• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem Kekhususan Sebab dan Keumuman Ayat

ASBÀBUN-NUZÙL

J. Problem Kekhususan Sebab dan Keumuman Ayat

Salah satu persoalan penting dalam pembahasan asbàbun-nuzùl yang banyak mendapat perhatian para ulama adalah bentuk pola hubungan

an-167 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 138 dan 153.

tara ayat dengan sebab nuzul, khususnya dari segi keumuman dan kekhu-susan masing-masing ayat dan sebab nuzul tersebut. Hal itu karena para ulama memandang bahwa mempertimbangkan pola hubungan umum dan khusus ini sangat penting terutama dalam proses menggali dan mem-bangun argumen dalam rangka penetapan sebuah status hukum syariat.

Untuk itu, para ulama telah membuat beberapa kategorisasi terha-dap keragaman pola umum dan khusus yang terterha-dapat pada asbàbun-nuzùl dan ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu:

Pertama, sebab nuzul bersifat umum dan ayat yang turun meres-ponsnya juga bersifat umum. Kategori ini tidak diperdebatkan oleh para ulama karena keduanya serasi. Sebab nuzul yang umum direspons oleh teks ayat yang juga umum sehingga sifat keumuman dari hukum yang disimpulkan dari ayat tersebut didapatkan melalui keumuman kedua teks sebab nuzul dan ayat. Contoh kategori ini adalah sebab nuzul Surah al-Baqarah/2: 220,

ﭣ ﭢ ﭡﭠ ﭟ ﭞ ﭝﭜ ﭛ ﭚ ﭙ ﭘﭗ ﭖ ﭕ ﭱ ﭰ ﭯ ﭮ ﭭ ﭬﭫ ﭪ ﭩ ﭨ ﭧﭦ ﭥ ﭤ

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Kata-kanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mem-pergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah meng-hendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Maha-perkasa, Mahabijaksana. (al-Baqarah/2: 220)

Sebab turun ayat di atas adalah sebagai berikut.

) ُن َسْح َ أ َ ِه ْ ِتَّلاِب َّلِإ ِمْيِتَ ْلا َلاَم اْوُبَرْقَت َلَو( ُةَي ْلا ِهِذَه ْتَلَزَن اَّمَل :َلاَق ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع ،ُهَماَع َطَو ِمْيِتَ ْ

لا َلاَم ُساَّلنا َبَنَتْجِا : َلاَق )اًمْلُظ َماَتَ ْلا َلاَوْمَأ َنْوُلُكْأَي َنْيِ َّلا َّنِإ( َو :ُللها َلَزْن َ

أَف ،َمَّلَسَو ِهْي َلَع ُللها َّل َص ّ ِ ِب َّلنا َلِإ َكِلَذ اْوَكَشَف ،َ ْيِمِلْسُمْلا َ َع َكِلَذ َّقَشَف

168

.)ْمُكَتَنْع َ َ ل :ِ ِلْوَق َ

لِإ ... ٌ ْيَخ ْمُه َل ٌح َل ْصِإ ْلُق َماَتَ ْلا ِنَع َكَنْوُل َ أ ْسَيَو(

168 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 20.

Ibnu ‘Abbàs berkata, “Ketika turun firman Allah walà taqrabù màlal-yatìmi illà billatì hiya aësan dan innal-lažìna ya’kulùna amwàlal-yatàmà îulman, para sahabat berusaha menjauhi harta dan makanan anak yatim. Hal ini membuat kaum muslim merasa berat—karena banyak anak yatim yang telantar kare-nanya. Mereka lantas mengadukan hal tersebut kepada Nabi êallallàhu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah wa yas’alùnaka ‘anil-yatàmà qul iê-làëul-lahum khaìr ... hingga firman-Nya, la-a‘natakum.

Sebab nuzul maupun ayat dalam contoh ini bersifat umum karena sebabnya melibatkan umat Islam secara umum pada masa Nabi Muham-mad dan hukum yang dibawanya berlaku bagi seluruh umat Islam dari awal hingga berikutnya.

