdf).

Zhang, Christabel Ming. 2002. The Academic Adjustment Experiences of Under-graduate Chinese International Business Students at Victoria University. Thesis. (http://wallaby.vu.edu.au).

______, 2008. Peraturan Akademik Universitas Kristen Indonesia Maluku: Jenjang Strata Satu. Ambon: Universitas Kristen Indonesia Maluku. ______, 1999. Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 Tentang

Pendidikan Tinggi. (http://www.isi-dps.ac.id).

(15)

______, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. (http://www.dikti.org/UUno20th2003-Sisdiknas.html).

(16)
(17)

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN MUTU

PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mawardi

Program Studi S1 PGSD FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana Arief Sadjiarto

Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRACT

The purpose of this article is to explain the quality of education profile, the national standard of education, the implementation of national stan-dard of education, the problem-mapping of the education and some think-ing on how to cope the problems of education in Indonesia. The classic problem in Indonesia is the low quality of education in every stage and unit of education, especially primary and secondary education. Some policies have been made by the government in order to improve the qual-ity of education. Those policies are related with the curriculum, students, teachers, infrastructures, financing, education management, the verifi-cation of the standard of national eduverifi-cation, etc. The policies about the standard of national education are declared by the government as the minimum criteria of the educational system thoughout Indonesia. The functions are as the base of instructional planning, executing, and moni-toring in order to create the qualified national education and also as the quality insurance instrument of the national education. Based on some findings (by BPK and Litbang Diknas), it is indicated that the standard of national education has not been well implemented. Moreover, the fac-tors which are influential towards the implementation of the standard of national education are effectiveness, efficiency, and the double-face of the standard of education.

Keywords : standard of national education, quality of education

PENDAHULUAN

Permasalahan klasik pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan jenis satuan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah sebagai bekal awal melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi atau melakukan pekerjaan

tertentu. Harian Kompas, 03 Maret 2011 melansir berita Education For

All (EFA) Global Monitoring Report 2011; yang dikeluarkan Organisasi

(18)

Bangsa-Bangsa (UNESCO) di New York, Amerika Serikat, menyatakan bahwa

indeks pembangunan pendidikan (Education Development Index/EDI)

adalah 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Padahal tahun 2010 yang lalu berada pada peringkat ke-65. Indonesia masih tertinggal dari Brunei yang berada di peringkat ke-34 dan Malaysia peringkat ke-65. Sedangkan harian Suara Merdeka, 27 Oktober 2011 memuat pernyataan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, bahwa masih ada sekitar 8 juta penduduk Indonesia yang buta huruf.

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut berkaitan dengan kurikulum, kesiswaan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pembiayaan, manajemen pendidikan, penentuan standar nasional pendidikan dan lain-lain. Diantaranya: a) pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi, b) pemberian bantuan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM), Bantuan Khusus Murid (BKM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Dana Bantuan Langsung (DBL), c) bantuan jaringan internet dan sarana IT melalui program Jardiknas, d) sertifikasi guru, e) program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), f) pro-gram Manajemen Mutu Terpadu (MMT), g) pembentukan lembaga independen Badan Standar Nasional Pendidikan, dan h) penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Berbagai stimulan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di atas nampaknya belum mampu meningkatkan mutu pendidikan. Temuan berbagai penelitian menunjukkan belum adanya peningkatan mutu pendidikan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan (Nurkolis,2003). Temuan berbagai penelitian ini sangat bermanfaat dalam rangka pemetaan komponen-komponen pendidikan yang perlu perbaiki, mengarah kepada standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah.

MUTU PEDIDIKAN

Mengingat betapa luasnya cakupan komponen pendidikan, tidaklah mudah menyusun definisi yang memadai tentang apa itu mutu pendidikan. Ehlers (2004) menyatakan bahwa mutu atau kualitas pendidikan merupakan konsep yang multidimensi. Oleh karena itu, perbedaan cara pandang seseorang dalam mendifinisikan mutu pendidikan akan menghasilkan rumusan yang berbeda pula.

(19)

melindungi hak-hak anak, menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah keadaan dimana: a) Learners who are healthy and ready to participate and learn, and supported in learning by their families and communities; b)

Environments that are healthy, safe, protective and gender-sensitive, and provide adequate resources and facilities; c) Content that is reflected in relevant curricula and materials for the acquisition of basic skills, espe-cially in the areas of literacy, numeracy and skills for life; d) Processes through which trained teachers use child-centred teaching approaches in well-managed classrooms and assessment to facilitate learning and reduce disparities; e) Outcomes that encompass knowledge, skills and attitudes, and are linked to national goals for education and positive participation in society"(Adam.2000).

Tim Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan (2007) menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci pengertian mutu pendidikan, yaitu: sesuai standar (fitness to standard), sesuai penggunaan pasar/ pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to la-tent requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global envi-ronmental requirements).

Wicaksana, I Wayan Simri (2008) mendefinisikan mutu pendidikan sebagai pencapaian tujuan dan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh instansi pendidikan di dalam rencana strategisnya, atau kesesuaian dengan standard yang telah ditentukan. Secara luas pengertian mutu mencakup aspek sarana/prasarana, organisasi, manajemen, masukan, proses, keluaran yang dapat memuaskan pelanggan internal (pengajar, staf administrasi, pengelola lembaga pendidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat pengguna serta masyarakat yang lebih luas).

Menurut Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Sedangkan Harvey (2004), menyatakan kualitas pendidikan digambarkan sebagai efektivitas pengalaman belajar yang disediakan oleh lembaga pendidikan untuk siswa mereka, yaitu kesesuaian dan efektivitas penilaian belajar, mengajar dan dukungan yang diberikan kesempatan untuk membantu siswa mencapai tujuan belajar mereka.

(20)

berjudul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah karakteristik menyeluruh dari setiap komponen pendidikan yang menunjukkan kemampuannya memuaskan kebutuhan

pelanggan. Komponen tersebut mencakup input, proses, dan output

pendidikan. Input pendidikaan meliputi bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah,

dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau

mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang

mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks output mengacu

pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (misalnya ulangan umum,UN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik dan jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang intangible seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya.

(21)

hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Lalu bagaimana mutu pendidikan di Indonesia?

Sistem persekolahan di Indonesia sangat luas dan bervariasi. Dengan lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah, sistem ini merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia (setelah China, In-dia dan Amerika Serikat). Kondisi ini tentu saja meninbulkan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Seperti telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indone-sia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun. Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang.

Berbagai laporan global tiga tahun terakhir tentang mutu pendidikan

di Indonesia seperti: Education Development Index/EDI(2011), Human

Develelopment Indeks/HDI, survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC.2007), Laporan United Nations Development Program (UNDP.2008), menempatkan posisi mutu pendidikan di Indonesia pada urutan bawah. Satu-satunya laporan global yang menggembirakan adalah laporan World Bank (2008) tentang angka partisipasi sekolah dasar mencapai 93 persen; tidak ketinggalan dengan negara tetangga.

(22)

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia

Menurut Umaedi (2003) ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak

berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih

bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada

asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti

penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan

output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education produc-tion funcproduc-tion tidak berfungsi sepenuhnya. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Diskusi tersebut 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22-36,65 persen dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007).

(23)

memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga

harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan

merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Di samping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu

pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau

dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut

School Based Quality Improvement. Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan

(24)

pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.

Siagian (2006) mengindikasikan tiga faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, yaitu efektivitas pendidikan yang masih rendah, pengelolaan pendidikan yang kurang efisien, dan standarisasi pendidikan yang belum konsisten. Pendidikan yang efektif memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat mencapai tujuan.

