• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASBÀBUN-NUZÙL

C. Fase Perkembangan Asbàbun-Nuzùl

Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam ‘Ulùm Al-Qur’àn, asbàbun-nuzùl telah mengalami beberapa fase perkembangan. Berikut ini beberapa fase yang menandai pertumbuhan dan perkembangan ilmu asbàbun-nuzùl.

1. Fase Pertama

Fase ini terbentang sejak abad 1 hingga paruh pertama abad ke-2. Fase ini mencakup masa Nabi dan para sahabatnya berikut peristiwa-peristiwa sosial politik yang dialami umat Islam awal, mulai dari

penu-16 Keterangan lebih detail mengenai riwayat silakan lihat sebab nuzul nomor 21.

runan wahyu, konflik politik, terbentuknya pemerintahan Islam, hingga peresmian Mushaf Usmani.

Peristiwa-peristiwa yang tercantum dalam riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl sebenarnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa ke-nabian dan masa penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad. Karena itu, Nabi dan para sahabatnya mengetahui dengan pasti peristiwa, pertanya-an, pernyatapertanya-an, atau pengaduan yang melatarbelakangi penurunan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena tulis-menulis belum menjadi budaya yang populer di kalangan masyarakat Arab masa itu, maka untuk melestarikan riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl, para sahabat mengingat dan menghafal dengan ba-ik ayat-ayat Al-Qur’an yang turun berba-ikut peristiwa-peristiwa yang mela-tarbelakanginya.17

Pada masa itu, para sahabat belum menaruh perhatian serius untuk mengkodifikasi secara khusus asbàbun-nuzùl sebagai ilmu yang penting dalam upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Hal itu karena para saha-bat adalah generasi yang menyaksikan secara langsung penurunan wah-yu dan peristiwa serta lingkungan yang mengiringi penurunannya. Bah-kan, beberapa ayat turun berkenaan dengan diri mereka sendiri. Dengan demikian, pada saat itu belum ada faktor yang menuntut perlunya perha-tian atau kodifikasi atas asbàbun-nuzùl ayat-ayat Al-Qur’an.

2. Fase Kedua

Setelah Nabi wafat, tonggak misi penyebaran Islam beralih ke ta-ngan para sahabat. Merekalah yang kemudian menyebarkan petunjuk dan ajaran yang pernah disampaikan oleh Nabi. Dari para sahabat inilah gene-rasi tabiin menimba informasi terkait dengan Al-Qur’an.

Perhatian umat Islam terhadap asbàbun-nuzùl sesungguhnya bisa di-katakan dimulai pada masa tabiin ini. Mereka menerima banyak data dan informasi yang berkaitan dengan latar belakang penurunan ayat-ayat Al-Qur’an dari informasi yang disampaikan para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad. Karena itulah, dalam sumber-sumber asbàbun-nuzùl, banyak ditemukan riwayat-riwayat yang bersumber dari para sahabat terkenal, seperti Ibnu ‘Abbàs, ‘À’isyah, ‘Abdullàh bin Mas‘ùd, dan lain-lain.

17 Lihat: Muëammad Abù Zahw, Èadìš wa Muëaddišùn, (Riyad: Idàrah Buëùš

al-‘Ilmiyyah wa al-Iftà’, 1984), hlm. 49.

Kepada para sahabat inilah perawi-perawi terkenal dari kalangan tabiin berguru, seperti Zirr bin Èubaisy, Abù Wà’il Syaqìq bin Salamah,

‘Alqamah, Aswad, Sa‘ìd bin Jubair, ‘Aíà’ bin Abì Rabàë, Íàwus bin Kìsàn al-Yamaniy, ‘Urwah bin az-Zubair, Abù Salamah bin Abdirraëmàn, dan lain-lain. Riwayat-riwayat seputar asbàbun-nuzùl dinukil oleh para tabiin dari para sahabat yang menyaksikan atau mendengar langsung dari Ra-sulullah. Namun demikian, pada fase ini, ilmu asbàbun-nuzùl juga masih menjadi bagian ilmu yang partikular dan belum mendapat perhatian be-sar dari para ulama, sebagaimana perhatian terhadap sejarah hidup atau tonggak perjuangan Nabi Muhammad.

