• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASBÀBUN-NUZÙL

K. Kaidah Penetapan Asbàbun-Nuzùl

Dalam mengkaji asbàbun-nuzùl ayat-ayat Al-Qur’an, seseorang pasti akan dihadapkan pada pilihan riwayat-riwayat yang relatif banyak. Dalam buku-buku yang membahas asbàbun-nuzùl, disebutkan sekian banyak ri-wayat hadis yang dipandang memuat peristiwa-peristiwa yang melatar-belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, belum lagi riwayat-riwayat hadis yang dinukil oleh para ahli tafsir dalam buku-buku tafsir Al-Qur’an. Dari riwayat-riwayat yang disebutkan dalam buku tafsir maupun buku-buku asbàbun-nuzùl dan ‘ulùm al-Qur’àn lainnya, sebagian disebutkan sa-nadnya secara lengkap, namun sebagian yang lain hanya disebut perawi pertamanya.

Selain itu, secara umum riwayat-riwayat asbàbun-nuzùl tersebut be-lum dijelaskan derajat kualitasnya antara êaëìë, ýa‘ìf, atau mauýù‘. Hal ini tentu menyulitkan dan membutuhkan upaya keras dari seorang penaf-sir untuk meneliti kualitas riwayat-riwayat tersebut. Demikian pula, ada ayat-ayat Al-Qur’an yang diindikasikan memiliki lebih dari satu sebab nu-zul sehingga memerlukan penelitian untuk menetapkan sebab nunu-zul yang dinilai paling valid. Hal lain yang juga menjadi persoalan dalam pemba-hasan asbàbun-nuzùl adalah tidak semua riwayat asbàbun-nuzùl tersebut ab-sah dan valid sebagai sebab nuzul suatu ayat, meskipun derajat hadisnya sahih. Hal itu karena ada beberapa hal yang menyebabkan suatu riwayat hadis itu menjadi tidak relevan sebagai sebab nuzul suatu ayat.

Oleh karena itu, dibutuhkan kaidah-kaidah yang dapat membantu seorang penafsir dalam menetapkan kesahihan dan keabsahan sebuah ri-wayat hadis (tarjìë) sebagai sebab nuzul suatu ayat Al-Qur’an. Kaidah-kaidah inilah yang akan memberi argumentasi mengapa sebuah riwayat dipilih dan riwayat yang lain ditinggalkan, mengapa sebuah riwayat hadis diang-gap valid sebagai sebab nuzul dan bukan riwayat lainnya, mendiang-gapa suatu riwayat diprioritaskan dari riwayat-riwayat lainnya, dan sebagainya.

Berikut ini adalah kaidah-kaidah dalam menyeleksi dan menetap-kan hadis-hadis asbàbun-nuzùl ayat Al-Qur’an:172

Pertama, mendahulukan riwayat yang sahih daripada yang lemah.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelum ini, asbàbun-nuzùl terdiri atas riwayat-riwayat yang memuat peristiwa-peristiwa yang mengiringi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Layaknya hadis secara umum, ada hadis yang sahih dan ada pula yang derajatnya di bawah sahih, daif, bahkan palsu. Kondisi inilah yang mendorong para ulama mengerahkan segala kemampuan untuk memilah hadis-hadis yang sahih.

Imam al-Bagawiy, misalnya, menerapkan kaidah ini saat mengete-ngahkan asbàbun-nuzùl Surah al-Mà’idah/5: 41,

ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ ﮖ ﮕ ﮔ

172 Lihat: az-Zarkasyiy, al-Burhàn..., jld. 1, hlm. 47-60; as-Suyùíiy, al-Itqàn…, hlm. 101-106;

Ibnu Qudàmah al-Maqdisiy, Rauýah an-Naîìr wa Jannah al-Manàîir, (Riyadh: Ibnu Sa‘ùd University Press, 1399 H), hlm. 389.

