GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR
PELANGI KARYA ANDREA HIRATA
SKRIPSI
Oleh
RITA ARNITA LUBIS
NIM 040701026
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
MEDAN
GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
KARYA ANDREA HIRATA
Oleh
Rita Arnita Lubis
NIM : 040701026
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Sastra dan telah disetujui oleh
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Drs. Gustaf Sitepu
NIP 131837565 NIP 131570495
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT. karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.”
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sastra, di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil pengumpulan data dari
Perpustakaan Umum Sumatera Utara dan dari berbagai sumber.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara dan Pembantu Dekan I, II, dan III.
2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. selaku Ketua Departemen Sastra
Indonesia.
3. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. dan Drs. Gustaf Sitepu selaku
dosen Pembimbing I dan II penulis yang telah begitu sabar dalam
membimbing penulis dan memberikan semangat, arahan dan juga banyak
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen di lingkungan Departemen Sastra Indonesia.
5. Orang tua penulis, Ayahanda Syahrul Lubis dan Ibunda Rostiati yang telah
memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil. Skripsi
ini Ananda persembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda.
6. Saudara-saudara penulis, Kakanda Setio Rini Lubis, S.Pd. dan Adinda
Febriansyah Putra Lubis serta Rizki Annisa Lubis yang sangat perhatian
dan mendorong penulis agar tidak malas mengerjakan skripsi dan cepat
wisuda.
7. Teman-teman penulis angkatan stambuk 2004, Julia Zahraini, Ratu
Verawati, Prinsi Rigitta, Dwi Fevbianora, Ramayulis Eva Kartika, dan
yang tidak disebutkan, yang selalu berbagi informasi dan saling membantu
8. Khususnya buat Masku “Mawardi” yang saat ini mendampingi penulis
saat mengerjakan skripsi ini dan selalu memberikan semangat walaupun
sekarang berada jauh di Pulau menuntut ilmu. Tetap semangat ya!
Skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik
dan saran guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi kita
semua.
Medan, 2008
GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR
PELANGI KARYA ANDREA HIRATA
OLEH
RITA ANITA LUBIS
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.” Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kemiskinan yang tergambar dalam novel Laskar Pelangi dan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel Laskar Pelangi. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Laskar Pelangi dengan menggunakan metode mambaca heuristik dan juga hermeneutik. Dari analisi data, diperoleh hasil bahwa:
1. Dalam novel Laskar Pelangi sangat banyak penggambaran kemiskinan baik dari segi pendidikan, status sosial, kesenjangan sosial dan juga lingkungan.
2. Faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat Belitong dalam novel Laskar Pelangi mencakup faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial dan pengelolaan alam.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAK ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Masalah ... 6
1.3 Batasan Masalah ... 6
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 7
1.6 Metode Penelitian ... 8
1. 6. 1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 8
1. 6. 2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 9
1.6. 3 Bahan Analisis ... 9
1.7 Landasan Teori ... 13
BAB II GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI ... 20
2.1 Segi Pendidikan ... 26
2.2 Segi Status Sosial ... 32
2.3 Segi Kesenjangan Sosial ... 38
2.4 Segi Lingkungan ... 43
3.1 Faktor Tingkat Pendidikan ... 56
3.2 Faktor Mata Pencaharian ... 59
3.3 Faktor Keterpencilan Sosial ... 64
3.4Faktor Pengelolaan Alam ... 69
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 72
4.1 Simpulan ... 72
4.2 Saran ... 72
GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR
PELANGI KARYA ANDREA HIRATA
OLEH
RITA ANITA LUBIS
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.” Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kemiskinan yang tergambar dalam novel Laskar Pelangi dan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel Laskar Pelangi. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Laskar Pelangi dengan menggunakan metode mambaca heuristik dan juga hermeneutik. Dari analisi data, diperoleh hasil bahwa:
1. Dalam novel Laskar Pelangi sangat banyak penggambaran kemiskinan baik dari segi pendidikan, status sosial, kesenjangan sosial dan juga lingkungan.
2. Faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat Belitong dalam novel Laskar Pelangi mencakup faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial dan pengelolaan alam.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan wujud dari sebuah proses gejolak dan perasaan
seorang pengarang terhadap realitas sosial yang merangsang kesadaran
pribadinya. Dengan kedalaman imajinasi, visi, asumsi, dan kadar intelektualitas
yang dimilikinya, seorang pengarang akan mencoba untuk menggambarkan
realitas yang ada ke dalam karya ciptanya. Di dalam karya sastra tersebut
tergambar tata kehidupan dan pola tingkah laku masyarakat tempat karya tersebut
diciptakan.
Sebuah karya sastra tercipta berdasarkan imajinasi pengarang. Suatu hal
yang tidak dapat dipungkiri adalah suatu kenyataan bahwa seorang pengarang itu
senantiasa hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Di dalamnya ia akan
senantiasa terlibat dengan berbagai permasalahan, Jabrohim (2003:157)
mengatakan, "Dalam bentuk yang paling nyata, ruang dan waktu tersebut adalah
masyarakat atau kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya
berinteraksi." Dengan kalimat lain, konteks ini menyatakan bahwa suatu karya
sastra bukanlah suatu karya yang bersifat otonom, berdiri sendiri, melainkan
sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu
diciptakan.
“Sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan,
dialami, diperenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan.”
bahan bagi seorang sastrawan. Salah satu hakikat sastra adalah menggambarkan
keadaan manusia dalam masyarakat. Adakalanya suatu karya sastra tidak dapat
menggambarkan kehidupan masyarakat pada saat karya itu beredar. Namun,
secara umum sastra akan tetap menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa
lalu dan masa sekarang, serta masa yang akan datang.
Swingewood (dalam Damono, 1984:13) mengatakan bahwa sastra adalah
cermin masyarakat, atau cermin suatu zaman. Karya sastra tidak pernah terlepas
dari peristiwa dan suatu persoalan yang dihadapi masyarakat pada masa tertentu.
Karya-karya yang lahir pada masa Balai Pustaka misalnya, berbeda dengan karya
zaman Pujangga Baru dan angkatan ’45. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
keadaan masyarakat pada masa itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu karya
sastra adalah cermin kenyataan yang hidup dalam suatu masyarakat.
Karya sastra adalah ungkapan kesadaran pengarang, jadi bersifat subjektif.
Karya sastra mengandung penilaian kehidupan nyata dalam bentuk pemikiran
tertentu. Karya sastra adalah refleksi kesadaran pengarangnya tentang apa yang
dialaminya, diketahuinya, sehingga realitas kehidupan menjadi realitas kesadaran
pengarangnya. Sastra merupakan cerminan zamannya. "Pandangan ini
beranggapan bahwa sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai segi
struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain"
(Damono, 1984:8-9).
