• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.2 Konsep

2.2.2 Feminisme Amerika

Feminisme radikal yang dibahas dalam penelitian ini adalah khususnya feminisme radikal yang terjadi dalam masyarakat Amerika, dan pada akhirnya nanti akan ditarik relevansinya dengan feminisme di Indonesia.

Perempuan di Amerika belum lama mendapatkan hak suara dalam pemilihan umum dan bahkan lebih terlambat lagi di Negara Barat lainnya. Tahun 1869 Wyoming adalah Negara bagian pertama yang memberikan hak suara kepada perempuan; pemerintah federal baru mengikutinya pada tahun 1920. (Agger, 2003:

201)

Pejuang hak pilih kaum perempuan Amerika asli berpandangan bahwa perempuan harus mendapatkan hak suara, menjadi gelombang pertama gerakan perempuan Amerika. Gelombang ke dua gerakan perempuan, yang dimulai pada era 1960-an, berusaha mendapatkan hak aborsi, kesamaan upah, dan perjuangan melawan diskriminasi seks dan pelecehan seksual. (Agger, 2003: 204)

Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Darma (2009: 145-146), dalam bukunya berjudul Analisis Wacana Kritis bahwa gerakan feminisme berkembang di Amerika setelah munculnya publikasi John Stuart Mill (1869) yang berjudul The Subjection of Women (Broto, 2009). Gerakan ini menandai kelahiran feminisme gelombang pertama. Pasca perang dunia kedua, bersamaan dengan munculnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa, lahirlah gerakan feminisme gelombang kedua, yaitu tahun 1960. Pada saat ini pertama kali perempuan diberi hak suara di parlemen, hak pilih, dan boleh ikut dalam ranah politik kenegaraan. Pelopor feminisme gelombang kedua ini adalah para feminis Prancis. Pada waktu itu gerakan ini sangat santer perjuangannya, di Amerika ditandai dengan munculnya organisasi

perempuan yang diberi nama Women Liberation. Pada masa ini feminisme berjuang untuk demokrasi hak-hak perempuan yang meliputi hak atas pendidikan, pekerjaan, hak pemilikan, hak pilih, hak menjadi anggota parlemen, hak atas pengaturan kelahiran, dan hak atas perceraian. Pada dasarnya feminis berjuang untuk perbaikan hukum dan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan di ruang publik.

Perjuangan gerakan feminisme berkembang lebih luas lagi dengan tuntutan untuk mencapai kesederajatan dan kesetaraan harkat serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Feminisme di Amerika berkembang dengan munculnya buku Betty Friedan yang berjudul Feminine Mystique. Selanjutnya Betty Friedan mendirikan sebuah organisasi dengan nama National Organization for Women (NOW).

Survei pada bulan Februari 1994 oleh majalah Esquire menyatakan bahwa banyak perempuan Amerika yang berumur antara 18 sampai 25 tahun menolak disebut sebagai feminis (selama mereka mengidentifikasikan feminism dengan doktrin didaktis dan anti laki-laki yang telah mencakup era “pasca feminis” kita), namun mereka juga cukup toleran dengan perempuan dengan identitas lesbian dan biseksual. Melalui pengamatan yang lebih dekat, sebagian besar perempuan ini secara esensial feminis karena mereka mendukung tujuan ekonomis, politis dan kultural feminisme. Feminisme bahkan meluas ke teori homoseksual selama mereka memandang lesbianism sebagai satu posisi subjek yang dapat diterima. (Agger, 2003:

212)

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty

Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan.

Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang (http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diunduh tanggal: 21 Juni 2011 ).

Anshori (1997:41), menjelaskan tentang feminisme yang terjadi di Amerika, khususnya pada kulit hitam. Amerika serikat yang gemar mempromosikan diri sebagai negara paling demokratis dianggap sering melakukan ironi: diskriminasi rasial, terutama terhadap minoritas kulit hitam, masih terlihat kuat. Gerakan feminisme kulit hitam muncul sebagai respon atas feminisme kulit putih kelas menengah yang tidak menyadari rasisme memiliki pengaruh besar, baik terhadap kelompok dominan maupun minoritas. Sebagian pengamat melihat feminisme kulit hitam sebagai gerakan yang tetap memeluk feminisme arus utama sambil mengembangkan sensitivitas khusus berkaitan dengan rasisme.

