• Tidak ada hasil yang ditemukan

Massa Pasif

Dalam dokumen Kerusuhan Di Kota Medan Pada Mei 1998 (Halaman 51-56)

KERUSUHAN DI KOTA MEDAN PADA MEI 1998

E. Kendaraan 1. Sepeda Motor

3. Massa Pasif

Pada awalnya massa pasif lokal berkumpul untuk menonton dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Sebagian dari mereka terlibat ikut-ikutan merusak dan menjarah setelah dimulainya kerusuhan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya menonton sampai akhir kerusuhan. Sebagian dari mereka menjadi korban kebakaran.

Kerusuhan tidak dapat ditangani oleh aparat keamanan. Malah kerusushan semakin meningkat sehingga muncul persepsi tentang kevakuman aparat keamanan dalam menangani kerusuhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Adanya kelemahan komando dan pengendalian yang berakibat pada ketidaksamaan , ketidakjelasan/kesimpangsiuran perintah yang diterima oleh satuan/pasukan di lapangan. 2. Pemilihan penetapan prioritas penempatan pasukan pengaman sentra-sentra ekonomi dan

menyebabkan banyak korban, bertalian dngan kondisi keterbatasan pasukan di wilayah Medan serta dihadapkan dengan ekskalasi kerusuhan yang tidak mampu diantisipasi.

3. Komunikasi antar pasukan pengamanan tidak lancar yang disebabkan oleh keanekaragaman spesifikasi alat-alat komunikasi yang digunakan , yang semakin dipersulit oleh banyaknya gedung bertingkat tinggi.

4. Sesuai dengan doktrin ABRI rakyat bukanlah musuh, sehingga secara hukum aparat keamanan tidak boleh mengambil tindakan berupa penembakan terhadap rakyat/masyarakat. Secara psikologi aparat keamanan menghadapi dilema untuk mengambil tindakan efektif oleh karena banyaknya anggota masyarakat dan adanya pasukan lain yang berada di sekitar lokasi.

5. Adanya perbedaan pola tindak dan bentrokan di lapangan antara yang mencerminkan kondisi kurangnya koordinasi dan saling kepercayaan akan tugas untuk menghadapi tekanan arus massa yang besar.

3.3. Dampak-Dampak Kerusuhan Mei 1998 Di Kota Medan

Secara umum, kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, menimbulkan kerusakan dalam bidang material, mental, dan sosial. Pertama, tidak sedikit hasil keringat dan jerih payah bangsa selama berpuluh-puluh tahun ini hancur dalam sekejap mata karena amukan api. Hasil-hasil kebudayaan manusia, seperti gedung, bangunan, dan kendaraan bermotor menjadi sasaran pelampiasan emosi dan tindak kekerasan massa secara membabi buta. Angka kepastian tentang kerugian material ini sulit ditaksir, yang pasti rakyat merugi dan negara maikin bertambah miskn.

Kedua, secara tidak langsung epidemic moral (penyakit moral) ini menimbulkan gangguan mental, antara lain, trauma psikologis, di kalangan para korban kerusuhan. Epidemi moral ini secara tidak langsung ikut merusak ketentraman jiwa sesama. Hidup moral yang amburadul mengganggu ketenagan dan ketentraman jiwa seseorang.

Ketiga, peretakan yang parah antara hubungan antarpribadi dan antargolongan sosial (etnis, agama, budaya, dan daerah) dalammasyrakat yang majemuk. Ketertutupan masyarakat semakin terasa dalam kehidupan sosial. Jurang perbedaan antarapribadi kian ditonjolkan. Bahaya primordialisme bangkit kembalai dan mengancam kerukunan masyarakat. Benih-benih

kebencian, rsa tidak senang, curiga, cemburu, dan tidak bersahabat mulai tumbuh di beberapa daerah kerusuhan.37

