• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASBÀBUN-NUZÙL

D. Fungsi-Fungsi Asbàbun-Nuzùl

Sebagian orang berpendapat bahwa asbàbun-nuzùl tidak ada guna-nya karena telah menjadi bagian dari sejarah. Dugaan mereka itu keliru karena asbàbun-nuzùl tidak hanya perlu, tetapi juga memiliki beberapa fungsi.24 Di antara fungsi-fungsi asbàbun-nuzùl adalah sebagai berikut.

Pertama, membantu setiap penafsir untuk memahami kandungan dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Fungsi penting asbàbun-nuzùl ini dite-gaskan sejak dahulu oleh para ulama. Abù al-Èasan ‘Aliy al-Wàëidiy menyatakan, “Asbàbun-nuzùl adalah bidang ‘Ulùm Al-Qur’àn yang paling penting untuk dicermati dan diperhatikan sebab penafsiran dan pengung-kapan maksud dari suatu ayat tidak akan dapat dilakukan tanpa menge-tahui kisah-kisah yang menjadi penyebab diturunkannya ayat tersebut.”25 Pendapat serupa dikemukakan Ibnu Daqìq al-‘Ìd. Dia mengatakan, “Pe-ngetahuan tentang asbàbun-nuzùl adalah alat yang paling kuat untuk me-mahami makna-makna Al-Qur’an.”26 Demikian pula pernyataan Ibnu Taimiyah, “Pengetahuan tentang asbàbun-nuzùl sangat membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an karena mengetahui sebab dapat memu-dahkan untuk mengetahui akibat.”27 Asy-Syàíibiy juga menekankan hal yang sama, “Mengetahui asbàbun-nuzùl wajib bagi siapa pun yang ingin mendalami ilmu Al-Qur’an.”28

Ayat-ayat berikut memberi contoh fungsi asbàbun-nuzùl yang mem-bantu pemahaman terhadap maksud ayat Al-Qur’an.

a. Surah al-Baqarah/2:143

ﭳ ﭲ ﭱ ﭰ ﭯ ﭮ ﭭ ﭬ ﭫ ﭪ ﮁ ﮀ ﭿ ﭾ ﭽ ﭼ ﭻ ﭺ ﭹ ﭸ ﭷ ﭶﭵ ﭴ ﮑ ﮐ ﮏﮎ ﮍ ﮌ ﮋ ﮊ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆﮅ ﮄ ﮃ ﮂ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ ﮖ ﮕﮔ ﮓ ﮒ

24 Lihat: az-Zarkasyiy, al-Burhàn…., jld. 1, hlm. 45; as-Suyùíiy, al-Itqàn…, hlm. 93.

25 ‘Aliy bin Aëmad al-Wàëidiy, Asbàb an-Nuzùl…, hlm.10.

26 Dikutip az-Zarkasyiy dalam al-Burhàn…., jld. 1, hlm. 45; as-Suyùíiy, al-Itqàn…, hlm. 93.

27 Taqiyuddìn bin Taimiyah, Muqaddimah.., hlm. 30.

28 Ibràhìm bin Mùsà asy-Syàíibiy, al-Muwàfaqàt.., jld. 3, hlm. 347.

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan”agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak men-jadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manu-sia. (al-Baqarah/2:143)

Riwayat sababun-nuzul berikut ini menjelaskan tentang apa se-sungguhnya yang dimaksud oleh ayat di atas.

ِتْيَب َ

لِإ َّل َص َم َّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها َلْوُسَر َّنَأ :ُهْنَع ُللها َ ِضَر ِءاَ َبْلا ِنَع ُهُتَلْبِق َنْوُكَت ْن َ

أ ُهُب ِجْعُي َن َكَو ،اًرْهَش َ َشَع َةَعْبَس ْوَأ ،اًرْهَش َ َشَع َةَّتِس ِسِدْقَمْلا ٌلُجَر َجَرَخَف ،ٌمْوَق ُهَعَم َّل َصَو ،ِ ْصَع ْ

