• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pupuk Organik

2.5.1 Pengertian Pupuk Organik

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik dan pembenah tanah, menyebutkan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

2.5.2 Pengelompokan Pupuk Organik

Sumber, karakteristik fisik, dan kandungan kimia/hara bahan organik untuk membuat pupuk organik beraneka ragam, sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Dilihat dari jenisnya, maka pupuk organik dapat berupa (Suriadikarta & Simanungkalit 2006):

(1)kompos, merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah;

(2) pupuk hijau, merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa-sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla;

(4) sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa); (5) limbah ternak, merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang,

darah, dan sebagainya;

(6) limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, merupakan limbah berasal dari pabrik gula, pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, bumbu masak, dan sebagainya;

(7) limbah kota, merupakan kompos dari sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak.

Pupuk organik jika dibedakan berdasarkan kandungan haranya maka secara umum dapat dikelompokkan menjadi pupuk organik penyedia hara N, P, dan K. Studi literatur dari beberapa penelitian dan pustaka menunjukkan bahwa pupuk kandang dapat digunakan sebagai sumber N, guano sebagai sumber P, dan abu sekam sebagai sumber K (Sediyarso 1999, Hartatik & Widowati 2006, Sridhar et al. 2006, Rahadi 2008, Melati et al. 2008, Susanti et al. 2008, Mualim et al. 2009).

2.5.3 Pupuk Kandang

Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Hartatik & Widowati 2006). Pupuk kandang dapat berbentuk padat maupun cair. Pupuk kandang padat adalah kotoran ternak berupa padatan baik yang belum maupun sudah dikomposkan. Pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urin hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dalam perbandingan tertentu.

Pupuk kandang sapi adalah pupuk kandang yang banyak mengandung air. Pupuk ini terdiri atas 44 % bahan padat dan 66 % bahan cair. Komposisi unsur hara yang terkandung dalam pupuk kandang sapi, yaitu 0.6 % N, 0.15 % P2O5, dan 0.45 % K2O (Sutedjo 1994). Serupa dengan hal ini, Rahadi (2008) juga menggunakan pupuk kandang sapi dengan komposisi yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penelitian menunjukkan pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan ketersediaan C-organik, N, dan P yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pemberian pupuk N inorganik (Mahmoud et al. 2009). Pada penelitian ini pupuk kandang yang digunakan yaitu pupuk kandang sapi. Pupuk kandang sapi juga telah digunakan pada penelitian kolesom sebelumnya oleh Mualim et al. (2009).

Tabel 2.1 Komposisi unsur hara pupuk kandang sapi

Peubah Satuan Nilai Peubah Satuan Nilai

Kadar air % 48.59 Fe ppm 1.86 C-organik % 9.78 Mn ppm 822 N-total % 1.29 Cu ppm 27 P-total % 0.99 Zn ppm 101 Ca % 1.45 Mg % 0.36 K % 0.27 Sumber: Rahadi (2008)

Pengaruh berbagai jenis pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah banyak diteliti, misalnya pada tumpang sari padi-gandum (Prasad & Sinha 2000), kolesom (Ibeawuchi et al. 2006, Susanti et al. 2008), melon (Ijoyah 2007), rumput bermuda (Helton et al. 2008), timun (Mahmoud et al. 2009), dan bayam (Ibeawuchi et al. 2006, Law-Ogbomo & Ajayi 2009). Penelitian sebelumnya pada kolesom didapatkan bahwa dengan pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 7.5-10 ton/ha menghasilkan jumlah daun yang tertinggi (Ibeawuchi et al. 2006). Pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 15 ton/ha memberikan produksi biomassa tertinggi (10.73 g bobot kering daun dan 6.36 g bobot kering umbi per tanaman). Akan tetapi, kandungan senyawa bioaktif daun dan umbi menurun oleh peningkatan dosis pupuk kandang ayam. Oleh karena itu, dosis pupuk kandang ayam yang disarankan adalah 5 ton/ha sebagai pupuk dasar (Susanti et al. 2008). Hal ini juga untuk menghindari terjadinya serangan Pseudomonas sp. yang menyebabkan penyakit layu bakteri pada kolesom akibat kondisi media sekitar perakaran yang lebih lembab (Mualim et al. 2009). Pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap antioksidan kolesom belum dilaporkan. Penelitian yang ada saat ini pada kolesom hanya berupa studi kandungan fitokimia baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Susanti et al. 2008, Mualim et al. 2009).