ﮫ ﮪ ﮩ ﮨﮧ ﮦ ﮥ ﮤﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﯚ ﯙ ﯘ ﯗﯖ ﯕ ﯔ ﯓ ﮱ ﮰﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﯩ ﯨ ﯧ ﯦ ﯥ ﯤ ﯣ ﯢ ﯡﯠ ﯟ ﯞ ﯝ ﯜ ﯛ ﯻ ﯺﯹ ﯸ ﯷ ﯶ ﯵﯴ ﯳ ﯲ ﯱ ﯰ ﯯ ﯮ ﯭ ﯬﯫ ﯪ ﰀ ﯿ ﯾ ﯽ ﯼ

Wahai Rasul (Muhammad)! Janganlah engkau disedihkan karena mereka ber-lomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang (munafik) yang mengata-kan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah) terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.” Barangsiapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar. (al-Mà’idah/5: 41)

Al-Bagawiy menyebutkan hadis al-Barà’ bin ‘Àzib yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan menyebutkan juga kisah dua kabilah Yahudi dan persoalan denda (diat). Setelah itu ia berkomentar, “Kisah (sebab nuzul) yang pertama lebih sahih karena ayat ini terkait dengan soal hukuman rajam”.173 Beberapa ahli tafsir lain juga menerapkan kaidah yang sama.

Kedua, mendahulukan hadis yang senada dan selaras dengan teks ayat Al-Qur’an. Secara umum, asbàbun-nuzùl yang melatarbelakangi tu-runnya ayat Al-Qur’an itu ada dua macam:

1. Perkataan yang berasal dari Nabi Muhammad, para sahabatnya, atau yang lain, kemudian Allah meresponsnya, baik secara detail (tafêìl) maupun global (ijmàl).

173 Lihat: Èusain bin Mas‘ùd al-Bagawiy, Ma‘àlim at-Tanzìl, (Riyad; Dàr Íaibah, 1989), jld.

3, hlm. 55-57.

2. Perbuatan yang dilakukan Nabi, para sahabatnya, atau yang lain, ke-mudian turun ayat Al-Qur’an untuk menanggapi perbuatan-perbuatan tersebut.

Karena ayat Al-Qur’an itu turun untuk merespons dua macam asbà-bun-nuzùl ini, sudah sewajarnya jika ada relevansi dan keselarasan antara ayat dan sebab nuzulnya. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Ibnu Kašìr ketika membahas Surah asy-Syùrà/42: 23,

ﭠ ﭟ ﭞ ﭝ ﭜ ﭛ ﭚﭙ ﭘ ﭗ ﭖ ﭕ ﭔ ﭓ ﭒ ﭑ ﭱ ﭰ ﭯ ﭮ ﭭ ﭬﭫ ﭪ ﭩ ﭨ ﭧ ﭦ ﭥ ﭤﭣ ﭢ ﭡ

Itulah (karunia) yang diberitahukan Allah untuk menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Dan barang siapa mengerjakan kebaikan akan Kami tam-bahkan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyu-kuri. (asy-Syùrà/42: 23)

Ibnu Kašìr menyebutkan kisah dialog antara Rasulullah dengan ka-um Ansar. Rasulullah berkata, “Wahai kaka-um Ansar, bukankah dulu kamu hina lalu aku yang menjadikanmu mulia?” Mereka menjawab, “Benar, wa-hai Rasulullah.” Rasulullah berkata lagi, “Bukankah dulu kamu sesat lalu aku menunjukkan kepadamu jalan Allah?” Mereka menjawab, “Benar, wa-hai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Tidakkah kamu mau menimpaliku?”

Mereka menjawab, “Apa yang harus kami katakan, wahai Rasulullah?”

Rasulullah berkata, “Tidakkah kamu akan mengatakan, ‘Bukankah dulu engkau diusir oleh kaummu, lalu kami melindungimu? Tidakkah dulu mereka mendustakanmu, lalu kami memercayaimu? Tidakkah dulu reka mengecewakanmu, lalu kami menolongmu?’” Rasulullah terus me-nanyai mereka hingga mereka kelelahan. Mereka berkata, “Semua harta yang ada di tangan kami adalah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Lalu turun-lah ayat, qul là as’alukum‘ alaihi ajran…

Setelah menyebutkan kisah ini, Ibnu Kašìr berkomentar, “Tidak jelas hubungan antara kisah dengan ayat ini.”174

174 Lihat: Ibnu Kašìr, Tafsìr al-Qur’àn al-‘Aîìm, (Beirut: Dàr al-Fikr, 1401 H), jld., 4, hlm. 113.

Contoh terkait kaidah ini adalah Surah al-Baqarah/2: 222,

ﮮ ﮭ ﮬ ﮫﮪ ﮩ ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣﮢ ﮡ ﮠ ﯟ ﯞ ﯝ ﯜ ﯛ ﯚ ﯙﯘ ﯗ ﯖ ﯕ ﯔ ﯓ ﮱ ﮰﮯ ﯠ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah,

“Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid;

dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri. (al-Baqarah/2: 222)

Sebab nuzul ayat ini adalah sesuai riwayat berikut.