لا َة َل َص ،اَه َّل َص ْو َ

أ ، َّل َص ُهَّن َ أَو ، ِتْيَ ْ

لا َلَبِق ْدَقَل ِللهاِب ُدَهْش َ

أ : َلاَق ،َنْوُعِكاَر ْمُهَو ِدِجْسَم ْلا ِلْهَأ َ َع َّرَمَف ُهَعَم َّلَص َنَك ْنَّمِم ، ِتْيَ لا َلَبِق ْمُه اَمَك اْوُراَدَف ،َةَّكَم َلَبِق َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ّ ْ ِ ِب َّلنا َعَم ُتْيَّل َص ُلْوُقَن اَم ِرْدَن ْمَل ،اْوُلِتُق ٌلاَجِر ِتْيَْلا َلَبِق َلَّوَ ُت ْنَأ َلْبَق ِةَلْبِقْلا َ َع َتاَم ْيِ َّلا َنَكَو

29

.)ٌمْيِحَر ٌفْوُءَر َل ِساَّلناِب َللها َّنِإ ْمُكَناَمْيِإ َعْي ِضُ ِل ُللها َنَك اَمَو( :ُللها َلَزْنَأَف ،ْمِهْيِف

Al-Barà’ (bin ‘Àzib) bercerita, “Rasulullah êallallàhu ‘alaihi wasallam salat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan.

Selama itu pula beliau ingin sekali salat menghadap Baitullah. Suatu hari (ketika peristiwa pengalihan kiblat terjadi), beliau sedang menunaikan salat Asar bersama sejumlah sahabat. Usai salat, seorang sahabat—‘Abbàd bin Bisyr—yang salat bersama Rasulullah beranjak meninggalkan masjid dan berpapasan dengan sekelompok jamaah yang sedang rukuk (menghadap BaitulMaqdis). Ia berkata, ‘Aku bersaksi demi Allah bahwa aku baru saja salat bersama Rasulullah menghadap Mekah.’ Mereka pun berputar, meng-alihkan arah salat ke Baitullah. Terkait mereka yang wafat sebelum peng-alihan kiblat ini, kami tidak tahu apa yang mesti kami katakan tentang

29 Keterangan lebih lanjut mengenai riwayat ini bisa dilihat sebab nuzul nomor 8.

mereka—kami tidak tahu apakah salat mereka diterima atau ditolak.’ Allah pun menurunkan firman-Nya, wa mà kànallàhu liyuýì‘a ìmànakum in-nallàha bin-nàsi lara’ùfur-raëìm.”

Ayat ini turun untuk menjawab kekhawatiran beberapa sahabat terkait saudara-saudara mereka yang telah wafat sebelum Allah menu-runkan ayat yang memerintahkan pengembalian kiblat ke Ka‘bah.

Mereka khawatir Allah tidak menerima salat mereka. Berdasarkan sebab nuzul inilah diketahui bahwa maksud dari kata ìmàn dalam ayat tersebut adalah salat, bukan terkait penerimaan dan ketundukan terhadap Rasulullah. Tanpa mengetahui sebab nuzulnya, boleh jadi seorang penafsir tidak menemukan pengertian yang sahih atas ayat tersebut.

b. Surah al-Baqarah/2: 189

ﯜ ﯛ ﯚ ﯙ ﯘﯗ ﯖ ﯕ ﯔ ﯓ ﮱﮰ ﮯ ﮮ ﯩﯨ ﯧ ﯦ ﯥ ﯤﯣ ﯢ ﯡ ﯠ ﯟ ﯞ ﯝ ﯮ ﯭ ﯬ ﯫ ﯪ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakan-lah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (al-Baqarah/2: 189)

Sebab nuzul berikut juga menjelaskan makna yang dimaksud oleh ayat di atas.

ْنِم َّ

لِإ َتْوُيُ ْ

لا اوُلُخْدَي ْمَل اْوُعَجَرَو اْوُّجَح اَذِإ ُرا َصْن َ ْ

لا ِتَن َك : ُلْوُقَي ِءاَ َبْلا ِنَع ْتَلَ َنَف ، َكِلٰذ ْ ِف ُ َ

ل َلْيِقَف ،ِهِباَب ْنِم َلَخَدَف ِرا َصْن َ ْ

لا َنِم ٌلُجَر َءاَجَف : َلاَق .اَهِرْوُه ُظ

30

.)اَهِرْوُه ُظ ْنِم َتْوُيُ لا اوُت ْ ْ أَت ْن َ

أِب ُّ ِب ْلا َسْيَلَو( :ُةَي ْلا ِهِذٰه

30 Keterangan lebih detail, lihat sebab nuzul nomor 11.

Al-Barà’ (bin ‘Àzib) bercerita, “Pada zaman dahulu, sepulang haji kaum Ansar tidak mau masuk rumah-rumah mereka kecuali dari belakang rumah—yakni enggan masuk melalui pintu depan. Suatu hari ada seorang pria dari mereka masuk rumah melalui pintu depan sehingga orang-orang pun mencelanya. Untuk meluruskan anggapan itu turunlah firman Allah, walaisal-birru bi’an ta’tul-buyùta min îuhùrihà.”

