• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Asbàbun-Nuzùl 1. Pengertian Etimologis

ASBÀBUN-NUZÙL

B. Pengertian Asbàbun-Nuzùl 1. Pengertian Etimologis

Asbàbun-nuzùl terdiri atas dua kata: asbàb dan nuzùl. Untuk menge-tahui maksud istilah ini perlu dikemukakan arti etimologis dari masing-masing kata asbàb dan nuzùl, kemudian arti dua kata tersebut setelah diga-bung menjadi satu.

Asbàb adalah bentuk plural dari kata sabab yang berarti sesuatu yang menyebabkan adanya atau terjadinya sesuatu yang lain. Dalam terminolo-gi Al-Qur’an, kata sabab atau asbàb juga digunakan untuk menunjukkan beberapa arti lainnya, yakni:9

a. Hubungan dan tali penyambung, sebagaimana dalam firman Allah,

ﮩ ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮡ ﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮫ ﮪ

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus. (al-Baqarah/2: 166)

9 Lihat: Ibnu Manîùr, Lisàn al-‘Arab, (Beirut: Dàr Ëàdir, t.th.), juz 1, hlm. 458-459.

b. Tali, sebagaimana dalam firman Allah,

ﰑ ﰐ ﰏ ﰎ ﰍ ﰌ ﰋ ﰊ ﰉ ﰈ ﰇ ﰆ ﰅ ﰄ ﰃ ﰙ ﰘ ﰗ ﰖ ﰕ ﰔ ﰓ ﰒ

Barangsiapa menyangka bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muham-mad) di dunia dan di akhirat, maka hendaklah dia merentangkan tali ke langit-langit, lalu menggantung (diri), kemudian pikirkanlah apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. (al-Èajj/

22: 15)

c. Pintu, sebagaimana dalam ayat,

ﮗ ﮖ ﮕ ﮔ ﮓ ﮒ ﮑ ﮐ ﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨﮧ ﮦ ﮥ ﮤ

Dan Fir‘aun berkata, “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap memandangnya seorang pendusta.” Dan demikianlah dijadikan terasa indah bagi Fir‘aun perbuatan buruknya itu, dan dia tertutup dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir‘aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. (Gàfir/40: 36-37)

Sementara itu, kata nuzùl berarti jatuh dari tempat yang tinggi.

Kata ini dapat ditemukan di beberapa ayat Al-Qur’an. Di antaranya dalam ayat-ayat berikut ini.

ﯧ ﯥ ﯤ ﯣ ﯢ ﯡ ﯠ ﯟ ﯞ ﯝ ﯜ ﯛ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok. (al-Kahf/18: 1)

ﮔ ﮓ ﮒ ﮑ ﮐ ﮏ ﮎﮍ ﮌ ﮋ ﮊ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆ

Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih. (al-Furqàn/25: 48)10

Dalam pembahasan ini, kata sabab atau asbàb tergabung dengan kata nuzùl sebagai sebuah istilah bagi cabang ilmu Al-Qur’an yang menjelas-kan peristiwa-peristiwa yang melatarbelamenjelas-kangi penurunan ayat-ayat Al-Qur’an.

2. Pengertian Terminologis

Sebagaimana kebiasaan para ulama, setiap istilah ilmiah dalam ka-jian ilmu-ilmu keislaman selalu dimulai dengan menjelaskan pengertian istilah ilmiah tersebut, termasuk asbàbun-nuzùl. Namun demikian, dari beberapa sumber tidak ditemukan pengertian yang jelas tentang asbàbun-nuzùl. Hal ini boleh jadi disebabkan karena para ulama lebih memfokuskan perhatiannya pada substansi kajian asbàbun-nuzùl, yaitu riwayat-riwayat yang dianggap menjelaskan sebab-sebab turun suatu ayat Al-Qur’an.

