• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR

2.4 Segi Lingkungan

Dalam novel LP Pulau Belitong selain lingkungan pesisir juga lingkungan pertambangan sehingga penduduknya banyak yang menjadi nelayan ataupun buruh di PN Timah, seperti yang dikatakan Sembiring (2005: 1), “Lingkungan adalah uraian umum tentang apa-apa yang ada di sekitar manusia, yaitu bisa meliput i bumi, planet, bintang, laut, dan segala isinya.” Sedangkan menurut Purwowibowo (2008), secara harfiah "Lingkungan berarti keadaan sekitar atau kondisi sekitar." Lingkungan ekonomi misalnya juga menunjuk kondisi sekitar yang berhubungan dengan fungsi ekonomi, yang berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Inilah yang dialami oleh masyarakat Belitong yang sebagian penduduknya menggantungkan hidup dengan bekerja di PN Timah. PN Timah merupakan pabrik terbesar di Belitong juga terbesar di Indonesia pada saat itu. Pemerintah juga banyak mendapatkan royalti dari PN Timah ini.

Belitong adalah pulau yang kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi masyarakatnya hidup dalam keadaan miskin. Belitong adalah salah satu pulau di Indonesia yang kaya. Selain di Belitong, pulau-pulau yang ada di Indonesia juga

sangat kaya, tetapi mengapa Indonesia masih tergolong negara yang penduduknya hidup dalam kemiskinan?

Apabila diperhatikan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Ini juga tergambar dalam novel LP lingkungan yang sangat kontras antara lingkungan Gedong dengan perumahan penduduk asli Belitong. Lingkungan Gedong yang sangat elit dan mewah mewarnai kekontrasan dengan penduduk asli Belitong yang tinggal di lingkungan kumuh dan terpinggirkan. Lingkungan rumah penduduk asli jauh dari kriteria rumah sehat. Oleh karena itu, Amsyari (1995: 47– 50), mengatakan masalah lingkungan dapat dibagi dalam tiga kelompok dasar yaitu:

2.4.1 Lingkungan Rumah Tangga

Lingkungan rumah tangga menyangkut sandang, pangan, dan papan. Pada segi papan atau tempat tinggal dalam novel LP banyak dibicarakan antara orang staf dan penduduk asli.

Rumah penduduk asli Belitong sangat jauh dari kriteria rumah sehat seperti keadaan rumah tokoh Lintang yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat

karena perbandingan antara luas bangunan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya. Berikut kutipannya;

"Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti, apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan di belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci jika malam mereka ditutup dengan cara diikatkan pada kusennya. Benda di dalam rumah itu ada enam macam beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Quran, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehingga rumah itu bersuara gemerincing sepanjang hari.” (LP: 98-99).

Berbeda dengan keadaan rumah Lintang yang sangat sederhana dan tidak memenuhi kriteria rumah sehat, rumah orang staf sangat nyaman, besar, mewah, dan tertata dengan indah. Apalagi kebanyakan orang staf hanya memiliki dua atau tiga anak, tidak seperti orang tua Lintang yang mempunyai banyak anak dan rumah yang kecil. Selanjutnya kutipan rumah orang staf;

"Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah- rumah itu ditempatkan pada kantor yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk." (LP: 43).

Seperti keadaan rumah Lintang yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, pada hal kualitas rumah pada dasarnya sangat besar peranannya untuk kondisi kesehatan penghuninya. Persyaratan rumah sehat bahkan sudah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (dalam Amsyari, 1995: 47), menyebutkan antara lain

perlu memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan sosial–budaya, pemerintah juga telah menetapkan ukuran baku untuk perumahan penduduk, yakni 10 m2 per orang penghuni dengan perbandingan antara luas tanah dengan luas bangunannya 1:1. Oleh sebab itu, masalah perumahan perlu menjadi masalah lingkungan dan bahkan perlu dijadikan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat.

Kemudian dari segi pangan (makanan yang dikonsumsi) juga banyak diceritakan dalam novel LP. Bagaimana susahnya masyarakat asli Belitong mendapatkan makanan yang bergizi sehingga banyak anak yang terkena gizi buruk dan rentan terkena penyakit, seperti rabun jauh dan juga polio. Berikut kutipannya;

"Kucai sedikit tak beruntung, kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu, pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika ia memandang lurus ke depan arahnya yang ia lihat adalah benda di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi menoleh ke samping." (LP: 69).

