BAB V RENVOI
5. The Foreign Court Theory .,
Ada 2 (dua) hal yang perlu disadari dalam pelaksanaan doktrin FTC, yaitu:
1. Hakim harus menentukan terlebih dahulu sistem hukum atau badan peradilan asing manakah yang seharusnya mengadili dan memutus perkara HPI yang dihadapi. Secara tradisional, dilakukan dengan menggunakan titik-titik taut dan kaidah-kaidah HPI Lex Fori. Tahap ini sebenarnya menentukan badan peradilan asing mana yang menjadi the proper forum dan hukum asing mana yang seharusnya menjadi the proper foreign lex fori. Hakim Inggris melakukan Gesamtverweisung ke arah sistem hukum asing tertentu.
2. Berikutnya dalam proses penyelesaian perkara harus dilakukan berdasarkan sistem HPI dari “foreign forum” yang ditunjuk itu. Tahap ini hakim Inggris (berfiksi dalam kedudukannya sebagai hakim asing) akan kembali menggunakan titik-titik taut dan kaidah-kaidah HPI forum asing itu. Tahap kedua ini terjadi “proses ulangan” untuk menentukan lex causae dan tindakan ini dapat menimbulkan beberapa akibat:
a. Kaidah HPI asing menunjuk “kembali” ke arah hukum Inggris dan oleh hakim Inggris dianggap sebagai Gesamtverweisung sehingga kaidah HPI Inggris akan “menunjuk lagi” ke arah hukum asing yang bersangkutan, dan kali ini penunjukan akan dianggap lagi sebagai Sachnormenverweisung ke arah hukum intern asing yang akan digunakan untuk memutus perkara;
b. Kaidah HPI asing menunjuk “kembali” ke arah hukum Inggris dan oleh hakim Inggris dianggap sebagai Gesamtverweisung sehingga kaidah HPI Inggris akan “menunjuk lagi” ke arah hukum asing, dan kali ini penunjukan dianggap sebagai Gesamtverweisung lagi sehingga kaidah HPI asing akan “menunjuk kembali” ke arah hukum Inggris dan penunjukan terakhir ini akan dianggap sebagai Sachnormenverweisung
oleh hakim Inggris, dan hukum intern Inggrislah yang digunakan untuk memutus perkara.
Yang menjadi masalah dalam doktrin FTC bukan apakah Lex Fori menerima atau menolak Renvoi, melainkan apakah sebuah forum asing (foreign court) menerima atau menolak Renvoi.
Ilustrasi penggunaan doktrin FTC sebagaimana yang dikemukakan oleh Sir Herbert Jenner (hakim tinggi) di Inggris:
I. Hakim Inggris mengadili perkara internasional, menyangkut persoalan renvoi, serta berhubungan dengan Hukum Perancis. Seorang janda warga negara Inggris, berdomisili di Perancis membuat testament yang isinya sedemikian rupa, sehingga anaknya tidak mendapatkan apa-apa.
Persoalan : Hukum manakah yang menilai sah atau tidaknya testament yang dibuat tersebut?
Tahap I : Hakim Inggris bertitik tolak dari hukum Inggris, karena ia hakim Inggris dan perkaranya diajukan di Inggris, HPI Inggris menentukan hukum domisili terakhir yang berlaku, yaitu Hukum Perancis. Jadi, hukum Inggris menunjuk kepada hukum
Perancis.
Tahap II : Hakim Inggris mengkhayalkan duduk di pengadilan Perancis sebagai hakim Perancis.
Hakim Perancis tentu berpegang pada HPI Perancis.
Pembuatan testament termasuk status dan wewenang.
HPI Perancis menunjuk hukum nasional orang yang bersangkutan, yaitu Hukum Inggris, sedangkan
Hukum Perancis
(prinsip nasionalitas) Hukum Inggris (prinsip domisili)
HPI Inggris menunjuk pada Hukum Domisili, yaitu Hukum Perancis.
Apakah Hukum Perancis menerima atau menolak Renvoi?
Ternyata praktek pengadilan di Perancis menerima Renvoi, maka Hukum Perancis yang diterapkan. Tahap III : Sekarang hakim Inggris kembali ke tempat semula
sebagai hakim Inggris dan menerapkan hukum Perancis yang diketemukannya di kursi hakim Perancis tadi.
II. Perkara sama dengan nomor I, tetapi meninggal di Italia.
Tahap I : Hukum Inggris yang menggunakan prinsip domisili menunjuk pada Hukum Italia.
Tahap II : Hakim Inggris pindah ke kursi hakim Italia dan menilai segala sesuatunya dari Hukum Italia. HPI Italia menunjuk kepada hukum nasionalnya, yaitu Hukum Inggris. HPI Inggris berprinsip domisili lalu merenvoi ke Hukum Italia sebagai hukum domisili terakhir. Apakah renvoi itu diterima atau ditolak? Ternyata teori dan praktek hukum Italia menolak
Renvoi. Jadi kesimpulannya: Hukum Inggris yang diterapkan.
