• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fraksi Nasional: Multikulturalisme untuk Indonesia Merdeka yang Terpinggirkan dalam Pembelajaran

C. Fraksi Nasional

Kelompok konsentrasi radikal membubarkan diri akibat adanya pergolakan politik dari masing-masing partai politik yang tergabung di dalamnya. Pergolakan tersebut terutama menyangkut pemilihan prinsip partai yaitu nonkooperatif atau kooperatif. Hal tersebut membawa dampak besar bagi wakil-wakil bangsa Indonesia. Salah satu partai yang dengan tegas menarik wakilnya dari Volksraad adalah Sarekat Islam.

Bubarnya konsentrasi radikal dan pandangan negatif terhadap Volksraad tidak menghentikan perjuangan kaum kooperatif. Tokoh-tokoh baru muncul menggantikan kelompok konsentrasi radikal. Tokoh-tokoh baru tersebut tergabung dalam kelompok Fraksi Nasional yang didirikan pada tanggal 27 Januari 1930. Fraksi Nasional diinisiasi oleh pemimpin kaum Betawi yaitu Mohammad Husni hamrin yang memiliki anggota dari Jawa dan luar Jawa.5

Fraksi Nasional didirikan atas reaksi dalam rangka melawan kelompok

Vanderlandsche Club yang menginginkan hak-haknya sebagai warga negara Belanda diakui, khususnya hak milik tanah. berdirinya Fraksi Nasional juga merupakan respon atas tindakan sewenang-wenang pemerintah Hindia Belanda terhadap pemimpin-pemimpin organisasi politik bangsa Indonesia. Kelompok tersebut didirikan untuk memperkuat solidaritas kebangsaan Indonesia.

Fraksi Nasional memiliki anggota antara lain adalah “Kusumo Utoyo (Vice Voorzitter) [wakil ketua Volksraad], Dwidjosewojo, Datuk Kayo, Muchtar Prabu Negara, Nja Arif, M. Soangkupon, Pangeran Ali, Suradi, Suroso, dan M. H. hamrin.”6 Keanggotaan Fraksi Nasional mengalami perubahan pada tahun 1933. Anggota Fraksi Nasional antara lain M. H. hamrin (kaum Betawi), Iskandardinata (Pasoendan), Soeroso (PVPN), Koesoemo Oetojo, Dwidjosewojo, Soekardjo Wirjopranoto, Wiwoho Poerbohadidjojo (BO), Mochtar bin Praboe Mangkoe Negara (Sumatera), Abdul Firman Gelar Maharadja Soangkoepon (Batak), dan Jahja Datoek Kajo (Sumatera). Tujuan Fraksi Nasional ialah menuntut kemerdekaan Indonesia, “oleh karena kami yakin hanya kemerdekaan akan mencapai pula susunan pemerintahan yang sebaik-baiknya.”7 Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok ini menganut azas kooperatif untuk menjalankan prinsip nonkooperatif dalam rangka usaha merebut kemerdekaan Indonesia. Strategi politik tersebut dilancarkan karena kondisi politik Hindia Belanda sedang dibatasi oleh pasal 153 dan 161.

5 Ricklef. M. C. (2008). “A History of Modern Indonesia”. a. b. Dharmono Hardjowidjono. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. hlm. 282.

6 Matu Mona. (1950). Penghidupan dan Perdjuangan Mohd. Husni hamrin. Medan: Pustaka Timur. hlm. 20.

7 Suhatno, dkk. (1995). Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 131.

Pasal tersebut berisi “Barangsiapa dengan sengaja melalui perkataan, tulisan, gambar, secara langsung maupun tidak langsung, kondisional maupun terselubung, mengganggu keamanan ketertiban umum atau penggulingan baik menyarankan hal itu di Belanda atau Hindia Belanda dinyatakan bersalah atau oleh karena itu dihukum setinggi-tingginya enam tahun atau uang denda setinggi-tingginya tiga ratus gulden.”8 Berdasarkan pasal tersebut, sikap nonkooperatif kepada pemerintah Hindia Belanda dianggap tidak lagi efektif, karena apabila sikap tersebut terus dijalankan maka pemerintah dengan mudah memberangus perlawanan tersebut atas tuduhan mengganggu keamanan negeri. Oleh sebab itu, jalan kooperatif dengan menegakkan prinsip nonkooperatif merupakan pilihan yang paling tepat.

Anggota yang tergabung dalam Fraksi Nasional berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satu faktor yang dapat mempersatukan mereka adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu tidak hanya menjadi faktor pemersatu kelompok tersebut, akan tetapi bahasa Melayu atau yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia menjadi sebuah alat perjuangan untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Perjuangan melalui bahasa Indonesia di dalam Volksraad pertama kali dilakukan oleh H. Agus Salim. Perjuangan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Fraksi Nasional.

