• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak-Hak yang Diperoleh

Dalam dokumen DASAR-DASAR HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (Halaman 123-132)

BAB VI KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH

7. Hak-Hak yang Diperoleh

Istilah Hak-hak yang diperoleh merupakan terjemahan dari Vested Rights, di bidang HPI mengandung arti hak-hak yang telah diperoleh di luar negeri atau yang lahir dan berasal dari tata hukum asing. Istilah hak berarti hak menurut hukum, diarahkan kepada hak-hak di bidang kebendaan, di bidang kekeluargaan, dan status personil. Jadi istilah hak di sini meliputi tiap hubungan dan tiap keadaan hukum, misalnya kawin atau tidak kawin, cukup umur atau tidak cukup umur, anak sah atau anak luar kawin, warganegara X atau warganegara Y, dan lain sebagainya. Apa makna yang diberikan oleh para sarjana HPI kepada istilah hak-hak yang telah diperoleh? Kalau ditinjau di bidang hukum intern ditemukan pengertian tersebut di bidang Hukum Antar Waktu (HAW) atau Hukum Transitoir. Di bidang HAW, setiap kali diadakan peraturan baru, maka selalu timbul masalah tentang peraturan lama serta hak-hak yang telah

102 Dalam perkara yang sama, tetapi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Yani Haryanto mengajukan pembatalan kontrak dengan alasan kontrak tersebut secara substansial bertentangan dengan ketertiban umum. MA dalam putusannya menyetujui dalil Yani Haryanto tersebut.

diperoleh menurut peraturan lama. Apakah hak-hak yang telah diperoleh menurut peraturan lama dapat dilanjutkan berdasarkan peraturan baru? Apakah peraturan baru menghapuskan atau mengurangi hak-hak yang telah diperoleh berdasarkan peraturan lama?

Dengan memperhatikan asas peraturan baru tidak berlaku surut, maka pada umumnya peraturan baru tidak menghapuskan atau mengurangi hak-hak yang telah diperoleh menurut peraturan lama. Dengan demikian, ada anggapan bahwa hak-hak yang telah diperoleh perlu dilindungi secukupnya.

Bagaimana dengan vested rights di dalam HPI? Sepintas tidak berbeda dengan masalah yang dihadapi oleh bidang HAW. Namun, dalam HPI istilah vested rights adalah bahwa perubahan fakta-fakta atau keadaan-keadaan hukum yang menyebabkan terhadap sesuatu hubungan hukum atau keadaan hukum diterapkan suatu kaidah hukum tertentu, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah semula. Ini merupakan gagasan yang terkandung dalam istilah vested rights di dalam HPI. Misalnya, suatu benda bergerak yang terletak di dalam wilayah Negara X kemudian dipindahkan ke dalam wilayah Negara Y. Apakah hak milik A atas benda tersebut yang telah diperolehnya di Negara X akan diakui di Negara Y? kalau HPI Negara Y mengakui hak A tadi, maka dikatakan diterimalah prinsip vested rights. Misalnya yang lain: A warganegara Negara X, pada usia 21 tahun kawin di Negara X juga. Kemudian ia pindah ke negara Y, dimana batas umur untuk boleh melangsungkan perkawinan adalah 23 tahun. Apakah perkawinan A di Negara X diakui di Negara Y? Ini merupakan contoh yang sederhana.

Hak-hak yang diperoleh (vested rights) berarti bahwa hukum yang baru pada umumnya tidak mempunyai kekuatan berlaku surut, sehingga dirasakan perlu untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak yang telah diperoleh.

Misalnya: Seseorang dianggap cukup umur menurut ketentuan negara X kemudian menjadi warganegara Y yang menentukan batas kedewasaan secara berlainan hingga orang bersangkutan menurut hukum dari Y belum cukup umur. Apakah karena perubahan kewarganegaraan ini ia dari cukup umur menjadi tidak cukup umur lagi. Jika diterima ketentuan: “sekali dewasa, tetap dewasa”, maka menurut HPI dari negara baru bersangkutan ini ia tetap cukup umur dan diterimalah prinsip tentang “hak-hak yang telah diperoleh”.

