BAB VI KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH
2. Ruang Lingkup Ketertiban Umum
Di bidang Hukum Perdata Intern kita, mengenai openbare orde ini dicantumkan dalam Pasal 23 AB, yang isinya:
“Undang-undang yang menyangkut ketertiban umum dan kesusilaan tidak dapat ditiadakan kekuatan berlakunya oleh tindakan-tindakan dan perjanjian-perjanjian apa pun”.
Sekarang pertanyaannya: Apakah Pasal 23 AB tersebut berlaku pula untuk bidang HPI?
Pada dasarnya, Pasal 23 AB ini meliputi semua perjanjian dan tindakan hukum lainnya yang terjadi di wilayah negara kita.
Jadi bukan saja perjanjian-perjanjian antar warga negara atau tindakan-tindakan hukum dari warga negara yang dikuasai oleh ketentuan tersebut, melainkan juga perjanjian-perjanjian dengan orang asing atau tindakan-tindakan orang asing yang terjadi di sini turut dibatasi oleh ketentuan itu. Bahkan mungkin pula perjanjian-perjanjian atau tindakan-tindakan hukum yang terjadi di luar negeri diliputi oleh Pasal 23 AB ini.
Menurut Pasal 23 AB, semua ketentuan yang bersifat memaksa tidak dapat dikesampingkan.
Tetapi di dalam konsepsi openbare orde HPI tidak semua ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa dianggap termasuk di dalamnya. Apa yang menurut Hukum Nasional Intern dianggap bersifat openbare orde, tidak selalu atau belum tentu demikian pula dalam pengertian openbare orde di bidang HPI.
Walaupun pengertian itu bertumpu pada asas yang sama dan melindungi kepentingan yang sama, tetapi luas ruang lingkup masing-masing bidang tidak sama.
Yang internasional lebih sempit daripada yang internasional. Apa yang menurut intern-nasional dianggap sebagai openbare orde belum tentu demikian halnya di bidang internasional.
Sebaliknya apa yang dianggap bersifat openbare orde di bidang internasional dengan sendirinya juga dianggap demikian di dalam suasana internasional.
Menurut J.G. Castel, ketentuan ketertiban umum dapat dijumpai dalam konstitusi dan undang-undang secara menyeluruh yang mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan umum.92 Dalam sistem-sistem hukum berbagai negara dibedakan antara ketertiban umum ekstern (internasional) dan ketertiban umum intern. Keduanya berasal dari ketertiban umum dalam lex fori. Keduanya memiliki makna yang berbeda dalam kandungan yang diaturnya.93 Ketertiban umum internasional meliputi kaidah-kaidah yang bermaksud melindungi kesejahteraan negara dan perlindungan bagi masyarakat. Misalnya mengenai sah atau tidaknya suatu perjanjian internasional. Adapun ketertiban umum intern meliputi kaidah-kaidah yang hanya membatasi kebebasan perseorangan, misalnya kaidah-kaidah dalam Undang-Undang Perkawinan yang berkenaan dengan batas usia untuk dapat melangsungkan perkawinan.94
Kalau hukum asing ditolak berdasarkan ketertiban umum, maka hal tersebut semestinya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, asas moral yang baik (good morals) atau tradisi yang mengakar di dalam ketentuan lex fori.95
Lembaga ketertiban umum ini harus dipakai seminimal mungkin, jangan sampai mengarah kepada chauvinism hukum yang akan menghambat perkembangan HPI sendiri. Lembaga ini hanya baik untuk bertahan, tidak untuk menyerang atau menghambat sistem hukum asing yang berlaku. Pertimbangan politis yang seringkali menjadi pertimbangan utama dalam menentukan apakah suatu kaidah asing apakah harus dipandang bertentangan dengan ketertiban umum forum sang hakim. Sudargo Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban sebagai rem darurat pada kereta api, yang hanya dipergunakan kalau benar-benar diperlukan saja.96
92 Ibid.
93 Ibid.
94 Sudargo Gautama, op.cit., … Buku 4, h. 120-121. 95 J.G. Castel, loc.cit.
Bagaimana asas openbare orde diperlakukan dalam suatu perkara? Contoh-contoh:
1. Seorang gadis Jerman menuntut tunangannya dengan tuntutan ganti-rugi dengan dasar tuntutan bahwa tanpa alasan yang sah si tunangan memutus pertunangan di antara mereka atau termasuk pembatalan janji untuk melangsungkan perkawinan.
Bagaimana hakim kita menyelesaikan perkara ini? Hukum mana yang berlaku?
Berdasarkan ketentuan penunjuk yang ada menggunakan Pasal 16 AB, sehingga hukum nasional yang bersangkutan yang diterapkan, yaitu Hukum Jerman, yang memang memuat ketentuan ganti rugi karena pembatalan janji kawin.
Persoalannya: apakah penerapan hukum Jerman ini tidak bertentangan dengan sendi tata hidup kita?
Apabila hakim ini melihat ketentuan Pasal 58 BW tentu gugatan akan ditolak karena bertentangan dengan Pasal 58 BW yang bersifat openbare orde. Sebab Pasal 58 BW menentukan bahwa janji untuk kawin tidak memberikan hak untuk:
a) Menuntut benar-benar dilangsungkannya perkawinan yang dijanjikan;
b) minta kerugian, kalau janji untuk kawin itu tidak dipenuhi;
c) bahkan segala persyaratan ke arah pemberian ganti rugi yang dibuat pada waktu memberi janji kawin adalah batal.
2. Larangan perkawinan Nazi-Jerman
Dalam tahun 1935 pemerintah Nazi-Jerman mengeluarkan undang-undang perkawinan yang melarang perkawinan antara orang-orang Aria dengan orang-orang bukan Aria, khususnya orang Yahudi. Tentu undang-undang ini didasarkan pada perbedaan ras, sehingga banyak negara-negara lain tidak bersedia menerapkannya.
Dua orang warga negara Jerman, yang satu ras Aria dan yang lain ras Yahudi, akan melangsungkan perkawinan di Catatan
Sipil Indonesia. Apabila petugas Kantor Catatan Sipil Indonesia akan melangsungkan perkawinan tentu melihat Pasal 16 AB, sehingga menggunakan hukum nasionalnya, yaitu Hukum Jerman, sehingga tidak bisa melangsungkan perkawinan karena kena larangan itu.
Namun, larangan itu bertentangan dengan openbare orde yaitu dengan adanya Pasal 7 ayat (2) GHR, yang menyatakan perbedaan ras bukan merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan.
Walaupun menurut ketentuan HPI kita menyatakan hukum Jermanlah yang wajar diterapkan, namun atas pertimbangan openbare orde tersebut hukum asing tersebut dikesampingkan. Kesimpulan:
Dari kedua contoh tersebut ketentuan penunjuk tidak sampai bekerja sebagaimana mestinya, karena openbare orde di sini menuntut penerapan ketentuan forum secara mutlak.
Dalam hal demikian dikatakan, bahwa openbare orde menghasilkan EFEK POSITIF. Di samping itu, ada juga openbare orde menghasilkan EFEK NEGATIF.
Kita perhatikan contoh berikut ini:
1. Seorang warganegara Saudi Arabia, beragama Islam dan telah mempunyai isteri, pergi dan selama beberapa waktu bertempat tinggal di Belanda. Kita melihat kalau berdasarkan nasionalitas maka hukum Islam yang berlaku dengan menggunakan asas poligami, sedangkan kalau melihat di Belanda menggunakan asas monogami. Kalau dia melangsungkan perkawinan keduanya itu telah dilakukan di Arab Saudi, maka akibat-akibat hukum dari perkawinan kedua diakui oleh Hukum Belanda, dianggap tidak bertentangan dengan openbare orde di Belanda. Namun akan dianggap melanggar openbare orde kalau ia melangsungkan perkawinan kedua kalinya di Belanda, meskipun perkawinan yang kedua kalinya itu dilakukan dengan wanita warga negara Arab Saudi.
2. Arrest HR 21 Maret 1947 mengenai persoalan pengesahan anak zinah bukan warga negara Belanda, yang dilakukan di luar negeri. Menurut Hoge Raad, tidak semua akibat hukum pengesahan anak
zinah di luar negeri ditolak, meskipun pengesahan yang demikian itu ditolak di Belanda. Kalau pengesahan ini dilakukan oleh warga negara Belanda di luar negeri pun ditolak, karena menurut Pasal 6 AB Belanda (= Pasal 16 AB Indonesia) hukum Belanda-lah yang berlaku. Jadi ketentuan HPI Belanda menganggap akibat hukum dari pengesahan anak zinah di luar negeri dinilai menurut hukum nasionalnya dapat diakui, karena dianggap tidak bertentangan dengan openbare orde Belanda.
Kesimpulan:
1. tidak begitu saja asas openbare orde digunakan untuk menyampingkan penerapan hukum asing;
2. tidak berarti setiap penunjukkan selalu penerapan hukum asing, karena harus dinilai melanggar openbare orde atau tidak; 3. penggunaan lembaga openbare orde ini atau tidak, baru dipastikan
setelah meneliti dan menilai isinya hukum asing yang ditunjuk oleh ketentuan penunjuk (= efek negatif).
3. Faktor Tempat dan Waktu pada Ketertiban Umum