• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Pengamen Jalanan Di Kota Makassar

Makassar adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi selatan yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Makassar memiliki wilayah seluas 175, 77 km/

dan penduduk sebesar kurang lebih 1, 25 jiwa dalam perkembangan kota

Makassar masih meninggalkan beberapa masalah kesejahteraan social salah satunya pengamen jalanan.

Salah satu tempat dikota Makassar yang marak pengamen jalanan yaitu warung makan/lesehan karena tempat ini ramai dengan pengunjung baik disore hari maupun dimalam hari karena keramaian tempat ini menjadikan lahan bagi pengamen jalanan untuk mencari nafkah. Interaksi social yang terjadi antara pengunjung dan pengamen sangat negative tidak sedikit dari mereka yang mengamen meresahkan pengunjung yang datang, permasalahan ini sering terlihat, pengamen yang langsung saja memainkan senar gitarnya dan menggetarkan pita suara, meskipun pengunjung tidak ingin menikmati sajian music mereka.

Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang dapat membuatnya bertahan hidup dan menopang kehidupan keluarga. Namun di sisi lain kadang juga mereka berbuat hal-hal yang merugikan orang lain.

Salah satu tempat dikota Makassar yang marak dengan anak jalanan yaitu kawasan Pantai Losari yang merupakan kawasan pariwisata di kota Makassar, tempat ini selalu rame dengan pengunjung pada sore dan malam hari karena keramean tempat ini menjadikan lahan bagi anak jalanan mencari nafkah. Anak jalanan di kawasan Pantai Losari kebanyakan berprofesi sebagai pengamen, jumlah anak jalanan di pantai losari sebanyak 150 anak jalanan, anak jalanan yang ada berusia di kawasan pantai losari dari 4 - < 17 tahun. Interaksi sosial antara pengunjung dan anak jalanan sangat negatif tidak sedikit dari mereka yang mengamen di tempat ini meresahkan pengunjung yang datang di kawasan pantai losari, permasalahan dikawasan ini sering terlihat pengamen yang langsung saja

memainkan senar gitarnya dan menggetarkan pita suaranya, meskipun sang pengunjung tak ingin menikmati sajian musik yang mereka gelar.

Peristiwa itu pun akan berakhir dengan sebuah pemaksaan untuk membayar ongkos jasa, bahkan terkadang sang pengamen ngotot hingga upah itu diberikan. Bahkan anak jalanan di pantai Losari sangat berani memaksa pengunjung agar diberikan upah, mereka tidak takut karena anak jalanan dikawasan pantai losari berkelompok selain itu mereka juga di lindungi sama orang tua yang kebetulan bekerja sebagi pedagang asongan dan preman-preman yang ada dikawasan pantai losari itu menyebabkan mereka sangat agresif, tidak jarang juga sampai menimbulkan percekcokan antara pengunjung yang datang ketempat ini hubungan sosial antara anak jalanan sangat kental terlihat. Jaringan sosial yang ada dilingkungan ini sangat berpengaruh, dimana jaringan tersebut menfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama dengan anak jalanan.

Melihat hal diatas siapa aktor yang berhubungan dekat dengan anak jalanan, orang tua bisa sebagai tokoh yang berperan penting karena kondisi ekonomi, selain itu orang-orang yang memanfaatkan keberadaan anak jalanan sebagai aset yang berharga (preman) juga bisa sebagai aktor dari fenomena yang terjadi dikawasan pantai Losari yang berhubungan dengan anak jalanan

5. Tinjauan Teori a. Tindakan Sosial

Teori tindakan social yang di perkenalkan oleh Max weber. Menurut Max Weber tindakan social adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu

mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan di arahkan kepada tindakan orang lain. Suatu tindakan individu akan di katakana tindakan social ketika tindakan itu benar–benar di arahkan kepada orang lain (individu lainnya). Bahkan terkadang tindakan dapat berupa berulang kembali dan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000)

Ada 5 ciri-ciri tindakan social menurut Max Webere. Sebeagai berikut 1. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan

hal meliputi berbagai tindakan nyata .

2. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya

3. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja di ulang atau tindakan dalam bentuk perasetujuan secara diam- diam dari pihak manapun.

4. Tindakan itu di arahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu . 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang

lain .

Selain ke lima ciri pokok tersebut, menurut weber tindakan social dapat pula di bedakan dari sudut waktu hingga ada tindakan yang di arahkan kepada waktu yang sekarang , waktu yang lalu, dan waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bias kelompok atau sekolompok orang .

Weber membedakan tindakan social ke dalam empat tipe yaitu:

1. Tindakan Rasional Instrumental

Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai.

2. Tindakan Rasional Berorientasi Nilai

Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu diperhitungkan oleh sipelaku.Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam criteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat.

3. Tindakan Tradisional

Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang digunakan.

4. Tindakan Afektif

Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa pertimbangan akal budi.Seringkali tindakan ini dilakukan tanpa perencnaan matang dan kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa

b. Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Blimmer tahun 1937 melalui tulisan-tulisannya yang dipengaruhi oleh pemikiran Jhon Dewey, William I, Thomas, dan Charless H. Cooley.

Dalam ilmu social, perspektif interaksi simbolik sering dianggap berada di

bawah perspektif interpretif atau perspektif fenomologis. Istilah fenomologis itu sendiri bias berrarti pandangan ilmu pengetahuan yang menganggap keadaan manusia dan makna subjektifnya sebagai focus untuk memahaminya tindakan social (Natanson dalam Mulyana 2008,59). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, teori interaksi simbolik memiliki pengikut dan metodenya sendiri. Jika fenomologi menekankan upaya untuk

“memahami”, interaksi simbolik menekankan pada upaya “penafsiran” atas pemaknaan yang dihasilkan dalam interaksi (Laksono, 2013:255).

