• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.2 Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran praktis pada kalangan akademis dan masyarakat tentang feminisme radikal dalam kehidupan sebuah negara seperti:

diskriminasi ras, kekerasan patriarki, dan eksploitasi seks yang akan mengancam keharmonisan hidup antara laki - laki dan perempuan.

b. Memberikan pemahaman edukatif kepada masyarakat bagaimana pencitraan dan kedudukan perempuan digambarkan dalam sebuah novel, yang bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia, khususnya masyarakat Indonesia.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian khusus tentang feminisme dalam karya sastra Amerika yang berjudul The Color Purple , sepanjang yang diketahui belum ada. Namun

penelitian-penelitian mengenai feminisme dalam karya sastra Indonesia dan sastra Inggris cukup sering ditemukan. Di antaranya adalah;

1. Disertasi Herminingrum (2010) dari Universitas Gajah Mada yang berjudul Pembentukan Karakter Budaya Amerika melalui perempuan Afrika Amerika:

Kajian novel-novel karya Toni Morrison adalah suatu penelitian kajian feminisme. Dalam penelitian ini di dapat beberapa informasi tentang bagaimana perempuan-perempuan berkulit hitam Amerika menghadapi isu rasisme dan gender. Penelitian ini tidak hanya tentang perbudakan kulit hitam yang terjadi di Amerika, namun juga diteliti tentang perempuan-perempuan kulit hitam yang berjuang menghadapi penindasan yang dialaminya, baik penindasan yang dilakukan oleh bangsa kulit putih dan juga oleh laki-laki kulit hitam sendiri di Amerika. Penelitian ini membantu untuk mengetahui bagaimana perbudakan sebagai inti gagasan rasisme dan seksisme, yang harus dihadapi oleh perempuan Kulit Hitam, menjadi seperti mata rantai dari generasi. Dalam penelitian ini diungkapkan fakta bahwa apabila pada Era Perbudakan perempuan menjadi komoditas laki-laki Kulit Hitam. Maka, hal-hal inilah yang membantu penelitian ini dalam mendapatkan informasi tentang kehidupan perempuan berkulit hitam dalam sosial masyarakat

Amerika pada era 1980-an khususnya.

(http://pasca.ugm.ac.id/id/promotion_view.php?dc_id=81, diunduh tanggal: 5 juli 2011.

2. Guniesti (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Novel “Out” Karya Kirino Natsuo; Kajian Feminisme, di dalamnya terdapat kajian feminisme,

yang membantu meneliti novel The Color Purple ini dalam memahami lebih jauh tentang feminisme dan unsur-unsur apa saja yang ada pada feminisme.

Dalam penelitian tersebut telah mengambil kajian feminisme sebagai bahan penelitian, sama seperti penelitian ini. Namun, perbedaannya adalah beliau mengangkat novel karya penulis Jepang sebagai bahan penelitian secara langsung dan mengangkat tentang feminisme yang ada di masyarakat Jepang, sedangkan penelitian ini meneliti tentang feminisme yang terjadi di kalangan perempuan berkulit hitam Amerika pada khususnya.

3. Buku berjudul Teori Sosial Kritis karya Agger (penerjemah: Nurhadi, 2003) membantu dalam mendapatkan informasi tentang teori – teori feminisme yang berkembang di berbagai daerah, termasuk feminisme yang berkembang di Amerika. Buku ini sangat menolong dalam mendapatkan informasi tentang unsur-unsur feminisme, khususnya feminisme radikal. Selain itu juga memberikan informasi bahwa novel The Color Purple tersebut memang mempresentasikan tentang kehidupan perempuan.

4. Buku berjudul Sosiologi Wanita (1996) Ollenburger dan Moore memberikan informasi tentang feminisme radikal yang menjelaskan tentang ciri-ciri atau unsur-unsur feminisme radikal. Beberapa teori didapatkan dari buku ini.

Sebagai contoh, Carole Sheffield, seorang feminis (1984) menegaskan bahwa kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki, menggambarkan sistem partriarkis untuk mengontrol perempuan atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri, kekerasan ini terjadi dalam bentuk-bentuk serangan seksual, incest(perbuatan zinah), pemukulan dan pelecehan seksual

terhadap perempuan oleh laki-laki. Teori-teori ataupun informasi seperti ini jelas sekali sangat membantu penelitian ini dalam mengidentifikasi jenis feminisme apa yang tergambar dalam novel The Color Purple sebagai objek penelitian.

