• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor SARA

Dalam dokumen Kerusuhan Di Kota Medan Pada Mei 1998 (Halaman 67-74)

DI KOTA MEDAN

4.2. Faktor SARA

Isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) telah lama berkembang menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan di tanah air. Salah satu isu yang sudah menjadi dilema dalam masyarakat Indonesia adalah mengenai masalah rasialitas. Masalah perbedaan ras atau pun etnis, masalah pribumi dan non pribumi dalam suatu wilayah selalu menjadi alasan ‘pemicu’ keributan bahkan berakibat kerusuhan dan pada akhirnya menjadi semacam ‘kambing hitam’. Etnis Tionghoa adalah salah satunya yang merupakan etnis minoritas di negeri ini.

Etnis Cina atau Tionghoa telah lama menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sejarah mencatat bahwa pada awalnya hubungan Indonesia dengan Negeri Cina terjalin melalui perdagangan bahkan sejak jaman purba. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan orang Tionghoa ke berbagai kerajaan di Nusantara untuk menjalin hubungan perdagangan. Adapun kerajaan-kerajaan di Nusantara yang pernah menjalin hubungan perdagangan dengan orang Tionghoa adalah Kerajaan Kaling (Holing), Sriwijaya,Majapahit, Singosari, dan kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya baik yang bercorak Hindu-Budha maupun Islam.

Laksamana muda Cheng-Ho, seorang bahariawan pada masa Dinasti Ming pernah diutus ke Nusantara oleh Kaisar Cheng-Zu untuk menjalin hubungan diplomatis dan

persaudaraan dengan Nusantara pada abad ke-15. Dia telah melakukan tujuh kali pelayaran ke Nusantara. Selama tujuh kali pelayaran ke Nusantara itu, armada Cheng-Ho selalu berkunjung ke

Nusantara, Cheng-Ho menemukan bahwa penduduk Tionghoa telah ada dan menetap di beberapa wilayah di Nusantara.

Proses penyebaran penduduk etnis Tionghoa ke Nusantara dilakukan secara

bergelombang. Awal kedatangan mereka ke Nusantara sebelum abad ke-19 dilatarbelakangi oleh situasi politik di dalam negeri Cina sendiri, yaitu penyerangan orang Manchuria terhadap dinasti Cina yang sedang berkuasa. Situasi itu telah menyebabkan penduduk Tionghoa bermigrasi ke wilayah Nusantara. Kebanyakan dari kaum imigran itu adalah para lelaki Tionghoa. Mereka tidak membawa istri ataupun keluarga mereka yang lain. Mereka kemudian menikah dengan wanita setempat. Para imigran ini kemudian bermukim sampai beberapa generasi dan tak pernah lagi kembali ke negeri asal. Generasi inilah yang kemudian disebut etnis Tionghoa peranakan. Mereka kebanyakan tidak bisa berbahasa Tionghoa serta menganggap Nusantara sebagai tanah airnya sendiri.

Gelombang selanjutnya terjadi pada abad ke-19 ketika kolonialisme bangsa Asing telah melanda bumi Nusantara. Para imigran Tionghoa ini datang ke nusantara dengan maksud untuk mencari peruntungan dengan bekerja sebagai tenaga buruh dan pedagang karena perekonomian wilayah Hindia-Belanda sedang berkembang dengan pesat. Mereka datang bersama keluarganya dan menetap dengan kelompok mereka sendiri. Bagi mereka Negeri Cina masih menjadi tanah air, sementara Nusantara hanya tempat persinggahan mereka saja. Kelompok imigran inilah yang kemudian disebut sebagai etnis Tionghoa Totok. Mereka tetap mempertahankan tradisi Cina mereka dan diteruskan dari generasi ke generasi.

Orang Tionghoa ini hanya bergaul dengan kelompok mereka sendiri saja dan jarang berbaur dengan orang Tionghoa Peranakan yang telah terlebih dahulu menetap di Nusantara.

Mereka selalu memandang rendah etnis Tionghoa Peranakan dan menganggap etnis Tionghoa peranakan tidak menghargai serta mempertahankan tradisi Kecinaan mereka. Dengan kata lain terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan. Tapi penduduk pribumi tetap memandang mereka sebagai ‘orang Cina’.

Kedatangan massal para imigran Tionghoa pada abad ke-19 untuk menjadi tenaga buruh ini, telah menyebabkan adanya kerusakan prses pertumbuhan organik struktur sosial etnis

Tionghoa Peranakan. Heterogenitas bahasa dan perbedaan klan antar-penduduk pendatang baru mendorong disintegrasi penyebaran geografis dan kepekaan etnis yang kemudian menyebabkan perpecahan sosial.56

Pada umumnya, para imigran Tionghoa baik yang datang sebelum abad ke-19 maupun setelah itu, terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari Propinsi Fukien dan Propinsi Kwangtung. Ada emapt suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Cina dengan empat bahasa yang memiliki dialek yang berbeda. Keempat suku bangsa itu adalah Hokkien, Teo-Chiu, Hakka (Khek), dan Kanton.57 Orang Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi secara keseluruhan paling banyak terdapt di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai Barat Sumatera. Mereka sebagaian besar adalah pedagang-pedagang Tionghoa yang paling berhasil karena keuletan mereka.58 Orang Teo-Chiu, Hakka (khek), dan Kanton kebanyakan merantau ke seberang lautan dengan bekerja sebagai kuli atau buruh. Mereka dipakai sebgai tenaga kuli di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Belitung.59

56

Dr.Yusiu Liu. Prasangka terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari,(Jakarta : Djambatan, 2001) hal.18.