Beberapa ulama yang memberikan pengertian asbàbun-nuzùl, di an-taranya adalah:

a. Jalàluddìn as-Suyùíiy, yang menyatakan bahwa asbàbun-nuzùl ialah sesuatu yang terjadi pada waktu atau masa tertentu dan menjadi pe-nyebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.11

b. ‘Abdul ‘Aîìm az-Zarqàniy, yang mengatakan bahwa asbàbun-nuzùl adalah sesuatu yang terjadi pada waktu atau masa tertentu dan menjadi penyebab turun satu atau beberapa ayat Al-Qur’an sebagai penjelasan kandungan dan penjelasan hukum terkait sesuatu tersebut.12 Penger-tian serupa juga dikemukakan oleh Muëammad Abù Syuhbah.13 c. Mannà‘ Khalìl al-Qaííàn, yang mengungkapkan bahwa asbàbun-nuzùl

yaitu sesuatu, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan, yang terjadi

10 Lihat: ar-Ràgib al-Aêfahàniy, al-Mufradàt fì Garìb al-Qur’àn, ed. Muëammad Sayyid Kai-làniy, (Beirut: Dàr al-Ma‘rifah, t.th.), hlm. 488.

11 Jalàluddìn as-Suyùíiy, Lubàb an-Nuqùl fì Asbàb an-Nuzùl, (Beirut: Mu’assasah al-Kutub aš-Šaqafiyyah, 2002), hlm. 8. Lihat juga: al-Itqàn …, hlm. 92-93.

12 Mùëammad ‘Abdul ‘Aîìm az-Zarqàniy, Manàhil al-‘Irfàn …, jld. 1, hlm. 189.

13 Lihat juga: Mùëammad Abù Syuhbah, al-Madkhal li Diràsàt al-Qur’àn al-Karìm, (Riyad:

Dàr al-Liwà’, 1987), hlm. 131.

pada waktu atau masa tertentu, dan menjadi penyebab turunnya Al-Qur’an.14

Beberapa pengertian lain yang cenderung serupa juga dikemukakan oleh beberapa ulama, baik klasik maupun kontemporer. Secara umum, meski diungkapkan dalam kalimat yang beragam, beberapa pengertian asbàbun-nuzùl yang diberikan oleh para ulama bermuara pada substansi yang sama, yaitu adanya “suatu peristiwa, perkataan, atau perbuatan yang terjadi pada masa tertentu yang melatarbelakangi dan menjadi penyebab turun ayat-ayat Al-Qur’an”.

Terkait pengertian asbàbun-nuzùl tersebut, terdapat dua catatan yang perlu diperhatikan:

1. Sebab dan ayat muncul pada waktu dan masa yang sama. Suatu pe-ristiwa yang dapat dianggap sebagai sebab nuzul suatu ayat adalah peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu kehidupan dan kenabian Rasulullah. Jarak waktu antara penurunan suatu ayat dengan peristiwa dapat terjadi secara langsung dalam waktu yang berdekatan dan da-pat juga terjadi dalam dalam waktu yang relatif lama, namun tetap dalam masa kehidupan dan kenabian Rasulullah. Dengan demikian, peristiwa yang terjadi pada umat-umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad atau cerita-cerita yang mengiringi perjalanan kehidupan nabi-nabi sebelum beliau tidak dapat dianggap sebagai asbàbun-nuzùl.

2. Asbàbun-nuzùl dapat terjadi dalam dua bentuk:

a. Bentuk pertama, berupa sebuah peristiwa yang mendapat penjelasan langsung terkait hukumnya, sebagaimana sebab nuzul ayat:

ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ ﮖ ﮕ ﮭ ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣ ﯛ ﯚ ﯙ ﯘﯗ ﯖ ﯕ ﯔ ﯓ ﮱ ﮰ ﮯﮮ ﯨ ﯧ ﯦﯥ ﯤ ﯣ ﯢ ﯡ ﯠ ﯟ ﯞﯝ ﯜ ﯵ ﯴ ﯳ ﯲ ﯱ ﯰ ﯯ ﯮ ﯭ ﯬ ﯫﯪ ﯩ

14 Mannà‘ Khalìl al-Qaííàn, Mabàhiš fì ‘Ulùm al-Qur’àn, (Beirut: Mu’assasah ar-Risàlah, 1989), hlm. 77.

ﰁ ﰀ ﯿ ﯾ ﯽ ﯼ ﯻ ﯺﯹ ﯸ ﯷ ﯶ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu ma-sak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan.