Sebab nuzul ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud men-datangi (al-ityàn) dalam ayat ini bukan sekadar menmen-datangi, tetapi yang dimaksud adalah masuk ke dalamnya (ad-dukhùl). Selain itu, se-bab nuzul juga menjelaskan bahwa yang dimaksud rumah dalam ayat tersebut adalah rumah mereka sendiri, bukan rumah orang lain. Ayat ini turun terkait salah satu kebiasaan masyarakat Arab kala itu. Mere-ka enggan memasuki rumah dari pintu depan seusai menunaiMere-kan haji atau melakukan perjalanan jauh. Mereka menganggapnya sebagai hal yang tabu. Ayat ini turun untuk membatalkan anggapan tersebut.

Kedua, menjelaskan maksud ayat-ayat yang mudah disalahpahami dan rawan memunculkan perselisihan pendapat. Seorang penafsir dapat saja keliru memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, atau menangkap pesan yang berbeda dengan yang dimaksudkannya, jika tidak memperha-tikan asbàbun-nuzùl ayat-ayat tersebut. Karena itu, pengetahuan tentang asbàbun-nuzùl sangat penting bagi seorang penafsir untuk menghindari kekeliruan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini juga dite-gaskan oleh asy-Syàíibiy dengan menyatakan bahwa ketidaktahuan pada asbàbun-nuzùl dapat menjerumuskan seseorang pada pemahaman yang tidak jelas dan menimbulkan persoalan-persoalan. Selain itu juga dapat mengaburkan makna ayat yang sesungguhnya telah jelas sehingga pada akhirnya menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan umat. Karena itu, mengetahui asbàbun-nuzùl sangat penting untuk memahami makna dan kandungan Al-Qur’an.

Contoh-contoh berikut dapat menguatkan peran asbàbun-nuzùl da-lam menghindarkan kesalahpahaman dan menyelesaikan perselisihan.

a. Surah al-Baqarah/2: 158

ﮔ ﮓ ﮒ ﮑ ﮐ ﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮋﮊ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆ ﮅ

ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗﮖ ﮕ

Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah.

Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. (al-Baqarah/2: 158)

Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa berikut ini.

ٍذِئَمْوَي اَن َ أَو َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ّ ِ ِب َّلنا ِجْوَز َةَشِئاَعِل ُتْلُق : َلاَق ُهَّن َ

أ َةَوْرُع ْنَع ىَر َ

أ اَمَف )ِللها ِرِئاَعَش ْنِم َةَوْرَم ْلاَو اَف َّصلا َّنِإ( : َلاَعَت ِللها َلْوَق ِتْيَأَرَأ :ِّنِّسلا ُثْيِدَح َلَف ْتَن َك ُلْوُقَت اَمَك َن َك ْوَل َّلَك :ُة َشِئ َع ْت َلاَق .اَمِهِب َفَّوَّطَي َل ْنَأ اًئْيَش ٍدَحَأ َ َع َنْوُّلِهُي اْوُنَك ِرا َصْن َ ْ

لا ِف ُةَي ْ

لا ِهِذَه ْت َلِزْنُأ اَمَّنِإ ،اَمِهِب َفَّوَّطَي َل ْنَأ ِهْيَلَع َحاَنُج ،ِةَوْرَم ْلاَو اَف َّصلا َ ْيَب اْوُفْوُطَي ْنَأ َنْوُجَّرَحَتَي اْوُنَكَو ٍدْيَدُق َوْذَح ُةاَنَم ْتَنَكَو ،َةاَنَمِل ُللها َلَزْن َ

أَف ، َكِلَذ ْنَع َم َّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها َلْوُسَر اْوُلَأَس ُم َلْسِ ْلا َءاَج اَّمَلَف

