• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Laba/Rugi dan Finansial Pengusahaan Tanaman Kehutanan .1 Analisa Laba/Rugi Pengusahaan Tanaman Kehutanan.1 Analisa Laba/Rugi Pengusahaan Tanaman Kehutanan

TAHUN TANAM 2004 NoJenis

1. Skenario 1 dan Skenario 3

5.8 Analisa Laba/Rugi dan Finansial Pengusahaan Tanaman Kehutanan .1 Analisa Laba/Rugi Pengusahaan Tanaman Kehutanan.1 Analisa Laba/Rugi Pengusahaan Tanaman Kehutanan

Analisa laba/rugi diperlukan untuk mengetahui besarnya keuntungan atau kerugian yang diperoleh sampai dengan akhir jangka waktu pengusahaan yang telah ditetapkan, yaitu 60 tahun. Besarnya keuntungan atau kerugian tersebut didasarkan pada skenario-skenario yang telah dirancang, antara lain:

1. Skenario 1

Besarnya keuntungan atau kerugian pada skenario ini disajikan pada Lampiran 16

Berdasarkan Lampiran 16 dapat dijelaskan bahwa pada tahun ke-0 pengusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 80.510.000,-, pada tahun ke-1 mengalami kerugian sebesar Rp. 351.166.000,-. Kemudian pada tahun ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 masih mengalami kerugian masing-masing sebesar Rp. 367.469.000,-, Rp. 375.858.000,-, Rp. 377.384.000,- dan Rp. 458.910.000,-.

Sedangkan pada tahun ke-6 hingga tahun ke-9 kerugian yang dialami sebesar Rp. 378.910.000,-. Pada tahun ke-10 pengusahaan masih mengalami kerugian sebesar Rp. 458.910.000,-. Walaupun pada tahun ke-11 hingga tahun ke-30 sudah memperoleh pendapatan dari hasil penjualan kayu Sengon dan Akasia tetapi masih mengalami kerugian, rata-rata sebesar Rp. 173.666.000,- per tahun.

Selanjutnya pada tahun ke-31 hingga akhir tahun pengusahaan, yaitu tahun ke-60 mengalami keuntungan, rata-rata sebesar Rp. 44.950.000,- per tahun. Besarnya keuntungan ini diperoleh dari hasil penjualan kayu Sengon, Akasia, Jati, Pinus, Meranti dan Mahoni. Total pendapatan pada pola ini sampai akhir tahun pengusahaan sebesar Rp. 26.526.192.000,- sedangkan total pengeluaran sebesar Rp. 32.636.853.000,-. Dengan demikian pada pola ini, pengusahaan tanaman kehutanan mengalami kerugian sebesar Rp. 6.110.661.000,-.

2. Skenario 2

Besarnya keuntungan atau kerugian pada skenario ini disajikan pada Lampiran 17

Berdasarkan Lampiran 17 dapat dijelaskan bahwa pada tahun ke-0 pengusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 80.510.000,-, pada tahun ke-1 mengalami kerugian sebesar Rp. 361.494.000,-. Kemudian pada tahun ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 masih mengalami kerugian masing-masing sebesar Rp. 379.654.000,-, Rp. 389.031.000,-, Rp. 390.737.000,- dan Rp. 472.442.000,-. Sedangkan pada tahun ke-6 hingga tahun ke-9 kerugian yang dialami sebesar Rp. 392.442.000,-. Pada tahun ke-10 pengusahaan masih mengalami kerugian sebesar Rp. 472.442.000,-. Walaupun pada tahun ke-11 hingga tahun ke-30 sudah memperoleh pendapatan dari hasil penjualan kayu Sengon dan Akasia tetapi masih mengalami kerugian, rata-rata sebesar Rp. 208.359.000,- per tahun.

Walaupun sudah memperoleh pendapatan dari hasil penjualan kayu Sengon, Akasia, Jati, Pinus, Meranti dan Mahoni tetapi pada tahun ke-31 hingga akhir tahun pengusahaan, yaitu tahun ke-60 masih mengalami kerugian, rata-rata sebesar Rp. 43.376.000,- per tahun. Total pendapatan pada pola ini sampai akhir tahun pengusahaan sebesar Rp. 19.894.644.000,- sedangkan total pengeluaran

85

sebesar Rp. 29.479.178.000,-. Dengan demikian pada pola ini, pengusahaan tanaman kehutanan mengalami kerugian sebesar Rp. 9.584.534.000,-.