ِف َّنُهْوُعِماَ ُي ْم َلَو اَهْوُ ِكاَؤُي ْمَل ْمِهْيِف ُةَأْرَمْلا ِتَضاَح اَذِإ اْوُنَك َدْوُهَ ْلا َّنَأ ٍسَنَأ ْنَع َلَزْن َ أَف ، َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص َّ ِب َّلنا َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِّ ِبَّلنا ُباَحْص َ

أ َل َ

أ َسَف ، ِتْوُيُ ْ

َ لا

لِإ ... ِضْيِحَم ْلا ِف َءاَسِّنلا اوُلِ َتْعاَف ىًذَأ َوُه ْلُق ِضْيِحَمْلا ِنَع َكَنْوُلَأْسَيَو( : َلاَعَت ُللها َغَلَبَف . َح َكِّلنا َّ

لِإ ٍءْ َش َّ ُك اْوُعَن ْصِا :َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر َلاَقَف ،ِةَي ْلا ِرِخآ َءاَجَف .ِهْيِف اَنَف َلاَخ َّلِإ اًئْيَش اَنِرْمَأ ْنِم َعَدَي ْنَأ ُلُجَّرلا اَذَه ُدْيِرُي اَم :اْوُلاَقَف ،َدْوُهَْلا َكِلَذ َلَف اَذَكَو اَذَك ُلْوُقَت َدْوُهَ ْ

لا َّنِإ ،ِللها َلوُسَر اَي : َلاَقَف ٍ ْشِب ُنْب ُداَّبَعَو ٍ ْيَضُح ُنْب ُدْيَسُأ ،اَمِهْي َلَع َدَجَو ْدَق ْنَأ اَّنَنَظ َّتَح َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ِلْوُسَر ُهْجَو َ َّيَغَتَف ؟َّنُهُعِماَ ُن اَمِهِرا َثآ ْ ِف َلَسْرَأَف ،َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِّ ِبَّلنا َلِإ ٍ َبَل ْنِم ٌةَّيِدَه اَمُهَلَبْقَتْساَف اَجَرَخَف

175

.اَمِهْي َلَع ْدَِي ْمَل ْنَأ اَفَرَعَف ،اَمُهاَقَسَف

Anas mengatakan, “Sudah menjadi kebiasaan kaum Yahudi, jika para istri me-reka haid, para suami enggan makan bersama dan bercengkerama dengan mere-ka dalam satu rumah. Para sahabat menanyamere-kan hal ini kepada Nabi êallallàhu

‘alaihi wasallam, lalu Allah menurunkan firman-Nya, wayas’alùnaka ‘anil-maëìýi qul huwa ažan fa‘tazilun-nisà’a fil-maëìý. Rasulullah bersabda, ‘(Bila

175 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 21.

istri-istri kalian sedang haid), kalian boleh melakukan apa saja dengan mereka kecuali berhubungan badan.’ Mendengar keputusan Rasulullah yang demikian ini, kaum Yahudi berkata, ‘Pria ini (Muhammad) tidak mau membiarkan satu pun dari urusan kita, kecuali ia menyatakan pendapat yang berbeda dari kita tentang persoalan itu.’ Usaid bin Huýair dan ‘Abbàd bin Bisyr datang (menemui Rasulullah) seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kaum Yahudi mengatakan be-gini dan begitu, jadi kami pun tidak membiarkan para istri tinggal serumah de-ngan kami di saat haid.’ Raut wajah Rasulullah tiba-tiba berubah hingga kami menyangka beliau marah kepada keduanya. Mereka lantas undur diri dan tak lama kemudian datang kembali sembari mempersembahkan hadiah berupa susu kepada Rasulullah. Setelah itu Rasulullah mengajak keduanya minum bersama, hingga mereka tahu bahwa Rasulullah tidak memarahi mereka.”

Dalam kisah sebab nuzul ini jelas tampak keselarasan antara ayat dengan sebab nuzulnya.