Ajaran atau teori vested rights bukan sesuatu yang baru, sebab pada abad-abad pertengahan dasar-dasar teori ini sudah diletakkan oleh mazhab Belanda, khususnya Hubber, di mana ajaran Hubber bertumpu pada 3 prinsip:

1. Hukum sesuatu negara hanya mempunyai kekuatan berlaku di dalam batas-batas teritoir kedaulatannya.

2. Semua orang yang tinggal menetap atau sementara di dalam territoir suatu negara yang berdaulat, dianggap dan diperlakukan sebagai warganya dan dengan demikian tunduk kepada hukum negara tersebut.

3. Tetapi atas dasar komitas (comitas gentium), setiap penguasa yang berdaulat mengakui, bahwa hukum yang sudah bekerja di negara asalnya, akan diakui pula di mana saja, dengan syarat, bekerjanya hukum tersebut tidak akan merugikan para warga dari negara, di mana pengakuan itu diminta.103

Prinsip pertama dan kedua merupakan ajaran teritorialitas yang murni, yaitu setiap peraturan hukum hanya berlaku di dalam wilayah negara yang menetapkan peraturan tersebut. Sedangkan pada prinsip ketiga merupakan asas extra-teritoral, ini kemudian merupakan landasan bagi teori vested rights. Selanjutnya ditekankan oleh Huber bahwa semua tindakan dan transaksi yang dilakukan secara sah menurut hukum suatu negara akan diakui pula sah di negara lain, meskipun negara yang disebut belakangan ini menganggap tindakan dan transaksi itu tidak sah. Atau dengan kata lain, meskipun tiap-tiap negara mempunyai kedaulatannya menentukan sistem hukumnya sendiri, tetapi di dalam kenyataan negara-negara itu tidak bertindak sewenang-wenang (arbitrarily), melainkan berdasarkan komitas memperkenankan bekerjanya hukum yang sudah berlaku di negara lain di dalam wilayahnya sendiri.

Ajaran vested rights yang dikembangkan oleh Huber memberikan pengaruh yang kuat di negara-negara Anglo-Amerika, yang dikembangkan oleh Dicey di Inggris dan Beale di Amerika Serikat.

Dicey104 merumuskan konsep vested rights adalah: setiap hak yang telah diperoleh secara sah/lazim menurut hukum dari tiap negara beradab, diakui, dan pada umumnya dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan Inggris. Ada kecualinya apabila pengakuan itu bertentangan dengan

103 Djasadin Saragih, op.cit., h. 110. 104 Ibid., h. 111.

public policy Inggris. Menurut Djasadin Saragih,105 perlu diperhatikan beberapa hal terhadap konsep Dicey, yaitu:

1. Prinsip ketiga dari Huber menyebut hukum sedangkan konsep Dicey disebut hak. Di dalam konsep Anglo-Amerika ada kecenderungan untuk membedakan antara foreign law dan foreign rights, sehingga yang diakui adalah hak-hakyang telah diciptakan oleh hukum asing. Sebenarnya bagi kita pembedaan ini terlalu teoritis dan nilai praktisnya tidak ada, sebab dalam melaksanakan suatu hak yang diciptakan di luar negeri, pengadilan harus melihat hukum asing yang menciptakan hak itu dan mempergunakannya atas fakta-fakta bersangkutan hingga akhirnya dapat menentukan, apakah memang terdapat suatu hak atau tidak.

Cheshire menolak konsep Dicey dalam menanggapi pembedaan dimaksud dengan menyatakan: hendaknya diperhatikan, bahwa melindungi suatu hak adalah sama dengan memberi efek kepada sistem hukum darimana hak itu berasal, karena suatu hak bukanlah suatu fakta yang berdiri sendiri, melainkan suatu kesimpulan hukum.

2. Rumusan Dicey diolah oleh Moris dengan disisipi kata-kata tambahan, sehingga menjadi berbunyi: setiap hak yang telah diperoleh secara sah menurut hukum dari tiap-tiap negara berbeda dan, “yang berlaku menurut ketentuan-ketentuan HPI Inggris”, diakui, dan pada umumnya dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan Inggris.

3. Namun, dari tambahan kata-kata tersebut ternyata pengolah karya Dicey tidak menyetujui sepenuhnya tentang konsep vested rights. Menurut Dicey, lex fori hanya memegang peranan sekali, yaitu apabila timbul masalah yang menyangkut ketertiban umum Inggris. Sedangkan para pengolah menyatakan lex fori diberi peranan yang lebih menentukan, yaitu:

a. Ketika menentukan, apakah hak yang bersangkutan sungguh-sungguh dapat dianggap vested.

b. Apabila timbul masalah dapat atau tidak diterima right yang sudah vested itu oleh ketertiban umum Inggris.