Luxemburg, dkk. (1984:23) mengatakan, "Sastra dapat dipandang sebagai
suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung
Sastra berhadapan dengan pemikiran, penghayatan, penilaian dan sikap
hidup pengarangnya. Wellek dan Warren (1990:276) mengatakan,
Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan), sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang dan zamannya. Tentu saja sastra harus bersifat menarik sastra harus memiliki struktur dan tujuan estetis, koherensi keseluruhan dan efek tertentu.
Pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil
ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami
masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra seorang pengarang
mengandung kebenaran berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap
kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif, menarik dan dibentuk sesuai
dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap
pengalaman hidup manusia.
Damono (2002:1) menyatakan bahwa karya sastra diciptakan sastrawan
untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Sastrawan itu sendiri
adalah masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga
sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan
ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial.
Wellek dan Warren (1990:112) juga mengatakan pengarang adalah
"Warga masyarakat. Ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi
pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan
tempat pengarang tinggal dan berasal."
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra
pengarang di dalam karya sastranya, tidak terlepas dari berbagai faktor yang
secara sadar atau tidak sadar turut mempengaruhi ide, visi, atau sikap
pengarangnya. Keseluruhan faktor tersebut berasal dari lingkungan masyarakat
yang ditempati pengarang.
Novel Laskar Pelangi (selanjutnya disingkat LP) setebal 534 halaman ini
merupakan sebuah novel yang telah mengalami cetak ulang sebanyak enam belas
kali semenjak terbit pada September 2005 sampai dengan Januari 2008. Walaupun
pengarang merupakan sastrawan pemula, tetapi karya-karyanya sudah menjadi
best seller. Laskar Pelangi merupakan buku pertama dari tetralogi Laskar
Pelangi. Buku berikutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah
Karpov. Menurut rencana, Laskar Pelangi akan diadaptasikan menjadi sebuah
film. Film Laskar Pelangi akan diproduksi oleh Miles Productions dan Mizan
Cinema dan digarap oleh sutradara Riri Rizal. Novel ini merupakan karya dari
seorang pengarang Indonesia yang pernah menuntut ilmu di Sorbonne, Prancis.
Novel ini bercerita tentang kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang
bersekolah (SD dan SMP) di sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang
penuh dengan keterbatasan.
Menurut Hartono (2007), Novel LP penuh dengan taburan wawasan yang
luas bak samudra dari pengarangnya yang paham betul tentang ilmu eksakta, seni
budaya, dan humaniora. Ia juga menambahkan lagi bahwa novel ini mempunyai
kekuatan dan kelemahan. Kekuatan novel ini terletak pada sentilan humaniora
tentang pentingnya pendidikan sekolah dan sekaligus kuatnya moral agama.
Sedangkan kelemahan novel ini, terletak pada cara mengakhiri cerita. Seharusnya,
Bangka Belitung yang dulu bergelimang timah. Bab 34: Gotik, menjadi ekor
cerita yang membingungkan karena penutur "Aku", Ikal tiba-tiba menjadi orang
lain, bukan Ikal lagi. Bab 34 ini menjadi mubazir. Sama halnya dengan seorang
pelukis yang seharusnya berhenti menguaskan catnya pada bidang lukisan yang
sudah sempurna, tapi kemudian menjadi berantakan karena sebuah goresan yang
tidak perlu.
Novel ini merupakan perjalanan hidup dari pengarang, mengenai masa
kecil yang dihabiskannya di tanah kelahirannya yaitu pulau Belitong yang
terkenal dengan timahnya. Budaya Melayu Belitong dan kemiskinan absolut
masyarakat daerah pertambangan menjadi warna yang pekat melatarbelakangi
kisah yang dituturkannya. Namun, dengan kepandaiannya bercerita, Andrea
mampu menampilkan segala kekurangan dan keterbatasan hidup bukan hanya
sebagai ironi dan tragedi, melainkan juga bisa berbentuk ria dan suka cita, angan
dan kebahagiaan (Wikipedia Indonesia: 2008).
Pembaca yang membaca novel ini akan merasakan gambaran kemiskinan,
seperti atap sekolah yang bocor, berdinding papan, berlantai tanah, dan pada
malam hari sekolah Muhammadiyah dipakai untuk menyimpan ternak.
Bukan pertama kali kemiskinan dibahas, baik dalam skripsi maupun dalam
jurnal. Antara lainnya "Kemiskinan dalam Novel Berkisar Merah karya Ahmad
Tohari: Analisis Sosiologis oleh Kayad" dan "Tinjauan Terhadap faktor-faktor
Penyebab Kemiskinan Kelompok Etnis Tionghoa di Kecamatan Pemangkat
Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat." Dalam Jurnal Ilmu Sosial
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial. Menurut Rampan
(2008) "Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan
atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan
metode yang tepat guna." Karya sastra ini banyak berisikan tentang keadaan
kehidupan masyarakat Belitong yang sebagian besar dalam keadaan melarat
(miskin). Oleh sebab itu, penelitian ini menitikberatkan pada gambaran
kemiskinan dan faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP karya Andrea
Hirata.
1.2 Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah :
1.2.1 Bagaimanakah kemiskinan yang tergambar dalam novel LP?
1.2.2 Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan kemiskinan dalam novel
LP?
1.3 Batasan Masalah
Karya sastra mengandung berbagai persoalan hidup dan kehidupan
manusia. Dengan kalimat lain, karya sastra merupakan kompleksitas dalam
kehidupan manusia. Di dalamnya tertuang berbagai bentuk kehidupan manusia.
Untuk membahas permasalahan yang bersifat kompleks dalam sebuah karya
sastra, diperlukan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan
yang ingin dicapai.
Berdasarkan judul penelitian ini, masalah penelitian dibatasi dengan hanya
sosial, dan lingkungan. Selain menggambarkan kemiskinan tersebut, penelitian ini
juga menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan seperti faktor tingkat
pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial, dan pengelolaan alam.
Pada akhirnya, semua ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah
deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca
terhadap novel LP.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.4.1 Mengungkapkan dan memaparkan kemiskinan yang tergambar dalam
novel LP.
1.4.2 Menguraikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
Memperkaya pengkajian karya sastra Indonesia.
Menambah pengetahuan bagi mahasiswa Sastra Indonesia tentang nilai dan
makna karya sastra.
Memperkaya bidang ilmu sastra dan mengembangkan lebih lanjut dengan
1.6 Motode Penelitian
1.6.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research. Data
dikumpul dari novel Laskar Pelangi. Data dikumpulkan dengan menggunakan
metode heuristik dan hermeneutik.
Pradopo (2003:80) menjelaskan,
Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan, cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian cerita secara berurutan.
Menurut Nasution (2003:312),
Hermeneutik adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti dan lebih dipentingkan daripada mengambil jarak dari objeknya. Penghayatan, pemahaman, dan penafsiran terhadap objek merupakan ciri khas metode ini. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknya.
Sedangkan menurut Teeuw (1984:123), “Hermeneutik adalah ilmu atau
keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih
luas menurut maksudnya.”