31

.)ِللها ِرِئاَعَش ْنِم َةَوْرَم ْلاَو اَف َّصلا َّنِإ( : َلاَعَت

‘Urwah berkata, “Aku bertanya kepada ‘À’isyah raýiyallàhu ‘anhà, istri Rasulullah êallallàhu ‘alaihi wasallam, ketika itu aku masih kecil, ‘Bagai-mana pandanganmu tentang firman Allah, innaê-êafà wal-marwata min sya‘à’irillàh? Menurutku, tidaklah mengapa bila seseorang tidak melakukan sa‘i di antara kedua tempat itu.’ ‘À’isyah menjawab, ‘Maksud ayat ini bukan demikian. Ayat ini turun terkait kaum Ansar; dahulu (sebelum Islam) mereka melakukan suatu ritual yang dipersembahkan kepada Manàt (nama sebuah berhala) yang terletak sejajar dengan Qudaid. Oleh karena itu, me-reka keberatan untuk sai di antara Safa dan Marwah. Ketika Islam datang, mereka menanyakan hal itu kepada Rasulullah, lalu Allah menurunkan firman-Nya,innaê-êafà wal-marwata min sya‘à’irillàh.”

Dengan demikian, sebab nuzul meluruskan pemahaman ‘Ur-wah bahwa sai tidak wajib. Sai antara Safa dan Mar‘Ur-wah merupakan

31 Keterangan lebih detail mengenai riwayat ini, lihat sebab nuzul nomor 9.

salah satu syiar yang Allah lestarikan hukumnya. Ayat ini turun untuk menjawab keraguan sebagian kaum muslim untuk sai antara kedua bukit tersebut karena khawatir dianggap mengikuti perilaku kaum jahiliah.

b. Surah al-Mà’idah/5: 93

ﮒ ﮑ ﮐ ﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮋ ﮊ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ ﮖ ﮕ ﮔ ﮓ

Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat ke-bajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat keke-bajikan. (al-Mà’idah/5: 93)

Sebab turun ayat ini adalah,

ْمُهُرْ َخ َن َكَو ،َةَحْل َط ْ ِب َ

أ ِلِ ْنَم ْ ِف ِمْوَقْلا َ ِقاَس ُتْنُك :ُهْنَع ُللها َ ِضَر ٍسَنَأ ْنَع َرْمَ ْ

لا َّنِإ ل َ َ أ : ْيِداَنُي اًيِداَنُم َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر َرَمَأَف ،َخْي ِضَفْلا ٍذِئَمْوَي ْتَرَجَف اَهُتْقَرَهَف ُتْجَرَخَف .اَهْقِرْه َ

أَف ْجُرْخُا :َةَحْل َط ْوُب َ

أ ْ ِل َلاَقَف : َلاَق . ْتَمِّرُح ْدَق :ُللها َلَزْن َ

أَف ،ْمِهِنْو ُطُب ْ ِف َ ِهَو ٌمْوَق َلِتُق ْدَق :ِمْوَقْلا ُضْعَب َلاَقَف ،ِةَنْيِدَمْلا ِكَكِس ْ ِف

32

.)اْوُمِع َط اَمْيِف ٌحاَنُج ِتاَ ِلا َّصلا اوُلِمَعَو اْوُنَمآ َنْيِ َّلا َ َع َسْيَل(

Anas raýiyallàhu ‘anhu bercerita, “Suatu hari aku menghidangkan minum-an (khamar) kepada para tamu di rumah Abù Íalëah. Khamar mereka kala itu adalah al-faýìkh (arak dari kurma). Tiba-tiba Rasulullah êallallàhu

‘alaihi wasallam memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa khamar telah diharamkan. Mendengar pengumuman itu Abù Íalëah ber-kata kepadaku, ‘Keluar dan tumpahkanlah khamar ini!’ Aku pun keluar dan menumpahkannya hingga khamar mengalir di jalan-jalan setapak kota Madinah. Kemudian sebagian sahabat berkata, ‘Kawan-kawan kita telah

32 Keterangan tentang riwayat ini silakan lihat sebab nuzul nomor 77.

meninggal dan di perut mereka masih ada khamar; (akankah mereka masuk neraka?).’ Untuk menjawab keresahan mereka Allah menurunkan ayat laisa

‘alal-lažìna àmanù wa‘amiluê-êàliëàti junàëun fìmà ía‘imù.”