Anggota Fraksi Nasional yang konsisten mempergunakan bahasa Indonesia adalah Datuk Kayo, akan tetapi disetiap pertemuan antar anggota Fraksi Nasional bahasa Indonesia merupakan bahasa yang wajib digunakan oleh mereka. Seluruh anggota Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia sejak tahun 1938 setelah munculnya keputusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional melalui Kongres Rakyat Indonesia. Kongres tersebut juga menambahkan sebuah tujuan dari Fraksi Nasional. Tujuan tersebut adalah “Fraksi ini hendak mengangkat dan mengembangkan bahasa Indonesia.”9 Fraksi Nasional sangat paham akan fungsi bahasa dalam nasionalisme. Menurut Fishman, bahasa memiliki fungsi nasionalisme yang disebut “contrastive self- identiication” (identiikasi diri yang konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot disebut “unifying and separating function” (fungsi menyatukan dan sekaligus memisahkan).10 Berdasarkan penjelasan tersebut, melalui bahasa seseorang mampu melakukan penyatuan sekaligus pemisahan terhadap lawan bicara.

Penjelasan tersebut akan dapat lebih mudah dipahami ketika sebuah peristiwa yang terjadi di Indonesia, dimana seseorang dari kelompok 8 M. H. hamrin. (1930). 59ste Vergadering Zaterdag 8 Februari 1930. Aanvulling Strafwetboek Met Bepalingen Tot Bestrijding van Revolutionnaire Woelingen. Motie-hamrin cs. Batavia: Volksraad. hlm. 1994.

9 Azizah Etek, dkk. (2008). Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939. Yogyakarta: LKiS. hlm. 35.

suku A berada di dalam kelompok suku asalnya maka orang tersebut akan menggunakan bahasa daerah yang merupakan identitasnya. Akan tetapi, situasi tersebut akan berubah apabila ketika kelompok suku tersebut didekati oleh seseorang yang berasal dari suku B yang ingin ikut serta melakukan interaksi. Kondisi tersebut mewajibkan kelompok suku A menggunakan bahasa Indonesia untuk melaksanakan fungsi unifying (menyatukan).

Fungsi bahasa hendaknya dipahami oleh dunia pendidikan khususnya bagi tenaga pengajar dan peserta didik. Peneliti memiliki sebuah pengalaman ketika proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah, dimana peserta didik berasal dari berbagai etnis. Tenaga pengajar pada saat itu mendapatkan sebuah kalimat “Saya tidak mengerti, Pak” dari peserta didik. Hal itu menandakan bahwa tenaga pengajar belum memahami fungsi bahasa dalam kelas multikultur.

Bahasa merupakan media seseorang untuk menyampaikan pemikiran, pengetahuan dan kebudayaan yang dimiliki olehnya kepada lawan bicaranya. Bahasa yang juga menggambarkan identitas seseorang dapat menjadi jembatan bagi setiap orang untuk melakukan komunikasi budaya antar etnik. Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, komunikasi budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.11 Komunikasi budaya yang terjadi dalam Fraksi Nasional merupakan “komunikasi yang mengacu pada derajat penampilan ketidaksamaan antara dua orang yang berkomunikasi.”12 Perbedaan tersebut membuat anggota-anggota Fraksi Nasional dipaksa harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dalam rangka mencari persamaan dan perbedaan kebudayaan.

Komunikasi yang berlangsung tentu memiliki faktor penghambat dan pendukung dalam upayanya untuk mencapai masyarakat multikultural yang saling menghargai. “Latar belakang hambatan tersebut biasanya disebabkan setidaknya oleh tiga hal: 1). Prasangka historis, 2). Diskriminasi dan 3). Perasaan in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-group).”13 Prasangka historis, diskriminasi, dan perasaan in-group

feeling yang berlebihan dari suatu kelompok etnis tidak terjadi dalam Fraksi Nasional. Hal tersebut disebabkan karena ketiga buah faktor penghambat komunikasi antar etnik tersebut dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada penduduk Indonesia.

Perlakuan pemerintah Hindia Belanda memberikan perasaan persatuan untuk melawan yang sama antar etnis bangsa Indonesia. Perasaan tersebut mendorong munculnya rasa empati antar etnis. Empati tersebut mendorong 11 Alo Liliweri. (2011). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 10. 12 Ibid. hlm. 94.

anggota Fraksi Nasional untuk dapat menempatkan diri secara imajinatif dalam posisi orang lain.14 Cara pandang anggota Fraksi Nasional mampu memberikan ruang komunikasi yang positif, sehingga persatuan antar etnis di dalamnya sangatlah kuat.