3. Fase Ketiga

Fase ini dimulai dari masa kodifikasi hadis dan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir, fikih, sirah, sejarah, dan sebagainya. Pada paruh ke-dua abad ke-2 Hijriah mulai berkembang upaya kodifikasi ilmu-ilmu Islam yang dimulai dengan perintah Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azìz untuk mulai mendokumentasikan hadis-hadis Nabi. Seiring berkembangnya kodifikasi hadis, perhatian terhadap asbàbun-nuzùl juga meningkat. Generasi akhir tabiin dan generasi sesudah tabiin semakin menunjukkan keingintahuan mereka terhadap berbagai peristiwa yang melatarbelakangi penurunan ayat-ayat Al-Qur’an. Rasa ingin tahu generasi pasca-tabiin ini mendapatkan jawaban dari riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para tabiin, yang ke-mudian mereka kodifikasikan dalam berbagai karya terkait Al-Qur’an.

Pada masa inilah muncul ulama-ulama yang mengkodifikasi hadis-hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya dari para sahabat, seperti Ibnu Juraij, Ibnu Isëàq, Màlik, Rabì‘ bin Ëàbië, Sa‘ìd bin Abì ‘Urubah, Èammàd bin Salamah, Sufyàn aš-Šauriy, al-Auzà‘iy, Ibnu al-Mubàrak, dan lain seba-gainya.18

Pada masa berikutnya muncul pula ulama-ulama yang secara khu-sus mengumpulkan hadis-hadis Nabi dalam karya-karya tersendiri, se-perti Abù Dàwùd aí-Íayàlisiy, Aëmad bin Èanbal, al-Bukhàriy, Muslim, Abù Dàwùd as-Sijistàniy, Abù ‘Ìsà at-Tirmižiy, an-Nasà’iy, Ibnu Màjah, dan lain-lain. Karya-karya para ulama inilah yang merupakan sumber utama riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl.

18 Muëammad Abù Zahw, al-Èadìš wa al-Muëaddišùn…, hlm. 244.

Perhatian terhadap asbàbun-nuzùl semakin meningkat seiring mun-culnya karya-karya dalam tafsir, hadis, qiraat, fikih, dan sebagainya. Na-mun demikian, perkembangan yang membuat para ulama klasik menaruh perhatian serius terhadap asbàbun-nuzùl adalah penukilan riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl dalam buku-buku tafsir yang disusun oleh para ulama sejak akhir abad ke-3, terutama sejak kemunculan tafsir Al-Qur’an lengkap yang ditulis oleh aí-Íabariy. Sejak itulah asbàbun-nuzùl sebagai sebuah ilmu mulai mendapat perhatian sehingga secara perlahan berubah menjadi se-buah disiplin ilmu tersendiri.

Menurut sebagian pakar ilmu Al-Qur’an, bangunan ilmu asbàbun-nuzùl mulai menemukan bentuk finalnya pada paruh kedua abad ke-4 H. Hal ini terlihat dari buku-buku tafsir yang muncul setelah aí-Íabariy yang meneguhkan penggunaan asbàbun-nuzùl dalam menjelaskan makna-makna Al-Qur’an, khususnya tafsir-tafsir yang memiliki corak fikih atau menekankan pada penafsiran ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, seperti Tafsìr Aëkàm Al-Qur’àn karya Abù Bakar Aëmad bin ‘Aliy yang masyhur dengan sebutan al-Jaêêàê (w. 370 H).19

Ilmu asbàbun-nuzùl semakin mengukuhkan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri mulai awal abad ke-5 H., setelah kurang lebih satu abad se-belumnya selalu menjadi bagian dari pembahasan tafsir Al-Qur’an secara umum. Fase peneguhan asbàbun-nuzùl ini ditandai oleh munculnya buku Asbàb an-Nuzùl karya Abù al-Èasan ‘Aliy bin Aëmad al-Wàëidiy.

