• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL A. HASJMY

2.2 Salasilah A. Hasjmy

2.3.3 Faktor Warisan Kebudayaan Aceh

Aceh sebagai wilayah pertama masuknya Islam dan pusat penyebaran Islam ke seluruh Nusantara bukan hanya di sana pernah berdiri tegak pelbagai Kerajaan Islam dan Kerajaan Aceh Darussalam dicatat dalam sejarah sebagai lima besar kekuatan dunia pada abad ke XIV yang kemudian diruntuh-kan oleh kafir Belanda dalam perang (1873-1942), tetapi juga Aceh memiliki warisan intelektual, kebudayaan atau-pun peradaban Islam yang kaya.38 A. Hasjmy sebagai seorang

37Ibrahim Hasan, Memasuki usia emas. Dlm. Badruzzaman Islamil et al., 1994, hlm. 35.

38A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam sejarah, Jakarta: Beuna, 1983 ; Osman Raliby, Aceh, sejarah dan kebudayaannya. Dlm. Ismail Suny et al., 1980, hlm. 27-44 ; Mohammad Said, Aceh sepanjang abad, Medan :

pelajar yang mencintai sejarah dan kebudayaan Islam tentu saja menaruh perhatian yang begitu besar pada warisan in-telektual Aceh. Hal ini boleh dilihat pada kajian dan kary-anya mengenai pelbagai bidang warisan intelektual Aceh. A. Hasjmy sedar bahawa Aceh mempunyai warisan se-jarah peradaban Islam yang gemilang. Kesedaran ini men-imbulkan minat baca yang tinggi terhadap sejarah dan per-adaban Aceh yang kemudian menjadi satu faktor yang mempengaruhi peribadi dan pemikirannya. A. Hasjmy me-mang bukanlah murid Hamzah Fansuri, Syamsuddin| al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, Abdul Rauf al-Singkili, Jala-luddin al-Tursani, Teungku Chik Kuta Karang ataupun Teung-ku Chik Pante Kulu, tetapi kesukaan A. Hasjmy membaca dan mengkaji karya mereka dan pelbagai karya ulama Aceh lain-nya menjadikanlain-nya seorang yang memahami dan menguasai warisan intelektual ulama Aceh yang masyhur hingga hari ini. Hal ini kemudian bukan hanya membentuk peribadi dan pe-mikiran di mana ia tampil sebagai tokoh sejarah, adat dan bu-daya Aceh, tetapi juga berupaya mendakwahkan kebubu-dayaan Aceh sebagai bahagian dari kebudayaan Islam ke manapun ia pergi sama ada melalui tulisan, pendidikan, seminar ataupun tindakan nyata sebagai orang yang menjaga dan mengembang-kan budayanya sepertimana yang amengembang-kan dijelasmengembang-kan dalam bab lima. Oleh itu, bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan jika A. Hasjmy dianggap sebagai pakar sejarah dan kebudayaan Aceh. 2.3.4 Faktor Kondisi Masyarakat Aceh

Selain faktor pendidikan, organisasi dan warisan inteltual Aceh, faktor kondisi masyarakat Aceh juga ikut membentuk

keperiba-Mohammad Said, 1961; M. Yunus Jamil, Tawarikh raja-raja kerajaan

dian dan pemikiran A. Hasjmy. Kondisi masyarakat Aceh yang dimaksudkan di sini adalah suasana perjuangan dan peperangan di medan jihad yang berlaku di Aceh. Cuba diperhatikan, perang Aceh melawan Belanda mengikut pandangan Paul van’t Veer ber-laku sejak tahun 1873-1942 Masihi (selama 69 tahun)39 sehingga Belanda berhasil diusir dari Aceh. Jika dilihat dari tarikh kelahiran A. Hasjmy (28 Mac. 1914 M.), maka jelaslah bahawa ia dilahir-kan budilahir-kan hanya dalam rumah tangga pejuang di mana Pang Husein (datuk dari pihak ibunya) syahid dalam medan jihad dan Pang Abbas (datuk dari pihak ayahnya) sebagai pejuang pada masa perang melawan Belanda, tetapi juga di luar rumahnya di seluruh Aceh masih berlangsung jihad dalam bentuk perang ger-ila. Meskipun suasana tampak tenang, tetapi kondisi Aceh tetap bagaikan api dalam sekam.

