• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR

2.3 Segi Kesenjangan Sosial

Novel merupakan hasil dari kreativitas pengarang. Dalam hal ini, novel LP menampilkan tentang kesenjangan sosial yang sangat kental antara orang staf dan buruh yang hidup berdampingan. Kesenjangan dapat diartikan pembatas antara seseorang dengan orang lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi dkk. 2005: 1038) kesenjangan berarti :

1. Perihal (yang bersifat, bercita) senjang; ketidakseimbangan: ketidaksimetrisan;

2. Jurang pemisah: antara si kaya dan si miskin semakin lebar," jadi, kesenjangan sosial adalah adanya jurang pemisah antarindividu-individu atau kelompok masyarakat baik tanpa kedudukan sosial maupun materi yang terjadi dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.

Akibat dari kesenjangan sosial adalah kemiskinan karena terjadinya pembatas antara si kaya dan si miskin, sehingga si kaya tidak memperdulikan atau

membantu si miskin, ini sangat jelas bahwa si kaya tetap kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini yang terjadi pada masyarakat asli Belitong dalam novel LP.

Semua anggota Laskar Pelangi kecuali Flo adalah anak-anak karyawan golongan rendah PN Timah yang umumnya orang-orang Melayu asli Belitong, penduduk asli pulau penghasil timah terbesar (pada zamannya) itu. Orang-orang Melayu Belitong ini tinggal terpisah dari mereka yang disebut "orang staf", yaitu para pegawai yang menduduki posisi tinggi di PN Timah. Orang staf menempati areal perumahan eksklusif yang disebut "Gedong". Seperti halnya perkebunan, PN Timah yang juga sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) peninggalan Belanda, masih menyisakan budaya kolonial di dalamnya. Para karyawannya terbagi ke dalam dua golongan yaitu "staf" dan "nonstaf". Kelompok yang disebut orang "staf" berada jauh di atas kelompk orang "nonstaf", dari segala hal jabatan, gaji, status sosial, ekonomi, dan pendidikan. Biasanya para staf ini direkrut dari luar wilayah pertambangan, misalnya Jakarta. Sedangkan para pribumi hanya kebagian posisi di level "nonstaf". Kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat pertambangan antara lingkungan orang staf PN Timah dan penduduk asli sangat kontras, seperti orang staf tinggal di tempat elit dan orang nonstaf tinggal di pinggiran. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini;

"Mereka, kaum borjuis ini bersemayam di kawasan ekslusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit put ih di wilayah Selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi peternalistik dari silsilah subkultur, atau privilese yang dianugrahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi diberbagai tempat lain." (LP: 42).

Berikutnya kutipan tentang kekontrasan tempat tinggal antara orang staf dan buruh rendah yang sangat kontras dan terlihat kesenjangan sosial antara keduanya;

"Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi, berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampong Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang." (LP: 50).

Kesenjangan sosial yang terjadi antara orang staf dan buruh dapat dipertegas lagi dengan kutipan berikut;

“Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.” Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz.” (LP: 36).

Orang staf yang kaya menjadi lebih kaya karena di kawasan Gedong tertimbun kekayaan alam Belitong yang berada di sana. Sehingga orang staf dapat mengolah dan menguasai Belitong. Ini dilihat pada kutipan di bawah ini;

“Tak disangsikan, jika di zoom out, kampong kami adalah kampong terkaya di Indonesia. Inilah kampong tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi….Namun, jika di zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.” (LP: 49).

Karena kekayaan alam Belitong tertimbun di kawasan Gedong, sehingga tempat ini dijaga khusus oleh Polisi Khusus yang berjaga 24 jam. Apabila ada penduduk asli yang tidak memiliki hak untuk masuk ke dalam Gedong, maka

Polisi Khusus tersebut akan mengamankan dan menginterogasi orang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut;

“Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi- koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.” (LP: 43).

Dari kutipan di atas, sangat jelas bahwa kesenjangan sosial yang dibuat oleh komunitas Gedong pada orang Melayu asli Belitong, juga terlihat perbedaan tempat tinggal antara orang staf yang tinggal di Gedong sedangkan karyawan rendah atau penduduk asli tinggal di pinggiran.

Selain kesenjangan sosial pada tempat tinggal penduduknya juga terjadi pada sekolah. Orang tua anak-anak Laskar Pelangi hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah, sekolah miskin di Belitong karena orang tua mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah PN Timah. Berikut kutipan kemewahan sekolah PN;

"Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sangat tinggi, sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP, laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olah raga, termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: Zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas, "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK." (LP: 58).

Kutipan di atas menunjukkan fasilitas dan perlengkapan sekolah yang lengkap sehingga murid yang sekolah di PN Timah menjadi anak-anak yang pintar dan dapat belajar dengan nyaman. Berbeda halnya dengan sekolah Muhammadiyah yang sangat minim dan serba kekurangan baik tenaga pengajar,

seragam sekolah, maupun fasilitasnya. Ini dapat disimak pada kutipan di bawah ini;

"Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammdiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam, kami juga tak punya kotak P3K. jika kami sakit, sakit apa pun; diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC, itulah pil APC yang legendaris dikalangan rakyat pinggiran Belitong, obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit." (LP: 18).

Selain minimnya atau terbatasnya sekolah Muhammadiyah, murid- muridnya juga dalam keadaan miskin. Sehingga sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan atau memberatkan murid dalam bentuk materi. Sedangkan para gurunya, hanya digaji dengan 15 kg beras oleh pihak pemerintah daerah, itu pun sering telat diberikan, tetapi para guru yang mengajar di Muhammadiyah, seperti Bu Mus dan Pak Harfan, mengajar dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Berikut kutipannya;

“Ia paham betul kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa pun yang mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran sepatunya. Orang tua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.” (LP: 84).

Dari petikan di atas, sangat jelas sekali adanya kesenjangan sosial, terlihat pada tulisan yang terpampang, "dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak." Tulisan ini ditujukan untuk orang-orang miskin atau penduduk asli Belitong yang tidak boleh masuk ke kawasan Gedong tersebut. Oleh karena itu, penduduk asli Belitong terjajah di rumahnya sendiri. Ini terlihat pada kutipan berikut;

"Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi." (LP: 38-39). Dari uraian di atas, sangat jelas sekali gambaran kemiskinan dalam novel LP dilihat dari sudut kesenjangan sosialnya yang membuat jarak antara si miskin dengan si kaya.

Dokumen terkait