Permasalahan efisiensi pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, pemborosan waktu kompetensi pengajar yang belum memadai. Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya biaya pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, namun belum sebanding antara kontribusi yang diberikan dengan layanan yang diperoleh. Selain masalah mahalnya biaya pendidikan, masalah lainnya adalah masalah

wasting time. Survei lapangan, terhadap beban belajar siswa di sekolah menengah mencapai 41 jam perminggu.

Persoalan standarisasi pendidikan, sebenarnya sudah ada badan independen yang menetapkan standar nasional pendidikan di Indonesia, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP telah merumuskan standar nasional pendidikan, (yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang SNP). Permasalahannya adalah bahwa semua komponen SDM pendidikan di sekolah diarahkan untuk memenuhi standar nasional tersebut, terutama bukti fisik dan teknis administratif. Dengan demikian pendidikan akan kehilangan esensinya. Proses pendidikan pada akhirnya direduksi sedemikian rupa, yang penting SNP secara legal formal terpenuhi. Persoalan ini semakin rumit ketika terjadi dualisme standar pendidikan. Dualisme standar pendidikan ini, di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional, di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri. Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivati bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi, dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Permasalahan mengenai UN juga dirasa kontaproduktif dengan kebijakan pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi.

(25)

pendidikan yaitu: permasalahan sarana fisik yang belum memadai, profesionalime guru yang belum memadai, rendahnya prestasi riil siswa, pemerataan pendidikan, dan relevansi pendidikan di Indonesia.

Menyikapi berbagai permasalahan pendidikan seperti telah dipaparkan di atas, pemerintah terus-menerus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. "Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007). Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:

a) Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indo-nesia. Tolok ukurnya dari angka partisipasi.

b) Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender. c) Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan

kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.

d) Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.

e) Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infra-struktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.

f) Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. g) Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi

pendidikan.

h) Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.

Standar Nasional Pendidikan

(26)

kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Ketentuan yuridis formal yang mengatur tentang standar nasional pendidikan adalah Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tersebut menetapkan 8 (delapan) standar pendidikan, yaitu: a). standar isi; b). standar proses; c). standar kompetensi lulusan; d). standar pendidik dan tenaga kependidikan; e). standar sarana dan prasarana; f). standar pengelolaan; g). standar pembiayaan; dan h). standar penilaian pendidikan.

Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Di samping itu Standar isi juga memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/ akademik. Kerangka dasar kurikulum meliputi: a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b) kewarganegaraan dan kepribadian; c) ilmu pengetahuan dan teknologi; d) estetika; dan e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut yang mengatur standar isi adalah:

NO Nomor Permen Tentang

1 Nomor 22 tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan

Menengah

2 Nomor 24 tahun 2006 Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah

3 Nomor 14 Tahun 2007 Standar Isi Program Paket A, Program Paket B,

dan Program Paket C

(27)

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen berikut.

NO Nomor Permen Tentang

1 Nomor 41 Tahun 2007 Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar

dan Menengah

2 Nomor 1 Tahun 2008 Standar Proses Pendidikan Khusus

3 Nomor 3 Tahun 2008 Standar Proses Pendidikan Kesetaraan

Program Paket A, Paket B, dan Paket C

Standar Kompetensi Lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Ketentuan lebih lanjut tentang standar kompetensi lulusan diatur dalam Permen berikut.

Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a) Kompetensi pedagogik; b) Kompetensi kepribadian; c) Kompetensi profesional; dan d) Kompetensi sosial. Pendidik pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)

NO Nomor Permen Tentang

1 Nomor 23 Tahun 2006 Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

(28)

yang akan menjadi guru kelas atau guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. Jenis guru mata pelajaran sekurang-kurangnya mencakup guru kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta guru kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen berikut.