Buku al-Wàëidiy ini merupakan buku pertama yang secara khu-sus memuat riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl. Buku ini sangat terkenal dan mendapat kedudukan istimewa setidaknya karena dua hal: pertama, da-lam buku-buku sejarah maupun ensiklopedi keilmuan Isda-lam klasik dan modern tidak disebutkan ada sebuah buku yang secara khusus mengkaji asbàbun-nuzùl sebelum munculnya buku al-Wàëidiy ini, dan kedua, buku ini adalah satu-satunya buku dari masa abad ke-1 H hingga ke-5 H yang sampai ke tangan kaum muslimin saat ini.20

Az-Zarkasyiy dan kemudian dikuatkan oleh as-Suyùíiy mengete-ngahkan pendapat bahwa ulama yang pertama menyusun karya khusus

19 Lihat: Bassàm Jamal, Asbàb an-Nuzùl, (Casablanca: al-Markaz aš-Šaqafiy al-‘Arabiy, 2005), hlm. 75.

20 Bassàm Jamal, Asbàb an-Nuzùl…, hlm. 82.

dalam bidang asbàbun-nuzùl adalah ‘Aliy bin al-Madìniy.21 Namun, penda-pat ini tidak terlalu kuat karena dua hal. Pertama, buku al-Madìniy yang menurut Ibnu an-Nadìm berjudul Kitàb at-Tanzìl22 belum pernah ditemu-kan naskahnya sehingga tidak ada ulama yang memberi informasi jelas mengenai kandungan buku tersebut. Ibnu an-Nadìm juga tidak mema-sukkan buku tersebut dalam kelompok buku-buku yang secara khusus membahas asbàbun-nuzùl. Kedua, al-Madìniy lebih dikenal sebagai seorang ahli hadis daripada ahli tafsir. Ia wafat pada paruh pertama abad ke-3 H (234 H.). Menurut Ibnu an-Nadìm, al-Madìniy memiliki beberapa karya dalam disiplin hadis dan ilmu hadis, seperti Kitàb al-Musnad li ‘Ilalih, Kitàb al-Mudallisìn, Kitàb aý-Ýu‘afà’, dan Kitàb al-‘Ilal.23 Sementara hingga akhir abad ke-3 H, saat aí-Íabariy meluncurkan tafsirnya, istilah asbàbun-nuzùl belum populer sebagai sebuah ilmu yang independen. Hingga masa ini asbàbun-nuzùl masih menjadi bagian dari pembahasan tafsir Al-Qur’an dan belum menjadi disiplin ilmu yang independen. Jadi, sulit untuk menyim-pulkan bahwa istilah asbàbun-nuzùl sudah mulai digunakan sebagai sebuah judul buku tersendiri sejak pertengahan pertama abad ke-3 H.

Karena itu, tonggak kemunculan asbàbun-nuzùl sebagai sebuah ilmu yang independen dalam ‘Ulùm Al-Qur’àn dapat dikatakan dimulai oleh al-Wàëidiy melalui karyanya, Asbàb an-Nuzùl, pada abad ke-5 H. Meski begitu, kemunculan karya khusus terkait asbàbun-nuzùl ini bisa dianggap cukup belakangan bila dibandingkan karya-karya dalam bidang-bidang

‘Ulùm Al-Qur’àn lainnya, seperti qiraat, ma‘ànì Al-Qur’àn, nàsikh-mansùkh, dan lainnya yang sudah muncul sejak akhir abad ke-2 H.

Dengan demikian, secara umum, fase-fase perkembangan ilmu asbàbun-nuzùl ini sesungguhnya selaras dengan fase-fase perkembangan keilmuan Islam di masa abad pertengahan Islam, yang dimulai dengan masa kemunculan, pertumbuhan, dan perkembangan, hingga masa ke-matangannya. Sebagaimana disiplin-disiplin keilmuan lainnya, ilmu asbà-bun-nuzùl juga tumbuh berkembang secara alami hingga menjadi disiplin keilmuan yang independen seperti sekarang ini.

21 Lihat: az-Zarkasyiy, al-Burhàn…., jld. 1, hlm. 45; as-Suyùíiy, al-Itqàn…, hlm. 93.

22 Lihat: Ibnu an-Nadìm, al-Fihrist, (Kairo: al-Hai’ah al-‘Àmmah li Quêùr aš-Šaqàfah, 2006), jld. 1, hlm. 231. Lihat juga: Èàjì Khalìfah, Kasyf aî-Îunùn ‘an Asàmì al-Kutub wa al-Funùn, (Beirut;

Dàr Iëyà’ at-Turàš al-‘Arabiy, t.th.), jld. 1, hlm. 76.

23 Ibnu an-Nadìm, al-Fihrist…, jld.1, hlm. 231.