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) ke-pada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah. (al-Aëzàb/33: 53)

Sebab nuzul ayat ini adalah:

ِهْي َلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر َجَّوَزَت اَّمَل : َلاَق ،ُهْنَع ُللها َ ِضَر ٍكِلاَم ِنْب ِسَنَأ ْنَع ُهَّن َ

أَك َوُه اَذِإَو ،َنْوُثَّدَحَتَي اْوُسَلَج َّمُث اْوُمِعَطَف َمْوَقْلا َعَد ، ٍشْحَج َتْنِب َبَنْيَز َمَّلَسَو ُةَث َلَث َدَعَقَو ،َماَق ْنَم َماَق َماَق اَّمَلَف ،َماَق َكِلَذ ى َ أَر اَّمَلَف ،اْوُمْوُقَي ْمَلَف ِماَيِقْلِل ُأَّيَهَتَي ،اْوُماَق ْمُهَّنِإ َّمُث ، ٌسْو ُلُج ُمْوَقْلا اَذِإَف َلُخْدَ ِل َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّلَص ُّ ِبَّلنا َءاَجَف ،ٍرَفَن َءاَجَف ،اْوُقَل َطْنا ِدَق ْمُهَّن َ

أ َمَّلَسَو ِهْي َلَع ُللها َّل َص َّ ِب َّلنا ُتْ َبْخَأَف ُتْئِجَف ُتْقَلَطْناَف َنْيِ َّ

لا اَهُّي َ

أ اَي( :ُللها َلَزْن َ

أَف ،ُهَنْيَبَو ْ ِنْيَب َباَجِ ْ لا َق ْ ل َ

أَف ، ُلُخْد َ

أ ُتْبَهَذَف َلَخَد َّتَح

15

. )َةَي ْ

لَا ... ِّ ِبَّلنا َتْوُيُب اْوُلُخْدَت َل اْوُنَمآ

Anas berkata, “Ketika menikahi Zainab binti Jaësy, Rasulullah êallallàhu

‘alaihi wasallam mengundang para sahabat untuk menghadiri jamuan makan. (Mereka pun datang dan) menikmati makanan yang disediakan.

Usai makan, mereka duduk-duduk sambil berbincang. Lama sekali mereka berbincang, sampai-sampai Rasulullah tampak seakan bersiap-siap ingin beranjak. Hal ini tampaknya tidak mereka sadari sehingga mereka berge-ming dan terus saja berbincang. Melihat hal itu, beliau pun akhirnya

beran-15 Keterangan lebih detail mengenai riwayat silakan lihat sebab nuzul nomor 149.

jak. Beberapa sahabat akhirnya juga beranjak bersama beliau—dan berpa-mitan, menyisakan tiga orang yang masih saja berbincang. Akhirnya beliau pun keluar dan diam kemudian kembali ke sahabat yang sedang duduk. Be-berapa lama kemudian Nabi ingin masuk kembali, namun ternyata mereka masih duduk-duduk di sana. Waktu pun berlalu hingga akhirnya mereka pun beranjak pulang. Aku lalu bergegas menemui Nabi untuk mengabarinya bahwa mereka sudah berpamitan. Beliau lantas masuk, dan aku membun-tutinya. Mengetahui aku mengikutinya, beliau cepat-cepat memasang tirai untuk memisahkan diri dariku—agar aku tidak ikut masuk dan bertatap muka dengan istri-istrinya, lalu Allah menurunkan ayat, yà ayyuhallažìna àmanù là tadkhulù buyùtan-nabiyyi … hingga akhir ayat.”

b. Bentuk kedua berupa pertanyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi, sebagaimana sebab nuzul ayat:

ﮬ ﮫﮪ ﭟ ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣﮢ ﮡ ﮠ ﯜ ﯛ ﯚ ﯙﯘ ﯗ ﯖ ﯕ ﯔ ﯓ ﮱ ﮰﮯ ﮮ ﮭ ﯠ ﯟ ﯞ ﯝ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakan-lah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintah-kan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan me-nyukai orang yang menyucikan diri. (al-Baqarah/2: 222)