5. Sedangkan buku karangan Sofia (2009) memberikan ulasan tentang semacam analisis tentang penggunaan sastra feminisme dalam karya-karya Kuntowijoyo. Buku ini berjudul Aplikasi Kritik Sastra Feminis (2009).

Memang karya-karya yang dibahas sebagai objek penelitian dalam buku ini adalah hasil karangan cerita dari Indonesia, namun mempunyai persamaan yaitu kajiannya juga berupa kajian feminisme. Hal ini tentu saja membantu analisis ini untuk memberikan informasi tentang bagaimana cara mengaplikasikan feminisme untuk menganalisis suatu karya sastra, dalam hal ini novel berjudul The Color Purple ini.

2.2 Konsep

2.2.1 Feminisme Radikal

Feminisme radikal mengacu kepada versi yang sedikit berbeda dalam teori feminis. Dworkin (1974) berpandangan bahwa penindasan atas perempuan terutama terjadi karena patriarki, yang beroperasi baik pada level keluarga dan pada harapan atas heteroseksualitas wajib dan pada level budaya, di mana citra seksis perempuan diobjektifkan sehingga menindas mereka (Agger, 2003:221). Dalam novel The Color Purple ini, unsur patriarkis terlihat dengan jelas di mana hampir semua tokoh laki–

laki mempercayai budaya bahwa perempuan–perempuan di bawah kekuasaan laki–

laki dan bertanggung jawab melayani keinginan–keinginan laki–laki dalam suatu keluarga.

Lesbian juga pantas dimasukkan dalam kerangka feminisme radikal. Di sini penindasan perempuan dilihat sebagai bentuk penindasan pertama dan juga paling dalam. Kaum feminis lesbian menegaskan kebebasan seseorang untuk membuat pilihan-pilihan di dalam ruang pribadinya, seperti pilihan seksual, menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk melenyapkan penindasan individual dan juga penindasan terhadap orang-orang lain. Penilaian keseluruhan kaum feminis radikal, yaitu bahwa patriarki bersifat universal, dan memberikan pengertian mengenai penindasan perempuan di dalam semua kondisi budaya dan politik (Ollenburger, 1996: 27-29).

Agger (2003:221) menyatakan bahwa feminisme radikal mirip dengan feminisme lesbian atau separatis lesbian dalam kritiknya atas keluarga heteroseksis sebagai sumber utama penindasan atas perempuan. Kemudian beliau menambahkan bahwa feminisme lesbian merupakan feminis radikal, meski tidak semua feminisme radikal adalah separatis lesbian karena mereka menasehati perempuan untuk berpasangan hanya dengan perempuan (Agger, 2003: 221). Jika dikaitkan dengan novel The Color Purple ini, terlihat bahwa tidak semua tokoh – tokoh utama perempuan dalam novel ini yang memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya menjadi separatis lesbian. Contohnya Nettie (adik Celie) yang tetap pada orientasi seksualnya dan pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan laki – laki yang dicintainya. Nettie berjuang mempertahankan hak – haknya sebagai perempuan, tanpa takut menjalin hubungan dengan laki – laki.

Feminisme radikal sering dikaitkan dengan lesbianism atau separatis lesbian dalam kritiknya atas keluarga heteroseksis sebagai sumber utama penindasan atas perempuan. Namun, tidak semua feminis radikal adalah separatis lesbian karena separatis lesbian pada dasarnya menyarankan perempuan untuk berpasangan hanya dengan perempuan. Sedangkan, feminism radikal sebenarnya tidak menolak ide tentang mempunyai pasangan hidup laki-laki. Hal ini dapat kita lihat melalui pernyataan Agger (2003: 221-222), yang menyatakan bahwa:

“Feminisme radikal berpandangan bahwa feminis perlu meruntuhkan atau secara radikal memperbaiki keluarga dan menciptakan budaya non-misoginis di mana perempuan tidak dijadikan objek. Feminisme radikal memasukkan tapi tidak terbatas pada kritik tajam atas heteroseksisme, yang tidak hanya berpandangan bahwa semua orang pada dasarnya heteroseksual tapi juga menambahkan bahwa perempuan mendapatkan identitas mereka karena berpasangan (khususnya, menikah) dengan laki-laki dan mempunyai anak.”