Ayat ini turun untuk menjawab keresahan sebagian sahabat ter-kait teman-temannya yang wafat sebelum sempat meninggalkan ke-biasaan minum khamar, sedangkan ayat yang mengharamkan khamar baru turun setelah mereka wafat. Selain itu, sebab nuzul ayat ini dapat menghindarkan seorang penafsir dari kekeliruan pemahaman seper-ti halalnya minum khamar, sebagaimana dalam kisah ‘Ušmàn bin Maî‘ùn dan ‘Amr bin Ma‘dìkarib.33

Ketiga, menjelaskan hikmah dari perintah atau ketentuan hukum yang diturunkan Allah. Dengan terkuaknya hikmah dari sebuah perintah atau ketentuan syariat, akan semakin jelas bahwa spirit utama dari ajaran Islam sesungguhnya adalah mendahulukan kepentingan manusia dan memberikan kemudahan bagi mereka dalam menghadapi persoalan-per-soalan kehidupan. Az-Zarqàniy menegaskan, “Mengetahui hikmah dari suatu ketentuan hukum dan syariat ini penting bagi orang Islam maupun non-muslim. Bagi seorang muslim, mengetahui hal itu dapat menambah keimanan dan ketaatan mereka untuk menjalankan syariat Allah, karena syariat itu mengandung hikmah berupa kemaslahatan bagi kehidupan umat mansuia. Sedangkan bagi non-muslim, mengetahui hikmah dari sya-riat Islam dapat menumbuhkan ketertarikan mereka terhadap Islam, ter-utama ketika mereka menyaksikan bahwa ajaran-ajaran Islam sepenuhnya berpihak pada kepentingan manusia, baik berupa kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan sebagainya.

Asbàbun-nuzùl sebagai penjelasan dari hikmah ditetapkannya suatu syariat Allah dapat dilihat dalam ayat-ayat berikut.

a. Surah al-Isrà’/17: 110

ﮙ ﮘ ﮗﮖ ﮕ ﮔ ﮓ ﮒ ﮑ ﮐﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮋ ﮊ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ

33 Lihat: az-Zarkasyiy, al-Burhàn..., jld.1, hlm. 51-52; as-Suyùíiy, al-Itqàn…, hlm. 93.

Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Raëmàn. De-ngan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmà‘ul Èusnà) dan janganlah engkau mengeras-kan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahmengeras-kannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.” (al-Isrà’/17: 110)

Sebab nuzul ayat di atas adalah,

ْتِفاَ ُ

Ibnu ‘Abbàs menceritakan sebab turunnya ayat walà tajhar biêalàtika walà tukhàfit bihà, dengan berkata, “Ayat ini turun ketika Rasulullah êallallàhu

‘alaihi wasallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di Mekah. Pada saat itu, tiap kali salat bersama para sahabat, beliau selalu membaca Al-Qur’an dengan suara lantang. Begitu mendengar bacaan Al-Qur’an, orang-orang musyrik mencemooh Al-Qur’an, Tuhan yang menurunkannya, dan orang yang menyampaikannya (yakni: Nabi Muhammad). Allah lalu berfirman, walà tajhar biêalàtika, yakni jangan lantangkan suaramu dalam membaca Al-Qur’an. Jangan sampai kaum musyrik mendengarnya supaya mereka ti-dak mencemoohnya, walà tukhàfit bihà; jangan pula engkau membaca ter-lampau lirih sehingga para sahabat tidak dapat mendengar suaramu, wabta-gi baina žàlika sabìlà; usahakanlah jalan tengah di antara keduanya.”

Ayat ini membimbing Nabi supaya membaca Al-Qur’an dengan suara sedang; tidak terlalu lantang dan tidak pula terlampau lirih. Re-daksi ayat menyebutkan hikmah di balik perintah ini. Namun, asbàbun-nuzùl menjelaskan bahwa hikmahnya adalah untuk menghindari cer-caan kaum musyrik Mekah kepada Al-Qur’an, Allah, dan Rasul-Nya.

34 Keterangan lebih lanjut tentang riwayat ini silakan lihat sebab nuzul no 122.

b. Surah al-Mà’idah/5: 6

ﭚ ﭙ ﭘ ﭗ ﭖ ﭕ ﭔ ﭓ ﭒ ﭑ ﭥ ﭤ ﭣ ﭢﭡ ﭠ ﭟ ﭞ ﭝ ﭜ ﭛ ﭳ ﭲ ﭱ ﭰ ﭯ ﭮ ﭭ ﭬ ﭫ ﭪ ﭩ ﭨﭧﭦ ﭾ ﭽ ﭼ ﭻ ﭺ ﭹ ﭸ ﭷ ﭶ ﭵ ﭴ ﮊ ﮉ ﮈ ﮇ ﮆ ﮅ ﮄ ﮃ ﮂ ﮁﮀ ﭿ ﮑ ﮐ ﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮋ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan me-nyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (al-Mà’idah/5:

6)

Riwayat dari ‘À’isyah berikut ini menjelaskan tentang sebab nu-zul ayat di atas.

