• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seiring dengan kondisi itu tantangan-tantangannya juga berubah. Ada banyak perubahan situasi politik, kemajuan teknologi, termasuk, khususnya teknologi informasi dan lain-lain, sehingga selalu dibutuhkan inovasi dan kreativitas dalam metode, cara dan mekanismenya. Sejak tahun 2011, Bappenas mulai membangun konsep pemberdayaan petani yang berkelanjutan. Bappenas, merancang proyek namanya Support for Economic Analysis Development in Indonesia (SEADI) bekerjasama dengan USAID. Salah satu elemennya adalah menghubungkan mata rantai pertanian, antara petani dan pasar internasional. Konsepnya public-private partnership.

Pemerintah AS mengajak Bappenas dan dari pihak swasta adalah pengusaha dan juga pakar koperasi yang memiliki jaringan dengan Asosiasi Bisnis Koperasi Nasional (NCBA) di AS.40 USAID menyediakan dana 2 juta dollar kepada pihak swasta yang juga menyumbang 2 juta dollar. Jumlah 4 juta dollar itu dikelola swasta untuk proyek mata rantai pertanian. NBCA kemudian mencari petani kopi di satu daerah di Indonesia, lalu mulai memberikan pelatihan dan penyuluhan bagaimana mencari bibit yang baik, bagaimana penyemaiannya, penanaman sampai pasca panennya. Honor penyuluh diambil dari dana tersebut. Intinya petani tidak boleh menggunakan pestisida. Cara merawat tanaman kopinya harus memenuhi standar internasional. Jadi bukan lahannya yang ditambah, tetapi kualitas hasilnya yang ditingkatkan. NBCA yang melakukan pengolahan, lalu dikirim ke international buyer, yakni perusahaan-perusahaan kopi internasional seperti Starbucks, Blue Mountain dan lain-lain. Kopi harus disertifikasi sebelum dilempar ke pasar. Untuk itu, harus ada jaminan kualitas, melalui uji laboratorium secara berlapis-lapis di laboratorium independen. Jika ada kesesuaian

113

harga, hasil produksi petani akan dibeli NBCA. Jika ada buyer yang menawarkan harga lebih baik, petani juga bisa menjual ke tempat lain. Harga jual kopi Gayo, misalnya, pernah mencapai 21 USD per kilogram. Petani mendapatkan 85 persen dari harga itu. Ini harga yang diaudit oleh auditor internasional dan free trade auditor internasional.

Mereka harus menunjukkan laporan audit harga jual tersebut. Dengan demikian, terjadi pemberdayaan pada petani dan usaha ini memotong perantara pasar yang mengambil untung besar-besaran. Dari pengalaman itu, produk bisnisnya terus berkembang pada produk pertanian lain, seperti kayu manis, vanila, lada hitam, lada putih, cengkeh dan lain-lain. Asosiasi itu kemudian mendirikan PT Agri Spice Indonesia yang pemegang sahamnya merupakan koperasi-koperasi petani yang dibina. PT ASI sekarang menjadi multinational corporation di bidang produk pertanian.

Pengalaman itu yang coba direplikasi modelnya dengan konsultan Bappenas, dengan mitra pembangunan dari Australia, AUSAID. Dalam perkembangannya kita butuh milenial di Indonesia. Mereka berfungsi sebagai fasilitator atau pendamping, sebagian juga menjadi pembelinya. Di Pemalang misalnya, ada beberapa desa yang menanam bunga melati. Mitra kami kemudian menemukan milenial yang ahli atau yang berbisnis minyak atsiri. Milenial itu kemudian mendorong petani agar mengembangkan produknya menjadi minyak melati. Untuk itu, harus ada alat penyulingan, tetapi bagaimana caranya? Fasilitator bilang, ada Dana Desa, kenapa tidak dipakai? Itu bisa menjadi terobosan dalam bidang pembiayaan. Si pendamping kemudian menyatakan gagasan itu kepada masyarakat, tetapi masyarakat harus berjuang untuk mendapatkan dana itu. Nah, proses pemberdayaannya ada pada proses pengambilan keputusan yang berlangsung di desa.

114

Fasilitator mengundang pemerintah kabupaten untuk menyaksikan seluruh proses, sehingga ada saksi bahwa keputusan untuk membeli alat penyulingan itu dilakukan melalui proses yang demokratis, melibatkan seluruh komponen masyarakat desa. Seluruh proses itu dicatat, termasuk keputusan secara formal yang dihasilkan. Fasilitator kemudian meminta Pemerintah Kabupaten untuk melegalisasi hasil keputusan warga, agar kemudian juga bisa dimasukkan menjadi peraturan bupati, bahkan kalau mungkin bisa di-perda-kan.

Uang Dana Desa makin lama kan makin besar. Kita dorong pembangunan yang betul-betul dari pedesaan, melibatkan milenial kota dan milenial desa, anak-anak petani yang melihat produknya bisa dijual ke mana-mana. Si Milenial sudah punya marketnya. Dia membuka cakrawala pengetahuan digital business. Jadi petani makin tertarik. Unilever juga menampung produk-produk khusus dari milenial itu.

Yang ditekankan dari seluruh proses itu adalah pemberdayaannya. Fasilitator harus mengerti proses produksi dan sudah punya akses pada buyer secara langsung, bukan lagi mencari buyer. Konsep ini berbeda sekali dengan konsep fasilitator pada zaman Soeharto. Pendekatan seperti itu sudah dilakukan oleh mitra-mitra Bapenas pada tujuh provinsi sejak lima tahun lalu. Sementara yang dilakukan oleh Bappenas baru tiga provinsi dalam 1,5 tahun terakhir.

Saya pernah membaca tulisan mengenai petani ikan Sidat dari daerah Jawa Barat yang mendapat order dari pengusaha Jepang sebanyak 1,5 ton per bulan, tetapi petaninya hanya bisa memenuhi 100-150 kilogram saja. Saya gemas. Kita harus membuat model yang membuat petani ikan Sidat bisa memperbesar jumlah produksinya dan menjualnya ke luar negeri. Nah kita butuh orang-orang yang bisa menjadi perantara seperi para milenial dan PT ASI. Mereka ini sebenarnya perantara, tetapi melakukan pemberdayaan masyarakat dan investasi juga. Itulah

115

model keperantaraan. Saya tantang anak buah saya untuk mendorong kemitraan dengan petani agar produk lokalnya bisa dikembangkan. Kita harus punya daftar orang-orang yang ahli dalam berbagai bidang usaha yang melibatkan masyarakat kecil. Perlu membuat data base para ahli ini yang antara lain diambil dari Rubrik Sosok, Harian Pagi Kompas, 10 tahun terakhir.

Program pemberdayaan masyarakat yang diusung dan didukung Pemerintah tidak terlepas dari pendulum iklim demokratisasi dan otonomi daerah. Di atas kertas, kebijakan Otonomi Daerah sudah berjalan. Meski demikian, pada kenyataannya, Pemda masih butuh dukungan agar bisa bekerja bersama masyarakat. Rata-rata Pemda masih belum mengerti bagaimana berperan sebagai enabler atau bahkan fasilitator bagi masyarakatnya. Bahkan di beberapa daerah Pemda malah menjadi bagian dari masalah kemiskinan itu sendiri. Alhamdulillah, lama-kelamaan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Namun demikian dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi penurunan kualitas pemberdayaan masyarakat hampir di seluruh daerah. Pemberdayaan menghadapi tantangan yang tidak kecil. Semoga kedepan bisa lebih baik lagi.