Ketiga, mendahulukan riwayat hadis yang disampaikan langsung oleh pelakunya. Hal ini karena pelaku yang menceritakan kisahnya sendiri tentu lebih mengetahui peristiwa sebenarnya daripada orang lain. Kaidah ini juga dikuatkan oleh Ibnu Qudàmah yang menyatakan, “Apabila ada dua riwayat yang bertentangan, riwayat yang disampaikan langsung oleh pelakunya mesti didahulukan.”176 Kaidah ini diterapkan misalnya pada ri-wayat sebab nuzul Surah an-Nisà’/4: 176.

ﭠ ﭟ ﭞ ﭝ ﭜ ﭛ ﭚ ﭙ ﭘ ﭗﭖ ﭕ ﭔ ﭓ ﭒ ﭑ ﭲ ﭱ ﭰ ﭯ ﭮ ﭭ ﭬﭫ ﭪ ﭩ ﭨ ﭧ ﭦ ﭥ ﭤﭣ ﭢ ﭡ ﮂ ﮁ ﮀ ﭿ ﭾﭽ ﭼ ﭻ ﭺ ﭹ ﭸ ﭷ ﭶ ﭵ ﭴﭳ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆ ﮅ ﮄﮃ

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalàlah). Katakanlah, “Allah mem-beri fatwa kepadamu tentang kalàlah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika

176 Lihat: Ibnu Qudàmah al-Maqdisiy, Rauýah an-Naîìr …, hlm. 389.

dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Me-ngetahui segala sesuatu.” (an-Nisà’/4: 176)

Sebab nuzul ayat adalah sebagai berikut.

ْ ِنُدْوُعَي َم َّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر ْ ِنَءاَجَف ُتْضِرَم :ُلْوُقَي ِللها ِدْبَع ِنْب ِرِباَج ْنَع ِهْي َلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر َأ َّضَوَتَف ،َّ َلَع َ ِمْغُأ ْدَقَو ْ ِناَيَتَأَف ِناَيِشاَم اَمُهَو ،ٍرْكَب ْوُبَأَو : ُتْلُقَف :ُناَيْفُس َلاَق اَمَّبُرَو- ،ِللها َلْوُسَر اَي : ُتْلُقَف ، ُتْقَفَأَف َّ َلَع ُهَءْو ُضَو َّب َص َّمُث َمَّلَسَو ٍءْ َشِب ْ ِنَباَج َ

أ اَمَف : َلاَق ؟ْ ِلاَم ْ ِف ُعَن ْص َ أ َفْيَك ؟ْ ِلاَم ْ ِف ْ ِضْقَأ َفْيَك -ِللها َلْوُسَر ْيَأ

177

. ِثاَ ْيِمل ْ ا ُةَيآ ْتَلَزَن َّتَح

Jàbir bin ‘Abdullàh berkata, “Ketika aku sakit, Rasulullah êallallàhu ‘alaihi wasallam dan Abù Bakar dengan berjalan kaki menjengukku. Mereka berdua sampai (di rumahku) ketika aku pingsan. Beliau lalu berwudu dan memercikkan air wudunya ke tubuhku hingga aku siuman. Aku lalu bertanya kepada beliau,

‘Wahai Rasulullah!—Sufyàn sepertinya meriwayatkan bahwa Jàbir berkata, ‘Ay rasùlallàh’—Putusan seperti apa yang mesti aku buat terkait hartaku? Apa yang harus aku lakukan terhadapnya?’ Beliau tidak menjawab sedikit pun hingga tu-run ayat waris (yakni yastaftùnaka qulillàhu yuftìkum fil-kalàlah).”

Jàbir bin ‘Abdullàh, sang periwayat sekaligus pelaku dalam peristiwa tersebut mengetahui dengan baik peristiwa ini sehingga riwayatnya lebih valid sebagai sebab nuzul ayat ini daripada riwayat lainnya.

Keempat, mendahulukan riwayat hadis yang disampaikan oleh saksi mata. Ibnu Qudàmah juga menguatkan kaidah ini. Dia menyatakan, “Ri-wayat yang disampaikan oleh orang yang menyaksikan secara langsung suatu peristiwa lebih kuat daripada riwayat lainnya.”178 Kaidah ini misalnya diterapkan pada riwayat sebab nuzul Surah Àli ‘Imràn/3: 128.

177 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 70.