NO Nomor Permen Tentang

1 Nomor 12 Tahun 2007 Standar pengawas Sekolah/Madrasah 2 Nomor 13 tahun 2007 Standar Kepala Sekolah/Madrasah

3 Nomor 16 Tahun 2007 Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru

4 Nomor 24 Tahun 2008 Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah 5 Nomor 25 Tahun 2008 Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah 6 Nomor 26 Tahun 2008 Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah 7 Nomor 27 Tahun 2008 Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi

Konselor

8 Nomor 40 Tahun 2009 Standar Penguji Pada Kursus dan Pelatihan 9 Nomor 41 Tahun 2009 Standar Pembimbing Pada Kursus & Pelatihan 10 Nomor 43 Tahun 2009 Standar Tenaga Administrasi Program paket A ,

Paket B, dan Paket C 11 Nomor 42 Tahun 2009 Standar Pengelola Kursus

12 Nomor 44 Tahun 2009 Standar Pengelola Pendidikan pada Program Paket A, Paket B dan Paket C

13 Nomor 45 Tahun 2009 standar Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan

Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, tempat bermain/ berolahraga. Termasuk juga penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: a) ruang kelas, b) ruang perpustakaan, c) laboratorium IPA, d) ruang pimpinan, e) ruang guru, f) tempat beribadah, g) ruang UKS, h) jamban, i) gudang, j) ruang sirkulasi. Ketentuan lebih lanjut tentang standar sarana dan prasarana pendidikan diatur di dalam ketentuan berikut,

NO Nomor Permen Tentang

1 Nomor 24 Tahun 2007 Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs,

dan SMA/MA

2 Nomor 33 Tahun 2008 Standar Sarana dan Prasarana untuk SDLB, SMPLB,

dan SMALB

(29)

Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Biaya-biaya tersebut meliputi:

a. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.

b. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. c. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

Biaya operasi satuan pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)

Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:

a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;

b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.

(30)

bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian ini digunakan untuk: menilai pencapaian kompetensi peserta didik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan memperbaiki proses pembelajaran.

Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Dalam rangka mengimplementasikan SNP ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM pendidikan adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar bidang pendidikan yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Acuan utama SPM adalah SNP, artinya bahwa setiap daerah dapat menyusun SPM sesuai dengan karakteristik dan kapasistas daerah masing-masing dan berusaha meningkatkannya sesuai dengan SNP.

Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan pendidikan di sekolah. Sedangkan pengertian pelayanan dasar adalah pelayanan pendidikan bagi siswa yang mutlak untuk dipenuhi.

(31)

pencapaian. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Kemudian mengkomparasikan capaian tersebut (umumnya dalam persentase) dengan SNP yang berlaku secara nasional. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh: a). Pemerintah untuk pemerintahan daerah Provinsi; dan b). Gubernur sebagai representasi pemerintah di daerah untuk Kabupaten/Kota. Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas pemerintahan daerah yang belum mampu mencapai SPM. Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten/ Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Dukungan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dapat berupa fasilitas, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya. Berdasar hasil monev, pemerintah wajib memberikan penghargaan bagi pemerintahan daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan, dan memberikan sanksi kepada pemerintahan daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik.

Berdasarkan mekanisme pemenuhan SPM pendidikan seperti tersebut di atas, pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota menyusun SPM pendidikan sesuai dengan kapasitas daerahnya masing-masing. Acuan utama yang digunakan untuk menyusun SPM pendidikan adalah

(32)

memprihatinkan. Dengan demikian wajar adanya jika berbagai penelitian mutu pendidikan berskala lokal, nasional maupun internasional menem-patkan Indonesia pada posisi juru kunci.

Rendahnya mutu pendidikan kita, memiliki akar masalah yang kompleks ibarat benang kusut yang sulit terurai. Dari sekian masalah tersebut, dapat kita identifikasi beberapa hal yang cukup signifikan.

