• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sampah Organik

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Menurut Indriani (2005), faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat antara lain:

1. Nilai nisbah C/N bahan. Semakin rendah nilai nisbah C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin singkat.

2. Ukuran bahan. Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya, karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan mikroba. Untuk itu, bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran lebih kecil. Bahan yang keras sebaiknya dicacah hingga berukuran 0,5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras dicacah dengan ukuran yang agak besar, sekitar 5 cm.

3. Komposisi bahan. Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar.

4. Jumlah mikroorganisme. Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, Actinomycetes, dan protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Dengan bertambahnya mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih cepat. Beberapa aktivator yang tersedia di pasaran antara lain EM-4, Orgadec, Stardec, Starbio, Fix-Up Plus, dan Harmony.

5. Kelembapan dan aerasi. Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembapan sekitar 40-70%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembapan yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari proses berlangsungnya pengomposan tersebut, aerobik atau anaerobik.

6. Temperatur. Pengomposan berlangsung secara optimal pada temperatur sekitar 30-50 oC (hangat). Bila temperatur terlalu tinggi mikroorganisme akan mati, sedangkan bila temperatur rendah menyebabkan mikroorganisme belum dapat bekerja dengan baik. Aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga temperatur tetap optimal sering dilakukan pembalikan. Namun, ada mikroorganisme yang bekerja pada temperatur yang relatif tinggi (mencapai 80 oC), seperti Trichoderma pseudokoningii dan

Cytophaga sp. Kedua jenis mikroorganisme ini digunakan sebagai aktivator dalam proses pengomposan skala besar atau skala industri (Suler & Finstein 1977).

7. Keasaman (pH). Nilai pH dalam tumpukan kompos mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik, yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur untuk menaikkan pH.

2.2.5 Biodekomposer

Biodekomposer merupakan bahan bioaktif yang mampu mendegradasi bahan-bahan organik secara lebih cepat. Beberapa jenis bahan-bahan ini yang telah beredar di pasaran antara lain:

1. EM-4. EM-4 dibuat dari bahan yang mengandung beberapa mikroorganisme yang sangat bermanfaat dalam proses pengomposan. Larutan EM-4 ini ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Mikroorganisme yang terdapat dalam larutan EM-4 terdiri atas bakteri fotosintetik, Lactobacillus (bakteri asam laktat), Actinomycetes, Streptomyces sp., dan ragi (yeast). EM-4 dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan aktivitas serangga, hama, dan mikro-organisme patogen (Sukmadi & Hardianto 2000). 2. Orgadec. Menurut Goenadi & Away (2000), Orgadec diformulasikan dengan bahan

aktif mikroba asli Indonesia yang memiliki kemampuan menurunkan C/N secara cepat dan bersifat antagonis terhadap beberapa jenis penyakit akar. Mikroba yang digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Kedua jenis mikroba tersebut memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan enzim penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Beberapa keunggulan Orgadec, yaitu 1) sesuai untuk kondisi tropis; 2) menurunkan rasio C/N secara cepat; 3) tidak membutuhkan tambahan nutrisi; 4) mudah dan tahan disimpan; 4) antagonis terhadap penyakit jamur akar; dan 5) penggunaannya dapat mengurangi pertumbuhan gulma.

3. Biodek. Biodek merupakan perombak bahan organik biologis yang diracik khusus untuk meningkatkan efisiensi dekomposisi residu tanaman, mengurangi penyebab penyakit, dan mengatasi masalah lingkungan pada sistem penumpukan sampah. Biodek dibuat dari campuran kapang Aspergillus niger dan Trichoderma sp. dan jamur Trametes versicolour. Penggunaan Biodek pada residu bahan organik

pertanian mampu mengubah lingkungan mikro tanah dan komunitas mikroba menuju peningkatan kualitas tanah dan produktivitas tanaman. Biodek memiliki kualitas yang konstan dalam merombak bahan organik. Bahan pembawa dilengkapi dengan bahan aktif yang mampu menjamin lamanya penyimpanan produk (Saraswati 2005).

2.3 Arang

Arang dapat dibuat dari bahan-bahan yang mengandung karbon (C) baik organik maupun anorganik, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang. Menurut Kinoshita (2001), arang adalah suatu elemen (bahan) padat berpori-pori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang mengandung karbon. Pirolisis merupakan proses pembakaran tidak sempurna suatu bahan yang mengandung senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida.

Demirbas (2005) menyatakan bahwa pada saat pirolisis, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga senyawa karbon yang kompleks sebagian besar terurai menjadi karbon atau arang. Pirolisis mulai terjadi pada suhu 150-300 oC yang berlangsung secara lambat (pirolisis primer lambat) dan pada suhu 300-400 oC berlangsung lebih cepat (pirolisis primer cepat). Hasil proses pirolisis lambat adalah arang, H2O, CO, dan CO2, sedangkan hasil pirolisis primer cepat adalah arang, gas-gas hidrokarbon, H2 dan H2O. Pirolisis pada suhu di atas 600 oC disebut pirolisis sekunder, dan hasilnya adalah gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon. Proses pirolisis sekunder umumnya digunakan untuk gasifikasi (Paris et al. 2005).

Sebagai bahan bakar, arang lebih menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberi kalor pembakaran yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Manocha (2003) mengatakan umumnya struktur arang berupa karbon amorf dan sebahagian besar terdiri atas karbon bebas. Arang tersusun dari atom-atom karbon bebas yang berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar. Sebahagian besar pori-pori arang masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain, seperti abu, air, nitrogen, dan sulfur (Puziy et al. 2002; Concheso et al. 2005).

Byrne & Nagle (1997) mengatakan bahwa penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terdiri atas empat tahap, yaitu: 1. Pada suhu 100-150 oC terjadi penguapan air;

2. Pada suhu 200-240 oC, terjadi penguraian hemiselulosa dan selulosa menjadi larutan pirolignat (asam organik dengan titik didih rendah, seperti asam asetat, formiat, dan metanol), gas kayu (CO dan CO2), dan sedikit ter;

3. Pada suhu 240-400 oC, terjadi proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C. Pada kisaran suhu ini selulosa sudah terdegradasi, lignin mulai terurai menghasilkan ter, larutan pirolignat dan gas CO2 menurun, sedangkan gas CO, CH4, dan H2 meningkat;

4. Pada suhu lebih dari 400 oC, terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih terurai sampai suhu 500 oC. Di atas suhu 600 oC mulai terjadi proses pembesaran luas permukaan karbon.

Menurut Djatmiko et al. (1985), standar mutu arang, yaitu kadar air 6%, kadar abu 4%, kadar zat mudah menguap 30% dengan titik bakar 300 oC menghasilkan ukuran partikel 95%, dan sifat kekerasan 90%. Arang yang baik mutunya adalah arang yang mempunyai kadar karbon tinggi dan kadar abu yang rendah. Manfaat dari arang antara lain untuk adsorpsi bahan asing pada pemurnian pelarut, minyak jelantah (goreng), bahan katalis dalam proses gasifikasi, dan pemupukan tanaman.