• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DALAM

3.1 Faktor Tingkat Pendidikan

Dalam novel LP kebanyakan masyarakat Belitong asli yang mempunyai

tingkat pendidikan yang rendah. Ini akibat dari mahalnya pendidikan dan tingkat ekonomi mereka yang rendah. Padahal, pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Masalah pendidikan mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Setiap tahun APBN dalam bidang pendidikan selalu meningkat tetapi terkadang dana ini tidak sampai pada sasaran. Ini terbukti dengan dana sekolah yang tinggi, banyak bangunan sekolah yang masih memperhatinkan dan gaji guru yang rendah. Karena dana sekolah mahal dan tekanan ekonomi banyak orang miskin yang tidak dapat sekolah. Seperti tokoh Lintang yang harus putus sekolah. Padahal, Lintang adalah anak yang pintar. Sampai dewasa pun, dia masih merindukan bangku sekolah. Berikut kutipannya;

“Einstein’s simultaneous relativity...,” katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir. Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.” (LP: 469).

Akibat keadaan yang miskin, banyak penduduk Belitong tidak sekolah. Akibatnya, masih banyak orang yang buta huruf. Sedangkan tujuan dari pemerintah dengan wajib belajar sembilan tahun agar rakyat Indonesia tidak buta huruf, tetapi pada kenyataannya, masih banyak yang buta huruf. Rendahnya

pendidikan juga merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP. Dalam novel LP masih banyak masyarakat Belitong yang buta huruf, berikut kutipannya;

"Kemarilah Ayahanda….. berapa empat kali empat? Ayahanda yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui jendela, lalu ketika Lintang lengah, ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu belakang." (LP: 95).

Selanjutnya kutipan yang mempertegas masyarakat Belitong yang buta huruf. Seperti Ibunya Lintang, yang buta huruf dan terkena polio walaupun secara silsilah, beliau masih keturunan ningrat tetapi hidup dalam kemiskinan. Berikut kutipannya;

"Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang berada dalam garis langsung silsalah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat." (LP: 97).

Kemudian karena masih banyak masyarakat di Belitong yang buta huruf, membuat pekerjaan tambahan bagi tukang pos untuk membantu pelanggannya menulis surat ataupun membacakan surat cinta. Simaklah kutipan di bawah ini;

“Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf.” (LP: 278).

Akibat tidak adanya pendidikan ataupun pendidikan yang rendah, masyarakat Belitong harus menerima pekerjaan yang rendah dan upah yang rendah. Akibatnya, orang tua penduduk asli Belitong tidak mampu memberikan pendidikan kepada anak mereka. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari pun anak mereka ikut membantu orang tuanya bekerja. Bagi kebanyakan anak Belitong tamat Sekolah Dasar merupakan suatu yang istimewa. Kebanyakan mereka yang tidak menamatkan pendidikan karena tekanan ekonomi. Berikut kutipannya;

"Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya. Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang." (LP: 430).

Anak-anak Belitong bahkan setelah pulang sekolah (bagi yang sekolah) langsung bekerja membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Jika tiba di rumah, ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra." (LP: 95).

Akibat rendahnya pendidikan dan pengetahuan, penduduk asli Belitong tidak mempunyai keahlian lain selain sebagai buruh, kuli, nelayan, dan pegawai pos (tukang sortir).

"Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi, kami sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah." (LP: 67).

Setelah dewasa, Ikal hanya memiliki ijazah SLTA, dan akibat pendidikan yang rendah, dia tidak mendapatkan pekerjaan di Belitong. Akhirnya, dia pun merantau ke Bogor untuk mencari pekerjaan. Karena kerja kerasnya mencari pekerjaan di Bogor, akhirnya dia mendapat pekerjaan menjadi tukang pos (tukang sortir). Walaupun demikian, Ikal masih hidup dalam keadaan miskin. Berikut kutipannya;

“Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekerjaan ini tidak termasuk dalam profesi yang ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pos dari negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.” (LP: 442).

Ini dapat dimengerti mengapa anak-anak Melayu asli Belitong tidak sekolah ataupun pendidikannya yang rendah karena orang tua mereka tidak

mampu menyekolahkan mereka. Seperti keluarga Bapaknya Lintang, diingatnya dari generasi keluarganya, hanya Lintang yang sekolah. Berikut kutipan yang memperjelas pernyataan tersebut;

"Aku mengerti bahwa pria yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri, dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang yang sekolah." (LP: 13).

Alasan yang terpenting mengapa orang tua penduduk asli Belitong tidak menyekolahkan anaknya karena mereka beranggapan, sekolah tidak akan mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan. Berikut kutipannya;

"Para orang tua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga." (LP: 3).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP, pada masyarakat Belitong adalah tingkat pendidikan yang rendah.

Dokumen terkait