57 Prof.Dr.Koentjaraningrat. Manusia Dan Kebudayaan Indonesia, (Jakarta : Djambatan,2003) hal.353.

Hadirnya imigran Tionghoa ke wilayah Sumatera Timur berkaiatan dengan hadirnya perkebunan tembakau sejak tahun 1865. Ketika itu, Nienhuys membutuhkan pekerja kebun untuk menunjang produktivitas perkebunan. Tenaga kuli yang berasal dari kaum pribumi, seperti orang Melayu, belum cukup untuk mengerjakan areal perkebunan tembakau. Oleh karena itu, didatangkanlah tenaga kuli yang terdiri dari orang-orang Tionghoa. Mereka didatangkan dari Penang yang dikenal dengan nama ‘Laukeh’.60

Selain dari Penang, para kuli Tionghoa itu juga didatangkan dari Singapura dan negeri Tiongkok. Kebanyakan kuli-kuli Tionghoa itu didatangkan dengan mememakai jasa perantara (makelar). Tak sedikit dari para kuli Tionghoa itu ditipu oleh makelar agar mereka mau diajak naik kapal menuju tanah Deli. Para makelar itu menyebar cerita yang bersifat merayu bahwa tanah di Deli itu merupakan tanah yang kaya dan orang-orang yang merantau ke sana cepat menjadi kaya. Para makelar itu membumbui cerita mereka dengan mengambil nama salah seorang Tionghoa yang bekerja di Deli. Mereka mengatakan bahwa orang Tionghoa itu yang dulunya adalah seorang yang miskin di Penang telah menjadi kaya di Deli dalam waktu 6-7 bulan.

61

Nienhuys juga memakai tenaga kuli dari suku bangsa Tamil (India) yang dipergunakan untuk bekerja sebagai tenaga angkut air, membetulkan parit dan jalan. Tetapi, pemakaian tenaga kuli dari India ini kemudian dibatasi oleh Pemerintah Inggris di India dengan alasan bahwa pemerintah Hindia-Belanda tidak menyetujui permintaan Pemerintah Inggris untuk membuka

Alhasil, rayuan tersebut ‘termakan’ oleh sejumlah calon kuli Tionghoa. Rayuan tersebut juga berlaku untuk semua calon kuli dari suku bangsa lainnya.

60 Mohammad Said. Op.Cit. hal.32 61 Ibid. hal.37

kantor perwakilan mereka di Kota Medan. Oleh karena itu, pihak pengusaha perkebunan kemudian mendatangkan tenaga kuli –kuli kontrak dari Jawa pada tahun 1880.62

Kuli

Dalam perkembangan selanjutnya, kuli-kuli kontrak yang bekerja di perkebunan tembakau Sumatera Timur terus bertambahnya. Dalam tahun 1874-1900, pertambahan jumlah kuli kontrak Sumatera Timur dapat dilihat dalam tabel 9 berikut ini.

Tabel 4.4 Perkembangan Jumlah Kuli Kontrak Sumatera Timur Dalam Tahun 1874-1900

1874 1890 1900

Cina(Tionghoa) 4.476 53.806 58.516 Tamil (India) 459 2.460 3.270

Jawa 316 14.847 25.224

(Sumber : Tengku Luckman Sinar,1991:58)

Kuli Tionghoa pada umumnya disukai oleh pihak pengusaha perkebunan karena mereka cenderung lebih rajin bekerja,lebih cekatan, dan terampil pula. Dalam setahun mereka bisa menanam hingga 16.000 per batang. Upah mereka pun terbilang lebih besar dari upah kuli-kuli dari suku bangsa lainnya. Upah tahunan mereka adalah 34 Dollar yang sudah dipotong dengan tiga Dollar untuk sepatu dan pakaian, lima Dollar untuk perkakas kerja, delapan Dollar untuk biaya pembantu, dan 60 Dollar untuk panjar. Belum lagi upah seorang Tandil

(Kepala/Koordinator) Tionghoa yang jumlahnya lebih besar dari Tandil suku lain. Dalam setahun mereka diberi upah sebesar 319 Dollar. Tandil Tionghoa ini juga diberi kesempatan

untuk membuka warung di sekitar areal perkebunan. Warung ini menjual barang kebutuhan sehari-hari dan ditujukan para kuli Tionghoa dapat berhutang di warung tersebut.