Alice Walker adalah perempuan berkulit hitam pertama yang mendapatkan penghargaan Pulitzer di Amerika atas karyanya ini, The Colour Purple, pada tahun 1983. Novel ini juga menceritakan tentang perjuangan beberapa tokoh perempuan dalam mempertahankan harkat dan martabat mereka sebagai perempuan dalam

lingkungan keluarga mereka dan masyarakat. Novel ini mencerminkan kehidupan sosial khususnya perempuan berkulit hitam pada masa itu.

2.3 Landasan teoritis

2.3.1 Teori Kritik Sastra Feminis

Beberapa teori-teori kritik sastra didapatkan dari beberapa buku, di antaranya yaitu buku berjudul Teori dan Apresiasi Sastra, karya Sugihasti (2002: 135-142) dikatakan bahwa analisis kritik sastra feminis terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui salah satu varian pendekatan kritik sastra feminis yang berkembang di Amerika. Seperti diketahui, kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis perempuan pada masa silam.

Boleh dikatakan bahwa hasrat kritikus sastra feminis dapat saja didasari oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap pengarang dan penyair atau penulis-penulis perempuan dari zaman dahulu sampai sekarang. Dapat pula, hasrat mereka didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Kedua hasrat kritikus sastra feminis ini menimbulkan berbagai macam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Masih dalam buku ini juga, Djajanegara menyatakan bahwa salah satu dari beberapa ragam kritik sastra feminis itu dalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis yang paling banyak dan sekiranya sederhana, mudah dan cepat dipakai adalah kritik ideologis.

Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai

pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe perempuan dalam karya sastra. Bila dikaitkan dengan analisis ini Alice Walker sebagai pengarang novel, berusaha mengangkat bagaimana stereotipe citra perempuan yang terjadi pada novel The Color Purple ini dan kemudian unsur – unsur apa saja yang mendorong hal ini terjadi. Namun kemudian tokoh – tokoh perempuan yang dijadikan objek analisis ini menunjukkan bagaimana mereka menghadapi dan melawan stereotipe – stereotipe yang ada di masyarakat tersebut.

Apabila dikaitkan dengan novel The Color Purple ini, tokoh-tokoh perempuan yang terpilih untuk dianalisis mencerminkan bagaimana mereka mengambil tindakan-tindakan feminisme radikal dalam menghadapi tindakan-tindakan-tindakan-tindakan semena-mena dari tokoh-tokoh laki-laki yang ada pada novel ini.

Yoder (Sugihasti, 2002: 139), menyatakan bahwa di barat, kritik sastra feminis sering dimetaforakan sebagai quilt (selimut kapas). Quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan-potongan kain persegi itu pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Jahitan potongan kain itu memakan waktu cukup lama dan biasanya dikerjakan oleh beberapa orang. Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.

Sedangkan Kolodny (Sugihasti, 2002: 139), seorang pengkritik feminis Amerika menyatakan:

“It involved exposing the sexual stereotyping of women, in both our literature and our literary criticism and, as well, demonstrating the inadequacy of established critical schools and methods to deal fairly or sensitively with work written by women.”

“Itu termasuk membeberkan perempuan menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil dan tidak peka.”

Menurut Moi (Prabasmoro, 2006), salah satu hal yang penting dalam kritik sastra feminis adalah usaha untuk membebaskan diri dari jerat pertentangan hierarkis antara perempuan dan laki-laki, yang sering dipresentasikan di dalam wacana. Karena adanya faktor kekuasaan di dalam relasi tersebut, adanya dominasi yang satu terhadap yang lain, sudah pada saatnya ada upaya untuk membongkar oposisi biner, oposisi antara maskulinitas dan feminitas.

Endaswara (2008: 147-149) dalam bukunya berjudul Metodologi Penelitian Sastra “Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi” menyatakan bahwa analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek ketertindasan perempuan atas diri pria. Mengapa perempuan secara politis terkena dampak patriarki, sehingga meletakkan perempuan pada posisi inferior. Stereotipe bahwa perempuan hanya pendamping laki-laki, akan menjadi tumpuan kajian feminisme.

Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah perempuan menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidakadilan gender. Jika dianggap perlu, analisis peneliti perlu menganalisis radikalisme perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak. Analisis ini memang membahas tentang bagaimana tokoh – tokoh perempuan dalam novel The Colour Purple sadar akan perbedaan yang terjadi antara perempuan dan laki – laki. Alice Walker sebagai penulis novel ini, berusaha menuangkan pemikirannya bagaimana perempuan – perempuan berkulit hitam

khususnya, memperjuangkan hak – hak mereka sebagai sesama manusia dengan laki – laki.

Beliau juga berpendapat bahwa analisis feminisme seyogyanya mengikuti pandangan Barret, yakni: (1) peneliti hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan perempuan, keinginan laki-laki dan perempuan, dan hal-hal apa saja yang menarik laki-laki dan perempuan; (2) ideologi sering mempengaruhi hasil karya penulis. Ideologi dan keyakinan laki-laki dengan perempuan tentu saja ada perbedaan yang prinsipil; (3) seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang dihasilkan pengarang mampu melukiskan keadaan budaya mereka. Perbedaan gender sering mempengaruhi adat dan budaya yang terungkap.

Tradisi laki-laki dan perempuan dengan sendirinya memiliki perbedaan yang harus dijelaskan dalam analisis gender. Kemudian beliau berpendapat bahwa karya sastra yang bernuansa feminis, dengan sendirinya akan bergerak pada sebuah emansipasi.

Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan feminisme adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai obyek. Itulah sebabnya, kajian feminisme sastra tetap memperhatikan masalah gender. Yakni, tidak saja terus-menerus membicarakan citra perempuan, tetapi juga sebenarnya kemampuan laki-laki dalam menghadapi serangan gender tersebut.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam tradisi penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana apa yang terjadi pada penelitian kuantitatif, karena sebelum hasil-hasil penelitian kualitatif memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan, tahapan penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu (Bungin, 2007:6).

Dalam meneliti novel The Color Purple ini, metode ditekankan terhadap penokohan. Fenomena-fenomena yang diteliti berhubungan dengan unsur-unsur feminisme radikal yang terjadi pada keempat tokoh perempuan yang terpilih yaitu Celie, Shug Avery, Sofia, dan Nettie dalam novel The Color Purple tersebut, dan kemudian relevansinya dengan feminisme di Indonesia.

Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam sastra antara lain:

(1) Peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk meneliti feminisme radikal yang terdapat dalam novel The Color Purple karya Alice Walker, pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi dokumentasi atau studi kepustakaan dengan disertai pemahaman secara mendalam.

Informasi yang diperlukan dalam mendukung penelitian dikumpulkan melalui membaca dan mencari referensi yang berkaitan dengan penelitian. Fokus penelitian adalah tentang radikalisme perempuan berkulit hitam Amerika yang dialami beberapa tokoh perempuan dalam novel The Color Purple ini, yaitu; Celie (tokoh utama), Shug Avery (pasangan selingkuhan suami dan juga pasangan lesbian Celie), Sofia (menantu Celie), dan juga Nettie (saudara perempuan Celie).

Dalam penelitian kualitatif relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik penelitian data kadang tidak terelakkan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik penelitian data (Bungin, 2007:107).

Buku-buku yang digunakan, didapatkan dari berbagai sumber seperti perpustakaan, toko buku dan internet. Buku-buku yang dikumpulkan mengandung

informasi yang luas mengenai penelitian. Selain dari buku-buku, beberapa informasi juga didapatkan dari media internet.

Menurut Bungin (Bungin, 2007:124-125), namun ketika media internet berkembang begitu pesat dan sangat akurat, maka keraguan itu menjadi sirna kecuali bagi kalangan akademisi konvensional-ortodoks yang kurang memahami perkembangan teknologi informasi sajalah yang masih mempersoalkan akurasi media online sebagai sumber data maupun sumber informasi teori. Hal ini disebabkan karena saat ini begitu banyak publikasi teoretis yang disimpan dalam bentuk media online dan disebarkan melalui jaringan internet. Begitu pula saat ini, berbagai institusi telah menyimpan data mereka pada server-server yang dapat dimanfaatkan secara internet maupun melalui internet.

Beberapa informasi diperoleh dari internet, misalnya informasi tentang fenomena adanya indikasi feminisme di dalam novel The Colour Purple tersebut.