178 Ibnu Qudàmah al-Maqdisiy, Rauýah an-Naîìr…, hlm. 389

ﯔ ﯓ ﮱ ﮰ ﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨ ﮧ

Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat me-reka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. (Àli

‘Imràn/3: 128)

Ayat ini turun berkaitan dengan ungkapan kesedihan Rasulullah ke-tika terluka dalam Perang Uhud.

َمْوَي ُهُتَيِعاَبَر ْتَ ِس ُك َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها َلْوُسَر َّنَأ ،ُهْنَع ُللها َ ِضَر ٍسَنَأ ْنَع ْمُهَّيِبَن اْوُّجَش ٌمْوَق ُحِلْفُي َفْي َك : ُلوُقَيَو ،ُهْنَع ُمَّلا ُتُلْسَي َلَعَجَف ،ِهِسْأَر ْ ِف َّجُشَو ٍدُحُأ ِرْم َ ْ

لا َنِم َكَل َسْي َل( : َّلَجَو َّزَع ُللها َلَزْنَأَف ؟ِللها َلِإ ْمُهْوُعْدَي َوُهَو ُهَتَيِعاَبَر اْوُ َسَكَو

179

.)ٌء ْ َش

Anas (bin Màlik) raýiyallàhu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah êallallàhu

‘alaihi wasallam terluka pada Perang Uhud; gigi serinya tanggal dan kulit kepalanya tersayat. Sambil mengusap darah yang mengalir dari luka itu beliau berkata, “Bagaimana mungkin kaum yang melukai nabi mereka dan membuat gigi serinya tanggal akan beruntung, padahal ia menuntun mereka menuju Allah?” Allah ‘azza wajalla lantas menurunkan firman-Nya, laisa laka minal-amri syai’un.

Melalui hadis ini diketahui bahwa Anas bin Màlik, periwayat hadis, adalah orang yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut sehingga tu-run ayat ini.

Kelima, mendahulukan hadis yang selaras dengan konteks ayat. Yang dimaksud dengan konteks ayat adalah tema pokok ayat-ayat yang sebelum dan sesudah ayat yang dimaksud. Konteks ayat ini sangat membantu tidak hanya dalam menetapkan asbàbun-nuzùl, tetapi juga dalam mengungkap kandungan ayat Al-Qur’an. Sebagai contoh, kaidah ini diterapkan pada riwayat sebab nuzul Surah Àli ‘Imràn/3: 77:

ﯻ ﯺ ﯹ ﯸ ﯷ ﯶ ﯵ ﯴ ﯳ ﯲ ﯱ ﯰ ﯯ ﯮ ﯭ

179 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 39.

ﰈ ﰇ ﰆ ﰅ ﰄ ﰃ ﰂ ﰁ ﰀ ﯿ ﯾ ﯽ ﯼ

Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. (Àli ‘Imràn/3: 77)

Riwayat berikut berisi kisah yang melatarbelakangi ayat ini turun.

ٍ ْيِمَي َ َع َفَلَح ْنَم : َلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ّ ِ ِب َّلنا ِنَع ُهْنَع ُللها َ ِضَر ِللها ِدْبَع ْنَع ُللها َلَزْن َ

أَف .ُناَب ْضَغ ِهْي َلَع َوُهَو َللها َ ِقَل ٌرِجاَف اَهْيَلَع َوُه ٍمِلْسُم ٍئِرْما َلاَم اَهِب ُعِطَتْقَي ُثَعْش َ ْ لا َءاَجَف )َةَيلا ... ًلْيِلَق اًنَمَث ْمِهِناَمْيَأَو ِللها ِدْهَعِب َنْوُ َتْشَي َنْيِ َّلا َّنِإ( : َلاَعَت ِنْبا ِضْر َ أ ْ ِف ٌ ْئِب ْ ِل ْتَنَك ،ُةَي ْلا ِهِذَه ْتَلِزْن ُ

أ َّ ِف ؟ ِنَ ْحَّرلا ِدْبَع ْوُبَأ ْمُكَثَّدَح اَم : َلاَقَف اًذِإ ،ِللها َلْوُسَر اَي : ُتْلُق !ُهُنْيِمَيَف : َلاَق ،ٌدْوُهُش ْ ِل اَم : ُتْلُق !َكَدْوُهُش :ْ ِل َلاَقَف ،ْ ِل ٍّمَع