Kemudian berikut ini kutipan yang mempertegas masyarakat asli Belitong terkena gizi buruk, seperti ibu Lintang yang terkena polio karena waktu kecil tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup karena keadaan yang miskin;

"Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga…." (LP: 97).

Selanjutnya Lintang yang sudah dewasa juga masih kekurangan gizi. Pekerjaannya yang menjadi supir truk dengan gaji yang tidak mencukupi kehidupannya dengan banyak adik dan ibunya, sehingga dia masih dalam lingkaran kemiskinan. Berikut kutipannya;

“Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.” (LP: 468).

Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas penduduk asli Belitong dalam keadaan kurang gizi. Kemudian berikut ini, kutipan gambaran perbedaan yang kontras, makanan yang dikonsumsi antara orang Gedong dengan penduduk asli. Orang Gedong makan dengan mematuhi table manner dan berbagai makanan pembuka dan makanan penutup. Berikut kutipannya;

“Di meja makan mewah dengan kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and gorgonzola soup, lalu hadir caesar salad. Menu utama chicken cordon bleu, vitello alla provenzale, atau….Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with strawberry puree, buah-buah persik dan prem.” (LP: 44).

Selanjutnya dipertegas lagi kutipan makanan yang dikonsumsi orang Gedong pada saat sarapan pagi dengan ruang makan yang berbeda. Pada saat sarapan, ruangannya pun lebih terbuka tempatnya yaitu menghadap kebun sehingga orang yang di dalamnya merasa nyaman pada saat sarapan. Berikut kutipannya;

“Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal dan biru. Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan menyeruput

teh Earl Grey atau cappuccino, lalu mereka melemparkan remah-remah

roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.” (LP: 45).

Berbeda halnya dengan penduduk asli yang tidak mengenal table manner ataupun makanan pembuka maupun makanan penutup. Bisa makan saja merupakan hal yang patut disyukuri. Berikut kutipannya;

“Tidak seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka semuanya adalah menu utama pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikan gabus. Para kuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyur semangkuk gangan, yaitu masakan tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.” (LP: 53).

Kemudian kutipan makanan yang dikonsumsi penduduk asli yang sangat sederhana dan juga tidak memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Ini yang mengakibatkan penduduk asli Belitong kekurangan gizi dan rentan kena penyakit;

"Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai-juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgrey atau Cappuccino, melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari. Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikan gabus." (LP: 53-54).

Sanitasi makanan dalam arti kualitas makanan yang sehat baik dari segi bahan baku, proses memasak, menyimpan, dan menyajikan makanan adalah penting diperhatikan dalam upaya memperbaiki kondisi lingkungan keluarga. Makanan yang dikonsumsi anggota keluarga selain harus memenuhi kebutuhan secara kuantitatif dari segi energi, protein dan vitamin–mineralnya, juga harus dihidangkan dalam keadaan memenuhi syarat kesehatan agar tidak berakibat merugikan bagi yang memakannya.

Tidak hanya kekurangan pangan dan papan, masyarakat asli Belitong juga kekurangan sandang karena keadaan mereka yang miskin dan tidak mampu membeli baju baru dan sepatu bagi anaknya yang sekolah, seperti anak-anak Laskar Pelangi yang dibelikan orang tuanya baju dan sepatu dua nomor lebih besar agar bisa tetap digunakan sampai dua tahun berikutnya. Berikut kutipannya;

“Orang tua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.” (LP: 83- 84).

Kemudian kutipan berikut yang mempertegas anak-anak Laskar Pelangi hanya memiliki seragam sekolah yang buruk;

“Tapi sandal dan bajuku buruk begini,” katanya lagi dengan polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah.” (LP: 66).

Berbeda halnya dengan murid-murid PN Timah yang memiliki pakaian seragam yang bermacam-macam dan tidak akan kebesaran karena ketika mendaftar sekolah langsung diukur badannya. Simak kutipan di bawah ini;

“Ketika mendaftar, badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga….Seragam untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah.” (LP: 60). Tidak hanya murid-murid Muhammadiyah yang menggunakan pakaian sederhana, guru Muhammadiyah juga menggunakan pakaian yang seadanya, seperti Pak Harfan yang pakaiannya sudah pudar warnanya karena terlalu sering dipakai dan dicuci. Berikut kutipannya;

“Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini, warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu.” (LP: 21).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Belitong sangat kekurangan, baik dari segi sandang, pangan, mapun papan, tetapi kekurangan ini tidak membuat anak-anak Laskar Pelangi berhenti untuk berjuang menuntut ilmu, malah menambah semangat mereka meraih mimpi dan cita-cita.