Fraksi Nasional yang menyadari akan manfaat bahasa Indoneisa tetap konsisten dalam menggunakan bahasa persatuan tersebut. Hal tersebut kemudian memicu munculnya pernyataan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam Volksraad merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Fraksi Nasional. Hal itu disebabkan karena pemerintah Hindia Belanda melarang penggunaan bahasa selain bahasa Belanda.15 Fraksi Nasional seakan sama keras kepalanya dengan kelompok nonkooperatif dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Kegigihan kelompok Fraksi Nasional diungkapkan oleh van Poll yang mengatakan bahwa “di bawah arahan hamrin [ketua Fraksi Nasional] yang sangat berbakat bertujuan membentuk negara Indonesia merdeka yang bersatu dan tetap yakin persatuan etnis asli dari kelompok bangsa Indonesia yang sangat beragam dapat disatukan dengan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara umum yang akan memberikan jaminan cukup untuk tercapainya Indonesia Merdeka.”16

Kelompok Fraksi Nasional yang gigih dalam menuntut Indonesia Merdeka memberikan perlawanannya terhadap pemerintah Hindia melalui beberapa mosi dan perdebatan. Hal yang diperjuangkan oleh Fraksi Nasional antara lain mempertanyakan penangkapan Soekarno yang terjadi pada tahun 1929, tuntutan untuk mencabut pasal 153 dan 161, menentang kebijakan ordonansi sekolah liar, menolak petisi Soetardjo, dan mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perang pasiik. Berbagai mosi yang diajukan oleh Fraksi Nasional mengalami kegagalan karena kalahnya suara Fraksi Nasional dalam pemungutan suara. Hal tersebut bukan tidak diperhitungkan oleh Fraksi Nasional, akan tetapi hal tersebut merupakan sebuah bentuk perlawanan yang dijalankan akibat adanya pasal 153 dan 161 yang membatasi pergerakan politik bangsa Indonesia.

Kekecewaan bangsa Indonesia semakin meningkat ketika Fraksi Nasional tidak lagi didengarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Perlakuan tersebut membuat Fraksi Nasional melontarkan kalimat-kalimat yang lebih radikal dari sebelumnya. Salah satu kalimat yang meresahkan pemerintah Hindia Belanda adalah pernyataan dari ketua Fraksi Nasional yang mempertanyakan “(1) Benar 14 Ibid. hlm. 261.

15 Riphagen, J. (1927). Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda. Batavia: Balai Poestaka. hlm. 107- 114.

16 Hering, Bob. (2003). “M. H. hamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941”. a. b. Harsono Sutejo. M. H. hamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra. hlm. 327.

atau tidak dasar economie Indonesia bersifat economie djadjahan (typisch kolonialistich) sehingga keoentoengannja jatoeh ditangan bangsa dan negeri asing? (2) Benar atau tidak jang Indonesia setiap tahoen haroes mengalirkan keoentoengan keloar negeri dengan berates-ratoes djoeta setahoennja? (3) Benar atau tidak jang Indonesia tentoe lebih ma’moer dan lebih kaja dari pada sekarang djika pengaliran oeang itoe tidak ada sehingga oepah boeroeh dan harga pertanian moedah lebih mahal dari pada sekarang? (4) Benar atau tidak jang kekoeasaan orang Belanda di Indonesia mengoetamakan soepaja keoentoengan dan penghasilan djatoeh kepada bangsa dan negerinja orang- orang jang sama dengan jang memegang kekoeasaan? (5) Benar atau tidak jang economie setiap negeri haroes didasarkan kepada kepentingan anak negeri jang asli dan hal ini hanja bisa sempoerna djika bangsa Indonesia jang memegang kekoeasaan dinegerinja sendiri?”17 Pernyataan tersebut dilontarkan pada tahun 1938 yang bersamaan dengan adanya ancaman dari lautan pasiik khususnya fasisme dari Jepang.

Pernyataan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda curiga akan adanya rencana perlawanan yang akan dilakukan. Pemerintah juga mencurigai adanya kedekatan kelompok Fraksi Nasional dengan bangsa Jepang. Kecurigaan itu muncul karena banyaknya pernyataan dari Fraksi Nasional yang memperingatkan pemerintah Hindia Belanda akan adanya ancaman dari wilayah pasiik. Peringatan tersebut ternyata memiliki makna yang berbeda bagi pemerintah Hindia Belanda. pemerintah Hindia Belanda memilih untuk melakukan penangkapan terhadap ketua Fraksi Nasional yaitu M. H. hamrin. Penangkapan tersebut dilakukan ketika M. H. hamrin sedang menderita sakit keras. M. H. hamrin kemudian meninggal dalam suasana penahanan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Fraksi Nasional berakhir ketika pemerintah Jepang berhasil menguasai Hindia Belanda.