َعَم اَنْجَرَخ : ْتَلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ّ ِ ِب َّلنا ِجْوَز اَهْنَع ُللها َ ِضَر َةَشِئ َع ْنَع ِتاَذِب ْو َ

أ ِءاَدْيَ ْ

لاِب اَّن ُك اَذِإ َّتَح ،ِهِراَفْسَأ ِضْعَب ْ ِف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّلَص ِللها ِلْوُسَر َماَق َ

أَو ِهِساَمِ ْ

لا َ َع َمَّلَسَو ِهْي َلَع ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَر َماَقَأَف ،ْ ِل ٌدْقِع َعَطَقْنا ِشْيَْلا ِقْيِّد ِّصلا ٍرْكَب ْ ِب َ

أ َ

لِإ ُساَّلنا َتَأَف ،ٌءاَم ْمُهَعَم َسْيَلَو ٍءاَم َ َع اْوُسْيَلَو ،ُهَعَم ُساَّلنا َمَّلَسَو ِهْي َلَع ُللها َّل َص ِللها ِلْوُسَرِب ْتَماَقَأ ؛ُةَشِئَع ْتَعَنَص اَم ىَرَت َلَأ :اْوُلاَقَف ُللها َّل َص ِللها ُلْوُسَرَو ٍرْكَب ْوُب َ

أ َءاَجَف ؟ٌءاَم ْمُهَعَم َسْيَلَو ٍءاَم َ َع اْو ُسْيَلَو ، ِساَّلناِبَو

ُللها َّل َص ِللها َلْوُسَر ِتْسَبَح : َلاَقَف ،َماَن ْدَق ْيِذِخَف َ َع ُهَسْأَر ٌع ِضاَو َمَّلَسَو ِهْيَلَع ْوُب َ

أ ْ ِنَبَتاَع َف :ُةَشِئ َع ْتَلاَق .ٌءاَم ْمُهَعَم َسْيَلَو ٍءاَم َ َع اْوُسْيَلَو ، َساَّلناَو َمَّلَسَو ِهْيَلَع ْ ِنُعَنْمَي َلَو ،ْ ِتَ ِصاَخ ْ ِف ِهِدَيِب ْ ِنُنُعْطَي َلَعَجَو ،َلْوُقَي ْن َ

أ ُللها َءا َش اَم َلاَقَو ،ٍرْكَب ُلْوُسَر َماَقَف ، ْيِذِخَف َ َع َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِللها ِلْوُسَر ُنَكَم َّلِإ ِكُّرَحَّلا َنِم .اْوُمَّمَيَتَف ِمُّمَيَّلا َةَيآ ُللها َلَزْنَأَف ،ٍءاَم ِ ْيَغ َ َع َحَبْصَأ َّتَح َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها َّلَص ِللها َ ْيِعَ ْ

لا اَنْثَعَبَف : ْتَلاَق .ٍرْكَب ْ ِب َ

أ َلآ اَي ْمُكِت َكَرَب ِلَّوَأِب َ ِه اَم :ٍ ْيَضُح ُنْب ُدْيَسُأ َلاَقَف

35

.ُهَتْ َ ت ُدْقِعل ْ

ا اَذِإَف ِهْي َلَع ُتْنُك ْيِ َّلا

‘À’isyah raýiyallàhu ‘anhà, istri Nabi êallallàhu ‘alaihi wasallam, berkata,

“Suatu hari kami bepergian bersama Rasulullah êallallàhu ‘alaihi wasal-lam. Sesampai di Baidà’ atau Žàtul-Jaisy, tiba-tiba kalungku putus (dan jatuh). Rasulullah dan rombongan lalu menghentikan perjalanan untuk mencari kalungku. Tempat itu jauh dari mata air, dan di saat yang sama mereka tidak membawa bekal air. Beberapa orang kemudian mendatangi Abù Bakar aê-Ëiddìq dan mengadu, ‘Tidakkah kaulihat apa yang telah diperbuat ‘À’isyah? Ia menyebabkan Rasulullah dan rombongannya meng-hentikan perjalanan, padahal mereka jauh dari mata air dan tidak pula membawa bekal air.’ Abù Bakar segera mendatangiku; ketika itu Rasulullah sedang tidur sambil berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuanku.