Selain itu, Teeuw (1984:123) juga mengatakan bahwa dalam praktik
interpretasi sastra itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan lingkaran dalam
bentuk spiral.
Nasution (2003:312) juga menjelaskan lagi,
isyarat yang dibawa oleh suatu bahasa sebab bahasa sekaligus dapat menunjukkan dan menyembunyikan makna tersebut.
Teknik yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data adalah dengan
mencatat pada kartu data. Kartu data dibuat sesuai dengan kebutuhan
permasalahan penelitian.
1.6.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data
Data dianalisis dengan mendeskripsikan data yang sudah dicatat pada
kartu data sesuai dengan masalah yang ditawarkan. Pendeskripsian dimulai
dengan menggambarkan kemiskinan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan
dalam novel LP.
1.6.3 Bahan Analisis
Adapun yang menjadi bahan analisis adalah:
Judul : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal Buku : 534 Halaman
Ukuran : 13 cm x 20.5 cm
Cetakan : Keenam belas
Tahun : 2008
Warna Sampul : warna hitam, merah, kuning, abu-abu, dan putih
Gambar sampul : gambar beberapa anak yang melihat matahari terbenam
Sinopsis
Novel ini diawali dari penerimaan siswa baru SD Muhammadiyah. Pada
hari terakhir yang mendaftar hanya sembilan orang yaitu: Ikal, Mahar, Lintang,
Samson, Sahara, A-Kiong, Syahdan, Trapani, dan Kucai. Saat itu, seorang guru
yang bernama Bu Mus dan kepala sekolah yang bernama Pak Harfan merasa
gelisah karena pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah menetapkan
peraturan yakni siswa baru minimal sepuluh orang. Kalau kurang dari sepuluh,
maka sekolah itu akan ditutup. Pada akhirnya, sekolah itu tidak jadi ditutup karena
Harun datang mendaftar, sehingga SD tersebut terselamatkan.
Sekolah Muhammadiyah adalah salah satu sekolah termiskin di Belitong.
Bangunannya seperti akan roboh dan mirip gudang kopra. Selain itu, sekolah
Muhammadiyah kekurangan guru dan hanya memiliki enam kelas dan ruangan
kecil. Kalau pagi untuk SD dan sore untuk SMP.
Pada kegiatan belajar, kesepuluh siswa kelas satu itu mempunyai semangat
belajar yang tinggi, walaupun orang tua mereka berat menyekolahkan karena
beranggapan lebih baik bekerja membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
daripada sekolah.
Salah satu siswa yang mempunyai semangat membara adalah Lintang.
Walaupun jarak antara sekolah dan rumahnya sangat jauh, kira-kira delapan puluh
kilometer pulang dan pergi, tetapi Lintang tidak pernah bolos sekolah. Lintang
menempuh jarak itu dengan mengendarai sepeda setiap hari. Lintang adalah siswa
yang genius terutama di bidang eksakta. Selain Lintang, ada juga Mahar yang
Walaupun kesepuluh siswa itu kehidupannya miskin, tetapi mereka sama
dengan kebanyakan anak yang gemar bermain. Mereka mempunyai permainan
tradisional yang tidak kalah menyenangkan. Permainan itu bernama “tarak” yang
berasal dari buah karet. Cara permainan “tarak” yaitu dua buah karet ditumpuk
kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tidak pecah adalah
pemenangnya. Bu Mus menjuluki kesepuluh siswa itu Laskar Pelangi karena
mereka suka melihat pelangi dari atas dahan-dahan pohon fillicium.
Pada setiap bulan Agustus biasanya diadakan perlombaan antarsekolah
yang selalu dimenangkan oleh sekolah PN (Perusahaan Negara) Timah. Sekolah
PN Timah adalah sekolah yang elit dan hanya orang kaya saja yang dapat sekolah
di sana. Namun, bulan Agustus ini berbeda karena sekolah Muhammadiyah
memenangkan perlombaan tersebut. Hal itu terjadi karena adanya ide Mahar.
Mahar membuat koreografi massal suku Masai dari Afrika dan menggunakan
aksesoris kalung yang terbuat dari buah aren yang masih hijau dan ditusuk dengan
tali rotan yang kecil. Pada saat anggota Laskar Pelangi lainnya menari-nari dan
bergerak dengan lincah, buah aren itu akan mengeluarkan getah. Getah ini
menimbulkan rasa gatal. Akibat rasa gatal ini, para penari Masai bergerak
membabi buta karena menahan rasa gatal. Di sinilah kunci kemenangan sekolah
Muhammadiyah.
Setelah tamat dari SD Muhammadiyah, kesepuluh siswa tersebut
melanjutkan ke SMP Muhammadiyah yang sama. Ketika diadakan perayaan
Agustusan, di samping mengikuti perlombaan, mereka juga berekreasi. Namun,
mereka hanya berekreasi ke pantai, yang jaraknya enam puluh kilometer dari
Selanjutnya diceritakan Ikal jatuh cinta pada masa SMP dengan gadis
Tionghoa yang bernama A-Ling, sepupu A-Kiong. Perjalanan cinta mereka hanya
sebentar karena A-Ling pindah ke Jakarta untuk menemani bibinya.
Lalu kisah berlanjut, pada saat Mahar menemukan Flo yang tersesat di
Gunung Selumar pada saat berkemah. Flo adalah siswa PN Timah dan anak orang
kaya. Setelah beberapa hari Flo diselamatkan oleh Mahar, Flo pindah ke SMP
Muhammadiyah. Pada saat itu juga, Flo resmi diangkat menjadi anggota Laskar
Pelangi yang kesebelas dan perempuan kedua setelah Sahara.
Empat bulan sebelum menyelesaikan SMP, Lintang berhenti sekolah
karena ayahnya meninggal dunia dan ia harus menggantikan posisi ayahnya
menjadi tulang punggung keluarga dan menanggung nafkah ibu, adik-adik,
kakek-nenek, dan paman-pamannya yang tidak berdaya. Ia tidak punya peluang untuk
melanjutkan sekolah. Ia harus mengambil alih menanggung nafkah untuk empat
belas orang. Sekolah Muhammadiyah kehilangan siswa yang super genius.
Dua belas tahun kemudian, Sahara akhirnya menikah dengan A-Kiong dan
membuka toko kelontong. Ikal menjadi tukang pos dan dengan kerja kerasnya
mampu mendapatkan beasiswa ke Jakarta dan kuliah di Universitas Indonesia.
Lintang menjadi kuli karena kekurangan biaya dan harus menopang biaya hidup
keluarganya, Trapani yang menderita penyakit mother complex, akhirnya sembuh.
Samson akhirnya menjadi kuli di toko A-Kiong. Harun masih seperti dahulu.
Bedanya, kalau dulu, anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa dan
sekarang, orang dewasa yang terperangkap dalam alam pikiran anak kecil. Flo
menjadi penulis artikel kebudayaan Melayu. Syahdan menjadi manager di
perusahaan Multinasional, dan Kucai menjadi ketua salah satu fraksi di DPRD.
