• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Fungsi Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Mulih Ndesa Karya Suryadi WS

2. Fungsi Campur Kode

Berikut analisis mengenai fungsi campur kode yang terdapat dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.

a. Menghormati Mitra Tutur atau Objek yang Dibicarakan

(142) Sekarwangi : “Aku lagi ndhereake juraganku, Pak Pratama.” „Aku sedang mengantar majikanku, Pak Pratama.‟ Marsanti : “Oh, kuwi kancane juraganku, Pak Jolang. Aku ya lagi

ndhereake juraganku. Lagi teka iki mau ta, Sekar? Dhek wingi sore aku liwat kene kok isih tutupan.”

„Oh, itu temannya majikanku, Pak Jolang. Aku juga sedang mengantarkan majikanku. Baru sampai di sini tadi ya, Sekar? Kemarin sore aku lewat sini kok masih tutup.‟

(MN/SWS/32/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi dan Marsanti pada data (142) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „ndherekake‟ adalah pengaruh tingkat tutur dalam bahasa Jawa, karena objek yang dibicarakan adalah majikan dari penutur dan mitra tutur, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „ndherekake‟ untuk menunjukkan rasa hormat.

Dhawuhe ibu iki mengko dha shalat dhuhur dhisik, terus dhahar, njur ngaso sedhela. Jare mengko bar ashar budhal bali nyang Jakarta.”

„Wisudanya sudah selesai, mbak Sarmi. Ayo menata makanan. Perintah Ibu ini nanti pada sholat dhuhur dahulu, lalu makan, kemudian istirahat sebentar. Katanya nanti sehabis ashar barangkat kembali ke Jakarta.‟

(MN/SWS/32/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (143) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „dhawuhe‟ adalah pengaruh tingkat tutur dalam bahasa Jawa, karena objek yang dibicarakan adalah majikan dari penutur (Bu Rusti), maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „dhawuhe‟ untuk menunjukkan rasa hormat.

(144) Sekarwangi : “Ya wis, aku manut Mas. Aku arep didhawuhi ngapa?” „Ya sudah, saya menurut Mas. Saya mau disuruh apa?‟ (MN/SWS/33/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (144) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „didhawuhi‟ adalah untuk menghormati mitra tutur, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „didhawuhi‟ untuk menunjukkan rasa hormat karena mitra tutur adalah majikannya.

(145) Sekarwangi : “Ha? Njenengan ngerti tenan, Mas?” „Ha? Anda benar-benar tahu, Mas?‟ (MN/SWS/33/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (145) ditandai dengan kata yang bercetak tebal „njenengan‟ adalah untuk menghormati mitra tutur, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „njenengan‟ untuk menunjukkan rasa hormat karena mitra tutur adalah majikannya.

(146) Damarjati : “Rupamu ayu, ayu banget, pakulitanmu kuning resik, soroting netramu bening tajem, pemikiran lan patrapmu katon yen bocah pendhidhikan, basamu alus, tata kramamu ganep,

tandukmu marang sapa wae mantep lan percaya dhiri, ora katon minggrang-minggring, klebu yen pinuju guneman karo pak Pratama lan bu Rusti juraganmu.”

„Wajahmu cantik, cantik sekali, kulitmu kuning langsat, tatapan matamu bening tajam, pola pikir dan tingkah lakumu seperti orang berpendidikan, bahasamu lembut, mengerti tata krama, perilakumu terhadap siapa saja mantap dan percaya diri, tidak canggung, termasuk ketita berbisacara dengan pak Pratama dan bu Rusti.‟

(MN/SWS/33/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Damarjati pada data (146) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „netramu‟ adalah untuk menghormati mitra tutur walaupun penutur dan mitra tutur adalah teman, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „netramu‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur.

(147) Sekarwangi : “Ora Mas. Aku malah bakal rumangsa lega yen sliramu kersa ngrungokake critane lelakonku. Nanging mengko dhisik, dak gawekake unjukan kopi panas dhisik.”