Secara khusus di Kota Medan, kerusuhan ynag terjadi tentu saja memberikan dampak-dampak yang besar bagi masyarakat Kota Medan. Dampak kerusuhan yang terjadi pada awal-awal bulan Mei 1998 itu, paling banyak dirasakan oleh etnis Tionghoa yang dijadikan sasaran utama dalam peristiwa tersebut. Untuk menghindari amuk massa yang berbau rasial itu, warga keturunan Tionghoa terpaksa ‘lari’ ke luar kota atau luar negeri. Bagi warga Tionghoa yang hidupnya pas-pasan, terpaksa haru membentengi diri. Di Jalan Wahidin, misalnya, beberapa keluarga Tionghoa harus berjaga di depan rumah dan tokonya siang dan malam untuk mencegah kemungkinan serangan dari perusuh.38 Di daerah Kampung Lalang, setidaknya terdapat 140 keluarga keturunan Tionghoa mengungsi dari perusuh yang menyerang rumah dan menjarah harta milik mereka.39

37 William Chang. Kerikil-Kerikil Di Jalan Reformasi : Catatan-Catatan Dari Sudut Etika Sosial, (Jakarta : Kompas, 2002) hal. 184

menjadi sasaran kerusuhan. Mereka umumnya dikenal oleh masyarakat pribumi sebagai warga Tionghoa yang mau berbaur dengan penduduk sekitar dan tidak sombong. Meskipun demikian, kerusuhan itu tetap memberikan dampak terutama dampak trauma bagi warga keturunan Tionghoa. Mereka lebih cenderung menjadi eksklusif dengan masyarakat sekitar setelah terjadinya peristiwa kerusuhan tersebut.

Beberapa minggu setelah peristiwa kerusuhan itu terjadi, beberapa warga Tionghoa yang tadinya mengungsi ke luar negeri kembali ke Kota Medan setelah merasa keaadaan aman. Mereka memulai kembali usaha mereka denga mengumpulkan harta benda yang masih ada. Mereka kebanyakan menerima bantuan dari keluarga dan kawan untuk memulai usaha kembali.40

Dampak kerusuhan juga dialami oleh para pedagang yang berdagang di kawasan yang paling banyak dilanda kerusuhan. Kebanyakan dari mereka terpaksa harus menutup tokonya

Dampak lainnya juga dirasakan oleh golongan mahasiswa dan Civitas Academica lainnya. Akibat kerusuhan tersebut, kegiatan perkuliahan diliburkan selama beberapa hari. Akibat lainnya adalah mahasiswa yang sebelumnya menggelar aksi unjuk rasa untuk mrnuntut diadakannya reformasi, dituding menjadi pemicu kerusuhan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa mahasiswa yang tertangkap padahal para mahasiswa tersebut belum tentu terbukti terlibat dalam aksi demo.

Selain itu, beberapa mahasiswa juga tertangkap karena diduga ikut terlibat dalam aksi penjarahan. Dengan kata lain, citra mahsiswa menjadi buruk setelah terjadiya peristiwa

kerusuhan tersebut.

40

selama beberapa hari untuk menghindari amuk massa. Tetapi, beberapa toko itu tak jarang menjadi serangan amuk massa yang membakar dan menjarah toko tersebut, seperti yang dialami oleh salah seorang warga pribumi yang tinggal di sekitar kawasan jalan Aksara.41

Dampak lain dari peristiwa kerusuhan tersebut juga dialami oleh para ibu rumah tangga yang ikut serta dalam penjarahan toko dan swalayan. Seperti yang telah diketahui bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan harga-harga bahan kebutuhan pokok semakin melambung tinggi. Sebagian besar masyarakat Kota Medan yang berasal dari golongan masyarakat menengah ke bawah harus merasa tercekik lehernya oleh harga-harga yang makin melambung tinggi. Kebanyakan dari mereka tidak sanggup lagi membeli bahan-bahan kebutuhan poko tersebut. Oleh karena itu, ketika aksi penjarahan terjadi, beberapa masyarakat yang kebanyakan

didominasi oleh kaum ibu rumah tangga memanfaatkan situasi tersebut dengan ikut menjarah bahan-bahan kebutuhan pokok sebanyak-banyaknya.

Secara umum, kerusuhan yang terjadi di Kota Medan memberikan dampak yang sangat besar bagi perekonomian kota Medan. Perekonomian Kota Medan pada saat itu lumpuh total. Toko-toko kebanyakan tutup. Akibatnya, para pedagang menelan kerugian yang sangat besar apalai toko mereka ikut dijarah.

BAB IV

Dalam dokumen Kerusuhan Di Kota Medan Pada Mei 1998 (Halaman 51-56)

Dokumen terkait