D. Penutup

Ruang pembelajaran sejarah kaum pergerakan yang memilih jalan kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda harus diberikan secara lebih luas dan dalam. Ruang tersebut harus dijelaskan kepada peserta didik agar mampu mengambil sikap positif yang diberikan oleh tokoh-tokoh Fraksi Nasional. Hal itu tidak hanya akan membuat peserta didik dapat mengahargai orang lain. Akan tetapi sikap-sikap yang mampu digambarkan kepada peserta didik dapat memberikan pandangan positif akan fungsi dan bahasa Indonesia yang sesungguhnya.

Penggunaan bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran harus lebih ditekankan agar peserta didik mampu memahami jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dengan adanya arus globalisasi yang dihadapi bangsa Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi Associaton of

17 M. H. hamrin. (1938). 22ste Vergadering Dinsdag 2 Augustus 1938. Begrooting van Nederlandsch- Indie vour 1939 (Ond.1), Algemeen Gedeelte. Batavia: Volksraad. hlm. 638.

Southeast Asian Nations (ASEAN). Globalisasi tersebut memaksa peserta didik untuk menguasai bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Pemaksaan bahasa tersebut bahkan mempengaruhi dalam gaya hidup masyarakat Indonesia. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah ketika penggunaan bahasa asing dianggap lebih hebat dibandingkan penggunaan bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran.

Hal tersebut bukan berarti bahwa peneliti menyarankan agar bahasa asing tidak dipergunakan sama sekali dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, bahasa asing haruslah dimengerti oleh peserta didik dan peserta didik harus lebih mengedepankan bahasa Indonesia dalam praktiknya. Apabila bahasa asing lebih dicintai oleh masyarakat Indonesia maka pola pemikiran dan budaya bangsa Indonesia akan dipengaruhi atau diukur berdasarkan pola pemikiran dan budaya bangsa asing.

Sesuatu hal yang dapat dijadikan contoh adalah seluruh anggota Fraksi Nasional paham dan mengerti bahasa Belanda akan tetapi anggota Fraksi Nasional lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas akan kesadaran anggota Fraksi Nasional dari fungsi nasionalisme dalam bahasa Indonesia. Fraksi Nasional sadar apabila mereka menggunakan bahasa Belanda maka pemerintah Hindia Belanda mendapatkan tempat yang terpandang berhasil dalam proses kolonisasi di dunia internasional. Selain itu, mereka juga sadar bahwa apabila mereka mengikuti aturan penggunaan bahasa Belanda, maka mereka akan mengikuti arus pemikiran bangsa Belanda.

Daftar Pustaka

Alo Liliweri. (2011). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Andrik Purwasito. (2015). Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azizah Etek, dkk. (2008). Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939. Yogyakarta: LKiS.

Furnivall, J. S. (2009). Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.

Hering, Bob. (2003). “M. H. hamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941”. a. b. Harsono Sutejo. M. H. hamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra.

Koentjoro Poerbopranoto, R. (1938). Dewan Ra’jat (Volksraad). Batavia: Balai Poestaka.

M. H. hamrin. (1930). 59ste Vergadering Zaterdag 8 Februari 1930. Aanvulling Strafwetboek Met Bepalingen Tot Bestrijding van Revolutionnaire Woelingen.

Motie-hamrin cs. Batavia: Volksraad.

M. H. hamrin. (1938). 22ste Vergadering Dinsdag 2 Augustus 1938. Begrooting van Nederlandsch-Indie vour 1939 (Ond.1), Algemeen Gedeelte. Batavia:

Volksraad.

Matu Mona. (1950). Penghidupan dan Perdjuangan Mohd. Husni hamrin. Medan: Pustaka Timur.

Moh. Hatta. (2011). Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang. Jakarta: Kompas. Ricklef. M. C. (2008). “A History of Modern Indonesia”. a. b. Dharmono

Hardjowidjono. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. Riphagen, J. (1927). Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda. Batavia: Balai

Poestaka.

Suhatno, dkk. (1995). Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumarsono. (2013). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

van Helsdingen, W. H. (1928). Pekerdjaan Dewan Ra’jat Sepoeloeh Tahoen. Batavia: Balai Poestaka.