„Tidak Mas. Saya malah akan merasa lega jika kamu mau mendengarkan cerita hidupku. Tapi nanti dulu, saya buatkan minuman kopi panas dulu.‟

(MN/SWS/33/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (147) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „kersa‟ dan „unjukan‟ adalah untuk menghormati mitra tutur, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „kersa‟ dan „unjukan‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur.

(148) Sekarwangi : “Mas Damar, bapakku biyen uga lulusan sarjana, dadi guru ing SMA. Mula aku ya nduwe cita-cita kepengin kuliyah nganti lulus sarjana. Nanging aku lagi ana kelas telu SMP lan adhiku klas telu SD, bapak seda. Bisa kok penggalih, kaya ngapa sedhihe atiku sakulawarga nalika semana. Mesthi wae uripku sakulawarga dadi malih grembyang, sarwa kekurangan. Isih begja dene ibu entuk pensiun jandha lan bapak uga ninggal sawah sepathok, kena kanggo sumbering pangan sakulawraga.”

„Mas, Damar, bapak saya dulu juga lulusan sarjana, menjadi guru di SMA. Maka dari itu saya juga punya cita-cita ingin

kuliah sampai lulus sarjana. Tetapi saya masih kelas tiga SMP dan adik saya kelas tiga SD, bapak meninggal dunia. Bisa kamu bayangkan, bagaimana sedihnya hati saya sekeluarga ketika itu. Pasti saja hidup saya sekeluarga jadi berubah drastis, serba kekurangan. Masih untung ibu mendapatkan pensiun janda dan bapak juga meninggalkan sawah sepetak, cukup untuk sumber makanan sekeluarga.‟

(MN/SWS/33/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (148) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „seda‟ dan „penggalih‟ adalah pengaruh tingkat tutur dalam bahasa Jawa, karena pada penggunaan kata „seda‟ objek yang dibicarakan adalah ayah dari penutur (Sekarwangi),. Sedangkan pada penggunaan kata „penggalih‟ fungsinya untuk menghormati mitra tutur (Damarjati).

(149) Sekarwangi : “Mas kok ndadak ribet gawe unjukan. Lenggah wae dakgawekake.”

„Mas kok harus ribet bikin minum. Duduk saja saya buatkan.‟ (MN/SWS/35/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (149) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „unjukan‟ dan „lenggah‟ adalah untuk menghormati mitra tutur, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „unjukan‟ dan „lenggah‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur.

(150) Sekarwangi : “Woo... embuh ah, aku kok melu-melu guneman bab kuwi ki rak ora kena. Nyuwun ngapunten, Mas. Mung babu wae kok... mmpp.”

„Woo...tidak tahu ah, saya kok ikut-ikut berbicara tentang itu kan tidak boleh. Minta maaf, Mas. Saya kan cuma babu...mmpp.‟

(MN/SWS/35/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (150) ditandai dengan kata yang bercetak tebal „nyuwun ngapunten‟ adalah untuk

menghormati mitra tutur, maka digunakan frasa dalam bahasa Jawa Krama „nyuwun ngapunten‟ untuk menunjukkan rasa hormat.

(151) Damarjati : “Bu. Pasuryane Ibu ora perlu didhelikake, ben tetep ana kene kaya adate. Sabab iki wes trep lan ayu. Perkara mbatalake kuwi gampang, Bu.”

„Bu, wajah Ibu tidak perlu disembunyikan, biar tetap ada disitu seperti biasanya. Karena itu sudah pantas dan cantik. Masalah membatalkan itu gampang, Bu‟

(MN/SWS/36/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Damarjati pada data (151) ditandai dengan kata yang bercetak tebal „pasuryane‟ adalah untuk menghormati mitra tutur. Karena mitra tutur merupakan ibu dari penutur serta adanya pengaruh tingkat tutur dalam bahasa Jawa, maka digunakan kata dalam bahasa Jawa Krama „pasuryane‟ untuk menunjukkan rasa hormat.