Tahap III : Hakim Inggris kembali ke tempatnya semula di kursi hakim Inggris dan menerapkan hukum Inggris sendiri, yang telah diketemukan tadi di Italia. Berikut ini digambarkan dalam skema:
Kemungkinan lain:
Contoh transmission:
Hakim Indonesia menghadapi persoalan Berikut ini digambarkan dalam skema:
Contoh transmission:
Hakim Indonesia menghadapi persoalan
Kesimpulan FTC:
1. FTC ternyata tidak berhasil menghindarkan masalah menerima atau menolak renvoi, karena putusan-putusan yang diambil akhirnya akan tergantung hukum asing yang ditunjuk itu, apakah menerima atau menolak renvoi. Jadi malahan memindahkan kesukaran dan tanggung jawab ke luar negeri, kepada hukum asing;
2. FTC hanya mungkin berjalan dengan baik, bilamana tidak ada lain negara yang juga menganut pendirian yang sama. Jika negara-negara lain menganut FTC (yang juga disebut double renvoi) maka akan benar-benar terjadi suatu “circulus vituosis”. Yurisprudensi Inggris yang menggambarkan variasi penggunaan doktrin FTC adalah:
1. Re Annesley Case (Davidson v Annesley)(1926)85
Kasus Posisi:
- Seorang wanita warga negara Inggris bernama Ny. Sybil Annesley pada tahun 1860 menikah dengan seorang tentara yang memiliki domisili di Inggris, kemudian mereka tinggal bersama di Bath, Perancis, selanjutnya pindah dan menetap di Pau, Perancis hingga menjadi tempat kediaamannya sehari-hari (habitual residence) sampai suaminya meninggal dunia;
- Berkediaman di Pau, Perancis sampai dengan 1867, dan saat itu ia membeli sebidang tanah dan memiliki sebuah
peternakan kecil, sampai ia meninggal dunia pada 16 Januari 1924 dalam usia 80 tahun;
- Selama di Perancis sampai dengan kematiannya, ia pada tahun 1892 mengunjungi Inggris untuk menghadiri perkawinan saudara perempuannya, serta beberapa kali melakukan kunjungan singkat ke Inggris pada tahun 1903, 1911, dan 1913;
- Sebelum meninggalkan dunia, ia membuat testamen dalam bahasa Perancis pada tanggal 20 Desember 1919, tetapi kemudian pada 13 Desember 1919 ia membuat testamen berdasarkan kaidah hukum waris Inggris;
- Isi testament terakhir tidak memberikan sedikit pun harta warisan kepada anak laki-lakinya; ia antara lain memberikan harta warisan itu kepada para pelayannya;
- Testament digugat oleh para ahli waris berdasarkan undang-undang, karena dianggap mengabaikan legitieme portie yang memberikan hak kepada mereka untuk menerima 2/3 (dua per tiga) dari peninggalan pewaris, sehingga kualifikasi kasus ini adalah pewarisan yang mengabaikan legitieme portie; - Wanita tersebut dalam kenyataan tinggal di Perancis, namun
ia tidak pernah memperoleh status resmi sebagai penduduk Perancis;
- Perkara diajukan di pengadilan Inggris. Fakta Hukum:
- Kaidah HPI Inggris menganggap bahwa masalah pewarisan testamentair harus diatur berdasarkan hukum dari domisili pewaris pada saat ia meninggal.
- Kaidah HPI Perancis menganggap masalah pewarisan harus diselesaikan berdasarkan hukum dari tempat pewaris menjadi warga negara.
- Hukum intern Inggris menganggap testament yang dibuat adalah sah.
- Hukum intern Perancis menganggap suatu testament yang mengabaikan legitieme portie adalah batal demi hukum.
Masalah Hukum:
Berdasarkan hukum mana pembagian waris itu harus dilakukan dan apakah ahli waris berdasarkan undang-undang berhak menerima legitieme portie dari peninggalan Annesley?
