• Tidak ada hasil yang ditemukan

99

Pungky Sumadi baru kembali ke tanah air setelah menjalankan tugas bekerja pada OPEC Fund for International Development, di Wina, Austria, tidak lama sebelum hantaman krisis moneter tahun 1997. Pasar uang dan pasar modal rontok. Bank-bank nasional dililit utang besar, menyusul tumbangnya perusahaan besar dan kecil dan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran mencapai tingkat tertinggi sejak tahun 1960-an. RAPBN yang diumumkan tanggal 6 Januari 1998 dianggap tidak realistis. Semua berujung pada robohnya kepercayaan pasar dan masyarakat kepada pemerintah. Situasi politik yang panas sejak Juli 1997, mencapai titik didihnya.

Saya ingat, waktu itu Januari 1998. Saya baru sampai di kantor, ada panggilan dari atasan saya untuk briefing singkat. Beliau menyampaikan bahwa Pak Menteri meminta Bank Dunia untuk mendukung penanganan krisis terutama untuk mengantisipasi terjadinya dampak paling buruk di wilayah perkotaan seperti protes berkepanjangan dan kerusuhan sosial. Rencananya, pemerintah akan melaksanakan proyek berskala nasional. Saya diminta menyiapkan proyek tersebut dan sudah harus siap dalam waktu 6 bulan.

Jujur saja, saya kebingungan. Apa mungkin menyiapkan proyek nasional hanya dalam waktu enam bulan? Maksudnya, siap untuk apa: sebatas tahap negosiasi pinjaman atau sudah eksekusi proyek? Pengalaman saya 10 tahun bekerja dengan Bank Dunia, untuk persiapan konsep saja perlu waktu tak kurang dari 24 bulan.

Saya belum punya pengalaman mengelola proyek penanggulangan kemiskinan atau proyek yang berbasis masyarakat lokal. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab dalam waktu cepat. Bagaimana kita bekerja dengan penduduk setempat? Siapa mereka? Siapa yang miskin? Bagaimana menyeleksi warga miskin di antara anggota masyarakat? Bagaimana bisa membantu mereka dalam program ini? Bantuan apa yang dibutuhkan? Saya tidak bisa menjawab semua pertanyaan itu.

100

Saya ingat waktu itu sempat juga diledekin teman-teman di kantor, “Bagaimana bisa kamu mengurusi soal kemiskinan, lha kamu saja tidak pernah miskin?”35

Waktu di SMA saya sering berkhayal bekerja di Afrika membantu orang yang kekeringan dengan hujan buatan biar tanahnya subur dan bisa ditanami. Waktu itu kita kan sering melihat masalah kelaparan di Afrika dari siaran berita di televisi. Saya merasa membantu orang miskin adalah pekerjaan yang hebat. Tahun 1994 saya sempat dikirim oleh Bappenas untuk bekerja sebagai Loan Administration officer di lembaga keuangan OPEC Fund for International Development. Kegiatannya terutama memberikan bantuan untuk negara-negara miskin yang bukan anggota OPEC. Saya ditawari menjadi staf permanen, tetapi saya menolak karena di negara saya saja masih banyak orang miskin yang perlu bantuan. Akhirnya saya kembali ke tanah air.

Segera setelah penugasan pada bulan Januari itu, saya berinisiatif melakukan kajian mengenai kemiskinan di wilayah perkotaan. Tim saya melakukan penelitian hingga ke sampai ke kelurahan-kelurahan. Dari hasil laporan tim yang turun ke lapangan kebanyakan masyarakat hanya menengadahkan tangan menunggu bantuan dari pemerintah. Konsep pemberdayaan masyarakat itu masih asing. Pemerintah masih sentralistik dengan pendekatan pembangunan yang top-down. Masyarakat dianggap sebagai obyek pembangunan. Bentuk bantuan pemerintah waktu itu semisal Program Padat Karaya kan menggelontorkan uang ke masyarakat. Yang terjadi, sebagian besar salah sasaran dan banyak kebocoran dana. Malah terjadi ironi; masyarakat meminta-minta pada pemerintah, tetapi pada saat yang sama mereka tidak percaya dengan pemerintah. Dari situ saya melihat faktor kepercayaan pada proses dan mekanisme sebuah program itu sangat penting.

101

Saya bukan orang yang mengerti tentang pemberdayaan masyarakat, tetapi saya mau sekali belajar. Saya melibatkan konsultan-konsultan yang ahli di bidang pemberdayaan, antara lain Pak Yando Zakaria36, untuk membantu membuat program penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat yang sesuai di wilayah perkotaan. Pernah saya dipanggil Inspektur Bappenas dan ditanya mengapa merekrut orang-orang LSM yang bukan dari perusahaan konsultan. Saya tunjukkan bahwa berdasarkan aturan kerjasama pembangunan internasional dan korespondensi saya dengan Bank Dunia hal itu dimungkinkan. Alhamdulillah saya dianggap tidak melanggar aturan. Akan tetapi, langkah-langkah pengembangan konsepnya ya cukup panjang. Saya minta ijin atasan agar dibebaskan dari tugas rutin dan menggunakan konsultan yang kurang dimanfaatkan untuk membantu saya menyiapkan desain proyek. Soalnya di kantor tak ada yang diajak diskusi. Kalau saya mengusulkan diskusi, tak ada teman-teman yang ikut. Mereka tampaknya tidak mau dan tidak mau tahu. Jadi teman untuk beradu argumen ya teman-teman konsultan.

Hubungan dengan teman-teman konsultan tidak selalu manis. Kami berdebat sampai gebrak-gebrak meja segala. Mereka kan muda-muda dan waktu itu saya juga masih muda. Mereka ragu apa pendekatan partisipatif bisa diterima. Kecurigaan mereka pada pemerintah sangat tinggi. Mereka meyakini, orang pemerintah itu maunya mengooptasi masyarakat. Tetapi melalui diskusi panjang, mereka bisa mengerti bahwa saya tidak seperti itu. Akhirnya muncul respek.37

Saya bayangkan satu desain program dan mekanisme yang berbeda dibanding program-program yang pernah ada. Yang pertama harus disiapkan adalah tenaga pendamping yang sudah diseleksi, punya nilai-nilai pemberdayaan yang kuat dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Kedua, masyarakat tidak dijejali program-program membuat ini-itu tanpa mengajak mereka ikut berpikir mengenai kebutuhannya.

102

Yang kita temukan di lapangan kan bukan begitu. Saya ingat waktu itu misalnya di Cirebon ada usulan dari kelompok perempuan yang meminta diadakan kegiatan untuk mendapatkan air bersih, tetapi dalam musyawarah perencanaan, perempuan mundur karena mereka merasa bukan tokoh desa. Itu mengecewakan, tetapi ya begitulah fenomena umum. Saya berpikir perlunya affirmative action terhadap kelompok perempuan. Saya akui PPK di pedesaan lebih kuat mendorong affirmative action terhadap kelompok perempuan dibanding program di perkotaan.38

PENGEMBANGAN KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT