• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM:

3.5 Pembahasan

Organik 49.30 1.81 0.27 5.56

Inorganik 50.30 2.42 0.21 4.92

Organik vs inorganik ** ** * *

** = berbeda nyata (P < 0.01), * = berbeda nyata (P < 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi

ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda

3.5 Pembahasan

3.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom

Tidak adanya perbedaan bobot basah pucuk kolesom diantara taraf pemupukan organik dan inorganik mungkin disebabkan kolesom mengambil hara dalam jumlah besar, sehingga tidak responsif bila diberi pupuk kurang dari taraf tertinggi yang dicobakan. Penelitian sebelumnya oleh Mualim dan Aziz (2011)

juga menunjukkan hal yang sama bahwa pemberian pupuk P mulai dari dosis 0 sampai 800 kg SP-18/ha tidak menyebabkan perbedaan produksi pucuk kolesom. Produksi pucuk kolesom pada umur 2 dan 4 MST tidak berbeda antara kedua jenis perlakuan pupuk, namun pada akhir pengamatan (umur 6 MST) pemberian pupuk inorganik menghasilkan bobot basah pucuk yang tertinggi. Curah hujan yang tinggi dan drainase yang kurang baik mungkin merupakan penyebab produksi pucuk saat umur 6 MST yang lebih rendah pada perlakuan pupuk organik jika dibandingkan dengan pupuk inorganik. Keadaan sekitar perakaran yang basah kurang disukai kolesom, sehingga daun tanaman rontok dan mengakibatkan berkurangnya produksi pucuk. Pemupukan inorganik di musim hujan menyebabkan N banyak diserap oleh kolesom, sehingga memacu pertumbuhan pucuk. Hasil analisis jaringan tanaman pada umur 6 MST menunjukkan kandungan hara N yang lebih tinggi pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik (2.42 % N) dibandingkan dengan pupuk organik (1.81 % N). Pemberian pupuk inorganik juga menyebabkan kolesom banyak menghasilkan biomassa. Hal ini dicerminkan dengan hasil akhir berupa kandungan C-organik yang tinggi (50.30 % C) pada kolesom dengan pemupukan inorganik.

3.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya Penelitian ini mengukur kandungan total gula yang dihitung sebagai glukosa (kelompok monosakarida). Secara umum, pemberian pupuk inorganik memberikan kandungan total gula yang lebih tinggi dari yang diberi pupuk organik. Lebih tingginya kandungan total gula pada kolesom yang mendapat pupuk inorganik terkait dengan kandungan C-organiknya (50.30 % C) yang lebih tinggi daripada yang mendapat pupuk organik. Dijelaskan oleh Brielmann et al. (2006) bahwa C merupakan kerangka yang digunakan untuk membentuk senyawa organik kelompok besar karbohidrat, misalnya glukosa.

Kandungan total gula merupakan hasil aktivitas fotosintesis pada siklus Calvin. Gula dalam bentuk glukosa pada tumbuhan merupakan prekursor umum pembentukan vitamin C (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007). Penelitian ini menunjukkan kandungan vitamin C tertinggi pada umur 6 MST dihasilkan dari

kolesom dengan pemberian pupuk organik; namun tidak terdapat perbedaan pada kandungan total gula. Penyebabnya adalah analisis pada penelitian ini tidak dilakukan terhadap substrat utama (L-galaktono-1,4-lakton), namun hanya prekursor umum berupa glukosa sehingga tidak diketahui proporsi terbentuknya senyawa antara lain, misalnya fruktosa, manosa, dan galaktosa. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa biosintesis vitamin C melalui tahapan konversi glukosa yang rumit dengan melibatkan berbagai enzim untuk membentuk senyawa antara hingga akhirnya terbentuk L-asam askorbat (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007).

Protein merupakan senyawa mengandung N. Pemberian pupuk inorganik ternyata memberikan kandungan protein yang tinggi. Kandungan protein yang tinggi pada kolesom yang diberi pupuk inorganik terkait dengan kandungan hara N jaringan yang tinggi (2.42 % N). Marschner (1995) menjelaskan bahwa unsur N yang diberikan melalui akar akan dimetabolisme untuk membetuk asam amino yang akan ditranslokasikan ke tajuk dan selanjutnya membentuk ikatan peptida untuk menghasilkan protein.

3.5.3 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya

Kandungan total klorofil kolesom pada pemupukan inorganik selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan organik. Telah diketahui bahwa N merupakan salah satu penyusun klorofil (Cseke et al. 2006). Oleh sebab itu, N lebih banyak diserap pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik sehingga pembentukan klorofil terpacu.

Aktivitas PAL yang menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman menunjukkan senyawa fenolik yang terbentuk juga menurun. PAL merupakan enzim yang terkait langsung dengan fenilalanin sebagai prekursor terbentuknya senyawa fenolik (Cheng & Breen 1991, Rivero et al. 2001). Aktivitas PAL didapati tinggi pada awal pertumbuhan tanaman sehingga kandungan total fenolik pada saat itu juga lebih tinggi dibandingkan dengan akhir pengamatan (6 MST). Kaitan antara peningkatan aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada strawberry (Cheng & Breen 1991), bawang

merah (Benkeblia 2000), tomat (Rivero et al. 2001), dan jagung (Gholizadeh 2011).