Proses Pemutusan Perkara:
1. Berdasarkan kaidah HPI Inggris, hakim menunjuk ke arah hukum Perancis sebagai hukum dari domisili pewaris pada saat meninggalnya;
2. Penunjukkan pada butir 1 ini merupakan Gesamtverweisung, karena di sinilah hakim memulai fiksi hukumnya dengan menganggap bahwa forum Perancis adalah forum asing yang seharusnya mengadili perkara;
3. Seorang hakim Perancis, menghadapi perkara semacam ini, akan menggunakan kaidah HPI-nya dan menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai lex patriae dari pewaris;
4. Karena hukum Inggris pada dasarnya menolak renvoi, maka hakim Perancis akan menganggap penunjukkan ke arah hukum Inggris ini sebagai Gesamtverweisung lagi, dan kaidah HPI Inggris yang sama akan menunjuk kembali (remission) ke arah hukum Perancis. Di sinilah (menurut hakim Perancis) terjadi renvoi yang diakui oleh sistem hukum Perancis; 5. Karena itu, hakim Perancis akan menganggap bahwa
penunjukkan kembali ini sebagai Sachnormenverweisung ke arah hukum waris intern Perancis;
6. Karena itu, hakim Russel (hakim Inggris) kemudian menyimpulkan bahwa hakim Perancis kemudian akan memberlakukan hukum internnya (code civil) dan menganggap bahwa testamen harus dianggap tidak sah dan kemudian mengabulkan gugatan ahli waris menurut undang-undang.86
86 Perkara sejenis di bidang pewarisan testamentair yang juga menggunakan pola berpikir yang sama, tetapi memberikan hasil yang bertolak belakang adalah perkara Re Ross (1930). Pengadilan Inggris menolak klaim legitieme portie yang dikenal di dalam hukum Italia. Hasil yang bertolak belakang ini dapat dicapai karena hukum Inggris berhadapan dengan hukum Italia, yang sistem hukum internnya menolak renvoi.
2. Re Ross Case (Ross v Waterfield)87
Kasus Posisi:
- Penggugat adalah Alexander Gordon Ross melawan tergugat adalah Ny. Caroline Lucy Isabel Waterfield;
- Sepasang suami-isteri (Henry James Ross-Janet Anne Ross) telah tinggal di Florence (Italia) sejak 1888, menurut hukum Inggris mereka berdomisili di Italia;
- Pada tahun 1888 mereka membeli rumah besar dan tanah yang terkenal dengan Paggio Gherardi;
- Pada tahun 1902 Henry meninggal dunia, kemudian pada tahun 1927 Ny. Janet Anne Ross meninggal dunia;
- Sebelum meninggal dunia Ny. Janet Anne Ross sempat membuat testament yang memberikan seluruh harta kekayaan kepada Ny. Caroline Lucy Isabel Waterfield. Akibat adanya testament itu, satu-satunya anak laki-laki Ny. Janet Anne Ross tidak mendapat harta warisan sedikitpun;
- Penggugat menuntut bahwa ia berhak atas ½ bagian dari benda-benda tidak bergerak yang terletak di Italia, ½ bagian benda-benda bergerak yang terletak di manapun. Hak tersebut didasarkan pada legitime portie menurut hukum Italia. Jadi, pokok perkara menyangkut persoalan pewarisan yang mengabaikan ketentuan legitime portie;
- Forum adalah pengadilan Inggris. Masalah hukum:
Hukum intern mana yang harus dipergunakan dalam mengadili perkara tersebut? Atau berdasarkan hukum mana keabsahan testament itu ditetapkan?
Proses Penyelesaian Perkara:
- Sebelum menentukan sah tidaknya testament yang dibuat oleh Ny. Janet Anne Ross tersebut, hakim harus melihat kaidah-kaidah HPI Inggris terlebih dahulu mengenai perkara HPI yang bersangkutan;
- Menurut kaidah HPI Inggris, pewarisan terhadap benda bergerak ditentukan berdasarkan hukum di mana pewaris berdomisili (lex domicilii);
- Hakim J. Luxmoore yang mengadili perkara ini memutuskan perkara berdasarkan atau sesuai dengan hukum Italia seperti yang dilaksanakan pengadilan Italia. Dalam hal ini hakim J. Luxmoore hanya berkewajiban untuk simply to follow the decision dari hakim-hakim Italia;
- Para ahli hukum Italia yang didengar keterangannya dalam persidangan, semuanya menyatakan kalau perkara serupa diadili di Italia, maka testament yang dibuat oleh Ny. Janet Anne Ross adalah sah. Untuk itu tidak ada tempat bagi gugatan penggugat;
- HPI Italia menunjuk ke arah hukum Inggris, dan karena di Italia renvoi tidak diterima, maka penunjukkan kepada hukum nasional pewaris (hukum Inggris) hanya dianggap sebagai sachnormverweisung.
3. Re Duke of Wellington Case (1949)88
Kasus Posisi:
- Penggugat adalah Lord George Wellesley dan Lord Glentanar melawan tergugat adalah Lillian-Maud Duchess of Wellington, Lady Anne Rhys, dan Duke of Wellington VII.
- Pada tahun 1812 setelah diadakan penyerbuan atas benteng Ciudad Rodrigo, Duke of Wellington I (seorang bangsawan Inggris) dianugrahi tanda kebesaran Spanyol dengan gelar Ciudad Rodrigo. Gelar tersebut turun menurun. Kepada Duke of Ciudad Rodrigo dan ahli warsinya diberi tanah-tanah kerajaan di dataran Granada yang terkenal dengan nama Soto de Roma, termasukjuga tanah-tanah yang dinamakan dehes-a-baja of Illora dan Las Chanchinas.