(152) Sekarwangi : “Umpamane ora sengaja aku kebacut ngrangkul njenengan. Aja duka lho ya.”

„Seumpama tidak sengaja aku terlanjur merangkul kamu. Jangan marah ya.‟

(MN/SWS/36/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (152) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „njenengan‟ dan „duka‟ adalah untuk menghormati mitra tutur, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „unjukan‟ dan „lenggah‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur.

(153) Damarjati : “Nek kersane Ibu ngono, aku ndherek. Nanging lilanana milih calonku dhewe, Bu, sabab sing arep nglakoni ki aku.” „Kalau Ibu maunya begitu, aku ikut. Tetapi izinkalah memilih calonku sendiri, Bu, karena yang akan menjalani itu aku.‟ (MN/SWS/38/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Damarjati pada data (153) ditandai dengan kata yang bercetak tebal „kersane‟ dan „ndherek‟ adalah untuk menghormati mitra tutur yang adalah ibu dari penutur, karena adanya

pengaruh tingkat tutur dalam bahasa Jawa. maka digunakan kata dalam bahasa Jawa Krama „kersane‟ dan „ndherek‟ untuk menunjukkan rasa hormat.

(154) Kardi Waskito : “Kowe ora perlu nggrantes lan ora perlu nggetuni lelakonmu, awit ora ana gunane. Anggepen iku pepeling saka Gusti Allah, supaya kowe bali marang dalan sing lurus. Malah kapara syukurana, awit iki ateges kowe isih diparingi kalodhangan kanggo mertobat, sateruse nggayuh kamulyan kang sejati, dudu kamulyan semu sing wis kok rasakake sasuwene iki. Mesthine kowe isih kelingan piwulang lan piweling sing tau dak wenehake biyen.”

„Kamu tidak perlu merasa sedih dan tidak perlu kecewa atas..., karena tidak ada gunanya. Anggap saja ini adalah peringatan dari Allah, agar kamu kembali kejalan yang lurus. Malah syukurilah, karena ini artinya kamu masih diberi kesempatan untuk bertobat, lalu meraih kemuliaan yang sejati, bukan kemuliaan yang semu yang pernah kamu rasakan selama ini. Seharusnya kamu masih ingat pelajaran yang pernah aku berikan dulu.‟

(MN/SWS/43/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Kardi Waskito pada data (154) ditandai dengan kata yang bercetak tebal „diparingi‟ adalah untuk penghormatan, karena pada penggunaan kata „diparingi‟ merujuk kepada Tuhan maka digunakan kata dalam bahasa Jawa Krama „diparingi‟ untuk menunjukkan rasa hormat.

(155) Marta : “Ngojek wae Dhik Santi, dakdherekake. „Naik ojek saja dik Santi, saya antar.‟ (MN/SWS/47/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marta pada data (155) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „dakdherekake‟ adalah untuk menghormati mitra tutur walaupun penutur dan mitra tutur adalah teman, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „dakdherekake‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur

(156) Marta : “Menenga wae, aja ngelek-elek awakmu dhewe. Kae sega tumpange wis digawa mrene, ayo gek didhahar.”

„Diamlah saja, jangan menjelek-jelekkan dirimu sendiri. Itu nasi tumpangnya sudah dibawa ke sini, ayo dimakan.‟

(MN/SWS/47/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marta pada data (156) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „didhahar‟ adalah untuk menghormati mitra tutur walaupun penutur dan mitra tutur adalah teman, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „didhahar‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur.