180

.ُ َ

ل اًقْيِد ْصَت َكِلَذ ُللها َلَزْنَأَف ، َثْيِدَْلا اَذَه َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ُّ ِبَّلنا َرَكَذَف ، َفِلْ َي

‘Abdullàh (bin Mas‘ùd) raýiyallàhu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah êal-lallàhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa pun yang bersumpah palsu untuk merampas harta seorang muslim, ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan murka kepadanya.” Allah lalu menurunkan firman-Nya, innal-lažìna yasytarù-na bi‘ahdillàhi wa’aimànihim šamayasytarù-nan qalìlan ... hingga akhir ayat. al-Asy‘aš (bin Qa’is) berkata, “Apa yang Abù ‘Abdurraëmàn ceritakan kepada kalian? Ayat ini turun tentang diriku. Dulu aku punya sumur di tanah sepupuku. Kami ber-selisih tentang kepemilikan sumur itu. Rasulullah menanyaiku, ‘Datangkanlah saksimu?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak mempunyai saksi.’ Beliau bersabda, ‘Jika demikian, dia harus bersumpah.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika engkau memintanya, dia pasti akan bersumpah.’ Nabi menyampaikan sabda beliau ini, lalu Allah menurunkan ayat di atas sebagai pembenaran atas keputusan beliau.

Konteks ayat ini menguatkan bahwa riwayat ‘Abdullàh bin Mas‘ùd merupakan sebab nuzul ayat ini. Hal itu setelah melihat ayat setelahnya juga berbicara tentang kaum Yahudi,

180 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul no. 34.

ﭜ ﭛ ﭚ ﭙ ﭘ ﭗ ﭖ ﭕ ﭔ ﭓ ﭒ ﭑ ﭫ ﭪ ﭩ ﭨ ﭧ ﭦ ﭥ ﭤ ﭣ ﭢ ﭡ ﭠ ﭟ ﭞ ﭝ ﭮ ﭭ ﭬ

Dan sungguh, di antara mereka niscaya ada segolongan yang memutarbalikkan lidahnya membaca Kitab, agar kamu menyangka (yang mereka baca) itu seba-gian dari Kitab, padahal itu bukan dari Kitab dan mereka berkata, “Itu dari Allah,” padahal itu bukan dari Allah. Mereka mengatakan hal yang dusta terha-dap Allah, padahal mereka mengetahui. (Àli ‘Imràn/3: 78)

Demikian pula ayat sebelumnya,

ﮪ ﮩ ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﯛ ﯚ ﯙ ﯘ ﯗ ﯖ ﯕ ﯔ ﯓﮱ ﮰ ﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﮫ ﯢ ﯡ ﯠ ﯟ ﯞ ﯝ ﯜ

Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf.” Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Àli ‘Imràn/3: 75)

Keenam, mendahulukan hadis yang sesuai dengan fakta-fakta histo-ris. Fakta-fakta sejarah sangat penting untuk menetapkan riwayat yang lebih kuat di antara beberapa riwayat yang bertentangan. Dari sisi sejarah, hubungan antara asbàbun-nuzùl dengan ayat Al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua kategori:

1. Ayat turun mendahului suatu peristiwa, misalnya ayat turun di masa Mekah, tetapi sebab nuzulnya baru terjadi di Madinah. Yang demikian ini tidak termasuk dalam asbàbun-nuzùl karena asbàbun-nuzùl tidak bo-leh terjadi setelah turunnya ayat.

2. Asbàbun-nuzùl terjadi lebih dahulu daripada turunnya ayat. Ini yang

paling banyak terjadi dalam asbàbun-nuzùl Al-Qur’an. Peristiwa as-bàbun-nuzùl bisa saja terjadi jauh sebelum turunnya ayat, tetapi hal ini dapat menimbulkan keraguan validitasnya karena terpisah oleh waktu yang sangat lama. Semestinya antara sebab nuzul dan turunnya ayat terpaut waktu yang tidak terlalu lama. Namun, bisa juga antara sebab nuzul dan turunnya terjadi dalam waktu yang bersamaan dan beriringan. Pola terakhir inilah yang banyak ditemukan dalam riwayat asbàbun-nuzùl. Contoh penerapan kaidah ini adalah pada sebab nuzul Surah Àli ‘Imràn/3: 128,

ﯔ ﯓ ﮱ ﮰ ﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨ ﮧ

Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mere-ka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. (Àli

‘Imràn/3: 128)

Salah satu sebab nuzul ayat ini adalah riwayat Abù Hurairah yang dinukil Imam al-Bukhàriy dan lain-lain.