Abù Bakar berkata, ‘Engkau telah memaksa Rasulullah dan rombongannya menghentikan perjalanan di tempat yang jauh dari mata air, di saat mereka tidak membawa bekal air.’ Abù Bakar menegurku dengan kata-kata bernada marah. Ia pun menusuk pinggangku dengan jarinya. Meski geli, aku tetap bergeming karena tidak ingin Rasulullah êallallàhu ‘alaihi wasallam yang sedang meletakkan kepalanya di pangkuanku terbangun. Rasulullah êallal-làhu ‘alaihi wasallam lalu bangun pada malam itu dan hingga pagi harinya beliau tidak menemukan air. Allah lalu menurunkan ayat tayamum; dan mereka pun bertayamum. Usaid bin Èuýair berkata kepadaku, ‘Ini bukan berkahmu yang pertama, wahai putri Abù Bakar!’ Karena hendak melan-jutkan perjalanan, kami membangunkan unta yang sejak semula aku tung-gangi. Tiba-tiba di bawah badan unta itu kami temukan kalung yang kami cari.”

35 Keterangan mengenai riwayat ini bisa dilihat di sebab nuzul nomor 71.

Redaksi ayat tidak menjelaskan hikmah di balik peristiwa hi-langnya kalung ‘À’isyah dan terhentinya perjalanan rombongan Rasu-lullah. Namun, dengan melihat sebab nuzulnya, diketahui bahwa hikmah di balik peristiwa itu adalah turunnya ayat tayamum yang memberi kemudahan bagi orang yang tidak menemukan air untuk berwudu.

Keempat, memberi makna khusus (takhêìê) pada konteks ayat yang umum. Menurut az-Zarkasyiy, ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dapat di-takhêìê berdasarkan sebab nuzul ayat-ayat tersebut, terutama bagi yang berpandangan bahwa hukum ditetapkan berdasarkan sebab yang khusus, bukan lafal yang umum (‘ibrah bi khuêùê as-sabab là bi‘umùm al-lafî). Dengan kata lain, teks Al-Qur’an yang bersifat umum, yang turun karena suatu sebab yang khusus, makna teks tersebut tidak lagi bersifat umum, melainkan telah terbatas pada konteks peristiwa yang menjadi se-bab turunnya teks tersebut. Hukum yang terkandung dalam teks hanya dapat diketahui dan ditetapkan berdasarkan konteks sebabnya yang khu-sus. Meski demikian, hal itu tidak berarti sifat umum dari teks tersebut menjadi hilang. Para ulama tetap menyimpulkan suatu ketentuan hukum berdasarkan teks tersebut. Hanya saja, kesimpulan tidak diambil dari ben-tuk teks yang umum, melainkan dari metode qiyàs, yaitu menganalogikan peristiwa yang terjadi pada masa kini dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi.

Kelima, membantah dugaan adanya pembatasan sesuatu hal atau hukum. Imam asy-Syàfi‘iy memberikan contoh terkait hal ini melalui Su-rah al-An‘àm/6: 145.

ﮩ ﮨ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﯙ ﯘ ﯗﯖ ﯕ ﯔ ﯓ ﮱ ﮰ ﮯ ﮮ ﮭ ﮬ ﮫ ﮪ ﯢ ﯡ ﯠ ﯟ ﯞ ﯝ ﯜ ﯛ ﯚ

Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging he-wan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu

kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-An‘àm/6:

145)

Menurutnya, ayat ini turun dalam rangka membantah sikap kaum kafir yang menghalalkan semua yang diharamkan Allah, dan mengharam-kan semua yang dihalalmengharam-kan-Nya. Seamengharam-kan-amengharam-kan ayat itu menyatamengharam-kan, “Yang halal adalah semua yang kalian haramkan, dan yang haram adalah semua yang kalian halalkan.” Model bantahan seperti ini serupa dengan per-nyataan seseorang kepada rekannya, “Hari ini jangan makan makanan manis!” Lalu dibantah oleh rekannya, “Hari ini saya hanya makan makan-an mmakan-anis.” Tujumakan-an dari pernyatamakan-an terakhir ini adalah untuk mengajukmakan-an pernyataan sebaliknya, tapi tidak untuk menegasikan ataupun mengafir-masi suatu fakta.

Ayat di atas seakan ingin menegaskan bahwa yang haram adalah semua yang dihalalkan oleh kaum kafir seperti bangkai, darah, daging babi, dan segala sesuatu yang disembelih tanpa menyebut selain Allah.

