• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolesom

2.1.3 Fitonutrien Kolesom

Daun dan pucuk muda kolesom umumnya dikonsumsi dengan cara dimasak, baik itu dikukus maupun direbus. Daun dan pucuk ini sedikit lunak dan berlendir sehingga tidak boleh dimasak terlalu lama. Di Jawa Barat daun kolesom dimanfaatkan untuk lalap sebagai pengganti krokot (Portulaca oleracea L.) pada masakan etnis Sunda (Rifai 1994, Syukur & Hernani 2002). Analisis proksimat menunjukkan dari 100 g bagian yang dapat dimakan didapati 90-92 g air, 1.9-4.6 g protein, 0.4-0.5 g lemak, 3.7-4.4 g karbohidrat, 0.6-1.1 g serat, dan 2.4 g abu, energi 105 KJ (Rifai 1994, Mensah et al. 2008). Selain itu kolesom juga mengandung sejumlah vitamin seperti vitamin B1, B2, niacin, C berturut-turut

sebesar 0.08, 0.18, 0.30, 31.00 mg /100 g (Rifai 1994). Adapun mineral yang terkandung didalamnya yaitu Ca, K, Mg, Na, Fe masing-masing sebanyak 2.44, 6.10, 2.22, 0.28, 0.43 mg/100 g (Mensah et al. 2008).

2.1.4 Fitokimia Kolesom

Konsumsi kolesom sebagai sayuran selain bermanfaat dari segi nilai gizi, tetapi juga bermanfaat dari segi fitokimia yang terkandung di dalamnya. Analisis bahan bioaktif secara kualitatif menunjukkan bahwa daun kolesom mengandung alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Batang dan cabang kolesom mengandung bahan bioaktif yang sama dengan bagian daun, kecuali fenolik dan steroid (Susanti et al. 2008, Mensah et al. 2008; Mualim et al. 2009, Aja et al. 2010a). Terdapat dua jenis saponin dalam akar kolesom yang diekstrak dengan menggunakan metanol. Saponin jenis pertama berupa chikusetsusaponin, dikenal sebagai saponin dari asam oleanolic yang berasal dari rimpang Panax spp. Jenis kedua berupa β-D-glucopyranosyl methyl spergulagenate 3-O-β-D-glucuronopyranoside (Kohda et al. 1992). Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kolesom mengandung flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, dan steroid masing-masing sebesar 69.80, 55.56, 1.48, 1.44, 1.07 mg/100 g (Aja et al. 2010a, 2010b). Kolesom juga mengandung asam organik yaitu fitat (0.432-0.497 mg/g) dan oksalat (2.750-3.600 mg/g) (Tesleem et al. 2009).

Fitokimia didapati dalam jumlah kecil pada tumbuhan, namun kontribusinya terhadap aktivitas antioksidan tidak dapat diabaikan. Fitokimia yang berperan cukup besar sebagai antioksidan adalah golongan fenolik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kolesom mengandung total fenol sebesar 0.489 mg ekuivalen asam galat (GAE)/ g bobot basah dengan inhibisi peroksidasi lipid sebesar 97.1 %. Selanjutnya, hasil uji DPPH, ABTS, dan FRAP menunjukkan hasil berturut-turut sebesar 7.4, 1.03, 28.3 µmol ekuivalen trolox (TE)/g bobot basah (Andarwulan et al. 2010). Ekstrak metanol kolesom pada uji TEAC memberikan nilai 79 µmol TE/g bobot kering (Yang et al. 2006). Penelitian lain menyebutkan bahwa senyawa fenol yang terdapat dalam ekstrak umbi kolesom lebih berperan dalam menangkap radikal bebas dibandingkan dengan mendonorkan elektron yang menunjukkan perannya sebagai antioksidan primer (Estiasih & Kurniawan 2006).

Jenis flavonoid terbanyak dari kolesom adalah kaemferol (+ 90 %), dengan total flavonoid sebesar 3.93 mg/100 g bobot basah. Akan tetapi, tidak ditemukan adanya korelasi yang berarti antara flavonoid dengan aktivitas antioksidan, mungkin disebabkan terdapat fitokimia lain yang juga ikut mempengaruhi aktivitas antioksidan pada kolesom selain polifenol. Jika sayuran ini dikonsumsi secara teratur akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap jumlah konsumsi flavonoid pada diet Indonesia, kira-kira sebesar 0.08-36 mg untuk sajian 25 g (~ 1 cangkir) (Andarwulan et al. 2010).

2.2 Antioksidan

2.2.1 Pengertian Antioksidan

Antioksidan memiliki arti perlawanan terhadap oksidasi. Pada saat radikal bebas menerima elektron dari antioksidan, maka senyawa ini tidak reaktif lagi sehingga tidak merusak sel akibat proses oksidasi telah terputus. Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerusakan pada bagian tubuh atau makanan yang mengandung lemak (Rohman & Riyanto 2005). Adanya antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, atau mencegah terjadinya proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus

Prakash et al. (2006) menyatakan antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid.

2.2.2 Pengelompokan Antioksidan

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan primer dan sekunder (Gordon 1990). Antioksidan primer (antioksidan pemecah rantai) adalah antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipid lalu mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul antioksidan dapat disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipid (RO•). Hasil dari proses ini adalah radikal turunan antioksidan (A•) yang lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid atau mengubahnya kebentuk lebih stabil. Selanjutnya, antioksidan sekunder merupakan antioksidan pencegah, yaitu suatu senyawa yang dapat memperlambat laju reaksi autooksidasi lipid. Antioksidan ini bekerja dengan berbagai mekanisme seperti mengikat ion metal, menangkap oksigen, memecah hidrogen peroksida kebentuk-bentuk non-radikal, menyerap radiasi ultra violet, atau mendeaktifkan singlet oksigen.

Berdasarkan sumber asalnya, antioksidan dibedakan menjadi antioksidan sintetik dan alami (Andarwulan et al. 1996, Ardiansyah 2008). Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia; sebaliknya, antioksidan alami adalah antioksidan hasil ekstraksi bahan alami.

2.2.3 Antioksidan Alami

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (1) senyawa antioksidan yang sudah ada dalam satu atau dua komponen makanan, (2) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (3) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.

Sebagian besar senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan (Pratt & Hudson 1992). Isolasi antioksidan alami

telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Beberapa penelitian menunjukkan antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Andarwulan et al. 1996, Wijaya 1999, Tensiska et al. 2003, Rohman & Riyanto 2005, Prangdimurti et al. 2006, Policegoudra & Aradhya 2007, Arbianti et al. 2007, Wangcharoen & Morasuk 2007, Soeksmanto et al. 2007, Kumar et al. 2008, Poojari et al. 2009, Ali et al. 2009; Rossetto et al. 2009).

Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon, dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Apak et al. 2007). Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat bereaksi sebagai (1) pereduksi, (2) penangkap radikal bebas, (3) pengkelat logam, (4) peredam terbentuknya singlet oksigen (Javanmardi et al. 2003).

Menurut Markham (1988) kira-kira 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau, sehingga pasti dapat ditemukan pada setiap studi ekstrak tumbuhan. Pratt dan Hudson (1992) menuliskan kebanyakan golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik di dalam lipid cair maupun dalam makanan berlipid.

Dokumen terkait