2.4.2 Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja dalam novel LP merupakan daerah pertambangan. Otomatis daerah itu banyak zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan penduduk setempat, seperti pekerjaan orang tua Ikal adalah buruh di PN Timah dan pekerjaannya sangat rentan dengan bahaya. Berikut kutipannya;

"Ayahku contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah, beliau juga rentan pada resiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim." (LP: 67).

Selanjutnya kutipan buruh-buruh yang pergi ke tempat kerja, setelah mendengar bunyi sirine para buruh bergegas menuju ke tempat kerja masing-masing;

“Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing, bengkel bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang bekerja shift di kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirine kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba- tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali legang, sunyi senyap.” (LP: 52).

Kemudian kutipan tempat kerja tokoh Lintang yang seperti kandang ternak, kotor, dan tidak terawat. Di sinilah tempat para supir istirahat dan menunggu giliran. Berikut kutipannya;

“Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai undangan supir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan supir truk pasir

yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.” (LP: 467). Tempat kerja Lintang ini juga rentan dengan bahaya penyakit ataupun polusi, seperti adanya asap hitam yang mencemari udara dan dihirup oleh para supir dan masyarakat sekitar. Berikut kutipannya;

“Suara motor temple yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecahkan tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.” (LP: 469).

Berikut kutipan pekerjaan Lintang yang menjadi supir truk seperti kerja rodi karena kerja yang berat tetapi mendapatkan gaji yang kecil;

“Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lintang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.” (LP: 468).

Uraian di atas banyak menyinggung tempat kerja dan permasalahannya. Permasalahan lingkungan kerja sudah banyak menjadi perhatian para pengusaha dan sudah terkoordinir dalam praktik manajemen perusahaan. Pemerintah juga telah memberi bimbingan dalam masalah ini melalui Departemen Tenaga Kerja. Namun, tidak jarang pula ditemui manajer perusahaan/industri yang begitu saja mengabaikan keselamatan para pekerja, menelantarkan kondisi lingkungan di perusahaannya, bahkan menutup-nutupi kondisi lingkungan kerja yang berbahaya bagi para pekerja.

2.4.3 Lingkungan Luas

Keadaan lingkungan rumah dalam novel LP juga tidak sehat karena rumah-rumah padat dan bangunan yang dibuat tanpa perencanaan. Bagi mereka yang penting memiliki tempat tinggal dan tidak mementingkan kesehatan tempat tinggalnya. Berikut kutipannya;

"Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat, juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering menimbulkan keributan kecil." (LP: 50-51). Kemudian pada kutipan berikut, digambarkan keadaan pasar di kawasan tempat penduduk Belitong bermukim yang jorok dan kumuh;

"Sesampainya di sana--di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek--jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco, kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi, jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di depan toko." (LP: 195).

Sebenarnya masalah lingkungan dalam kategori kelompok lingkungan luas adalah segala bentuk permasalahan yang menjadi problema suatu daerah secara keseluruhan, tidak hanya terbatas pada lingkup keluarga atau lingkup industri. Masalah lingkungan dalam lingkup lingkungan luas akan berdampak pada hampir seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Inilah yang dialami oleh masyarakat Belitong yang tinggal di luar Gedong. Lingkungan sekitarnya tidak teratur dan asal jadi. Seperti lingkungan pasar sangat tidak teratur sehingga siapa pun yang pergi ke pasar tidak tahan berlama-lama. Padahal, pasar merupakan salah satu tempat yang paling penting karena di sanalah tempat orang-orang

berkumpul dan bertransaksi jual beli ataupun bertemunya pedagang dan pembeli. Berikut kutipannya;

"Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi sungai dengan maksud seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai. Tapi pasar ini berada di daratan rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau balau bukan main." (LP: 199–200).

Dari uraian di atas, tampak jelas penggambaran lingkungan kampung Melayu Belitong yang dideskripsikan secara jelas dan memikat serta mengetahui lingkungan masyarakat kampung Melayu Belitong yang hidup di bawah garis kemiskinan yang ternyata hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat Gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup. Berikut kutipannya di bawah ini;

“Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan rumput Manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik sendiri di situ. Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang- seling di antara taman-taman bunga umum, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran, kafe members only, patung-patung snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalan-jalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing anggora.” (LP: 45).

Dokumen terkait