Dengan demikian, ayat itu tidak menyatakan bahwa semua benda selain benda-benda yang tersebut adalah mutlak halal. Ayat tersebut hanya un-tuk menegaskan keharaman benda-benda tersebut, dan bukan kehalalan benda-benda lainnya.36

Keenam, menjelaskan posisi suatu sebab nuzul sebagai variabel uta-ma dalam meuta-maknai suatu ayat. Dengan kata lain, uta-makna suatu ayat hanya dapat dipahami dalam konteks sebab nuzulnya, dan tidak dapat diberlakukan pada peristiwa-peristiwa lain yang serupa dengan konteks sebab nuzul tersebut. Jadi, bila terdapat sebuah teks yang bersifat umum namun dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa yang khusus, dan di sisi lain, terdapat teks lain yang men-takhêìê teks pertama, maka takhêìê itu hanya dapat berlaku pada peristiwa-peristiwa selain peristiwa dalam sebab nuzul dan tidak dapat dianalogikan (qiyàs) pada peristiwa sebab nuzul, apalagi menggugurkan hukum yang muncul akibat peristiwa dalam sebab nuzul. Hal itu karena hubungan sebab nuzul dengan teks yang pertama itu bersifat pasti (qaí‘iy) sehingga tidak bisa diabaikan oleh sebuah ijtihad yang îanniy.

36 Lihat: az-Zarkasyiy, al-Burhàn..., jld. 1, hlm. 46-47.

Terkait fungsi ini, para ulama memberikan contoh Surah an-Nùr/24: 23,

ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜ ﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮗ ﮖ ﮣ ﮢ ﮡ

Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhi-rat, dan mereka akan mendapat azab yang besar. (an-Nùr/24: 23)

Sa‘ìd bin Jubair dan Ibnu ‘Abbàs menyatakan, ayat ini turun berke-naan dengan orang-orang yang menuduh ‘À’isyah dan beberapa istri Nabi lainnya telah melakukan perselingkuhan dan perzinaan. Ayat ini berisi ancaman kepada para penuduh itu berupa siksa di dunia dan akhirat, serta tidak diterimanya pertobatan mereka.

Tetapi sebagian ulama kemudian menyatakan bahwa ayat ini telah di-takhêìê oleh Surah an-Nùr/24: 4-5,

ﮗ ﮖ ﮕ ﮔ ﮓ ﮒ ﮑ ﮐ ﮏ ﮎ ﮍ ﮌ ﮧ ﮦ ﮥ ﮤ ﮣ ﮢ ﮡ ﮠ ﮟ ﮞ ﮝ ﮜﮛ ﮚ ﮙ ﮘ ﮬ ﮫ ﮪ ﮩ ﮨ

Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.

Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nùr/24: 4-5)

Menurut para ulama, ayat terakhir ini telah men-takhêìê ayat yang pertama. Dengan demikian, orang yang menuduh orang lain zina dapat diampuni oleh Allah jika mereka segera bertobat. Namun demikian, ke-simpulan hasil takhêìê ini, menurut para ulama, tidak dapat diberlakukan pada ayat pertama. Dengan kata lain, pada kasus tuduhan kepada ‘À’isyah

dan istri Nabi, tobat tetap tidak akan diterima Allah, tidak sebagaimana dalam konteks tuduhan pada ayat yang terakhir. Hal itu karena pada dasarnya ayat yang pertama itu turun berkenaan langsung dan erat dengan peristiwa tuduhan zina terhadap ‘À’isyah dan para istri Nabi saja, sehingga bersifat pasti (qaí‘iy) dan tidak bisa diabaikan hanya karena kesimpulan yang didapat melalui takhêìê oleh ayat yang terakhir. Sesuatu yang qaí‘iy tidak dapat digugurkan oleh sebuah ijtihad.37

Ketujuh, mengungkap peristiwa dan pelaku sejarah dari kalangan generasi awal Islam yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.

Az-Zarqàniy menyatakan, “Salah satu fungsi asbàbun-nuzùl adalah menge-tahui secara persis orang-orang yang terkait langsung dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an sehingga tidak terjadi salah sangka terhadap yang be-nar atau yang salah.”38 Misalnya Surah al-Baqarah/2: 142,

ﭠ ﭟ ﭞ ﭝﭜ ﭛ ﭚ ﭙ ﭘ ﭗ ﭖ ﭕ ﭔ ﭓ ﭒ ﭩ ﭨ ﭧ ﭦ ﭥ ﭤ ﭣ ﭢﭡ

Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “Apakah yang

Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “Apakah yang