1.7 Landasan Teori
Sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya karena
landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang
digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan.
Landasan teori yang dipergunakan untuk mengkaji novel LP dalam
penelitian ini adalah teori Sosiosastra. Damono (1987:58) mengatakan, “Suatu
pokok yang penting ditinjau dari segi sosiologis adalah pada mulanya para
pengarang erat sekali hubungannya dengan pembaca, yakni pihak istana atau
masyarakat. Mereka berbagi pandangan dunia sehingga tercapailah totalitas dalam
karya mereka.”
Penulis memilih teori sosiosastra karena dengan menggunakan teori ini
akan diketahui dengan jelas penggambaran suatu masyarakat di dalam sebuah
karya sastra. Pradopo, (2002: 22) mengatakan “Sosiosastra berdasarkan prinsip
bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu
ditulis, yaitu masyarakat yang melingkungi penulis sebab sebagai anggotanya
penulis tak dapat lepas darinya.” Selanjutnya Damono (1978: 56) menambahkan
lagi bahwa “Sosiosastra mencakup kepada pengarang, buku, dan pembaca.”
Mahayana (2007: 225) berpendapat,
Sedangkan Ratna (2003: 1) berpendapat, “Secara institusional objek
sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat. Masyarakat adalah
orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.” Perbedaan antara
sosiolog dengan sastrawan adalah apabila sosiolog melukiskan kehidupan
manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan
sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif.
Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi didominasi oleh
emosionalitas. Oleh karena itu, apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan
penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua
penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis
mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda.
Hakikat sosiologi adalah objektivitas sedangkan hakikat karya sastra adalah
subjektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan masing-masing.
Sosiosastra dengan menggabungkan dua disiplin ilmu yang berbeda,
sosiologi dan sastra secara harfiah harus didukung oleh dua teori yang berbeda
yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Di dalam penelitian sosiosastra itu
sendiri, karya sastra merupakan objek yang paling dominan, sedangkan ilmu-ilmu
yang lain hanyalah sebagai ilmu pembantu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna,
(2004:18) yang mengatakan,
Ratna (2003:18) juga menambahkan,
Teori-teori sosiologi yang mendukung analisis sosiologi adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khusus dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, status sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, dan kesadaran sosial, yang semua berhubungan dengan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu gambaran bahwa kedua ilmu
tersebut mempunyai satu objek penelitian yang sama yakni manusia.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosiologi, tetapi jika
kemiskinan itu dijadikan pembicaraan pada sebuah karya sastra, seperti pada LP,
maka kemiskinan menjadi permasalahan sosiosastra. Oleh karena itu,
konsep-konsep, kriteria-kriteria, dan definisi tentang kemiskinan itu perlu dikemukakan.
Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis
kemiskinan dalam LP. Beberapa konsep kemiskinan yang dimuat pada website
Feri’s Site (2008) di antaranya:
1. Menurut John Friedman
Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan
basis kekuasaan sosial, meliputi, modal yang produktif, sumber keuangan,
organisasi sosial dan politik (Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan
aspek sosial saja, tapi juga aspek natural material).
2. Menurut Wolf Scott
Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan (dalam
jumlah uang) ditambah dengan keuntungan nonmaterial yang diterima
seseorang, cukup tidaknya memiliki aset seperti tanah, rumah, uang, emas
dan lain-lain, di mana kemiskinan nonmaterial yang meliputi kebebasan
3. Menurut Bank Dunia
Bahwa aspek kemiskinan yaitu pendapatan yang rendah, kekurangan gizi
atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah,
kekurangan gizi atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang
rendah.
Kemiskinan itu bersifat relatif, tergantung dari sudut mana
memandangnya. Seperti yang dikatakan Penny (1990:44), “Kemiskinan
merupakan suatu konsep yang bersifat relatif; masyarakat miskin adalah mereka
yang berpenghasilan jauh kurang daripada yang lebih baik.”
Masalah kemiskinan telah ada sejak manusia hidup. Pada masa lalu,
umumnya masyarakat miskin bukan karena kurang pangan tetapi miskin dalam
bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan model pada
masa kini, mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan,dan
kemudahan-kemudahan lainnya.
Dalam novel LP masalah kemiskinan sudah mendarah daging dalam
kehidupan mereka terutama masyarakat Melayu asli Belitong. Walaupun
kekayaan alamnya sangat kaya tetapi masyarakatnya tidak hidup dengan layak
baik kesehatan, pendidikan, pekerjaan maupun kemudahan-kemudahan lainnya.
Kemiskinan ialah satu keadaan di mana seseorang itu kekurangan
bahan-bahan keperluan hidup. Dalam masyarakat modern, kemiskinan biasanya
disamakan dengan kekurangan uang. Menurut Ath-Thawil (1985:36),
Menurut Yusniati (2007:13), “Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan
di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun
fisiknya dalam kelompok tersebut.”
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial-ekonomi tidak hanya dialami
oleh negara-negara yang sedang berkembang, namun juga dialami negara-negara
maju seperti Inggris (tahun 1700-an) dan Amerika (tahun 1930-an).
Menurut Para Kontributor Wikipedia (2008),
Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subjektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin.”
Lebih lanjut Para Kontributor Wikipedia (2008) menjelaskan bahwa
kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan
pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena
hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak
Yusniati menambahkan lagi (2007:13-15), “Kemiskinan adalah suatu
kondisi di mana seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sesuai dengan
taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental
dan fisiknya dalam kelompok tersebut.”
Lebih lanjut Hadi (2008) berpendapat, kemiskinan banyak dihubungkan
dengan:
• Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan
sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si
miskin; penyebab keluarga yang menghubungkan kemiskinan
dengan pendidikan keluarga;
• Penyebab sub-budaya (“subkultural”), yang menghubungkan
kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungan sekitar;
• Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi
orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan
merupakan hasil dari struktur sosial.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak
dari berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Aspek sosial terutama
akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi
akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah rendah, dan daya
kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, dan
posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Zulkarnain (2006:64) kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga
pengertian yaitu:
1. Kemiskinan absolut, apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis
kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum,
seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
2. Kemiskinan relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun
masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
3. Kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau
sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
BAB II
GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
Novel LP menggambarkan kehidupan masyarakat Belitong yang hidup
dalam kemiskinan. Novel ini menceritakan tentang sepuluh anak Belitong yang
lahir dan tumbuh di pulau kaya timah di Indonesia. Namun, pulau yang
semestinya kaya raya itu ternyata justru penduduknya miskin tidak hanya dari sisi
ekonomi, tetapi juga pendidikan. Masyarakat asli Belitong dalam novel LP
termasuk dari kemiskinan absolut karena masyarakat Belitong miskin sejak dari
leluhurnya dan bertahun-tahun hidup dalam kemelaratan. Sedangkan, yang
menguasai perekonomian di Belitong adalah komunitas masyarakat Gedong PN
Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup
dan berasal dari luar pulau Belitong;
“Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis.” (LP: 55).