Beale106 mengembangkan teori vested right di Amerika Serikat dengan ajaran yang intinya sebagai berikut: suatu hak dapat diubah oleh hukum yang melahirkannya atau oleh hukum lain yang menguasai hak itu. Apabila tidak ada hukum yang mengubahnya, maka hak yang sudah ada itu harus diakui di mana pun, karena berbuat demikian berarti mengakui adanya suatu fakta. Tindakan yang sah di tempat dilakukannya tidak boleh diragukan di mana pun.

Ajaran Beale107 ini dipraktekkan oleh hakim Amerika Serikat, antara lain Holmes, yang tidak menggunakan istilah right, tetapi obligation (perikatan). Menurut Holmes, lex fori tidak menguasasi suatu tindakan hukum yang dilakukan di negara asing. Di sini menggunakan asas teritorial, hukum tidak berlaku di luar wilayahnya. Namun demikian, tindakan tersebut tidak dikuasai oleh hukum yang berlaku di negara sang hakim, sebab tindakan tadi melahirkan suatu perikatan yang mengikuti orangnya, sehingga harus dapat dilaksanakan, di mana pun berada. Cheshire108 yang menolak teori vested right, yang menyatakan bahwa dengan prinsip umum tersebut seringkali menghasilkan hak yang dilaksanakan oleh hakim forum tidak sesuai dengan hak yang diakui oleh hakim asing yang bersangkutan. Padahal logika teori vested right menghendaki, agar pengadilan forum menerapkan bukan saja ketentuan-ketentuan hukum materiil, melainkan juga ketentuan-ketentuan-ketentuan-ketentuan HPI dari sistem hukum di mana hak tersebut telah diperoleh. Ia mengajukan contoh: seorang warga negara Amerika Serikat yang berdomisili di Italia, meninggal tanpa membuat surat wasiat. Dalam hal demikian, pengadilan Amerika Serikat akan menerapkan lex domisili dan akan memberikan hak-hak atas benda-benda bergerak kepada sanak keluarga yang bersangkutan dari orang yang meninggal dunia tersebut. Demikian juga, ketika ada seorang warga negara Italia tanpa mempunyai sesuatu hubungan asing, dimana Italia menggunakan prinsip lex patriae, maka mengenai meninggalnya seseorang tanpa wasiat, akan menolak mengakui bahwa sanak keluarga itu tadi mempunyai hak-hak demikian.

Teori Dicey dan Beale ini dikembangkan oleh Pillet di Perancis. Teori Pillet109 menyatakan negara-negara berkewajiban untuk saling menghormati dan mengakui kedaulatan masing-masing. Setiap negara

106 Ibid., h. 114.

107 Ibid., h. 115.

108 Ibid.

berdaulat berwenang membuat undang-undang yang mengatur dan menciptakan hak-hak keperdataan. Oleh karena itu, hak-hak keperdataan yang telah diperoleh, mutlak harus dilindungi dan dihormati di mana-mana, sebab perlindungan dan penghormatan demikian merupakan syarat demi penghormatan kedaulatan negara asing.

Conflit de lois mencakup ketentuan-ketentuan mengenai terciptanya suatu hak atau kewajiban perdata. Yang menjadi masalah adalah: hukum mana yang harus diterapkan untuk mencapai maksud tersebut? Misalnya dalam melangsungkan suatu kontrak atau untuk melakukan perceraian, hukum mana yang harus diperhatikan dan diterapkan? Sedangkan masalah hak-hak yang telah diperoleh baru timbul setelah hak-hak itu sudah tercipta dan diperoleh. Hanya pada conflit de lois mungkin timbul kesangsian mengenai hukum yang diterapkan.

Pada droits acquis (hak-hak yang telah diperoleh) kesangsian ini tidak akan timbul, karena di sini yang dihadapi adalah hak-hak yang telah tercipta menurut hukum negara lain. Masalahnya adalah: bagaimana hak-hak yang telah diperoleh di Negara X, apabila dibawa ke dalam Negara Y? Jadi kita baru dapat berbicara tentang hak yang telah diperoleh, apabila hak itu betul-betul sudah tercipta. Dengan demikian, kalau yang pertama dipersoalkan adalah hak-hak yang akan diperoleh, maka yang kedua yang dipersoalkan adalah hak-hak yang telah diperoleh.

Ilustrasi teori Pillet sebagai berikut: A, seorang turis, naik kereta api dari Perancis ke Swiss dengan membawa sebuah kopor yang berisi barang-barangnya. Setibanya di stasiun Jenewa dan setelah turun dari kereta api, di muka pintu ke luar, ia meletakkan kopornya di lantai dan mencari-cari karcis di dalam sakunya, untuk diserahkan kepada penjaga pintu stasiun. Ternyata kopor itu hilang diambil oleh B yang ada di sebelahnya, lalu timbul percekcokkan, akhirnya sampai ke pengadilan.

Menurut B, kopor itu tadi bukan lagi milik A, tetapi tanpa pemilik (res nullius), jadi kopor itu boleh saja diambil oleh B. A menjawab: kopor itu dan seluruh isinya dibelinya di Paris, jadi jelas miliknya. Kemudian B mendalilkan: ketentuan-ketentuan hukum tentang memperoleh hak milik hanya mempunyai efek teritorial. Jadi apa yang berlaku di Perancis, tidak berlaku di Swiss.

Pillet lalu menyimpulkan: andaikata tidak ada suatu prinsip dasar tentang penghormatan hak-hak yang telah diperoleh di negara lain, tentu A akan kalah dan kehilangan kopornya.

Sepintas teori Pillet beralasan, namun para sarjana telah dikecam dan kecaman itu memang dapat dibenarkan. Karena tidak akan ada orang yang berpikir, bahwa dengan melewati batas-batas negaranya, dengan sendirinya ia akan kehilangan hak atas barang-barang yang dibawanya. Memang benar, ketentuan hukum tentang memperoleh hak milik, berlakunya teritorial, tetapi dari contoh di atas tidak dapat ditarik kesimpulan tentang terpisahnya vested right dari HPI. Sebab B mungkin saja merasa berhak atas barang milik A, tetapi masalahnya lalu: dapatkah A menangkis dengan mendalilkan bahwa barang itu adalah miliknya yang dibelinya dari misalnya Negara X, sedangkan menurut hukum Negara X, dengan pembelian itu, barang tadi menjadi miliknya? Kunci pemecahan masalah terletak pada jawaban atas pertanyaan: bagaimana HPI negara yang bersangkutan mengatur hal-hal demikian, sama sekali bukan terpisahnya vested right dari HPI.

Sanggahan pendapat Pillet juga dilakukan oleh van Brakel,110 dengan menguraikan contoh sebagai berikut: suami isteri Jerman membuat testament timbal balik di Jerman, yang isinya: mereka saling menunjuk sebagai ahli waris, dengan syarat, kalau kemudian mereka berdua sudah meninggal, maka satu-satunya anak laki-laki mereka yang menjadi ahli waris. Kemudian suami meninggal lebih dahulu. Jandanya, yang sebelum kawin berkebangsaan Inggris, pulang ke Inggris dan menjadi warganegara Inggris kembali. Janda tersebut di Inggris membuat testament baru dengan membatalkan testament timbal balik yang dulu. Di dalam testament baru ia mengangkat orang lain sebagai ahli warisnya. Kemudian janda ini juga meninggal, maka terjadilah sengketa antara anaknya dan orang yang ditunjuk terakhir. Pertanyaannya: siapa yang berhak?

Menurut ajaran Pillet, anak itu yang berhak, karena dengan testament yang pertama sudah memperoleh hak, sehingga hak tersebut harus diakui dan dihormati. Namun, menurut para sarjana penyelesaiannya tidak sesederhana itu, sebab masalahnya adalah: apakah testament pertama itu bisa dibatalkan dengan merugikan anak yang di dalam testament itu sudah diangkat sebagai ahli warisnya? Ini harus dinilai melulu menurut hukum Jerman dan hukum Inggris berdasarkan prinsip HPI yang umum diakui di mana-mana, bahwa warisan dikuasai oleh hukum nasional dari orang yang mewariskan.

Seandainya perkara ini diajukan di Indonesia, penyelesaiannya tetap seperti di atas, meskipun menurut Pasal 930 BW Indonesia, testament timbal balik tegas dilarang.

BAB VII

PRINSIP NASIONALITAS DAN PRINSIP

TERITORIALITAS PADA STATUS PERSONAL

(STATUS DAN WEWENANG)

Dalam dokumen DASAR-DASAR HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (Halaman 123-132)