Berbeda dengan teori fungsionalisme Talcontt Prsons yang lebih menekankan struktur yang membentuk interaksi masyarakat, interaksi simbolik justru menganggap kalau perilaku manusialah yang merupakan factor terpenting yang membentuk interaksi tersebut. Proses tersebut terbentuk dari realitas social yang brsifat intersubjektif adalah tema yang bermakna anggota masyarakat membagi dan menginternalisasikan pemahaman mereka tentang dunia melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi. Dengan kata lain, dalam upaya memahami realitas social, interaksi simbolik akan menekankan focus penelitiannya pada subjek alih-alih struktur masyarakat.

Menurut interaksi simbolik, kehidupan social pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol. Oleh karena itu, penganut teori ini akan berupaya memahami bagaimana symbol terbentuk, makna dalam symbol, dan bagaimana symbol itu memberikan pengaruh dalam interaksi social. Symbol itu sendiri, didefenisikan sebagai

suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat inderanya (Douglas dalam Mulyana 2008:77). Dengan pengertian ini, banyak hal disekitar kita bisa diartikan sebagai symbol. Bahasa adalah symbol, gambar adalah symbol, ekspresi adalah symbol, dan masih banyak hal lainnya yang bisa diartikan sebagai symbol. Hal yang terpenting dalam symbol adalah bagaimana makna didalamnya bisa memengaruhi orang, jadi symbol bukan persoalan cirri fisik semata (Rose 1974:140). Dengan demikian, penganut interaksi simbolik yang beranggapan bahwa individu aktif dalam menafsirkan sesuatu disekelilingnya, mereka dapat menghindari problem-problem strukturalisme dan idealisme dan mengemudikan jalan tengah di antara kedua pandangan tersebut.

Dalam memandang individu atau kelompok, interaksi simbolik beranggapan bahwa berbeda dengan hewan, manusia aktif dalam membentuk dan menafsirkan makna yang mereka dapat disekeliling mereka. Inilah yang menjadi penyebab mengapa teknik-teknik ilmu alam susah kalau bukan tidak mungkin diterapkan ke dalam ilmu social.

Tindakan individu alih-alih terjadi secara alamiah, justru penuh dengan berbagai motif dan pemaknaan. Sebelum mengambil tindakan, dalam setiap situasi fenomologis, yakni secara alamiah, justru penuh dengan berbagai motif dan pemaknaan. Sebelum mengambil tindakan, dalam setiap situasi fenomologis, yakni konteks ruang, waktu dan historis yang secara unik

menempatkan individu, kitaq memiliki dan menerapkan persediaan n pengetahuan yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan yang kita pelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap pakai yang tersedia bagi kita didunia yang ke dalamnya kita lahir (Mulyana 2008:62)

Sebagaimana yang dinyatakan Schutz (1964), setiap dari kita memiliki dua kategori pengetahuan sebagai persediaan pengetahuan dalam merespon symbol-simbol di sekitar kita.

1. Kategori pengetahuan yang bersifat pribadi atau mencirikhaskan individu dari individu yang lain. Kategori ini berhubungan identitas diri kita, atau proses penemuan dan pembentukan diri kita.

2. Kategori pengetahuan yang telah terbentuk dan dianut dalam sebuah kelompok yang berisi norma-norma, aturan, kebiasaan, budaya, dan common sense (akal sehat).

Kedua kategori pengetahuan inilah yang kita gunakan sebagai persediaan kita dalam merespons segala situasi yang kita temukan.

Schurtz juga menjelaskan bahwa dalam interaksi, individu atau actor secara khas merujuk kepada motif-motif tertentu. Motif yang dimaksud schurtz bisa dibagi menjadi dua yakni ‘motif untuk” dan

“motif karena”. Motif yang pertama menekankan keaspek harapan, rencana, atau sesuatu yang berorientasi kemasa depan. Sedangkan motif kedua lebih menekankan ke factor apa, yang terletak dibelakang, biasanya disebut alasan, yang menyebabkan individu melakukan

sesuatu. Didalam proses interaksi, bisa jadi terdapat pertukaran motif antara satu actor dengan actor lain

Premis yang membentuk interaksionisme simbolik

Secara ringkas, premis-premis yang membentuk interaksi simbolik bisa dijelaskan sebagai berikut.

1. Individu merespons sesuatu secara simbolik. Dalam artian, disetiap situasi individu secara aktif menafsirkan makna dari symbol-simbol yang didapatkannya dan mendefenisikan situasi seperti apa yang sedang mereka hadapi. Ketika menghadapi situasi, individu tidak bersifat mekanis tetapi bergantung dari bagaimana perspektif mereka dalam menghasilkan persepsi.

2. Makna dibentuk dari interaksi social. Dengan demikian pemaknaan atas sesuatu dibentuk atau dikonsesuskan dalam masyarakat.

3. Penafsiran yang diberikan individu bisa berubah dari waktu ke waktu tergantung perubahan situasi dalam interaksi social.

Akibatnya, karena tindakan dibentuk oleh persepsi yang berdasar pada perspektif, perubahan penafsiran terhadap makna juga bisa diberikan perubahan pada tindakan individu

George Ritzer (Dalam Mulyana 2008:73) meringkas teori interaksi simbolik kedalam prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi kemampuan berfikir.

2. Kemampuan berfikir itu dibentuk oleh interaksi social.

3. Dalam interaksi social orang belajar makna dan symbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berfikir.

4. Makna dan symbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan dan interaksi khas manusia.

5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan symbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi yang khas manusia.

6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, anatara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.

7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.

Dokumen terkait