Walaupun mereka hidup dalam keadaan miskin, tetapi anak-anak Laskar
Pelangi mempunyai semangat untuk sekolah. Kekurangan mereka tidak
menyurutkan langkah untuk mencapai cita-cita. Di samping sekolah, mereka juga
membantu orang tua mereka untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti
menjadi kuli kopra, tukang parut, dan lain-lain.
Hal ini sejalan dengan pandangan Levitan (dalam Bayo Ala, 1981:3) yang
mengatakan kemiskinan adalah “Kekurangan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak,
diterima secara universal.” Oleh karena itu, kemiskinan tidak hanya berkaitan
dengan aspek-aspek material saja tetapi juga menyangkut aspek-aspek
nonmaterial seperti dikatakan oleh Wriggins (dalam Bayo Ala, 1981:4) bahwa
menurut cerita lama, tidak seorang pun hanya hidup dari roti saja, maka
kemiskinan absolut juga mempunyai dimensi nonmaterial di samping aspek
material ini atau seperti yang disimpulkan oleh Scott (dalam Bayo Ala, 1981:3)
yaitu:
1. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam
bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmaterial yang
diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan didefinisikan meliput i
kekurangan atau tidak memiliki pendidikan dan keadaan kesehatan yang
buruk.
2. Kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak
memiliki aset-aset seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, dan
lain-lain.
3. Kemiskinan nonmaterial meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk
memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga, dan kehidupan
yang layak.
Novel ini menceritakan kisah nyata dari pengarangnya, memberikan
informasi sosial dan budaya dari suatu daerah di Indonesia yang selama ini
terabaikan. Andrea mengenalkan salah satu bagian Indonesia yang hanya dikenal
sebagai penghasil timah, tetapi orang tidak pernah tahu arti tambang timah itu
bagi penduduk pulau tersebut. Membaca novel ini menghasilkan perenungan
kecukupan atau kelimpahan materi, seperti tokoh Flo, putri seorang pejabat PN
Timah, memilih meninggalkan sekolahnya yang elit dan bergabung dengan
anak-anak miskin di sekolah Muhammadiyah untuk memenuhi rasa kosongnya di
tengah-tengah limpahan harta benda dan hidup yang penuh kemudahan nyaris
tanpa tantangan. Novel LP merupakan produk dari lingkungan tempat
pengarangnya bermukim. Karya sastra sebagai produk dari masyarakat juga
menggambarkan masyarakat tempat karya itu diciptakan. Sebagaimana dikatakan
Sumardjo (1981:24) bahwa novel Indonesia masih bertumpu pada realisme formal
yang bergantung di suatu masyarakat tertentu, penggambaran suatu masyarakat
inilah yang dimaksudkan dengan penggambaran sosial. Maka, jelaslah bahwa
novel yang ditulis oleh sastrawan Indonesia sebagian besar menggambarkan
kondisi masyarakat Indonesia dengan segala masalahnya, seperti pendidikan,
kesehatan, politik, kemiskinan, dan sebagainya.
Andrea adalah seniman kata-kata yang mampu menampilkan deskripsi
dengan detail yang kuat tentang sosial kemasyarakatan yang ada di Belitong,
seperti menggambarkan kondisi ruang kelas yang minim dari benda-benda hiasan.
Penggambaran kondisi ruang kelas itu dapat dilihat pada kutipan berikut;
aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!” (LP: 19-20).
Tidak hanya penggambaran kondisi ruang kelas yang minim, ada juga
penggambaran keadaan fisik sekolah Muhammadiyah yang sangat sederhana.
Berikut kutipannya;
“Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis:
SD MD
Sekolah Dasar Muhammadiyah.” (LP: 18-19).
Kekuatan deskripsi Andrea juga tampil memukau saat menggambarkan
tarian suku Masai Afrika dalam karnaval 17 Agustus, yang memainkan imajinasi
pembaca. Metafor-metafor yang dipakainya indah dan sering kali tidak biasa,
namun sangat memikat, seperti penggambarannya untuk sekawanan kupu-kupu
yang sering mendatangi pohon-pohon fillicium di halaman sekolah mereka.
Berikut kutipannya;
”Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli melingkari lingkaran daun-daun fillicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap-sayap yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di atas butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.” ( LP: 158).
Kemudian Andrea juga mampu mendeskripsikan keadaan rumah orang
staf (Gedong) yang sangat mewah, indah, dan siapa pun ingin melihat secara
langsung pendeskripsian tersebut. Dapat disimak pada kutipan di bawah ini;
para pembantu, garasi, dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi Nymphae caereulea atau the blue waterlily yang sangat menawan dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Pis legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.” (LP: 43).
Karena Andrea adalah seorang seniman kata-kata sehingga beliau pandai
merangkai kata-kata dan paham betul dengan nama-nama Latin tumbuhan
sehingga kata-katanya diolah dan dibaur dengan nama-nama Latin tumbuhan
tersebut dan menghasilkan penggambaran yang indah. Ini terlihat pada deskripsi
Gunung Selumar ketika anak-anak Laskar Pelangi mendaki gunung tersebut.
Berikut kutipannya;
“Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gunung, lembah, sungai, dan laut. Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian.” (LP: 287).
Selain itu, dengan kata-kata juga dapat menghilangkan rasa sedih dan
menjadi obat penawar bagi yang membacanya. Ini terlihat pada tokoh Ikal yang
patah hati karena ditinggal pergi oleh A-Ling. Sebagai pelipur lara, Ikal selalu
membaca keindahan Edensor yang sangat memukau. Baca kutipan di bawah ini;
“Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling-guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua….Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah-lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan.” (LP: 333).
Di samping penggambaran ruang kelas, keadaan fisik sekolah, rumah
Edensor, Andrea juga pandai dalam mendeskripsikan keadaan laut yang indah dan
tenang, berubah seketika menjadi ganas ketika perjalanan anggota Societeit
menuju Pulau Lanun untuk menemui dukun sakti Tuk Bayan Tula agar lulus ujian
akhir. Pelukisan ini terlihat jelas pada kutipan berikut;
“Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersuka cita. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai mendung. Badai besar akan menghantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.” (LP: 407).
Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa karya sastra dapat diyakini
sebagai gambaran kehidupan suatu masyarakat. Karya sastra adalah produk
masyarakat zamannya. Obsesi sastrawan juga merupakan bahan untuk
menciptakan karya sastra. Masyarakat dan karya sastra mempunyai hubungan
yang kait-mengait bagaikan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.
Gambaran kemiskinan yang ditampilkan dalam novel LP ini dapat
diuraikan lebih terperinci dari beberapa segi, seperti segi pendidikan, status sosial,
kesenjangan sosial, dan lingkungan. Keempat segi inilah yang akan dianalisis
lebih terperinci sehingga kemiskinan itu betul-betul menjadi suatu gambaran yang
2.1 Segi Pendidikan
Masyarakat asli Belitong dalam novel LP hidup dalam kemiskinan, dalam
kehidupan sehari-hari mereka hidup serba kekurangan. Pendidikan bagi mereka
merupakan hal yang tabu dan hanya buang-buang waktu karena bagi mereka
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti makan pun susah apalagi sekolah.