Selain perbedaan biaya hidup yang sangat mencolok, pihak kolonial Belanda juga telah menciptakan tembok pemisah di antara kelompok penduduk. Mereka membagi-bagi penduduk Sumatera Timur ke dalam kelas-kelas sosial berdasarkan warna kulit, suku bangsa, dan juga hukum. Adapun penggolongan berdasarkan kelas-kelas sosial tersebuat adalah :

1. Golongan Eropa (Belanda, Inggris, Prancis, dan orang Eropa lainnya). 2. Golongan Indo-Eropa (Peranakan Eropa)

3. Golongan Timur Asing (Cina, Arab, dan India) 4. Golongan Pribumi

Akibat penggolongan tersebut terdapat jurang pemisah yang sangat lebar antara

penduduk pribumi dengan pihak kolonial dan penduduk pendatang. Pihak pengusaha perkebunan juga memberikan hak-hak istimewa kepada golongan Tionghoa yang dianggap telah banyak membrikan kontribusi yang sangat besar bagi jalannya produktivitas perkebunan dan bagi perekonomian Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka sengaja dijauhkan dari golongan-golongan lain. Akibatnya, timbul rasa kecemburuan dan prasangka di kalangan penduduk pribumi terhadap etnis Tionghoa.

Pada era pasca-kolonialisme, kecemburuan sosial itu semakin terlihat jelas ketika sejumlah golongan etnis Tionghoa memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Pada era Orde Lama muncul yang dinamakan ‘Gerakan Benteng’ untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kelas pengusaha dalam masyarakat Indonesia dengan

memberikan bantuan kredit kepada sejumlah pengusaha Indonesia. Hasilnya adalah pengusaha pribumi masih kalah bersaing dengan pengusaha non-pribumi karena pengusaha pribumi lebih cenderung bersifat konsumtif.

Pada masa Orde Baru, pemberian hak-hak istimewa kepada etnis Tionghoa masih diberikan. Hak-hak istimewa itu diberikan dalam bentuk konsesi kepada pengusaha etnis Tionghoa untuk mengelola pengolahan gandum menjadi tepung terigu, pegolahan tepung terigu menjadi bahan pangan, pengelolaan kekayaan hutan dan lain-lain. Kesuksesan etnis Tionghoa dalam mengelola konsesi dan hak istimewa menjadi pangkal iri hati dan kecemburuan.63 Akibat kesuksekan etnis Tionghoa ini pulalah muncul anggapan bahwa perekonomian Indonesia

didominasi oleh etnis Tionghoa.Tetapi, pada akhirnya pihak pengusaha Tionghoa menjadi sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh pihak penguasa. 64

Selain dalam bidang perekonomian, kesuksesan etnis Tionghoa juga dapat dilihat dalam pola pemukiman yang mereka miliki. Gambaran umum pemukiman masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Medan berbentuk rumah toko (ruko) yang menempati tempat-tempat yang sangta strategis. Lokasi pemukiman etnis Cina ini sebagian besar berada di sepanjang jalan-jalan besar dan perempatan jalan utama serta di pusat pasar.65

63

Indra Ismawan. Dimensi Krisis Ekonomi : Catatan Kritis,(Jakarta : PT.Elex Media Komputindo,1998) hal.49

64 Dr. Yusiu Liu. Op.Cit

65 Eddy Prabowo Witanto.’Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah : Kajian Historis Pemukiman

Sebagian bangunan fisik pemukiman etnis Tionghoa juga berbeda dari pemukiman warga etnis lainnya dan lebih cenderung membentuk kelompok mereka sendiri sehingga muncul istilah ‘Kawasan Pecinan’ atau ‘Kampung Cina. Masyarakat pribumi kemudian menganggap kawasan ini sebagai wujud dari karakter orang Tionghoa itu sendiri yang lebih eksklusif dan enggan berbaur dengan

masyarakat lainnya. Akibatnya, sewaktu kerusuhan Mei1998 itu terjadi sasaran utama aksi massa adalah pemukiman etnis Tionghoa

Pemukiman etnis Tionghoa memang selalu dijadikan sasaran kerusuhan atau amuk massa. Anggapan bahwa perekonomian selalu didominasi oleh etnis Tionghoa adalah salah satunya. Tetapi ada beberapa faktor penyebab utama yang menjadikan pemukiman etnis Tionghoa dijadikan sasarn kerusuhan. Faktor-faktor tesebut adalah :

1. Hasil kreasi kolonial Belanda yang mengakibatkan retaknya interaksi sosial antara pemukim Cina dengan masyarakat setempat.

2. Fisik pemukiman merupakan fakta visual yang mudah kita amati. Kita dapat melihat adanya pola-pola pengelompokan atas dasar etnisitas serta penyebarannya.66

Faktor-faktor tersebut telah menimbulkan stereotip yang negatif terhadap etnis Tionghoa sehingga timbul kecemburan sosial akibat kesenjangan ekonnomi dan sosial di anatara penduduk pribumi dan non-pribumi. Diskriminasi sosial pun terjadi terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi sosial itu jugalah yang menyebabkan mereka merasa dikucilkan oleh penduduk pribumi dan semakin tertutup.

Dalam dokumen Kerusuhan Di Kota Medan Pada Mei 1998 (Halaman 67-74)

Dokumen terkait