(157) Marta : “Iya, Dhik Damar. Saiki Dhik Santi iki dadi batihku. Lan bener ngendikamu mau, aku biyen wis tau kepethuk sliramu. Biyen aku ngojeg ing Jatinegara. Saiki macul ing sawah.” „Iya, Dik Damar. Sekarang Dik Santi ini jadi istriku. Dan benar apa yang kamu katakan tadi, aku dulu sudah pernah bertemu dengan mu. Dulu aku menjadi tukang ojeg di Jatinegara. Sekarang mencangkul di sawah.‟

(MN/SWS/50/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marta pada data (157) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „ngendikamu‟ adalah untuk menghormati mitra tutur walaupun penutur dan mitra tutur adalah teman, maka digunakan kosakata bahasa Jawa ragam Krama „ngendikamu‟ untuk menunjukkan rasa hormat penutur kepada mitra tutur.

b. Untuk Mempermudah Komunikasi

(158) Sekarwangi : “Ibu, aku ora bakal selawase ana Jakarta. Yen wis cukup akeh dhuwit celenganku, aku bakal mulih menyang ndesa, adeg rumah makan ing omah tinggalane bapak, dakkemonah miturut cara-cara sing tau daksinau ing sekolahanku. Insya allah bakal dadi kondang satlatah padesane dhewe. Donga pengestumu tansah ngancani lakuku, Ibu.”

„Ibu, saya tidak akan selamanya di Jakarta. Kalau sudah cukup banyak uang tabunganku, aku akan pulang ke desa, mendirikan rumah makan di rumah peninggalan bapak, saya kelola menurut cara-cara yang pernah saya pelajari di sekolahanku. Insya allah akan menjadi terkenal sewilayah pedesaan kita. Doa restumu selalu menemani langkahku, Ibu.‟

(MN/SWS/27/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (158) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „rumah makan‟ adalah untuk

mempermudah jalannya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Karena jika menggunakan padanan frasa „warung mangan‟ dalam bahasa Jawa akan kurang cocok dan frasa „rumah makan‟ sudah sering digunakan.

(159) Damarjati : “Sekar, masakanmu enak lan iki kowe katon prigel motongi iwak grameh. Apa kowe tau melu kerja ing restoran?”

„Sekar, masakanmu enak dan ini kamu kelihatan mahir memotong ikan gurameh. Apa kamu pernah ikut bekerja di restoran?‟

(MN/SWS/27/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Bu Rusti pada data (159) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „restoran‟ adalah untuk memberi kemudahan dalam berkomunikasi agar pikiran/maksud penutur dapat tersampaikan dengan mudah kepada mitra tutur.

(160) Sekarwangi :”Mboten Den, sekolah kula riyin ing SMK jurusan tata boga.” „Tidak Den, sekolah saya dulu di SMK jurusan tata boga.‟ (MN/SWS/27/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (160) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „tata boga‟ adalah untuk mempermudah komunikasi antara penutur dan mitra tutur, karena jika menggunakan padanan kata dalam bahasa Jawa maka akan sulit mencari kata yang tepat atau bahkan tidak ada.

(161) Marta : “Mengko dhisik, aja salah paham ya. Kowe lagi wae teka ing Jakarta, durung ngerti cara-cara uripe wong kene, mligine wong sugih-sugih sing wis sugih bandha.”

„Sebentar, jangan salah paham ya. Kamu baru saja datang ke Jakarta, belum tahu cara-cara hidup orang sini, khususnya orang-orang kaya yang sudah kaya raya.‟

(MN/SWS/29/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marta pada data (161) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „salah paham‟ adalah untuk

memberi kemudahan dalam berkomunikasi agar pikiran/maksud penutur dapat tersampaikan dengan mudah kepada mitra tutur.

(162) Marta : “Akeh wong sugih mblegedhu ing Jakarta iki, katone waras- wiris nanging sejatine duwe penyakit, kaya dene penyakit gula darah, tekanan darah tinggi, lemah jantung, jantung koroner, vertigo, radang lambung lan sabangsane, sing sok ora kenyana-nyana kumat saenggon-enggon....”

„Banyak orang kaya raya di Jakarta ini, kelihatanya sehat tapi sebenarnya mempunyai penyakit, seperti penyakit gula darah, tekanan darah tinggi, lemah jantung, jantung koroner, vertigo, radang lambung dan lain sebagainya, yang terkadang tidak disangka-sangka bisa kambuh dimana-mana....‟

(MN/SWS/29/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marta pada data (162) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „gula darah‟, „tekanan darah tinggi‟, „lemah jantung‟, „jantung koroner‟, dan „radang lambung‟ adalah untuk mempermudah komunikasi antara penutur dan mitra tutur, karena jika menggunakan padanan kata dalam bahasa Jawa maka akan sulit mencari kata yang tepat atau bahkan tidak ada.

(163) Marta : “Mligi sing dak kandhakake mau, aku ki pancen diwelingi kon nggolekake wong wadon sing gelem ngancani yen pinuju butuh dikancani. Dheweke iku umur seketan taun, wis dhudha wiwit limang taun kepungkur lan ora rabi nganti seprene merga kepengen meleng ndadekake anak-anake. Saiki anake sing tuwa, lanang wis dadi pegawe propinsi ing Semarang. Sing nom wadon, uga wis lulus STAN lan diangkat pegawe dhinas perpajakan ing Cirebon. Ing kene iki masalahe, Santi. Dheweke iku duwe penyakit tekanan darah tinggi. Wingi-wingi nalika anake wadon isih kuliyah, nek mrana-mrana dikancani anake. Bareng anake wis diangkat ing Cirebon, ora ana maneh sing ngancani. Mulane dheweke butuh kanca, mung ngancani, Santi, mung ngancani, ora arep diklethak.”

„Khusus yang saya katakan tadi, saya ini memang diingatkan untuk mencarikan perempuan yang mau menemani jika dibutuhkan untuk ditemani. Dia itu berumur 50an tahun, sudah menjadi duda semenjak lima tahun yang lalu dan tidak menikah lagi sampai sekarang karena ingin menjaga anak-anaknya. Sekarang anaknya yang besar, laki-laki sudah menjadi pegawai provinsi di Semarang. yang kecil perempuan, juga sudah lulus STAN dan diangkat pegawai dinas perpajakan ing Cirebon. Di sini ini permasalahannya, Santi. Dia itu mempunyai penyakit

tekanan darah tinggi. Kemarin-kemarin ketika anak perempuannya masih kuliah, jika kemana-kemana ditemani anaknya. Setelah anakanya suda diangkat di Cirebon, tidak ada lagi yang menemani. Maka dari itu dia butuh teman, hanya menemani, Santi, hanya menemani, tidak akan digigit.‟

(MN/SWS/29/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marta pada data (163) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „pegawe dhinas perpajakan‟ dan „kuliyah‟ adalah untuk mempermudah komunikasi antara penutur dan mitra tutur, karena jika menggunakan padanan kata dalam bahasa Jawa maka akan sulit mencari kata yang tepat atau bahkan tidak ada.

(164) Marta : “Maksudmu apa Santi?” „Maksudmu apa Santi?‟

Marsanti : “Njembarake lapangan kerja.” „Melebarkan lapangan kerja.‟ (MN/SWS/31/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marsanti pada data (164) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „lapangan kera‟ adalah untuk memberi kemudahan dalam berkomunikasi agar pikiran/maksud penutur dapat tersampaikan dengan mudah kepada mitra tutur.

(165) Marsanti : “Pengin dadi tukang pijet panggilan. Golekna langganan, nek ana sing butuh, aku pethuken mrene. Ning telpuna dhisik, dadi yen Pak Jolang pas ana kene kowe ngerti.”

„Ingin jadi tukang pijet panggilan. Carikan pelanggan, kalau ada yang membutuhkan, jemput saya di sini. Tetapi telfon dahulu, jadi kalau Pak Jolang ada di sini kamu tahu.‟

(MN/SWS/31/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Marsanti pada data (165) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „tukang pijet panggilan‟ adalah untuk memberi kemudahan dalam berkomunikasi agar pikiran/maksud penutur dapat tersampaikan dengan mudah kepada mitra tutur.

dene pegawe kantor perpajakan. Mung pangkate luwih dhuwur. Cethane Pak Jolang ki ndhuwurane bapak. Ngertiku merga bapak crita karo ibu.”

„Tahu Dhik. Pak Jolang itu akrab sekali dengan bapak, sama-sama pegawai kantor perpajakan. Hanya saja pangkatnya lebih tinggi. Lebih jelasnnya Pak Jolang itu atasannya bapak. Saya tahu karena bapak bercerita kepada ibu.‟

(MN/SWS/33/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Damarjati pada data (166) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „pegawe kantor perpajakan‟ adalah untuk mempermudah komunikasi antara penutur dan mitra tutur, karena jika menggunakan padanan kata dalam bahasa Jawa maka akan sulit mencari kata yang tepat atau bahkan tidak ada.

(167) Damarjati : “Lupute: dheweke ora ditundhung merga tumindak ala, nanging pancen diniyati lunga saka ngomah. Dheweke mbabu ora kanggo nyambung urip jalaran kepepet, nanging kanggo nggayuh panguripan sing luwih becik. Dene benere: dheweke pancen bener asal saka kulawarga sing duwe martabat, ora kalah karo awake dhewe iki. Bapakne biyen malah lulusan sarjana, luwih dhuwur tinimbang bapakku sing mung ahli madya. Bapakne biyen ngasta guru SMA. Upama bapakne isih sugeng, dheweke mesthi ya bisa lulus sarjana kaya aku.” „Salahnya: dia tidak disuruh pergi karena berlaku tidak baik, tapi memang sudah berniat pergi dari rumah. Dia menjadi pembantu bukan untuk menyambung hidup karena kekurangan, tapi untuk menraih kehidupan yang lebih baik. Lalu benarnya: dia memang benar berasal dari keluarga yang mempunyai martabat, tidak berbeda dengan kita. Bapaknya dulu malah lulusan sarjana, lebih tinggi daripada bapakku yang hanya ahlimadya. Bapaknya dulu berkerja sebagai guru SMA. Seandainya bapaknya masih sehat, dia pasti juga bisa lulus sarjana seperti aku.‟

(MN/SWS/34/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Damarjati pada data (167) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „martabat‟ dan „lulusan sarjana‟ adalah untuk mempermudah komunikasi antara penutur dan mitra tutur, karena jika menggunakan padanan kata dalam bahasa Jawa maka akan sulit mencari kata yang tepat atau bahkan tidak ada.

(168) Bu Rusti : “Dheweke pancen ayu lan wasis, Damar. Nanging kabeh uwong wis ngerti yen dheweke iku babu. Piye bakal aloke wong-wong mengko. Damarjati sarjana perikanan, nikah etuk babu. Apa iku penak dirungu? Beda masalahe yen dheweke ora mbabu. Upamane dheweke bakul ing kios pasar apa manager toko, njur dadi bojomu. Damarjati sarjana perikanan, nikah entuk manager toko. Rak penak dirungu, ora entuk babu.” „Dia memang cantik dan pintar, Damar. Tetapi semua orang sudah tahu kalau dia itu pembantu. Bagaimana kata orang-orang nanti. Damarjati sarjana perikanan, menikah dengan babu. Apa itu enak didengar? Berbeda masalahnya jika dia tidak jadi pembantu. Seandainya dia penjual di kios pasar atau manager toko, lalu menjadi istrimu. Damarjati sarjana perikanan, menikah dengan manager toko. Kan enak didengar, bukan dengan pembantu.‟

(MN/SWS/34/2015)

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Bu Rusti pada data (168) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „sarjana perikanan‟, kios pasar‟ dan „manager toko‟ adalah untuk mempermudah komunikasi antara penutur dan mitra tutur, karena jika menggunakan padanan kata dalam bahasa Jawa maka akan sulit mencari kata yang tepat atau bahkan tidak ada.

(169) Sofi : “Iya, Mas. Meh saben malem Minggu aku mrene.”