Kedua, sebab nuzul bersifat khusus dan ayat yang menanggapinya juga bersifat khusus. Seperti sebelumnya, kategori ini juga tidak diperde-batkan oleh para ulama karena keduanya serasi. Sebab nuzul yang khusus direspons oleh teks ayat yang juga khusus sehingga sifat khusus dari hukum yang disimpulkan dari ayat tersebut didapatkan melalui kekhususan kedua teks sebab nuzul dan ayat. Sebagai misal adalah Surah Àli ‘Imràn/3: 128,

ﯔ ﯓ ﮱ ﮰ ﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨ ﮧ

Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat me-reka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. (Àli

‘Imràn/3: 128)

Ayat di atas turun berkenaan dengan kisah berikut ini.

َمْوَي ُهُتَيِعاَبَر ْتَ ِس ُك َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها َلْوُسَر َّنَأ ،ُهْنَع ُللها َ ِضَر ٍسَنَأ ْنَع ْمُهَّيِبَن اْوُّجَش ٌمْوَق ُحِلْفُي َفْي َك : ُلْوُقَيَو ،ُهْنَع ُمَّلا ُتُلْسَي َلَعَجَف ،ِهِسْأَر ْ ِف َّجُشَو ٍدُحُأ ِرْم َ ْ

لا َنِم َكَل َسْي َل( : َّلَجَو َّزَع ُللها َلَزْنَأَف ؟ِللها َلِإ ْمُهْوُعْدَي َوُهَو ُهَتَيِعاَبَر اْوُ َسَكَو

169

.)ٌء ْ َش

Anas (bin Màlik) raýiyallàhu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah êallallàhu

‘alaihi wasallam terluka pada Perang Uhud; gigi serinya tanggal dan kulit

ke-169 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 39.

palanya tersayat. Sambil mengusap darah yang mengalir dari luka itu beliau berkata, “Bagaimana mungkin kaum yang melukai nabi mereka dan membuat gigi serinya tanggal akan beruntung, padahal ia menuntun mereka menuju Allah?” Allah ‘azza wajalla lantas menurunkan firman-Nya, laisa laka minal-amri syai’un.

Sebab nuzul dan ayat ini sama-sama bersifat khusus karena pelaku dalam sebab nuzulnya hanya Nabi Muhammad dan apa yang disampaikan ayat itu juga hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad.

Ketiga, sebab nuzul bersifat umum dan ayat yang turun bersifat khu-sus. Kategori ini bersifat asumtif belaka dan tidak ada bentuk nyatanya dalam Al-Qur’an. Bentuk semacam ini dipandang tidak sesuai dengan ke-luhuran seni sastra Al-Qur’an (balàgah al-Qur’àn). Bagi para ulama, sebab nuzul itu laksana pertanyaan dan ayat yang meresponsnya adalah jawab-annya. Ketidaksesuaian antara pertanyaan dan jawaban merupakan cela dalam estetika kesusasteraan (balàgah).170

Keempat, sebab nuzul bersifat khusus dan ayat yang meresponsnya bersifat umum. Kategori inilah yang paling banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan menjadi pangkal perdebatan para ulama. Perdebatan yang mengemuka di kalangan para ulama adalah mana di antara keduanya yang harus dijadikan pijakan dalam menetapkan sebuah hukum, apakah berdasarkan sebab yang khusus ataukah teks ayat yang umum.

Jika yang dijadikan pijakan adalah keumuman teks ayat maka teks ayat tetap berlaku umum, mencakup yang tersebut dalam sebab nuzul dan pihak-pihak atau hal-hal lain yang serupa dengan sebab nuzul. Akan tetapi, bila kekhususan sebab yang dijadikan pijakan, teks ayat yang umum tidak lagi berlaku umum, melainkan terbatas pada pihak-pihak atau hal-hal yang disebutkan dalam sebab nuzul. Hukum yang disimpulkan dari teks ayat tidak dapat diberlakukan pada pihak atau hal lain, kecuali me-lalui sebuah prosedur lain di luar prosedur tekstual.