Sesuai riwayat dari Imam Muslim, sebab turun ayat ini adalah:

ِف َّنُهْوُعِماَ ُي ْم َلَو اَهْوُ ِكاَؤُي ْمَل ْمِهْيِف ُةَأْرَمْلا ِتَضاَح اَذِإ اْوُنَك َدْوُهَ ْلا َّنَأ ٍسَنَأ ْنَع ،َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص َّ ِب َّلنا َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِّ ِبَّلنا ُباَحْص َ

أ َل َ

أ َسَف ، ِتْوُيُ لا ْ ِف َءاَسِّنلا او ُلِ َتْعاَف ىًذَأ َوُه ْلُق ِضْيِحَمْلا ِنَع َكَنْوُل َ

أ ْسَيَو( : لاَعَت ُللها َلَزْن َ َ أَف َّ ُك اْوُعَن ْصِا :َم َّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر َلاَقَف ،ِةَي ْلا ِرِخآ َلِإ ... ِضْيِحَمْلا اَنِرْم َ

أ ْنِم َعَدَي ْن َ

أ ُلُجَّرلا اَذَه ُدْيِرُي اَم :اْو ُلاَقَف ،َدْوُهَ ْلا َكِلَذ َغَلَبَف .َحَكِّلنا َّلِإ ٍءْ َش

،ِللها َلوُسَر اَي : َلاَقَف ٍ ْشِب ُنْب ُداَّبَعَو ٍ ْيَضُح ُنْب ُدْيَسُأ َءاَجَف .ِهْيِف اَنَفَلاَخ َّلِإ اًئْيَش ِهْي َلَع ُللها َّل َص ِللها ِلْوُسَر ُهْجَو َ َّيَغَتَف ؟َّنُهُعِماَ ُن َلَف اَذَكَو اَذَك ُلْوُقَت َدْوُهَ ْلا َّنِإ ِّ ِبَّلنا لِإ ٍ َبَل ْنِم ٌةَّيِدَه اَمُهَلَبْقَتْساَف اَجَرَخَف ،اَمِهْيَلَع َدَجَو ْدَق ْنَأ اَّنَنَظ َّتَح َمَّلَسَو َ

16

. اَمِهْيَلَع ْدَِي ْمَل ْنَأ اَفَرَعَف ،اَمُهاَقَسَف اَمِهِراَثآ ْ ِف َلَسْرَأَف ،َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّلَص

Anas mengatakan, “Sudah menjadi kebiasaan kaum Yahudi, jika para is-tri mereka haid, para suami enggan makan bersama dan bercengkerama dengan mereka dalam satu rumah. Para sahabat menanyakan hal ini ke-pada Nabi êallallàhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah menurunkan firman-Nya,

‘Wayas’alùnaka ‘anil-maëìýi qul huwa ažan fa‘tazilun-nisà’a fil-maëìý.’

Rasulullah bersabda, ‘(Bila istri-istri kalian sedang haid), kalian boleh melakukan apa saja dengan mereka, kecuali berhubungan badan.’ Mende-ngar keputusan Rasulullah yang demikian ini, kaum Yahudi berkata, ‘Pria ini (Muhammad) tidak mau membiarkan satu pun dari urusan kita, kecu-ali ia menyatakan pendapat yang berbeda dari kita tentang persoalan itu.’

Datanglah Usaid bin Èuýair dan ‘Abbàd bin Bisyr seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kaum Yahudi mengatakan begini dan begitu, jadi kami pun ti-dak membiarkan para istri tinggal serumah dengan kami di saat haid.’ Raut wajah Rasulullah tiba-tiba berubah hingga kami menyangka beliau marah kepada keduanya. Mereka lantas undur diri dan tak lama kemudian datang kembali sembari mempersembahkan hadiah berupa susu kepada Rasulullah.

Setelah itu Rasulullah mengajak keduanya minum bersama, hingga mereka tahu bahwa Rasulullah tidak memarahi mereka.”