Menurut mereka dengan memasukkan anak ke sekolah akan menambah daftar
pengeluaran dan tidak dapat menambah penghasilan. Oleh karena itu, orang tua
banyak yang mengantarkan anaknya ke juragan pantai atau menjadikan anaknya
sebagai kuli di pasar daripada mendaftarkan anaknya ke sekolah. Perhatikan
kutipan berikut ini;
“Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikat diri pada biaya selama belasan tahun.” (LP: 2-3).
Para orang tua (penduduk asli) tidak menyadari bahwa sekolah ataupun
pendidikan sangat penting bagi masa depan anak-anak mereka, karena pendidikan
adalah modal utama bagi proses pembangunan kehidupan bangsa. Oleh karena
itu, sasaran yang ingin dicapai adalah untuk melahirkan generasi muda Indonesia
yang penuh vitalitas, visi, serta persepsi yang luas di samping meningkatkan
ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Selain ada orang tua yang tidak
menyadari pentingnya pendidikan, tetapi ada juga orang tua yang menyadari
bahwa pendidikan sangat penting. Salah satunya adalah orang tua Lintang.
“Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernafas.” (LP: 95).
Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua Lintang berharap
dengan pendidikan dapat mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Hamalik (2003: 2) yang mengatakan, “Pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.” Selanjutnya Hamalik
(2003: 3) menambahkan lagi,
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekwat dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.
Hal ini dipertegas lagi oleh Hidayatulhaq (2008) yang mengutip pendapat
Frederick J. Mc Donald yang mengatakan, “Pendidikan adalah suatu proses atau
kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang
dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang,
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan dapat mengubah pola pikir seseorang serta dapat membawa perubahan
kepada seseorang ke arah yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan dan
Inilah yang dilakukan orang tua Flo. Beliau adalah salah satu orang
Melayu asli Belitong yang pintar dan menjadi orang staf. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut;
“Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delf di Holland dari fakultas Werktuiqbouwkunde, Maritieme Techniek dan Technische Material wetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik. Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampong yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elit orang staf karena kepintarannya.” (LP: 46-47).
Dari uraian petikan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang pintar yang
punya pendidikan tinggi akan mengangkat harkat dan martabat seseorang di
tengah-tengah masyarakat. Selain memiliki pendidikan yang tinggi, dengan
keterampilan yang dimilikinya akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak ataupun karir yang bagus. Hal ini sejalan dengan pendapat
Hidayatulhaq (2008) bahwa pendidikan merupakan jalan yang tepat untuk
mengangkat manusia dari berbagai ketinggalan, termasuk dari lembah
kemiskinan. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih untuk menjadi manusia yang bermoral. Melalui pendidikan,
selain memperoleh kepandaian berupa ketrampilan berolah pikir, manusia juga
memperoleh wawasan baru yang akan membantu mengangkat harkat hidup
manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anak dari suatu bangsa. Akan
tetapi, pada kenyataan bahwa pendidikan dan sistem pendidikan, baik dari sudut
isi maupun pelaksanaannya semakin lama semakin tidak relevan dan mahal
sehingga orang miskin yang ingin memanfaatkan pendidikan bagi perbaikan
lain, pendidikan yang tinggi akan mengangkat harkat dan martabat seseorang di
tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, tanpa pendidikan akan tetap menjadi
orang yang bodoh.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadaan para anggota Laskar Pelangi
hidup dalam keadaan miskin tetapi mereka tidak pernah merasa lelah. Malah,
menambah semangat mereka untuk menimba ilmu sehingga mereka tumbuh
menjadi anak yang cerdas. Salah satunya adalah Lintang yang tumbuh menjadi
anak yang cerdas. Simak pada kutipan ini;
“Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.” (LP: 373).
Walaupun jarak antara sekolah dengan rumah Lintang sangat jauh dan
sepanjang perjalanan banyak bahaya yang mengancam, tetapi dia tidak pernah
bolos sekolah sekalipun karena dia menyadari bahwa pendidikan itu sangat
penting dan dia juga haus ilmu pengetahuan. Berikut kutipannya;
“Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Pada suatu hari rantai sepedanya putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer dan sampai di sekolah, kami sudah bersiap-siap akan pulang. Tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu, ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.” (LP: 93-94).
Dalam kurikulum pendidikan Muhammadiyah, selain mendapatkan
agar mereka tetap menjadi anak-anak yang soleh dan sholeha. Misalnya ketika
Samson memberikan rahasia keindahan tubuhnya dengan cara pintas menuju
kesempurnaan penampilan seorang lelaki kepada Ikal yaitu menekankan secara
paksa bola tenis ke dada Ikal. Serta merta Ikal meronta dan berhasil melarikan diri
dari paksaan Samson. Tetapi akibat tekanan bola tenis yang ada di dada Ikal,
meninggalkan bekas yaitu tanda bulat merah kehitam-hitaman. Pada saat Ibunya
menanyakan tanda itu, dia tidak berani berbohong karena dia ingat pelajaran Budi
Pekerti Kemuhammadiyahan yang diajarkan Bu Mus. Berikut kutipannya;
“Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, kerena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu.” (LP: 82).
Selain diajarkan pendidikan agama oleh Bu Mus, anak-anak Laskar
Pelangi juga mendapatkan pelajaran agama dari Pak Harfan agar rajin salat, lewat
kisah kaum Nabi Nuh yang ingkar kepada Allah dan tidak mau mengikuti ajaran
agama yang dibawa oleh Nabi Nuh yaitu tidak mau mengerjakan salat. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut;
“Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang. “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang…,”demikianlah ceritanya dengan wajah penuh penghayatan. “Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka hingga mereka musnah dilamun ombak….” Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: Jika tak rajin solat maka pandai-pandailah berenang.” (LP: 22).
Berbeda dengan Pak Harfan yang memberikan pelajaran agama lewat
kisah-kisah para nabi, Bu Mus guru yang memiliki karisma tinggi dan sangat
tepat waktu agar mendapat pahala lebih banyak. Berikut kutipannya yang
menunjukkan hal tersebut;
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata yang diilhami surat An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlambat shalat.” (LP: 31).
Walaupun setiap hari anak-anak Laskar Pelangi mendapatkan pendidikan
agama, tetapi tidak berpengaruh terhadap Mahar. Mahar memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi terhadap hal-hal yang gaib dan menghabiskan waktu untuk kegiatan
perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah sehingga mulai menyimpang dari
ajaran Islam. Hal ini membuat Bu Mus murka dan merasa kecewa dengan sikap
Mahar. Untuk lebih jelasnya, simak kutipan berikut;
“Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama: “Hiduplah hanya dari ajaran Al-Qur’an, Hadist, dan Sunnatullah, itulah pokok-pokok tuntunan Muhammadiyah. Insya Allah, nanti setelah besar engkau akan dilimpahkan rezeki yang halal dan pendamping hidup yang sakinah. Disambung berita penting: “Klenik, ilmu ghaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam.” (LP: 350-351).