Pendapat para ulama dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok.171

170 Lihat: Muëammad Abù Syuhbah, al-Madkhal…., hlm. 155.

171 Muëammad Abù Syuhbah, al-Madkhal…., hlm. 155. Lihat juga: az-Zarkasyiy, al-Bur-hàn..., jld.1,hlm. 57; as-Suyùíiy, al-Itqàn…, hlm. 95; az-Zarqàniy, Manàhil al-‘Irfàn…, hlm., 104; Mu-ëammad Sayyid Jibrìl, Asbàb an-Nuzùl, hlm. 51-57.

Kelompok pertama berpendapat, yang menjadi pijakan adalah teks ayat yang umum, bukan sebab nuzul yang khusus. Dengan demikian, keumuman sebuah teks ayat tidak gugur akibat sebab nuzul yang khu-sus. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama, seperti Imam Abù Èanìfah, asy-Syàfi‘iy, dan Aëmad. Kalangan ahli fikih dan pakar usul fi-kih mengakui bahwa pendapat inilah yang paling kuat. Ibnu al-Èàjib me-nguatkan dengan mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat ma-yoritas (jumhur) ulama. Argumen-argumen kelompok pertama ini adalah sebagai berikut.

1. Keumuman sebuah teks ayat itu dilihat dari redaksi tesktualnya, bu-kan dari ada atau tidaknya sebab nuzulnya. Jadi, meskipun sebuah ayat memiliki asbàbun-nuzùl, lalu asbàbun-nuzùl-nya diabaikan, ia akan tetap bersifat umum, sama dengan ayat yang tidak memiliki sebab nuzul. Jadi, baik ada atau tidak ada sebab nuzul, sebuah teks ayat tetap bersifat umum karena sifat keumumannya dipandang dari segi redaksi tekstualnya (lafî).

2. Yang harus dijadikan landasan argumen hukum adalah teks ayat yang diturunkan Allah, bukan peristiwa yang menjadi sebab nuzulnya. Ka-rena itu, sangat penting memperhatikan bentuk umum atau khusus suatu teks ayat dalam menyimpulkan sebuah hukum.

3. Jika sebuah teks ayat gugur keumumannya karena memiliki sebab nuzul yang khusus, berarti sebab nuzul yang khusus dapat menggu-gurkan sifat umum sebuah teks ayat. Hal ini sulit diterima mengingat pada dasarnya sebab nuzul yang khusus tidak dapat menggugurkan keumuman ayat. Selain itu, sudah menjadi kelaziman bahwa beberapa ketentuan yang umum dibangun atas dasar sebab-sebab yang khusus, sebagaimana banyak dipraktikkan oleh para sahabat Nabi. Mereka te-tap berpegangan pada sifat keumuman ayat meskipun mereka tahu bahwa ayat tersebut turun karena sebuah sebab yang khusus.

4. Teks ayat yang umum, meski dilatarbelakangi oleh sebuah sebab yang khusus, tetap tidak bisa dibatasi berlakunya hanya pada sebab yang khusus tersebut. Seperti halnya sebuah pidato, meskipun disampaikan dalam waktu dan tempat tertentu, namun isinya tetap berlaku umum dan tidak terbatas pada tempat dan waktu tersebut saja.

5. Sebuah teks ayat yang umum, jika hanya dibatasi pada konteks sebab nuzulnya yang khusus, maka hal itu berarti mengabaikan nilai tambah

lain yang disampaikan oleh teks ayat tersebut. Mempertimbangkan nilai tambah atau hal-hal lain yang disampaikan dalam sebuah teks ayat jelas lebih utama daripada melupakannya.

Kelompok kedua berpandangan, yang menjadi rujukan adalah sebab yang khusus, bukan teks ayat yang umum. Jadi, teks ayat yang bersifat umum harus dipahami berdasarkan sebab nuzulnya yang bersifat khusus.