3. Skenario 3

Besarnya keuntungan atau kerugian pada skenario ini disajikan pada Lampiran 18

Berdasarkan Lampiran 18 dapat dijelaskan bahwa pada tahun ke-0 pengusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 80.510.000,-, pada tahun ke-1 mengalami kerugian sebesar Rp. 330.591.000,-. Kemudian pada tahun ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 masih mengalami kerugian masing-masing sebesar Rp. 342.248.000,-, Rp. 348.171.000,-, Rp. 349.248.000,- dan Rp. 430.325.000,-. Sedangkan pada tahun ke-6 hingga tahun ke-9 kerugian yang dialami sebesar Rp. 350.325.000,-. Pada tahun ke-10 pengusahaan masih mengalami kerugian sebesar Rp. 430.325.000,-. Walaupun pada tahun ke-11 hingga tahun ke-30 sudah memperoleh pendapatan dari hasil penjualan kayu Sengon dan Akasia tetapi masih mengalami kerugian, rata-rata sebesar Rp. 172.401.000,- per tahun.

Selanjutnya pada tahun ke-31 hingga akhir tahun pengusahaan, yaitu tahun ke-60 mengalami keuntungan, rata-rata sebesar Rp. 45.399.000,- per tahun. Besarnya keuntungan ini diperoleh dari hasil penjualan kayu Sengon, Akasia, Jati, Pinus, Meranti dan Mahoni. Total pendapatan pada pola ini sampai akhir tahun pengusahaan sebesar Rp. 26.526.192.000,- sedangkan total pengeluaran sebesar Rp. 32.324.954.000,-. Dengan demikian pada pola ini, pengusahaan tanaman kehutanan mengalami kerugian sebesar Rp. 5.798.762.000,-.

5.8.2 Analisa Finansial Pengusahaan Tanaman Kehutanan

Analisa finansial digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan dari kegiatan pengusahaan tanaman kehutanan pada setiap skenario yang telah dirancang sebelumnya. Analisa finansial pada penelitian ini dipengaruhi oleh suku bunga yang berlaku, yaitu 14%. Selain pada tingkat suku bunga 14%, dianalisa juga pada tingkat suku bunga 16% dan 18%. Kriteria kelayakan pada penelitian ini, yaitu NPV 0, BCR 1 dan IRR suku bunga bank pada saat penilaian.

Berdasarkan hasil perhitungan yang terdapat pada Lampiran 19, 20 dan 21 yang telah dilakukan terhadap arus penerimaan dan pengeluaran pengusahaan tanaman kehutanan di daerah milik jalan tol Jagorawi didapat hasil analisa finansial seperti tercantum pada Tabel 28.

Tabel 28. Hasil Analisa Finansial Pengusahaan Tanaman Kehutanan pada Tingkat Suku Bunga yang Berlaku (14%)

No Komponen Pola Pengusahaan Tanaman Kehutanan

Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3

1 NPV (Rp) -2.090.158.000,- -2.215.350.000,-

-1.964.576.000,-2 BCR 0,23 0,18 0,24

3 IRR (%)

-Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa ketiga pola pengusahaan tanaman kehutanan tidak layak diusahakan sebab tidak memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV 0, BCR 1 dan IRR suku bunga bank pada saat penilaian, yaitu 14%.

Pada penilaian finansial ketiga pola pengusahaan tanaman kehutanan di daerah milik jalan tol Jagorawi didapatkan hasil NPV negatif pada suku bunga yang berlaku yaitu 14%. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pola pengusahaan tanaman kehutanan tidak layak diusahakan pada tingkat suku bunga tersebut.

Pendapatan pengusahaan tanaman kehutanan yang besarnya sama dengan Nilai NPV diperoleh. Pada pola skenario 1 nilai NPV yang diperoleh negatif sebesar Rp. 2.090.158.00,-, pada pola skenario 2 nilai NPV yang diperoleh negatif sebesar Rp. 2.215.350.000,- dan pada pola skenario 3 nilai NPV yang diperoleh negatif Rp. 1.964.576.000,-. Angka tersebut menunjukkan perbandingan pendapatan dengan pengeluaran yang telah didiskontir dengan suku bunga yang telah ditetapkan.