Dari petikan di atas, jelaslah bahwa penggambaran kemiskinan dalam
bidang pendidikan dalam novel LP sangat kental. Bagi sebagian masyarakat
Belitong, pendidikan hanya membuang waktu. Mereka lebih baik bekerja daripada
sekolah, sehingga banyak sekali anak-anak yang seharusnya berada di sekolah
menuntut ilmu tetapi malah berada di pasar dan dijadikan kuli untuk membantu
orang tuanya mencari nafkah untuk membantu memenuhi kehidupan sehari-hari.
2.2 Segi Status Sosial
Status sosial dalam novel LP sangat kontras antara penduduk asli Belitong
dengan komunitas Gedong. Adanya status sosial dalam masyarakat asli Belitong
yang hidup dalam keadaan miskin dengan komunitas Gedong yang hidup jauh
lebih baik dan kaya adalah sesuatu yang harus diterima. Sebab Setiap manusia
yang masih bayi dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki orang tuanya. Dalam
kenyataannya, tidak ada seorang pun dapat memilih status sosialnya sendiri.
Status dipaksakan oleh keadaan yang harus diterima, tidak peduli kemudian hari
ia senang atau tidak senang, harus menerima kedudukan ayahnya, yang misalnya
seorang petani atau buruh. Setiap orang menyandang nasib yang sama yakni ia
tidak dapat memilih kualitas biologis dan sosiologis kedua orang tuanya sesuai
dengan keinginannya sendiri. Sama halnya dengan kenyataan bahwa ia tidak
dimintai persetujuannya, apakah mau dilahirkan atau tidak. Demikian juga,
anak-anak Laskar Pelangi dalam novel LP juga tidak dapat memilih untuk memiliki
orang tua yang kaya. Mereka hidup dalam kemiskinan turun-temurun. Orang tua
anak-anak Laskar Pelangi bekerja sebagai nelayan dan buruh di PN Timah. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut;
Namun setelah anak-anak tadi tumbuh dewasa baru dapat menilai situasi
dan kondisinya sendiri serta keluarganya. Ia dapat menggunakan kebebasan yang
ada padanya untuk menerima atau memperbaiki nasib itu. Kenyataan
membuktikan bahwa tidak sedikit anak yang berhasil meraih kedudukan sosial
yang lebih tinggi daripada kedudukan orang tuanya.
Sama halnya dengan anak-anak Laskar Pelangi juga memiliki status sosial
yang jauh lebih tinggi dari orang tua mereka. Walaupun untuk mencapai itu butuh
perjuangan dan kerja keras, seperti yang dikatakan Hendropuspito (2004:
108-109), mengatakan status dapat diperoleh dari:
1. Achieved status diperoleh seseorang bukan secara kebetulan, melainkan
atas usaha sendiri. Misalnya si A adalah seorang anak petani. Berkat
ketekunan dalam pelajaran di Sekolah Dasar sampai dengan perguruan
tinggi, ia berhasil menjadi seorang insinyur.
2. Ascribed status diperoleh orang tanpa usaha sendiri. Seorang Sultan,
misalnya Hamengkubuwono IX, dapat menduduki jabatan sultan bukan
semata-mata karena usahanya sendiri, melainkan karena keturunan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam novel LP termasuk dari Achieved Status
yaitu memperoleh status sosial yang tinggi atas usaha dan kerja keras mereka
sendiri. Setelah dewasa anak-anak Laskar Pelangi tumbuh menjadi orang yang
sukses dan berpendidikan, seperti Kucai menjadi ketua salah satu fraksi di DPRD
Belitong, dan gelar akademik yang paling tinggi di antara anak-anak Laskar
Pelangi lainnya. Berikut kutipannya;
Tidak hanya Kucai yang menjadi orang sukses, namun ada juga Syahdan
yang tidak jauh sukses dengan Kucai. Setelah dewasa Syahdan menjadi manajer
di salah satu perusahaan di Tangerang. Apabila Kucai yang paling tinggi gelar
akademiknya di antara anggota Laskar Pelangi lainnya, maka Syahdan lebih
sukses dari sudut material. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini;
“…Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor di Tangerang. Dari sudut pandang material, Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses.” (LP: 479).
Selain Kucai dan Syahdan yang status sosialnya lebih baik dari orang
tuanya, ada juga A-Kiong yang lebih baik dari pekerjaan orang tuanya yaitu
dengan menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi yang sangat miskin, tetapi
setelah dewasa A-Kiong dapat memperbaiki kehidupan keluarganya dengan
membuka toko kelontong dan menikah dengan Sahara. Baca kutipan berikut;
“Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa tadi.” (LP: 466).
Selain Kucai, Syahdan, dan A-Kiong, ada juga Lintang yang walaupun
pekerjaannya tidak lebih baik dari anggota Laskar Pelangi lainnya, setidaknya dia
dapat memenuhi permintaan ayahnya untuk tidak jadi nelayan seperti pekerjaan
ayahnya, tetapi menjadi supir truk. Dapat disimak pada kutipan berikut;
“Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan.” (LP: 472).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kehidupan masyarakat di Belitong
dalam novel LP sangat kontras status sosialnya antara masyarakat asli Belitong
masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Hal ini sejalan dengan pendapat
Hendropuspito (2004: 105-107), yang memaparkan faktor-faktor yang
menentukan kedudukan sosial adalah:
1. Kelahiran dalam suatu keluarga dianggap sebagai pangkal yang
meneruskan kedudukan keluarga itu pada keturunannya. Kelahiran dalam
keluarga yang kurang menguntungkan, baik dalam arti moral maupu n
ekonomi dan sosial, ternyata tidak dapat membebaskan keturunannya dari
“hukum karma” itu. Misalnya, anak-anak dari keluarga G30 S/PKI yang
tidak bersalah dalam pemberontakan itu, ternyata ikut menderita “dosa
warisan” itu.
Hal ini jelas terjadi pada masyarakat Belitong karena mereka hidup miskin
sejak dari leluhurnya karena Belitong dikuasai oleh penduduk pendatang
(Komunitas Gedong). Jadi, para anak-cucu penduduk asli mendapat warisan
bukan berupa uang atau kedudukan yang tinggi tetapi kemiskinan yang
turun-temurun.
2. Unsur-unsur biologis seperti jenis kelamin ikut menentukan kedudukan
sosial, baik individual maupun kategorial.