ْن َ

أ َداَر َ أ اَذِإ َنَك َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها َلْوُسَر َّنَأ ُهْنَع ُللها َ ِضَر َةَرْيَرُه ْ ِبَأ ْنَع ْنَمِل ُللها َعِمَس َلاَق اَذِإ َلاَق اَمَّبُرَف ِعْوُكُّرلا َدْعَب َتَنَق ٍدَحَِل َوُعْدَي ْوَأ ٍدَحَأ َ َع َوُعْدَي ْ ِب َ

أ ِنْب َشاَّيَعَو ٍماَشِه ِنْب َةَمَلَسَو ِدْ ِلَوْلا ِنْب َدْ ِلَوْلا ِجْن َ

أ للهما ُدْمَ ْ

لا َكَل اَنَّبَر للهما :ُهَدِ َح َن َكَو َكِلَذِب ُرَهْ َي . َفُسْوُي ْ ِنِسَك َ ْيِنِس اَهْلَعْجاَو َ َضُم َ َع َكَت َ

أ ْطَو ْدُدْشا للهما ،َةَعْيِبَر ِبَرَع ْ

لا َنِم ٍءاَيْح َ

ِل ،اًن َلُفَو اًن َلُف ْنَعْلا للهما :ِرْجَفْلا ِة َلَص ْ ِف ِهِت َلَص ِضْعَب ْ ِف ُلْوُقَي

181

.َةَي ْ

لا )ٌء ْ َش ِرْم َ ْ لا َنِم َكَل َسْيَل( ُللها َلَزْنَأ َّتَح

Abù Hurairah mengatakan, “Ketika Rasulullah êallallàhu ‘alaihi wasallam hendak mendoakan kebaikan atau keburukan bagi seseorang, biasanya setelah bangun dari rukuk, beliau berqunut dan berkata, ‘Allah Maha Mendengar pu-jian hamba-Nya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji. Wahai Tuhan kami, selamatkanlah al-Walìd bin al-Walìd, Salamah bin Hisyàm, dan ‘Ayyàsy bin

181 Lihat: al-Bukhàriy, Ëaëìë al-Bukhàriy, jld., 4, hlm 1493; Muslim bin Èajjàj, Ëaëìë Muslim, jld., 1, hlm., 674; Aëmad bin Èanbal, al-Musnad, (Kairo: Mu’assasah Quríubah, 1994), jld. 2, hlm.

255; ‘Abdullàh bin ‘Abdurraëmàn ad-Dàrimiy, as-Sunan, jld. 1, hlm. 453.

Abì Rabì‘ah. Wahai Tuhan kami, berilah kesengsaraan pada suku Bani Muýar selama bertahun-tahun, sebagaimana kesengsaraan yang menimpa kaum Nabi Yusuf.’ Kadang-kadang beliau juga berdoa di salah satu salat Subuh, ‘Wahai Tuhan kami, turunkan laknat bagi si A dan si B (yang dimaksud adalah be-berapa tokoh di suku-suku jazirah Arab).’ Lalu Allah menurunkan ayat laisa laka minal-amri syai’un.

Hadis ini sahih, namun tidak valid sebagai sebab nuzul ayat terse-but. Menurut Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Èajar, ayat ini berbicara tentang konteks Perang Uhud. Perang Uhud sebagaimana diketahui terjadi pada tahun ke-3 H, sementara doa Rasulullah ini dipanjatkan setelah terbunuh-nya para penghafal Al-Qur’an di sekitar telaga Ma‘unah pada bulan Safar tahun ke-4 H. Jadi, hadis ini tidak dapat dianggap sebagai sebab nuzul ayat tersebut karena tidak mungkin ayat turun terlebih dahulu daripada peris-tiwa sebab nuzulnya. []

SURAH

AL-BAQARAH

1. al-Baqarah/2: 62

ﭚ ﭙ ﭘ ﭗ ﭖ ﭕﭔ ﭓ ﭒ ﭑ ﭤ ﭣ ﭢ ﭡ ﭠ ﭟ ﭞ ﭝﭜﭛ ﭩ ﭨ ﭧ ﭦ ﭥ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang êàbi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melaku-kan kebajimelaku-kan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (al-Baqarah/2: 62)