Pertama, masalah macro-oriented dalam pengelolaan. Selama ini, kebijakan, peraturan dan sarana diatur secara sentralistik oleh birokrasi di pusat. Implikasinya, banyak variabel yang diproyeksikan secara makro (di tingkat pusat) tidak bisa terealisasikan secara baik di tingkat mikro (sekolah atau kampus). Lebih-lebih adanya dualisme standar pendidikan. Di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional (SNP), di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri (SPM). Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivasi bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi dan mendorong perkembangan

pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Kedua,

masyarakat sebagai stakeholder pendidikan kurang terlibat dalam

pembuatan kebijakan mikro. Ini menyebabkan sikap skeptis dan acuh tak acuhnya masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Asumsi yang kuat di masyarakat selama ini, pendidikan merupakan urusan pemerintah. Ketiga, pendidikan Indonesia lebih bersifat content based

(berdasar isi) dibanding competence based. Keempat, kita tidak punya standarisasi pengawasan mutu pengajar. Berdasarkan informasi dari Litbang Diknas 33,81 persen guru kurang kompeten. Masalah mutu ini juga berkait erat dengan nasib pendidik dan tenaga kependidikan yang berkutat dengan kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan. Di satu sisi mereka dituntut untuk memaksimalkan peran dalam meningkatkan mutu pendidikan, di sisi lain insentif yang menjadi haknya sangat minim.

PENUTUP

(33)

badan independen BSNP dan pemberlakuan SNP.

Terkait dengan SNP, Standar Nasional Pendidikan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi standar nasional pendidikan adalah: a) sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, b) sebagai alat penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Pada tataran implementasi SNP, ternyata belum berjalan dengan baik. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (2008) yang melakukan pemeriksaan kinerja atas Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan mengambil sampel sekolah-sekolah di 14 Kabupaten/Kota di Indonesia menghasilkan temuan: a) rata-rata pencapaian SPM pendidikan dengan standar 90 persen dari standar nasional pendidikan baru mencapai angka 85,23 persen, b) jumlah guru yang memiliki kualifikasi sesuai kompetensi baru mencapai 40,26 pesen, dan c) Sarana dan prasarana pendidikan baru mencapai 34,25 persen.

Sinyalemen penyebab kurang berhasilnya implementasi SNP adalah persoalan efektivitas, efisiensi dan dualisme standar pendidikan. Khusus dualisme standar pendidikan ini, di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional, di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri. Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivasi bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, J. 2000. Defining Quality in Education: A paper presented by UNICEF at the meeting of The International Working Group on Education. Florence-Italy: Programme Division Education -UNICEF.

Depdiknas, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS ). Depdiknas. Jakarta.

Ehlers, U.-D. 2007. Quality Literacy - Competencies for Quality Development in Education and e-Learning. Essen, Germany: University of Duisburg. Harvey, L., 2004. Analytic Quality Glossary, Quality Research International, http:/

/www.qualityresearchinternational.com/glossary/

(34)

Grasindo SEAMEO-UNESCO. 2004. Adapting to Changing. SEAMEO-UNESCO. Thailand.

Schubert,J.G. & Prouty,D. 2005. Accelerating Paths to Quality: A Multi-Faceted Reality. Pittsburgh: American Institut for Educational Research in Collabo-ration with The University of Pittsburgh.

Siagian, Harbangan. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah. Salatiga: Widya Sari Press Sallis, Edward.1993. Total Quality Management in Education. London:Kogan Page

Limited.

Slameto, Suroso & Mawardi.2009. Manajemen Berbasis Sekolah: Suplemen Bahan Ajar Cetak. Jakarta.Dirjen Dikti-Departemen Pendidikan Nasional. Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tim Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan.2007. Kajian Kompetensi Guru

dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Umaedi.2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Wicaksana, I Wayan Simri. 2008. Model Open Source dan Open Content untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Gunadarma Press.

……….2008. Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia: Laporan Bank Dunia. Jakarta: World Bank

……….2011. Harian Kompas, 3 Maret 2011

……….2011. Harian Suara Merdeka, 27 Oktober 2011

(35)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK

Slameto

Program Studi S1 Bimbingan Konseling FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini menggunakan penelitian dan pengembangan (research and devel-opment = R & D). Tujuannya adalah untuk menghasilkan model pembelajaran konstruktivisme yang cocok dengan kondisi mahasiswa PGSD dalam Mata Kuliah Statistik untuk Pokok Bahasan Populasi dan Sampel.