Pandangan ini dinisbahkan kepada Imam Màlik, asy-Syàfi‘iy, Aëmad, Abù Šaùr, al-Muzaniy, dan lain-lain. Argumen kelompok kedua ini adalah:

1. Jika suatu teks ayat yang memiliki sebab nuzul tetap harus dipahami berdasarkan sifat umumnya, berarti asbàbun-nuzùl tidak ada gunanya.

Berarti pula para sahabat dan tabiin yang meriwayatkan peristiwa nuzùl dan ulama yang menyusun karya-karya dalam asbàbun-nuzùl juga melakukan usaha yang sia-sia, padahal sesungguhnya tidak demikian. Para ulama meriwayatkan asbàbun-nuzùl adalah karena as-bàbun-nuzùl dapat menggugurkan keumuman sebuah teks ayat.

2. Teks ayat yang turun untuk merespons sebab nuzul yang khusus itu berarti untuk menjelaskan posisi hukum dari sebab nuzul tersebut.

Jika tidak, mustahil ayat tersebut turun belakangan menunggu hingga waktu terjadinya peristiwa yang tersebut dalam sebab nuzulnya. Jadi, jika ayat tersebut turun untuk menanggapi sebab nuzulnya, sudah se-mestinya ayat itu dipahami berdasarkan sebab nuzulnya yang khusus.

3. Jika teks ayat yang memiliki sebab nuzul khusus harus dipahami ber-dasarkan sifat umumnya, itu berarti memperbolehkan pengecualian terhadap sebab nuzul tertentu dan mengabaikannya berdasarkan upa-ya ijtihad, terutama jika ada teks aupa-yat lain upa-yang men-takhêìê aupa-yat per-tama. Sebagaimana juga berarti boleh men-takhêìê hal-hal lain yang serupa dengan sebab nuzul pertama dan sesuai dengan maksud teks ayat yang bersifat umum. Padahal, menurut para ulama, dalam kon-teks relasi sebab nuzul dan ayat yang seperti ini, mengabaikan sebab nuzul dengan sebuah upaya ijtihad tidak diperbolehkan.

4. Teks ayat yang bersifat umum sesungguhnya merupakan jawaban terhadap sebab nuzulnya sendiri. Karena itu, keduanya harus selaras.

Karena sebab nuzulnya khusus, ayat yang menjawabnya juga harus dipahami secara khusus. Jika tidak demikian, berarti keduanya tidak selaras dan ayat tersebut seperti ayat yang turun tanpa sebab. Hal se-perti itu jelas menodai keluhuran sastra Al-Qur’an.

Demikianlah perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini berikut argumennya masing-masing. Mayoritas (jumhur) ulama sepanjang seja-rah Islam hingga kini mengunggulkan dan menganut pendapat pertama, yaitu menjadikan keumuman teks ayat sebagai pijakan penetapan hukum, dan bukan kekhususan asbàbun-nuzùl.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya selu-ruh ulama sepakat memberlakukan secara umum seluselu-ruh hukum yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum sehingga tidak terbatas pada peristiwa yang tersebut dalam asbàbun-nuzùl-nya yang bersi-fat khusus. Apalagi, jika tidak ada variabel dan indikasi yang menghalangi pemaknaaan umum tersebut.

Dengan kata lain, para ulama sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dan memiliki asbàbun-nuzùl yang khusus itu kandung-an hukumnya dapat berlaku bagi semua pihak dkandung-an kondisi ykandung-ang tercakup dalam asbàbun-nuzùl itu dan juga lainnya. Perbedaan ulama hanyalah pada metode dan prosedur penetapan hukum terkait dengan pihak atau kondisi lain yang serupa namun tidak disebut dalam asbàbun-nuzùl. Mayoritas ulama menyimpulkan hukum berdasarkan teks ayat yang bersifat umum, sementara sebagian ulama lainnya menetapkan hukum umum berdasar-kan prosedur qiyàs, yaitu menganalogiberdasar-kan kondisi yang dihadapinya de-ngan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi sebagaimana dise-butkan dalam riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl.