• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Sejarah di SMK dalam Konteks Globalisas

C. Hakikat Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dan peserta didik melalui proses belajar mengajar (Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, 1995: 6). Guru hendaknya mempersiapkan proses pembelajaran dengan sebaik mungkin agar siswa mencapai target serta tujuan pembelajaran. Guru tidak hanya memberikan materi saja kepada siswa, namun siswa diharapkan aktif dalam menggali pengetahuan serta makna dari hal tersebut selama proses pembelajaran. Dengan demikian, proses pembelajaran diharapkan tidak hanya bergantung kepada guru saja, namun dapat berkembang sesuai dengan konteks masing-masing siswa.

Kontekstualisasi proses pembelajaran harus diterapkan dalam setiap mata pelajaran termasuk dalam pembelajaran sejarah. Menurut I Gde Widja, pembelajaran sejarah merupakan perpaduan antara aktivitas belajar mengajar yang didalamnya mempelajari masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini (Setianto, 2012: 479). Pembelajaran sejarah bukan lagi berkisar pada hafalan mengenai peristiwa-peristiwa ataupun tokoh dari masa lampau namun harus mampu memberikan inspirasi bagi peserta didik dalam menjalani kehidupannya di masa kini maupun di masa yang akan datang. Dengan demikian, pembelajaran sejarah harus diajarkan secara kontekstual agar memiliki relevansi dengan kondisi masa kini maupun masa yang akan datang.

Pembelajaran sejarah tidak hanya berpusat pada transfer of knowledge namun juga transfer of value. Pembelajaran sejarah bukan hanya mengedepankan aspek kognitif saja namun harus menanamkan nilai-nilai yang berguna bagi generasi masa kini. Menurut Sartono Kartodirjo dalam Supardi (2006:129) bahwa maksud pembelajaran sejarah adalah agar generasi muda yang berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya. Dengan

demikian pembelajaran sejarah tidak hanya diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa tentang masa lampau, namun juga dapat mengubah perilaku sebagai akibat dari proses pembelajaran sejarah yang telah dilalui.

Pembelajaran sejarah juga harus menjadi alat evaluasi terhadap peristiwa di masa lampau agar dapat meniti kehidupan yang lebih arif serta bijaksana (Hermanu, 2013: 4). Hal tersebut menjadi bagian dari proses penanaman nilai serta karakter bagi peserta didik. Guru sejarah harus mampu membimbing serta mendorong peserta didik agar melihat masa lampau secara lebih kritis tanpa mencekoki siswa dengan “kebenaran tunggal” dalam sejarah. Harapannya siswa mampu memahami suatu peristiwa sejarah dengan lebih baik sehingga dapat mengambil nilai-nilai yang tersirat dari masa lampau.

Pembelajaran sejarah juga sepatutnya mengedepankan aspek lokalitas dalam materi pembelajaran yang dimuat. Sejarah lokal dideinisikan sebagai sejarah yang memuat aspek lokalitas baik itu bersifat geograis maupun etnis- kultural. Deinisi sejarah lokal bergantung kepada “perjanjian” yang diajukan oleh penulis sejarah (Tauik Abdullah, 1996: 15). Sejarah lokal bersifat elastis karena dapat berbicara mengenai sejarah suatu desa, kecamatan, kabupaten, tempat tinggal suatu etnis, suku bangsa yang mendiami satu atau beberapa daerah.

Pembelajaran sejarah lokal memiliki arti penting dalam konteks globalisasi. Pembelajaran sejarah lokal diharapkan mampu memberikan sumbangan kesadaran sejarah pada peserta didik. Selain itu melalui pembelajaran sejarah lokal, peserta didik diharapkan mampu lebih mengenal lingkungan tempat tinggalnya serta potensi-potensi yang ada di lingkungannya. Pengenalan lingkungan kepada peserta didik ini memiliki arti penting karena dapat mengenalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap aspek lokalitas masyarakat. Tujuannya untuk memberikan inspirasi kepada peserta didik dalam menghadapi tantangan di masa kini maupun masa yang akan datang. Kebermaknaan pembelajaran sejarah lokal inilah yang harus ditanamkan oleh guru selama proses pembelajaran.

D. Pembelajaran Sejarah di SMK dalam Konteks Globalisasi

Bagaimana implementasi pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks globalisasi? Paradigma yang paling ideal untuk mengembangkan pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks globalisasi adalah Konstruktivisme. Paradigma Konstruktivisme merupakan landasan utama dalam penyusunan Kurikulum 2013. Konstruktivisme memandang siswa sebagai manusia aktif yang dapat mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Schunk, 2012: 323). Dengan demikian, peserta didik memiliki kemungkinan untuk mengonstruksi pengetahuan serta sikapnya selama proses pembelajaran. Sementara itu posisi

guru dalam proses pembelajaran lebih sebagai fasilitator yang mendorong siswa mengonstruksi pemahamannya.

Berkaitan dengan tugas guru sebgai fasilitator,maka guru harus mampu melakukan inovasi dalam pembelajaran sejarah. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, kontekstualisasi pembelajaran sejarah serta upaya merupakan hal yang harus dilakukan guru. Dalam konteks pembelajaran sejarah di SMK, guru harus melakukan framing strategy (mewacanakan tema tertentu yang dilanjutkan dengan penggalian wacana) sebagai pijakan bagi terbentuknya kesadaran serta karakter peserta didik.

Framing strategy dapat dilakukan oleh guru dengan memilah serta mengembangkan materi tertentu. Dalam konteks pembelajaran sejarah di SMK, guru sejarah harus menyesuaikannya dengan persoalan konkrit yang berkaitan dengan pendidikan kejuruan. Sebagai contoh dalam materi sejarah pergerakan nasional, guru dapat menyampaikan kepada peserta didik mengenai persoalan tenaga kerja di zaman kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu, minimnya tenaga kerja pribumi yang terampil mengakibatkan mayoritas pekerja pribumi menjadi pekerjaan kasar sehingga mendapat upah yang sangat rendah bila dibandingkan dengan pekerja-pekerja asing (Ingelson, 2013:124-125). Persoalan inilah yang harus dikontekstualisasikan dalam proses pembelajaran sejarah di SMK.

Guru kemudian dapat meminta siswa untuk membandingkan persoalan tersebut dengan persoalan ketenagakerjaan pada masa kini. Siswa didorong untuk menganalisis hal tersebut untuk menemukan benang merah dari keduanya. Setelah itu, guru dapat membimbing siswa untuk mencari pemecahan masalah dari persoalan tersebut, sekaligus mendorong siswa untuk dapat mempersiapkan diri menghadi persoalan tersebut dalam kehidupan nyata. Kontekstualisasi materi pembelajaran sejarah melalui pembelajaran berbasis masalah inilah yang dapat dilakukan guru sejarah agar mempersiapkan peserta didik menjadi pribadi yang kritis, solutif, serta adaptif dalam menghadapi berbagai persoalan di dunia nyata.

Pembelajaran berbasis masalah memiliki sejumlah keunggulan diantaranya: 1) Siswa dapat lebih mengenal persoalan di dunia nyata dan berkontribusi dalam upaya pemecahannya, 2) Siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri, 3) Siswa mulai terbiasa dengan cara kerja yang ilmiah dan rasional (Dindin Abdul Muiz, tanpa tahun: 6). Melalui pembelajaran berbasis masalah ini juga siswa diharapkan lebih aktif dan dan mampu memberikan solusi dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap dan Karakter inilah yang harus dimiliki peserta didik untuk menghadapi persaingan era globalisasi seperti saat ini.

Selain kontekstualisasi materi, pembelajaran Sejarah di SMK idealnya juga mengedepankan aspek lokalitas dalam proses pembelajarannya. Upaya ini penting karena pembudayaan nilai-nilai karakter di SMK di setiap daerah

seharusnya berbeda satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai yang ditanamkan tersebut harus memperhatikan karakteristik sosio-kultural, potensi wilayah, serta keunggulan masing-masing daerah (Putu Sudira, tanpa tahun: 2). Selain itu, nilai-nilai yang ditanamkan pada peserta didik juga harus sesuai dengan nilai-nilai sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat. Penanaman tersebut penting untuk mencegah efek negatif globalisasi yakni memudarnya nilai-nilai budaya lokal dalam masyarakat yang digantikan dengan budaya McDonaldisasi yang liberal (Hermanu, 2013: 5). Memudarnya nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat globalisasi yang seharusnya dicegah melalui proses pembelajaran sejarah lokal di SMK.

Sejarah lokal memiliki beberapa tema yang dapat dimasukkan dalam materi pembelajaran sejarah. Salah satu tema sejarah lokal yang dapat dikenalkan kepada peserta didik adalah biograi tokoh lokal (Kuntowijoyo, 2003: 145). Kajian mengenai biograi tokoh lokal ini dapat dimanfaatkan guru dalam menanamkan nilai-nilai moral tokoh tersebut kepada peserta didik. Selain itu, penggunaan tokoh lokal sebagai role mode yang dipelajari siswa akan lebih mudah diterima ketimbang tokoh dari daerah lain. Sebagai contoh di Yogyakarta, guru dapat mengenalkan ketokohan Pangeran Diponegoro sebagai seorang yang memperjuangkan nilai-nilai budaya Jawa saat nilai-nilai tersebut mulai tergerus oleh dampak negatif budaya Barat di lingkungan keraton Yogyakarta (Carey, 2015: 218). Nilai-nilai perjuangan Diponegoro inilah yang harus dipahami oleh peserta didik dalam proses pembelajaran.

Tugas guru sejarah kemudian membangun konstruksi sosial dalam proses pembelajaran. Guru sejarah dapat memulai proses tersebut dengan memberikan pemahaman kepada siswa mengenai degradasi moral yang dialami bangsa Indonesia pada era global ini. Sikap sebagian bangsa Indonesia yang begitu saja menerima segala pengaruh budaya Barat dapat menjadi salah satu persoalan yang disampaikan. Berpijak pada fenomena tersebut, guru sejarah dapat mengajak siswa meneladani sikap Diponegoro yang tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dan tidak begitu saja menerima sepenuhnya pengaruh budaya Barat di masa lampau. Keteladanan Diponegoro inilah yang perlu dipahami oleh peserta didik sehingga mereka dapat menyikapi pengaruh globalisasi dengan lebih baik.

Pemahaman akan nilai-nilai budaya lokal merupakan hal yang sangat penting dalam menghadapi era globalisasi. Nilai-nilai lokal diharapkan tetap menjadi basis penyaring untuk menyeleksi berbagai dampak negatif yang diakibatkan globalisasi. Proses pembelajaran sebaiknya berakar pada tradisi lokal, namun di sisi lain juga harus mampu menyerap pengetahuan global yang sesuai untuk mendorong perkembangan nilai-nilai lokal tersebut. Penyerapan nilai-nilai lokal inilah yang diperlukan untuk mengembangkan masyarakat lokal secara umum ataupun individu-individu sebagai bagian dari masyarakat lokal tersebut.

Pembelajaran sejarah lokal juga dapat menanamkan nasionalisme kepada siswa. Melalui pembelajaran sejarah lokal, siswa diharapkan mampu mengetahui serta memahami kontribusi masyarakat lokal terhadap perjuangan kebangsaan di masa lampau. Fakta ini seharusnya dapat menumbuhkan rasa nasionalisme serta kesadaran integrasi peserta didik. Dengan demikian, kekhawatiran akan tumbuhnya rasa primordial maupun etnosentrisme maupun memudarnya rasa nasionalisme sebagai efek globalisasi dapat sepenuhnya diatasi.

Implementasi pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks globalisasi tentu mustahil lepas dari berbagai macam hambatan. Beberapa hambatan yang terjadi pada saat ini anatara lain: (1) cakupan materi yang harus diajarkan sesuai dengan kompetensi dasar (KD) begitu luas, sehingga menyulitkan guru dalam mengembangkan materi untuk disampaikan kepada peserta didik, (2) kesulitan pengembangan materi tersebut mengakibatkan kontekstualisasi materi serta upaya mengedepankan aspek lokalitas sulit dilaksanakan, (3) ketersediaan jam mengajar yang hanya 2x45 menit dalam satu minggu membuat guru sejarah di SMK sering terkendala dengan keterbatasan waktu.

Semestinya kendala-kendala teknis tersebut dapat teratasi andaikata para

stakeholder pendidikan memberikan ruang yang cukup kepada guru sejarah di SMK untuk mengembangkan materi pembelajarannya. Kebebasan ruang bagi guru untuk mengembangkan materi merupakan hal yang mutlak agar pembelajaran sejarah dapat menginspirasi peserta didik. Proses pembelajaran sejarah yang menginspirasi tersebut diharapkan mampu mewujudkan peserta didik yang siap dan mampu mengahadapi semua tantangan di era globalisasi. Komitmen bersama serta kesamaan visi antara stakeholder pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah, pihak sekolah, hingga para guru sejarah di SMK menjadi kunci untuk mewujudkan hal tersebut.

E. Penutup

Pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks globalisasi tidak dapat diajarkan secara konvensional. Tantangan yang dihadapi peserta didik sudah semakin kompleks di era globalisasi ini. Pembelajaran sejarah di SMK dapat diajarkan sesuai dengan paradigma Konstruktivisme. Paradigma ini memungkinkan siswa menggali sendiri pengetahuan sejarah serta menggali makna dari proses tersebut. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses tersebut. Dalam pembelajaran sejarah, guru juga diharapkan mendorong siswa agar mampu menggali nilai-nilai yang relevan dalam konteks globalisasi serta tidak mengabaikan aspek lokalitas dalam pembelajaran sejarah. Proses tersebut diharapkan akan membuat peserta didik siap dan mampu menghadapi semua tantangan di era globalisasi.

Daftar Pustaka

Buku:

Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi. 1995. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipra.

Calhoum, C.C. dan Finch, A.V. 1982. Vocational Education: Concept and Operations.

California: Wads Worth Publishing Company

Carey, Peter. 2015. Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Jakarta: Kompas. Ingelson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa

Kolonial. Depok: Komunitas Bambu.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Schunk, Dale H. 2012. Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Tauik Abdullah. 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Makalah/Artikel Ilmiah:

Hermanu Joebagio. Tantangan Pembelajaran Sejarah di Era Global. disampaikan dalam seminar nasional Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNY dengan tema “Problematika Pendidikan Nasional dalam Menghadapi Tantangan di Era Global”, Yogyakarta, 25 September 2013.

Putu Sudira. “Praksis Pendidikan Kejuruan dan Vokasi Indonesia diantara Mahzab John Dewey dan Charles Prosser” dalam Maman Suryaman, dkk. 2014. Memantapkan Pendidikan Karakter untuk Melahirkan Insan Bermoral, Humanis, dan Profesional. Yogyakarta: UNY Press.

Setianto, Yudi. 2002. “Dikotomi Bebas dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 18(4), hlm. 477-488. Supardi. 2006. “Pembelajaran Sejarah Lokal dalam Konteks Multikulturalisme”,

Cakrawala Pendidikan, h. XXV, No.1, hlm. 117-137. Internet:

Dindin Abdul Muiz Lidinillah. Pembelajaran Berbasis Masalah. Tersedia pada: http:// ile.upi.edu/Direktori/KD-TASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDI- NILLAH_(KD-TASIKMALAYA)-197901132005011003/132313548%20 -%20dindin%20abdul%20muiz%20lidinillah/problem%20based%20 learning.pdf . Diunduh pada 12 Oktober 2016.

Putu Sudira. Nilai Pendidikan Kejuruan dan Pendidikan Nilai Berkarakter Industri di SMK. Tersedia pada: http://eprints.uny.ac.id/4652/1/011-Pendidikan_ Nilai_Berkarakter_Kejuruam.pdf . Diunduh pada 12 Oktober 2016.

Implementasi Pembelajaran Sejarah Berbasis Pedagogi