Maka dari semua pendapat-pendapat di atas, dapat diambil kesamaan-kesamaan atau pun yang paling cenderung menjadi unsur-unsur paling menonjol dari feminis radikal adalah adanya gerakan atau pun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perempuan dalam menuntut hak-haknya terhadap permasalahan-permasalahan sebagai berikut; patriarkis, kekerasan seksual ataupun fisik dan mental, seksualitas (termasuk lesbianisme) dan hak-hak terhadap reproduksi.

2.2.2 Feminisme Amerika

Feminisme radikal yang dibahas dalam penelitian ini adalah khususnya feminisme radikal yang terjadi dalam masyarakat Amerika, dan pada akhirnya nanti akan ditarik relevansinya dengan feminisme di Indonesia.

Perempuan di Amerika belum lama mendapatkan hak suara dalam pemilihan umum dan bahkan lebih terlambat lagi di Negara Barat lainnya. Tahun 1869 Wyoming adalah Negara bagian pertama yang memberikan hak suara kepada perempuan; pemerintah federal baru mengikutinya pada tahun 1920. (Agger, 2003:

201)

Pejuang hak pilih kaum perempuan Amerika asli berpandangan bahwa perempuan harus mendapatkan hak suara, menjadi gelombang pertama gerakan perempuan Amerika. Gelombang ke dua gerakan perempuan, yang dimulai pada era 1960-an, berusaha mendapatkan hak aborsi, kesamaan upah, dan perjuangan melawan diskriminasi seks dan pelecehan seksual. (Agger, 2003: 204)

Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Darma (2009: 145-146), dalam bukunya berjudul Analisis Wacana Kritis bahwa gerakan feminisme berkembang di Amerika setelah munculnya publikasi John Stuart Mill (1869) yang berjudul The Subjection of Women (Broto, 2009). Gerakan ini menandai kelahiran feminisme gelombang pertama. Pasca perang dunia kedua, bersamaan dengan munculnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa, lahirlah gerakan feminisme gelombang kedua, yaitu tahun 1960. Pada saat ini pertama kali perempuan diberi hak suara di parlemen, hak pilih, dan boleh ikut dalam ranah politik kenegaraan. Pelopor feminisme gelombang kedua ini adalah para feminis Prancis. Pada waktu itu gerakan ini sangat santer perjuangannya, di Amerika ditandai dengan munculnya organisasi

perempuan yang diberi nama Women Liberation. Pada masa ini feminisme berjuang untuk demokrasi hak-hak perempuan yang meliputi hak atas pendidikan, pekerjaan, hak pemilikan, hak pilih, hak menjadi anggota parlemen, hak atas pengaturan kelahiran, dan hak atas perceraian. Pada dasarnya feminis berjuang untuk perbaikan hukum dan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan di ruang publik.

Perjuangan gerakan feminisme berkembang lebih luas lagi dengan tuntutan untuk mencapai kesederajatan dan kesetaraan harkat serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Feminisme di Amerika berkembang dengan munculnya buku Betty Friedan yang berjudul Feminine Mystique. Selanjutnya Betty Friedan mendirikan sebuah organisasi dengan nama National Organization for Women (NOW).

Survei pada bulan Februari 1994 oleh majalah Esquire menyatakan bahwa banyak perempuan Amerika yang berumur antara 18 sampai 25 tahun menolak disebut sebagai feminis (selama mereka mengidentifikasikan feminism dengan doktrin didaktis dan anti laki-laki yang telah mencakup era “pasca feminis” kita), namun mereka juga cukup toleran dengan perempuan dengan identitas lesbian dan biseksual. Melalui pengamatan yang lebih dekat, sebagian besar perempuan ini secara esensial feminis karena mereka mendukung tujuan ekonomis, politis dan kultural feminisme. Feminisme bahkan meluas ke teori homoseksual selama mereka memandang lesbianism sebagai satu posisi subjek yang dapat diterima. (Agger, 2003:

212)

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty

Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan.

Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang (http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diunduh tanggal: 21 Juni 2011 ).

Anshori (1997:41), menjelaskan tentang feminisme yang terjadi di Amerika, khususnya pada kulit hitam. Amerika serikat yang gemar mempromosikan diri sebagai negara paling demokratis dianggap sering melakukan ironi: diskriminasi rasial, terutama terhadap minoritas kulit hitam, masih terlihat kuat. Gerakan feminisme kulit hitam muncul sebagai respon atas feminisme kulit putih kelas menengah yang tidak menyadari rasisme memiliki pengaruh besar, baik terhadap kelompok dominan maupun minoritas. Sebagian pengamat melihat feminisme kulit hitam sebagai gerakan yang tetap memeluk feminisme arus utama sambil mengembangkan sensitivitas khusus berkaitan dengan rasisme.