Pengembangan model pembelajaran semula dirancang berdasarkan hasil kajian teori dtelaah oleh pakar teknologi pendidikan; kemudian direvisi untuk validasi lapang pada kelas mata kuliah Statistik Pendidikan. Hasil validasi yang berupa penilaian mahasiswa kemudian dianalisis faktor penentu efektivitas model.

Penelitian pengembangan ini berhasil mendeskripsikan best/good practices perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa. Telah dihasilkan 5 faktor penentu Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktif. Model Pembelajaran Konstruktif dipandang relevan dengan hakikat pendidikan ke-SD-an dke-SD-an telah terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas proses dke-SD-an hasil pembelajaran Pokok Bahasan Populasi dan Sampel pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan. Oleh karena itu layak untuk dilaksanakan dalam perkuliahan PGSD.

Kata Kunci: Model Pembelajaran, Pembelajaran konstruktive

LATAR BELAKANG

(36)

pendidikan khususnya.

Sekolah adalah tempat mengajarkan anak bahwa berpikir adalah merupakan segala aktivitas mental dalam usaha memecahkan masalah, membuat keputusan, memaknai sesuatu, pencarian jawaban dalam mendapatkan suatu makna. Sekolah adalah juga tempat seseorang untuk belajar menggunakan pikiran dengan baik, tempat pemikiran-pemikiran penting bersumber dan tempat pembiasan belajar. Pola pikiran tinggi dibentuk berdasarkan cara berpikir kritis dan kreatif. Sebagian dari orang tua dan pendidik sepakat bahwa dalam masyarakat sekarang anak-anak sangat memerlukan keahlian pola berpikir tinggi. Berpikir kreatif adalah keharusan, dalam usaha pemecahan masalah, pembuatan keputusan, sebagai pendekatan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan-penemuan keilmuan.

Berpikir adalah suatu aktivitas yang bertujuan tertentu serta proses pengorganisasian yang digunakan untuk menguasai dunia. Berpikir kritis diartikan sebagai proses pencarian secara sistematikal terhadap pikiran itu sendiri. Tidak hanya sekedar merefleksi tujuan tapi lebih dari satu ujian bagaimana kita dan yang lain menemukan suatu bukti dan logis. Berpikir kritis dan kreatif diterapkan siswa untuk belajar memecahkan masalah secara sistematis dalam menghadapi tantangan, memecahkan masalah secara inovatif dan mendisain solusi yang mendasar.

Anita Woolfolk (2005:323) mengemukakan definisi pendekatan konstruktivistik sebagai "... pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang dialami." Definisi lain tentang pendekatan konstruktivistik "... pendekatan konstruktivistik merujuk kepada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya dengan cara melibatkan diri baik dalam kegiatan secara personal maupun sosial dalam membangun ilmu pengetahuan"

Asal kata konstruktivisme yaitu "to construct" berarti "membentuk". Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar.

(37)

membangun atas bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar.

Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah membangun atau mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara melakukan penafsiran atau interprestasi baru terhadap lingkungan sosial, budaya, fisik dan intelektual tempat mereka hidup.

Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau dosen adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan sebagai "scenario of problems", yang mencerminkan adanya pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang sesungguhnya.

Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap isi atau materi pelajaran. Konstruktivisme memiliki keterkaitan yang erat dengan metode pembelajaran penemuan (discovery learning) dan konsep belajar bermakna (meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada dalam konteks teori belajar kognitif.

Bagi para ahli konstruktivistik, belajar merupakan pemaknaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang dialami oleh individu. Pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses rekonstruksi pengalaman yang berlangsung secara kontinyu. Siswa membangun pengetahuan baru melalui peristiwa yang dialami setiap saat. Pemberian makna terhadap pengetahuan diperoleh melalui akumulasi makna terhadap peristiwa yang dialami.

Duffy dan Cunningham dalam Jonassen (2001) mengemukakan dua hal yang menjadi esensi dari pandangan konstruktivistik dalam aktivitas pembelajaran.