Nilai BCR dicapai pada tingkat suku bunga 14% untuk pola skenario 1, yaitu 0,23, untuk pola skenario 2 sebesar 0,18 dan untuk pola skenario 3 sebesar 0,24. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pola pengusahaan tanaman kehutanan tidak layak diusahakan (tidak dapat memberikan keuntungan) pada tingkat suku bunga yang berlaku.

87

Nilai IRR untuk masing-masing pola pengusahaan tanaman skenario 1, skenario 2 dan skenario 3 berturut-turut tidak dapat dihitung sebab nilai NPV dari ketiga pola pengusahaan tersebut bernilai negatif pada semua tingkat suku bunga artinya ketiga pola pengusahaan tanaman kehutanan ini tidak memberikan gambaran yang layak pada tingkat suku bunga yang berlaku.

Berdasarkan penilaian finansial yang dilakukan diketahui bahwa ketiga pola pengusahaan tanaman kehutanan di daerah milik jalan tol Jagorawi yang dirancang tidak layak untuk diusahakan. Biaya-biaya tersebut didasarkan pada rencana biaya perawatan serta biaya pertamanan dan penghijauan di daerah milik jalan tol Jagorawi tahun 2007. Sebagai perbandingan, disajikan data mengenai standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/MENHUT-II/2007 yang terdapat pada Lampiran 22

Adapun biaya-biaya pengusahaan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/MENHUT-II/2007 antara lain : 1. Biaya Pengadaan Bibit

Biaya pengadaan bibit yang dikeluarkan pada pengusahaan tanaman kehutanan per hektar pada skenario 1 sebesar Rp. 3.223.000,-, skenario 2 Rp. 3.466.000,- dan skenario 3 sebesar Rp. 2.915.000,- sehingga rata-rata biaya pengadaan bibit sebesar Rp. 3.201.000,-. Sedangkan biaya pengadaan bibit berdasarkan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) per hektar berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/MENHUT-II/2007 pada Rayon tertinggi, yaitu Rayon IV sebesar Rp. 2.050.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pengadaan bibit pengusahaan tanaman kehutanan 36% lebih besar jika dibandingkan dengan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hal yang menyebabkan tingginya biaya pengadaan bibit adalah PT. Jasa Marga cabang tol Jagorawi belum melakukan kegiatan penyemaian tanaman secara mandiri tetapi membeli dari supplier-supplier bibit yang ada di sekitar Jabodetabek dan Jawa Barat.

2. Biaya Pemeliharaan

Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pada pengusahaan tanaman kehutanan per hektar pada skenario 1 sebesar Rp. 10.865.000,-, skenario 2 Rp. 10.845.000,-dan skenario 3 sebesar Rp. 10.897.000,- sehingga rata-rata biaya pemeliharaan sebesar Rp. 10.869.000,-. Sedangkan biaya pemeliharaan berdasarkan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) per hektar berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/MENHUT-II/2007 pada Rayon tertinggi, yaitu Rayon IV sebesar Rp. 2.796.300,-. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pemeliharaan pengusahaan tanaman kehutanan 74% lebih besar jika dibandingkan dengan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hal yang menyebabkan tingginya biaya pemeliharaan adalah biaya yang dikeluarkan PT. Jasa Marga cabang tol Jagorawi mengikuti standar upah pasaran yang ada di DKI Jakarta dan Jawa Barat.

3. Biaya Gaji Pegawai

Biaya gaji pegawai yang dikeluarkan pada pengusahaan tanaman kehutanan per hektar dari 3 skenario sebesar Rp. 4.500.000,-. Sedangkan biaya administrasi dan umum berdasarkan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) per hektar berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/MENHUT-II/2007 pada Rayon tertinggi, yaitu Rayon IV sebesar Rp. 1.031.250,-. Hal ini menunjukkan bahwa biaya gaji pegawai pada pengusahaan tanaman kehutanan 77% lebih besar jika dibandingkan dengan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hal yang menyebabkan tingginya biaya gaji pegawai pada penelitian ini adalah biaya tersebut mengikuti standar gaji yang berlaku di PT. Jasa Marga cabang tol Jagorawi.