Alice Walker adalah perempuan berkulit hitam pertama yang mendapatkan penghargaan Pulitzer di Amerika atas karyanya ini, The Colour Purple, pada tahun 1983. Novel ini juga menceritakan tentang perjuangan beberapa tokoh perempuan dalam mempertahankan harkat dan martabat mereka sebagai perempuan dalam

lingkungan keluarga mereka dan masyarakat. Novel ini mencerminkan kehidupan sosial khususnya perempuan berkulit hitam pada masa itu.

2.3 Landasan teoritis

2.3.1 Teori Kritik Sastra Feminis

Beberapa teori-teori kritik sastra didapatkan dari beberapa buku, di antaranya yaitu buku berjudul Teori dan Apresiasi Sastra, karya Sugihasti (2002: 135-142) dikatakan bahwa analisis kritik sastra feminis terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui salah satu varian pendekatan kritik sastra feminis yang berkembang di Amerika. Seperti diketahui, kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis perempuan pada masa silam.

Boleh dikatakan bahwa hasrat kritikus sastra feminis dapat saja didasari oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap pengarang dan penyair atau penulis-penulis perempuan dari zaman dahulu sampai sekarang. Dapat pula, hasrat mereka didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Kedua hasrat kritikus sastra feminis ini menimbulkan berbagai macam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Masih dalam buku ini juga, Djajanegara menyatakan bahwa salah satu dari beberapa ragam kritik sastra feminis itu dalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis yang paling banyak dan sekiranya sederhana, mudah dan cepat dipakai adalah kritik ideologis.

Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai

pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe perempuan dalam karya sastra. Bila dikaitkan dengan analisis ini Alice Walker sebagai pengarang novel, berusaha mengangkat bagaimana stereotipe citra perempuan yang terjadi pada novel The Color Purple ini dan kemudian unsur – unsur apa saja yang mendorong hal ini terjadi. Namun kemudian tokoh – tokoh perempuan yang dijadikan objek analisis ini menunjukkan bagaimana mereka menghadapi dan melawan stereotipe – stereotipe yang ada di masyarakat tersebut.

Apabila dikaitkan dengan novel The Color Purple ini, tokoh-tokoh perempuan yang terpilih untuk dianalisis mencerminkan bagaimana mereka mengambil tindakan-tindakan feminisme radikal dalam menghadapi tindakan-tindakan-tindakan-tindakan semena-mena dari tokoh-tokoh laki-laki yang ada pada novel ini.

Yoder (Sugihasti, 2002: 139), menyatakan bahwa di barat, kritik sastra feminis sering dimetaforakan sebagai quilt (selimut kapas). Quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan-potongan kain persegi itu pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Jahitan potongan kain itu memakan waktu cukup lama dan biasanya dikerjakan oleh beberapa orang. Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.

Sedangkan Kolodny (Sugihasti, 2002: 139), seorang pengkritik feminis Amerika menyatakan:

“It involved exposing the sexual stereotyping of women, in both our literature and our literary criticism and, as well, demonstrating the inadequacy of established critical schools and methods to deal fairly or sensitively with work written by women.”

“Itu termasuk membeberkan perempuan menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil dan tidak peka.”

Menurut Moi (Prabasmoro, 2006), salah satu hal yang penting dalam kritik sastra feminis adalah usaha untuk membebaskan diri dari jerat pertentangan hierarkis antara perempuan dan laki-laki, yang sering dipresentasikan di dalam wacana. Karena adanya faktor kekuasaan di dalam relasi tersebut, adanya dominasi yang satu terhadap yang lain, sudah pada saatnya ada upaya untuk membongkar oposisi biner, oposisi antara maskulinitas dan feminitas.

Endaswara (2008: 147-149) dalam bukunya berjudul Metodologi Penelitian Sastra “Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi” menyatakan bahwa analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek ketertindasan perempuan atas diri pria. Mengapa perempuan secara politis terkena dampak patriarki, sehingga meletakkan perempuan pada posisi inferior. Stereotipe bahwa perempuan hanya pendamping laki-laki, akan menjadi tumpuan kajian feminisme.

Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah perempuan menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidakadilan gender. Jika dianggap perlu, analisis peneliti perlu menganalisis radikalisme perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak. Analisis ini memang membahas tentang bagaimana tokoh – tokoh perempuan dalam novel The Colour Purple sadar akan perbedaan yang terjadi antara perempuan dan laki – laki. Alice Walker sebagai penulis novel ini, berusaha menuangkan pemikirannya bagaimana perempuan – perempuan berkulit hitam

khususnya, memperjuangkan hak – hak mereka sebagai sesama manusia dengan laki – laki.