(1) Belajar lebih diartikan sebagai proses aktif membangun daripada sekedar proses memperoleh pengetahuan.

(2) Pembelajaran merupakan proses yang mendukung proses pembangunan pengetahuan daripada hanya sekedar mengkomunikasikan pengetahuan.

(38)

yang dapat digunakan untuk membangun makna terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari.

Gagnon dan Collay dalam Cruickshank dkk. (2006) berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu:

(1) Merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (2) Menjelaskan fenomena yang dilihat,

(3) Berpikir kritis terhadap tentang isu-isu yang bersifat kompleks, dan (4) Mengatasi masalah yang sedang dihadapi

Pembelajaran konstruktif telah menjadi gerakan di lingkungan pendidikan terutama di sekolah dasar melalui program MBS. Oleh karena itu Progdi S1 PGSD sebagai penghasil guru SD juga harus mempersiapkan guru yang mampu mengelola pembelajaran konstruktif. Hasil evaluasi diri Program Studi S1 PGSD menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung selama ini belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan khusus mahasiswa, oleh karena jumlah mahasiswa yang besar dan bervariasi memang memerlukan model-model pembelajaran yang lebih mampu mengakomodasi belajar mereka. Di samping itu perkembangan pesat di bidang teknologi pembelajaran, termasuk berkembangnya berbagai model pembelajaran yang kokoh bangunan teorinya, telah teruji melalui berbagai penelitian dan telah memiliki panduan pelaksanaan yang baku, belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para dosen Program Studi S1 PGSD. Pengembangan model pembelajaran konstruktif ini diharapkan akan berdampak bagi peningkatan kemampuan dosen Progdi S1 PGSD baik dalam mengelola perkuliahan, merancang dan mengujicobakan model-model pembelajaran inovatif lainya maupun dalam melakukan perbaikan perkuliahan pada umumnya.

Tujuan Pengembangan

Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini adalah untuk mendeskripsikan best/good practices Perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Dengan demikian tujuan dari ujicoba Model Pembelajaran Konstruktif pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan ini adalah:

(39)

pendidikan ke-SD-an.

2. Menghasilkan Model Perkuliahan Berbasis Konstruktif yang terbukti

efektif untuk meningkatkan hasil pembelajaran Mata Kuliah Statistik Pendidikan di program studi PGSD.

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran dosen ke pikiran mahasiswa. Artinya, bahwa mahasiswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, mahasiswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak dosen.

Tasker (Hamzah: 2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori

belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama, adalah peran aktif

mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua,

adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga, adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (Hamzah: 2008) mendukung pendapat tersebut dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif mahasiswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua, pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (Hamzah: 2008) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Gambar

Tabel 2  Deskripsi Kategori Penyesuaian Diri mahasiswa
Gambar 1. Grafik angka partisipasi Sekolah
Tabel 1. Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme
Tabel 2. Aktivitas Pembelajaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

terhadap indeks prestasi kumulatif mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP. UMS angkatan

Pengaruh Motivasi Belajar, Gaya Belajar dan Berpikir Kritis terhadap Indeks Prestasi Kumulatif (Studi Empiris Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas

Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut: Angket Gaya Belajar Mahasiswa Atlet dan data hasil prestasi akademik berupa data Indeks Prestasi Kumulatif

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara jam belajar mahasiswa dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Mahasiswa

Terdapat perbedaan yang signifikan antara indeks prestasi kumulatif mahasiswa yang berasal dari jalur ujian tulis dan indeks prestasi kumulatif mahasiswa yang berasal dari

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Hubungan Motivasi Belajar dengan Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi

Sedangkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang digunakan sebagai alat ukur prestasi akademik pada penelitian ini adalah indeks prestasi yang dihitung

PENGARUH KOMPETENSI DOSEN, MOTIVASI BELAJAR DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF TERHADAP KETERAMPILAN PEMASANGAN ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM OLEH MAHASISWA PRODI D3KEBIDANAN UNISSULA