- Gelar dan tanah ini di Spanyol turun temurun, hingga kemudian jatuh kepada Duke of Wellington V, yang meninggal dunia pada tahun 1941.
- Kedua gelar tersebut kemudian diwarisi oleh Duke of Wellington VI dan sekaligus Ia juga pemegang gelar kebangsawanan Spanyol, yaitu Ciudad Rodrigo.
- Duke of Wellington VI adalah bangsawan Inggris berkewarganegaraan Inggris dan membujang sampai ia meninggal dunia di Inggris pada tahun 1943. Dengan meninggalkan seorang ibu yang bernama Lillian Maud Duchess of Wellington dan seorang kakak perempuan yang bernama Lady Anne Rhys.
- Ketika ia meninggal dunia ia meninggalkan sejumlah benda tetap (tanah) di Inggris dan Spanyol.
- Ia membuat 2 buah testament, yaitu testament yang dibuat berdasarkan hukum Inggris untuk peninggalannya yang berada di Inggris, dan testament yang dibuat berdasarkan hukum Spanyol untuk peninggalannya di Spanyol.
- Di dalam testament Spanyol, pewaris menetapkan bahwa tanah-tanah di Spanyol akan diwariskan pada orang yang sekaligus akan menjadi Duke of Wellington VII dan pemegang gelar Ciudad Rodrigo yang baru. Sebagai executeur testamentair ditunjuk paman-paman pewaris, yaitu Lord George Wellesley dan Lord Glentanar.
- Perkara diajukan di pengadilan Inggris. Fakta Hukum:
- Kaidah HPI Inggris menetapkan bahwa status benda-benda tetap harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana benda terletak (asas lex rei sitae);
- Kaidah HPI Spanyol menetapkan bahwa proses pewarisan (baik yang testamentair atau intestatis) harus diatur berdasarkan hukum dari negara di mana pewaris menjadi warga negara;
- Hukum intern Inggris menetapkan bahwa apabila pemegang gelar Duke of Wellington tidak memiliki anak, maka harta peninggalan jatuh ke tangan seorang paman;
- Hukum intern Spanyol menetapkan bahwa pemegang gelar Ciudad Rodrigo tidak memiliki anak, maka harta
peninggalannya jatuh ke tangan seorang saudara perempuan pewaris;
- Hukum intern Inggris menetapkan bahwa seorang pewaris dapat mewariskan seluruh tanah warisannya melalui testament;
- Hukum intern Spanyol menetapkan bahwa seorang pewaris hanya dapat mewariskan separuh dari tanah yang dimilikinya melalui testament.
Masalah Hukum:
Testament berdasarkan hukum Spanyol tidak mungkin dilaksanakan karena tidak ada satu orang yang memenuhi persyaratan untuk menerima waris sesuai amanat pada testament Spanyol itu. Bagaimana status dari tanah-tanah peninggalan Duke of Wellington yang berada di Spanyol?
Proses Penyelesaian Perkara:
a. Hakim Inggris pertama-tama menunjuk ke arah hukum Spanyol sebagai lex situs sesuai ketentuan kaidah HPI Inggris, penunjukkan ini merupakan Gesamtverweisung;
b. Hakim Inggris kemudian beranggapan bahwa seorang hakim Spanyol, seandainya menghadapi perkara semacam ini akan menggunakan kaidah HPI-nya yang akan menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai lex patriae dari pewaris;
c. Karena forum Inggris menolak single renvoi, maka penunjuk dari Spanyol ini akan dianggap sebagai Gesamtverweisung lagi dan kaidah HPI Inggris akan menunjuk kembali ke arah hukum Spanyol sebagai lex situs. Di sinilah, menurut pandangan hakim Inggris, terjadi renvoi (penunjukan kembali) ke arah hukum Spanyol;
d. Karena hukum Spanyol juga menolak renvoi, maka penunjukan ini juga akan dianggap sebagai Gesamtverweisung ke arah kaidah HPI Spanyol yang akan menunjuk kembali ke arah hukum Inggris.
e. Untuk menghentikan proses tunjuk-menunjuk ini, maka hakim Inggris kemudian menganggap bahwa penunjukan yang terakhir ke arah hukum Inggris adalah
Sachnormenverweisung ke arah hukum intern Inggris dan hakim kemudian memberlakukan hukum waris intern Inggris.
f. Tanah-tanah di Spanyol akhirnya diwariskan kepada ahli waris yang sesuai dengan ketentuan hukum waris Inggris (jatuh ke tangan seorang paman dari Duke of Wellington VI).