Begitu juga dengan informasi-informasi yang menguatkan penelitian ini tentang unsur-unsur feminisme radikal. Masih menurut Bungin (Bungin, 2007:125), metode penelusuran data online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti Internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Di dalam melakukan pencarian data – data, khususnya teori – teori feminisme radikal yang berhubungan dengan objek penelitian ini, ditemukan beberapa teori yang mempunyai kesamaan – kesamaan, namun juga perbedaan – perbedaan. Sebagai

contoh adalah teori dari Agger (2003) dengan Dworkin (1974) yang mempunyai kesamaan dalam menyatakan tentang patriarkis yang telah dijelaskan pada bab II sebelumnya. Kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang feminisme radikal ini juga ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan kajian feminisme merupakan salah satu kajian yang baru dalam kajian sastra. Maka, dalam proses analisis berikutnya, beberapa tindakan eksplorasi akan dilakukan.

3.3 Teknik Analisis Data

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada halaman sebelumnya, bahwa relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik penelitian data dilakukan sekaligus secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data.

Pada penelitian ini digunakan teknik heuristik. Heuristik merupakan pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Untuk meneliti citra perempuan dalam novel The Color Purple, maka novel ini sebagai data penelitian harus dibaca secara berurutan, dari awal hingga akhir. Kemudian, setelah heuristik digunakanlah metode hermeneutika. Metode hermeneutika digunakan sesudah pembacaan heuristik (Pradopo, 2001:84)

Ratna (2004: 44) menyatakan bahwa hermeneutika adalah metode yang digunakan untuk seluruh penelitian karya sastra. Hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan gejala, peristiwa, simbol, dan nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan manusia.

Prosedur ini dilakukan dengan membaca buku-buku yang dipilih atau informasi. Kemudian membaca keseluruhan dari novel The Color Purple ini.

Kemudian dipilih data atau diambil beberapa catatan dan kutipan pada dialog atau pernyataan dari novel ini yang berhubungan dengan feminisme radikal. Menandai teks yang dipilih menjadi data utama penelitian. Semua data mengacu pada ide atau tema novel ini, yaitu feminisme radikal, khususnya pada perempuan berkulit hitam Amerika, dan kemudian mencari relevansinya dengan feminisme di Indonesia sebagai tujuan penelitian ini.

3.4 Teknik Penyajian Analisis Data

Teknik penyajian analisis data tesis ini menggunakan metode informal yang menguraikan bahwa secara informal digunakan bentuk deskripsi atau narasi dalam menganalisis data.

Pada langkah ini, novel The Color Purple diteliti berdasarkan unsur-unsur radikalisme yang mana telah dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini disajikan secara deskriptif dan naratif yang menunjukkan bagaimana unsur-unsur radikalisme yang terjadi dengan meneliti karakter, yang mana dalam penelitian ini adalah beberapa tokoh perempuan dalam novel ini yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Celie, Shug Avery, Sofia, dan Nettie.

Beberapa kutipan dari novel The Color Purple diambil untuk diteliti, yang mana kutipan – kutipan tersebut mengindikasikan adanya unsur – unsur feminisme radikal. Unsur-unsur feminisme yang dimaksud adalah tindakan-tindakan keempat

tokoh perempuan tersebut dalam menghadapi permasalahan-permasalahan seperti patriarkis, kekerasan seksual fisik dan mental, dan seksualitas (termasuk lesbianisme) Semua data yang dipilih kemudian diteliti untuk mencapai apa yang telah direncanakan untuk tujuan penelitian ini dan akhirnya kesimpulan dapat ditarik dari penelitian.

3.5 Data dan Sumber Data

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel The Color Purple karya Alice Walker.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pustaka deskriptif yang berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang digambarkan dalam teks. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah data deskriptif menggunakan pendekatan feminisme radikal.

Kemudian sumber data pendukung lain diperoleh dari buku-buku, internet serta jurnal atau makalah dari berbagai seminar atau diskusi.

3.5.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Judul : The Color Purple Pengarang : Alice Walker

Penerbit : New York: A division of Simon and Schuster, Inc.

Tahun : 1982

Warna sampul : hitam, putih, ungu dan abu-abu

Gambar sampul : kaki perempuan berkulit hitam yang berdiri di depan pintu, bunga-bunga berwarna ungu dan bagian belakang seekor anjing yang berdiri di sebelah perempuan itu.

3.5.2 Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data-data pendukung di luar data primer, baik buku-buku pendukung maupun data-data dari internet yang berguna bagi penelitian ini.