Jika kandungan total fenolik, aktivitas PAL, dan kandungan protein dibandingkan dengan kandungan total klorofil maka akan didapatkan bahwa biosintesis klorofil berasal dari pembentukan tetrapirol dengan prekursor berupa asam amino alifatik. Hal ini didukung dengan kandungan protein yang tinggi pada umur 6 MST sehingga sebagian besar protein merupakan asam amino alifatik bukan dari asam amino aromatik. Hal ini disebabkan aktivitas PAL dan kandungan total fenolik yang rendah. Cseke et al. 2006 menyatakan bahwa prekursor terbentuknya klorofil adalah glutamat yang akan dirubah menjadi asam aminolevulinat.

Penelitian ini menunjukkan kandungan total fenolik (kelompok asam fenolat, dihitung sebagai asam galat) dan kandungan total flavonoid (dihitung sebagai kuersetin) berpengaruh terhadap kapasitas antioksidan, namun pengaruhnya berbeda pada setiap umur pengamatan kolesom. Kapasitas antioksidan dari kolesom yang diekstrak dengan metanol dan diuji menggunakan radikal bebas DPPH menunjukkan pada umur 4 MST, IC 50 memiliki nilai terendah (rata-rata 2.78 mg BK/ml untuk kedua jenis pemupukan). Bertambahnya umur dari 2 ke 4 MST menyebabkan penurunan kandungan total fenolik sebesar 40 dan 29 % serta peningkatan kandungan total flavonoid sebesar 35 dan 12 % masing-masing pada kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik. Hal ini menunjukkan pada umur tersebut terjadi efek antioksidan terkuat dari senyawa fenolik kolesom, terutama sumbangan dari total flavonoid (rata-rata 14.56 mg SK/g BK untuk kedua jenis pemupukan) sedangkan kandungan total fenolik hanya 4.84 dan 7.64 mg SAG/g BK untuk kolesom dengan pemberian pupuk organik dan inorganik.

Nilai IC 50 yang tertinggi terjadi pada umur 6 MST. Hal ini disebabkan dari umur 4 ke 6 MST, kandungan total fenolik menurun sebesar 50 dan 69 % dan kandungan total flavonoid menurun sebesar 65 dan 60 % masing-masing pada kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik; sehingga dibutuhkan jumlah yang banyak untuk menangkap radikal bebas DPPH. Dengan demikian, pada umur 6 MST kolesom memperlihatkan kemampuan sebagai antioksidan yang

rendah. Terbentuknya flavonoid yang lebih banyak saat 4 MST disebabkan curah hujan yang rendah (6.54 mm/minggu) sehingga kolesom mengalami cekaman dan terpacu untuk menghasilkan metabolit sekunder. Peningkatan curah hujan pada minggu setelahnya menyebabkan produksi flavonoid menurun. Akan tetapi, biosintesis senyawa fenolik non-flavonoid nampaknya tidak dipengaruhi oleh variasi curah hujan. Penelitian Gholizadeh (2011) menunjukkan kapasitas antioksidan pada daun jagung meningkat 1.8 kali ketika terjadi kekeringan, namun kembali ke nilai awal selama masa recovery (~ 0.6 μmol Fe2+

/100 mg). Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan kandungan total flavonoid yang merupakan metabolit sekunder yang memiliki efek antioksidan merupakan mekanisme kolesom dalam menghadapi kondisi kurang air sehingga tidak terbentuk reactive oxigen species (ROS).

Aktivitas CAD dan POD terkait dengan biosintesis lignin pada sebagian besar jaringan tanaman (Anterola & Lewis 2002, Boerjan et al. 2003, Ma 2010). Aktivitas CAD yang tidak berbeda (rata-rata 3.49 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis pemupukan) sepanjang umur pengamatan menunjukkan pucuk kolesom belum membentuk banyak serat yang dapat mempengaruhi citarasanya. Hal yang sama seperti pada aktivitas CAD juga ditemukan pada aktivitas POD (rata-rata 152.02 x 10-2 U/mg protein). Walaupun demikian, aktivitas POD pada umur 2 MST didapatkan + 1.7 kali lebih tinggi dibandingkan umur 6 MST (133.84 x 10-2 U/mg protein). Hal ini menyebabkan kandungan total flavonoid rendah pada umur 2 MST, akibat persaingan prekursor didalam pembentukan lignin dan flavonoid. Prekursor yang digunakan dalam pembentukan kedua senyawa tersebut adalah p-koumaril koenzim A (CoA), yang dihasilkan dari fenilalanin (Vogt 2010). Akibat flavonoid yang terbentuk rendah maka kandungan total antosianin juga rendah. Hal ini disebabkan antosianin sebagai pigmen daun merupakan bagian dari senyawa flavonoid.

Dokumen terkait