Beliau juga berpendapat bahwa analisis feminisme seyogyanya mengikuti pandangan Barret, yakni: (1) peneliti hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan perempuan, keinginan laki-laki dan perempuan, dan hal-hal apa saja yang menarik laki-laki dan perempuan; (2) ideologi sering mempengaruhi hasil karya penulis. Ideologi dan keyakinan laki-laki dengan perempuan tentu saja ada perbedaan yang prinsipil; (3) seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang dihasilkan pengarang mampu melukiskan keadaan budaya mereka. Perbedaan gender sering mempengaruhi adat dan budaya yang terungkap.

Tradisi laki-laki dan perempuan dengan sendirinya memiliki perbedaan yang harus dijelaskan dalam analisis gender. Kemudian beliau berpendapat bahwa karya sastra yang bernuansa feminis, dengan sendirinya akan bergerak pada sebuah emansipasi.

Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan feminisme adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai obyek. Itulah sebabnya, kajian feminisme sastra tetap memperhatikan masalah gender. Yakni, tidak saja terus-menerus membicarakan citra perempuan, tetapi juga sebenarnya kemampuan laki-laki dalam menghadapi serangan gender tersebut.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam tradisi penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana apa yang terjadi pada penelitian kuantitatif, karena sebelum hasil-hasil penelitian kualitatif memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan, tahapan penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu (Bungin, 2007:6).

Dalam meneliti novel The Color Purple ini, metode ditekankan terhadap penokohan. Fenomena-fenomena yang diteliti berhubungan dengan unsur-unsur feminisme radikal yang terjadi pada keempat tokoh perempuan yang terpilih yaitu Celie, Shug Avery, Sofia, dan Nettie dalam novel The Color Purple tersebut, dan kemudian relevansinya dengan feminisme di Indonesia.

Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam sastra antara lain:

(1) Peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk meneliti feminisme radikal yang terdapat dalam novel The Color Purple karya Alice Walker, pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi dokumentasi atau studi kepustakaan dengan disertai pemahaman secara mendalam.

Informasi yang diperlukan dalam mendukung penelitian dikumpulkan melalui membaca dan mencari referensi yang berkaitan dengan penelitian. Fokus penelitian adalah tentang radikalisme perempuan berkulit hitam Amerika yang dialami beberapa tokoh perempuan dalam novel The Color Purple ini, yaitu; Celie (tokoh utama), Shug Avery (pasangan selingkuhan suami dan juga pasangan lesbian Celie), Sofia (menantu Celie), dan juga Nettie (saudara perempuan Celie).

Dalam penelitian kualitatif relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik penelitian data kadang tidak terelakkan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik penelitian data (Bungin, 2007:107).

Buku-buku yang digunakan, didapatkan dari berbagai sumber seperti perpustakaan, toko buku dan internet. Buku-buku yang dikumpulkan mengandung

informasi yang luas mengenai penelitian. Selain dari buku-buku, beberapa informasi juga didapatkan dari media internet.

Menurut Bungin (Bungin, 2007:124-125), namun ketika media internet berkembang begitu pesat dan sangat akurat, maka keraguan itu menjadi sirna kecuali bagi kalangan akademisi konvensional-ortodoks yang kurang memahami perkembangan teknologi informasi sajalah yang masih mempersoalkan akurasi media online sebagai sumber data maupun sumber informasi teori. Hal ini disebabkan karena saat ini begitu banyak publikasi teoretis yang disimpan dalam bentuk media online dan disebarkan melalui jaringan internet. Begitu pula saat ini, berbagai institusi telah menyimpan data mereka pada server-server yang dapat dimanfaatkan secara internet maupun melalui internet.

Beberapa informasi diperoleh dari internet, misalnya informasi tentang fenomena adanya indikasi feminisme di dalam novel The Colour Purple tersebut.

Begitu juga dengan informasi-informasi yang menguatkan penelitian ini tentang unsur-unsur feminisme radikal. Masih menurut Bungin (Bungin, 2007:125), metode penelusuran data online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti Internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Di dalam melakukan pencarian data – data, khususnya teori – teori feminisme

Di dalam melakukan pencarian data – data, khususnya teori – teori feminisme

Dokumen terkait