BAB IV

ANALISIS FEMINISME RADIKAL DALAM NOVEL THE COLOR PURPLE KARYA ALICE WALKER

Dalam Bab IV ini diuraikan analisis data yang merupakan jawaban terhadap permasalahan–permasalahan yang telah dikemukakan dalam Bab Pendahuluan. Novel The Color Purple dianalisis dengan menggunakan pendekatan Feminisme Radikal.

Analisis tersebut guna menjawab permasalahan–permasalahan yang berkenaan dengan unsur-unsur feminisme radikal dalam novel tersebut yaitu tindakan-tindakan tokoh-tokoh perempuan, Celie, Shug Avery, Sofia, dan Nettie, dalam menghadapi permasalahan-permasalahan seperti : patriarkis, kekerasan seksual fisik dan mental, dan seksualitas (lesbianisme). Pembahasan dalam sub bab berikutnya akan dilakukan dengan cara menganalisis data berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata, dan perilaku yang digambarkan oleh beberapa tokoh-tokoh terpilih di dalam novel The Color Purple yang menyiratkan adanya unsur-unsur feminisme radikal.

Djajanegara (Sugihasti, 2002: 135) menyatakan bahwa salah satu dari beberapa ragam kritik sastra feminis itu dalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis yang paling banyak dan sekiranya sederhana, mudah dan cepat dipakai adalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe perempuan dalam karya sastra. Bila dikaitkan dengan analisis ini Alice Walker sebagai pengarang novel, berusaha mengangkat bagaimana stereotipe citra perempuan yang terjadi pada novel The Color Purple ini, yaitu Celie, Shug Avery,

Sofia, dan Nettie, dan kemudian tokoh–tokoh perempuan yang dijadikan objek analisis ini menunjukkan bagaimana mereka menghadapi dan melawan stereotipestereotipe yang ada di masyarakat tersebut.

Berikut adalah uraian analisisnya.

4.1 Feminisme Radikal Dalam Novel The Color Purple 4.1.1 Celie

Awal cerita novel ini, Celie adalah seorang perempuan muda kulit hitam berumur 14 tahun yang rentan tertindas. Masa mudanya penuh dengan penindasan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, yang belakangan diketahui sebagai ayah tirinya, Alfonso.

Alfonso jugalah yang telah memaksa Celie untuk menikah dengan laki–laki pilihannya, Mr._____ (Albert). Masa–masa pernikahan Celie dengan Mr._____

dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan Mr._____ terhadap Celie. Namun, pada akhirnya, tiga puluh tahun kemudian, Celie akhirnya memutuskan untuk meninggalkan suaminya itu. Kemudian akan dijelaskan bagaimana Celie menjalani masa–masa sulit dalam hidupnya sejak Ia belum menikah, kemudian masuk ke kehidupan pernikahannya, dan pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah suaminya dan memulai hidup baru.

Segala rintangan Celie hadapi dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan dan pada akhirnya kebebasan dan hak-haknya sebagai perempuan. Berbagai unsur-unsur feminisme yang Celie tunjukkan dalam menghadapi penindasan yang dilakukan beberapa kaum lelaki di dalam kehidupannya.

Berikut ini akan dianalisis bagaimana Celie menghadapi stereotipe–stereotipe yang terjadi padanya sebagai salah satu tokoh perempuan dalam novel ini.

4.1.1.1 Patriarkis

Ollenburger dan Moore (1996: 27-29) dalam buku yang berjudul Sosiologi Wanita, menyatakan bahwa di dalam beberapa perspektif feminisme radikal, digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis.

Dalam novel ini, digambarkan bagaimana perempuan-perempuan berkulit hitam mendapatkan penindasan berganda (Ollenburger, 1996). Tidak hanya penindasan rasisme yang didapat dari kulit putih, namun juga tindakan kekerasan partiarkis yang dilakukan oleh laki-laki berkulit hitam itu sendiri.

Dalam novel ini, digambarkan bagaimana perempuan-perempuan berkulit hitam mendapatkan penindasan berganda (Ollenburger, 1996). Tidak hanya penindasan rasisme yang didapat dari kulit putih, namun juga tindakan kekerasan partiarkis yang dilakukan oleh laki-laki berkulit hitam itu sendiri.

Dokumen terkait