Kedudukan jenis kelamin yang tinggi adalah pria karena pria merupakan
tulang punggung dan sebagai imam bagi keluarganya. Tanggung jawabnya pun
lebih besar daripada wanita. Begitu juga dalam novel LP, seperti tokoh Lintang
yang harus berhenti sekolah karena menggantikan posisi ayahnya untuk mencari
3. Harta kekayaan juga merupakan faktor yang ikut menentukan kedudukan
sosial, baik perorangan maupun kategorial. Golongan orang kaya di
mana-mana mendapat kedudukan lebih tinggi daripada golongan orang miskin.
Faktor yang ketiga ini, dalam novel LP sangat kontras karena orang kaya
(Komunitas Gedong) mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari penduduk
asli Belitong. Ini terlihat dari masyarakat Gedong mendapatkan
kemudahan-kemudahan baik dari pendidikan maupun kesehatan. Sedangkan penduduk asli
hidup terpinggirkan.
4. Pekerjaan juga ikut menentukan kedudukan sosial seseorang. Pekerjaan
halus (otak/intelektual) umumnya dinilai lebih tinggi daripada pekerjaan
kasar (tangan), sehingga yang pertama menghasilkan kedudukan lebih
tinggi daripada yang kedua.
Pekerjaan juga menentukan kedudukan sosial seseorang, seperti orang staf
yang bekerja di Belitong dengan otaknya atau ilmunya sehingga dapat menguasai
Belitong. Sedangkan penduduk asli Belitong yang bodoh hanya bisa menjadi
buruh rendah di PN Timah. Tetapi ada salah satu penduduk asli Belitong yang
berhak tinggal di Gedong karena kepintarannya yaitu bapaknya Flo dan
mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi daripada penduduk asli Belitong
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas kedudukan sosial seseorang dalam
masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Dapat pula terjadi beberapa
faktor bersama-sama menentukan kedudukan sosial seseorang atau suatu
golongan. Dalam hal demikian, sulit menentukan faktor mana yang mempunyai
Akibat kontrasnya status sosial yang terjadi dalam masyarakat asli
Belitong dengan komunitas Gedong dapat terlihat pada pemilihan sekolah.
Anak-anak dari orang staf, sekolah di PN Timah yaitu sekolah yang paling elit di Pulau
Belitong dan hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kaya. Sedangkan anak-anak
penduduk asli Belitong hanya dapat sekolah di sekolah kampung, salah satunya
adalah sekolah Muhammadiyah. Sekolah yang paling miskin di Belitong. Di
sinilah anak-anak Laskar Pelangi didaftarkan oleh orang tuanya. Ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini;
“Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampong yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orang tua mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun. Para orang tua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena sifat firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapat pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.” (LP: 4).
Patokan yang menentukan status sosial seseorang dalam memilih sekolah, dapat
ditegaskan lagi pada kutipan berikut;
“Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orang tuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis,dan pintar-pintar luar biasa.” (LP: 59).
Andrea juga mampu mendeskripsikan status sosial yang terjadi pada
masyarakat Belitong dengan detail yang kuat yaitu orang staf yang tinggal di
Gedong dan adanya pembatas antara rumah orang staf dengan penduduk asli yang
tinggal di pinggiran. Berikut kutipannya;
peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.” Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililiti empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwits. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol dari Utara. Di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial.” (LP: 36).
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa status sosial seseorang berubah,
kuncinya adalah impian dan kerja keras. Itulah yang dilakukan oleh anak-anak
Laskar Pelangi, kemiskinan tidak menjadi alasan untuk tidak bersekolah dan
menuntut ilmu tetapi sebagai suatu dorongan untuk ke arah yang lebih baik lagi.
2.3 Segi Kesenjangan Sosial
Novel merupakan hasil dari kreativitas pengarang. Dalam hal ini, novel LP
menampilkan tentang kesenjangan sosial yang sangat kental antara orang staf dan
buruh yang hidup berdampingan. Kesenjangan dapat diartikan pembatas antara
seseorang dengan orang lain atau satu kelompok dengan kelompok lain.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi dkk. 2005: 1038)
kesenjangan berarti :
1. Perihal (yang bersifat, bercita) senjang; ketidakseimbangan:
ketidaksimetrisan;
2. Jurang pemisah: antara si kaya dan si miskin semakin lebar," jadi,
kesenjangan sosial adalah adanya jurang pemisah antarindividu-individu
atau kelompok masyarakat baik tanpa kedudukan sosial maupun materi
yang terjadi dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.
Akibat dari kesenjangan sosial adalah kemiskinan karena terjadinya
membantu si miskin, ini sangat jelas bahwa si kaya tetap kaya dan yang miskin
semakin miskin. Hal ini yang terjadi pada masyarakat asli Belitong dalam novel
LP.
Semua anggota Laskar Pelangi kecuali Flo adalah anak-anak karyawan
golongan rendah PN Timah yang umumnya orang-orang Melayu asli Belitong,
penduduk asli pulau penghasil timah terbesar (pada zamannya) itu. Orang-orang
Melayu Belitong ini tinggal terpisah dari mereka yang disebut "orang staf", yaitu
para pegawai yang menduduki posisi tinggi di PN Timah. Orang staf menempati
areal perumahan eksklusif yang disebut "Gedong". Seperti halnya perkebunan, PN
Timah yang juga sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) peninggalan
Belanda, masih menyisakan budaya kolonial di dalamnya. Para karyawannya
terbagi ke dalam dua golongan yaitu "staf" dan "nonstaf". Kelompok yang disebut
orang "staf" berada jauh di atas kelompk orang "nonstaf", dari segala hal jabatan,
gaji, status sosial, ekonomi, dan pendidikan. Biasanya para staf ini direkrut dari
luar wilayah pertambangan, misalnya Jakarta. Sedangkan para pribumi hanya
kebagian posisi di level "nonstaf". Kesenjangan sosial yang terjadi dalam
masyarakat pertambangan antara lingkungan orang staf PN Timah dan penduduk
asli sangat kontras, seperti orang staf tinggal di tempat elit dan orang nonstaf
tinggal di pinggiran. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini;
Berikutnya kutipan tentang kekontrasan tempat tinggal antara orang staf dan
buruh rendah yang sangat kontras dan terlihat kesenjangan sosial antara keduanya;
"Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi, berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampong Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang." (LP: 50).
Kesenjangan sosial yang terjadi antara orang staf dan buruh dapat dipertegas lagi
dengan kutipan berikut;
“Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.” Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz.” (LP: 36).
Orang staf yang kaya menjadi lebih kaya karena di kawasan Gedong
tertimbun kekayaan alam Belitong yang berada di sana. Sehingga orang staf dapat
mengolah dan menguasai Belitong. Ini dilihat pada kutipan di bawah ini;
“Tak disangsikan, jika di zoom out, kampong kami adalah kampong terkaya di Indonesia. Inilah kampong tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi….Namun, jika di zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.” (LP: 49).
Karena kekayaan alam Belitong tertimbun di kawasan Gedong, sehingga
tempat ini dijaga khusus oleh Polisi Khusus yang berjaga 24 jam. Apabila ada