2.5.4 Pupuk Guano

Pupuk guano merupakan salah satu pupuk organik yang banyak mengandung unsur P (Sediyarso 1999, Hadad & Anderson 2004, Sikazwe & Waele 2004, Goveas et al. 2005, Rahadi 2008). Pupuk guano merupakan salah satu sumber fosfat alam. Pupuk guano didefinisikan sebagai pupuk yang berasal dari kotoran unggas dan atau kelelawar, berbentuk serbuk dan atau butiran berbau khas, dengan atau tanpa penambahan unsur N, P, dan K (BSN 1992). Guano yang berasal dari kotoran kelelawar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan rasio NPK, yaitu (1) guano dengan kandungan fosfor tinggi (3:13:4-4:30:4) yang berasal dari frugivorous bat dan (2) guano dengan kandungan nitrogen tinggi (8:4:1-13:3:3) yang berasal dari insectivorous bat (Sridhar et al. 2006). Berdasarkan proses pembentukannya fosfat alam dapat dibagi menjadi tiga jenis (Kasno et al. 2006):

(1) Guano, terbentuk dari hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping akibat pengaruh air hujan dan air tanah;

(2) Fosfat primer, terbentuk dari pembekuan magma alkali yang mengandung mineral fosfat apatit, terutama fluor apatit [Ca5(PO4)3F]. Apatit dapat dibedakan atas chlorapatite [3Ca3(PO4)2CaCl2] dan fluor apatite [3Ca3(PO4)2CaF2];

(3) Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan tenang. Fosfat alam ini terbentuk di laut dalam bentuk kalsium fosfat yang disebut fosforit.

Pupuk guano mengandung sekitar 20 % P2O5 dan sekitar 13 % N (Tisdale et al. 1990). Kandungan yang lebih tinggi ditemukan pada penelitian Rahadi (2008) dengan kandungan P2O5 dan CaO berturut-turut sebesar 26.07 dan 36.07 %. Penelitian Sridhar et al. (2006) pada guano asal Hipposideros speoris (kelelawar gua insektivora) menunjukkan hasil analisis yang lebih lengkap (Tabel 2.2). Syarat mutu pupuk guano menurut SNI 02-2871-1992 adalah memiliki kadar air maksimal 10%, total nitrogen minimal 3.5% (w/w), fosfor minimal 10% P2O5 (w/w), kalium minimal 6% K2O (w/w), klorida minimal 0.5% Cl (w/w), dan berbau khas (BSN 1992). Ketersediaan fosfor di alam cukup banyak, namun

hanya sedikit yang dapat diserap oleh tanaman. Pupuk guano mengandung fosfor yang cukup tinggi dan memiliki sifat yang mudah larut air. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pupuk guano sebagai sumber fosfor organik.

Tabel 2.2 Karakter fisikokimia dan mikrobiologi guano asal kelelawar

Karakteristik Satuan Pelet fecal Guano humus

Bobot basah* kg/m2 2.9 (2.5-3.5) 5.3 (4.9-5.5) Bobot kering* kg/m2 2.5 (2-3) 2.8 (1.5-3.7) pH 7.5 (7.4-7.6) 6.5 (6.2-6.8) Konduktivitas m mhos/cm 2.8 (2.5-3.1) 3.8 (2.8-4.8) Bahan organik % 79.3 (70.2-86.0) 45.6 (24.0-61.0) C-total % 46 (40.7-49.9) 26.4 (14.5-35.4) N-total % 7.9 (7.7-8.5) 5.7 (3.5-7.7) Rasio C/N 5.9 (5-6.8) 4.6 (2.7-7.1) P % 2.4 (2-3) 2.2 (0.8-3.7) K % 1.14 (1-1.2) 0.9 (0.4-1.3) Ca % 1.1 (1-1.3) 1.5 (1.3-2.2) Mg % 2.8 (2.7-2.9) 3.1 (1.9-3.7)

Bakteri cfu/g bobot kering 0.43 x 107 (0.07-0.8 x 107) 1.22 x 107 (0.64-2.6 x 107) Aktinomiset cfu/g bobot kering 1.78 x 103 (1.2-2.4 x 103) 9.94 x 103 (4.5-21 x 103) Fungi cfu/g bobot kering 0.3 x 105 (0.1-0.7 x 105) 3.1 x 105 (0.5-7.4 x 105) *Akumulasi selama tiga bulan. Pelet fecal merupakan guano dalam bentuk utuh. Guano humus merupakan pelet fecal yang telah ditransformasi oleh semut menjadi serbuk yang gembur menyerupai humus. Angka di dalam kurung menunjukkan sebaran data sebenarnya. Sumber: Sridhar et al. (2006)