Kondisi tersebut secara psikologis tentu memberi pen-garuh dalam jiwa dan pemikirannya di mana ia mengang-gap bahawa Belanda sebagai musuh agama dan bangsanya yang harus diperangi, kerana Belanda telah merosakkan dan menghancurkan Kerajaan Aceh Darussalam pada khususnya dan dakwah Islamiyah di Nusantara pada um-umnya. Tambahan lagi, ketika ia belajar di Padang Panjang sikap penceroboh Belanda dan kaki tangannya tidak pernah memberi ruang gerak terhadap bangsanya. Ia dan beberapa kawan seperjuangannya dimasukkan ke dalam penjara, bah-kan institusi tempat ia belajar digeledah dan beberapa guru-nya dilarang mengajar, kerana dituduh melanggar undang-undang Belanda yang disebut dengan Vergadering Verbond (larangan mesyuarat).40

39Paul Van’t Veer, Perang Belanda di Aceh, Banda Aceh; Dinas Pen-didikan dan Kebudayaan, 1977, hlm. 8 dan A. Hasjmy,1978b, hlm. 11.

Implikasi lebih jauh dari kondisi jihad masyarakat Aceh terhadap perjuangan A. Hasjmy antaranya adalah sejak masih muda ia mulai berjuang melawan Belanda dengan tu-lisan dan pada waktu yang tepat iapun mengangkat senjata meneruskan perjuangan datuk, para syuhada dan rakyat Aceh lainnya untuk melawan penceroboh Belanda.41 Bah-kan, dalam karyanya Dustur Dakwah ia mengungkapkan bahawa jihad (perang) diperlukan dalam mempertahankan dan melindungi dakwah Islamiyah.42 Pandangan A. Hasjmy ini juga disokong oleh HAMKA dalam karyanya Prinsip dan

Kebijaksanaan Dakwah Islam.43

Jika disemak sejarah perjuangan dan pergolakan yang ber-laku di Aceh maka keperibadian dan pemikiran A. Hasjmy tidak pernah luput dari suasana perang di mana pemimpin dan rakyat Aceh terus berjuang melawan kezaliman bangsa pencer-oboh Belanda (1873-1942), melawan Jepun (1944-1945), mel-awan Hulubalang Cumbok (kaki tangan penceroboh Belanda) pada tahun 1945, melawan agresi (serangan) Belanda (1947-1948), melawan kezaliman pemerintahan “orde lama” yang dikenal dengan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) (1953-1962), melawan pengkhianatan P.K.I (Parati Komunis Indonesia) pada tahun 1965 dan perang mel-awan pemerintah pusat yakni pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tahun 1976-2005. Panjangnya sejarah perang di Aceh, bukan hanya membentuk peribadi dan pemikiran A. Hasjmy seorang, tetapi juga seluruh masyarakat Aceh terpen-garuh sehingga dalam masyarakat Aceh berkembang pepatah

41A. Hasjmy, 1980a, hlm. 23.

42A. Hasjmy, 1974, hlm. 56-57, 69, 315-317 dan 386-389.

43HAMKA, Prinsip dan kebijaksanaan dakwah Islam, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru, 1981, hlm. 7.

yang menggambarkan kondisi dan watak masyarakat Aceh yang dikenal gigih mempertahankan kebenaran, harkat dan martabatnya meskipun melalui jalan peperangan. 44

Sebagai tokoh Aceh yang hidup dalam kondisi perang, A. Hasjmy berjuang, berdakwah dan membangun Aceh juga dalam kondisi perang, bahkan pada waktu ia meninggal pun (18 Januari 1998, hari Minggu, pukul 15.00 WIB di Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh),45 kondisi Aceh masih dalam perang gerila antara GAM dengan pemerintah pusat. Perda-maian antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia baru dicapai pada 15 Ogos 2005 dengan ditandatanganinya “Per-janjian Helsinki”. Ringkasnya, keperibadian dan pemikiran A. Hasjmy juga dipengaruhi oleh situasi peperangan yang ber-laku di Aceh sejak ia lahir ke dunia sehingga ia meninggalkan dunia ini.