Hadad dan Anderson (2004) menggunakan guano sebagai pupuk cair pada sistem hidroponik. Konsentrasi yang disarankan adalah 1.5-2 sendok makan/4 l air. Disebutkan lebih lanjut bahwa masalah penggunaan guano asal kelelawar adalah pH yang rendah. Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan pemberian guano sebanyak 216 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha menghasilkan produksi kedelai tertinggi sebesar 5.90 kg/10 m2 (5.90 ton/ha). Pemberian guano pada tanaman sebagai pupuk organik telah banyak dilakukan. Namun, publikasi yang terkait dengan pengaruh guano terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman masih jarang ditemukan. Pengaruh guano terhadap kandungan fitokimia dan antioksidan kolesom juga belum diteliti.

2.5.5 Abu Sekam

Penggunaan abu yang berasal dari berbagai jenis bagian tanaman sebagai pupuk organik telah banyak dilakukan, misalnya abu tandan kelapa sawit untuk pemupukan di daerah gambut dan pada jahe (Othman et al. 2005, Ahaiwe 2008), abu kayu pada bit, kentang, dan jagung (Butkuviene et al. 2006, Adekayode &

Olojugba 2010), abu cacao pada jagung dan tomat (Onwuka et al. 2007, Ayeni 2010), abu sekam padi pada padi dan Vigna unguiculata L. (Sitio et al. 2007, Priyaddharshini & Seran 2009), abu sisa pembakaran mesin pengolahan gula tebu (Khan et al. 2008), abu sisa mesin destilasi (Supasatienchai et al. 2010). Sumber abu yang biasanya digunakan sebagai pupuk organik pada umumnya tergantung kepada jumlah dan ketersediaan bahan abu pada suatu tempat. Di Indonesia, pertanaman padi sawah menempati areal yang cukup luas. Panen padi setiap musimnya akan menghasilkan kulit gabah (sekam) sebagai hasil samping dari proses penggilingan padi. Dengan demikian, sekam tersebut dapat diproses untuk dijadikan abu sekam. Beberapa varietas padi menghasilkan sekam sebesar 20.07-23.60 % dan abu sekam sebesar 11.67-14.33 %. (Hashim et al. 1996). Akan tetapi penelitian yang menggunakan abu sekam sebagai pupuk organik masih jarang dilakukan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa abu sekam mengandung Si, P, K, Mg, Ca, dan unsur-unsur mikro lainnya (Tabel 2.3). Secara umum kandungan Si dan K ditemukan tinggi pada abu sekam. Abu sekam berpotensi untuk dijadikan sebagai pupuk organik, terutama sebagai pupuk sumber K. Menurut Priyadharshini & Seran (2009) abu sekam dapat digunakan sebagai pengganti pupuk K inorganik. Oleh karena itu, abu sekam dipilih sebagai sumber K organik pada penelitian ini.

Tabel 2.3 Beberapa komposisi unsur hara abu sekam

Peubah Satuan Nilai Peubah Satuan Nilai

C % 6.20 Fe ppm 126.00 N % 0.32 Cu ppm 7.00 P % 0.27-0.46 Zn ppm 91.00 K % 0.72-3.84 Mn ppm 1118.00 Ca % 0.35-2.58 Mg % 0.12-1.59 Si % 71.43-88.52

Data diadaptasi dari Hashim et al. (1996), Muthadi et al. (2007), dan Tim I-MHERE IPB (5 Oktober 2010, komunikasi pribadi)

Penelitian menunjukkan pemberian abu sekam dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Priyadharshini & Seran 2009; Sitio et al. 2007), serta menurunkan intensitas serangan hama (Melati et al. 2008). Pemberian 4.5 ton/ha abu sekam menghasilkan produksi tertinggi (1.44 ton/ha) pada tanaman

Vigna unguiculata L. (Priyadharshini & Seran 2009). Selanjutnya, abu sekam dengan dosis 1-3 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan memberikan pengaruh nyata terhadap peubah jumlah anakan maksimum dan luas daun (Sitio et al. 2007). Melati et al. (2008) menambahkan bahwa sebaiknya abu sekam tidak diberikan secara tunggal melainkan dikombinasikan dengan pupuk organik lain. Sebaliknya, pemberian abu sekam pada kolesom belum pernah dilakukan sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan, produksi, kandungan fitokimia, dan antioksidan kolesom tidak diketahui.

Dokumen terkait