• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAGASAN SISTEM PEMASYARAKATAN

Dalam dokumen BAHAN AJAR MATA KULIAH PENOLOGI (Halaman 22-26)

PENDAHULUAN

Pada level kompetensi ini mahasiswa mempunyai kemampuan menjelaskan tentang Sistem gagasan sistem pemasyarakan.

KUALITAS MATERI PERKULIHAN

L. JUDUL MATERI PERKULIAHAN : Sistem Pelaksanaan Hukuman Penjara M. SUB-SUB MATERI PERKULIHAN :

1. Sistem kepenjaraan

2. Sistem (gagasan) Pemasyarakatan.

N. TUJUAN PEMBELAJARAN

Dengan mempelajari Penologi diharapkan mahasiswa dapat memperoleh impromasi yang seluas-luasnya mengenai sistem kepenjaraan dan sistem (gagasan) Pemasyarakatan di Indonesia.

J. INDIKATOR HASIL EVALUASI PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Sistem Kepenjaraan dan Sistem (gagasan) Pemasyarakaatani di Indonesia

2. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai ruang lingkup Pemasyarakatan 3. Mahasiswa dapat menjelaskan eksistensi dan tujuan Pemasyarakatan 4. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan, pesamaan, dan keterkaitan

Penologi dengan Pelaksanaan Pemasyarakatan.

O. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN

- Metode Perkuliahan yaitu Problem Based Learning (PBL) pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah

“belajar” (Learning) bukan “mengajar” (Teaching).

- Strategi pembelajaran : kombinasi pertemuan tatap muka 50 %

(menjelaskan materi kuliah) dan tutorial 50 % ( kemampuan mahasiswa berdiskusi dalam menulis tugas-tugas).

- Media instruksional dengan media yang ada dimanfaatkan seperti media papan tulis, computer, LCD.

- Cara mengajar dosen dengan power point slide dan secara manual.

- Cara belajar mahasiswa dalam mata kuliah kriminologi sesuai dengan dalam Buku Ajar

P. Materi perkuliahan

GAGASAN SISTEM PEMASYARAKATAN

Dasar Hukum sistem Kepenjaraan:

1. Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (KUHP) Stbl 1915 No. 732 Jo 1917 No.497 Jo UU No. 1 Th. 1946 Jo UU No. 73 Th. 1958 dan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 (sekarang Pasal I Aturan Peralihan) serta Pasal I Peraturan Presiden No.2 Th 1945 tanggal 10 Oktober 1945

2. Gstichten Reglemen (Reglemen Penjara )Stbl . 1917 No 708;

3. Dwangopvoeding Regeling (DOR) Stbl. 1917 No. 741;

4. Voorwaardelijke Invrerijheidstelling (V.I) Stbl. 1917 No. 749;

5. Regeling Voorwaardelijke Veroordeling Stbl. 1926 No. 487.

Dari sekian peraturan, khususnya dalam KUHP terdapat sistem kepenjaraan yang kita kenal itu adalah merupakan pelaksanaan dari pasal 29 KUHP.

SISTEM KEPENJARAAN

Tujuan Lebih luas sistem Kepenjaraan: tujuannya adalah untuk “Melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan”

Sebagaimana telah diuraikan diawal bahwa seseorang yang telah dijatuhi pidana penjara, kemudian dengan sistem perlakuan yang diharapkan terhukum dapat tobat dan jera dan jika ia kembali ke masyarakat maka tidak akan kembali melakukan kejahatan lagi. Inilah yang dimaksud dengan melindungi masyarakat dari segala

bentuk kejahatan yang merupakan politik criminal pemerintah terhadap usaha pengurangan kejahatan.

Oleh sebab itu didalam system kepenjaraan perlakuan terhadap anak didik dilaksanakan dengan sangat tidak manusiawi dan tidak kenal perikemanusiaan, namun hal ini dapat dimaklumi, karena di dalam sistem kepenjaraan mengandung prinsip bahwa para nara pidana merupakan obyek semata-mata.

Kembali kepada tujuan semula dari pidana penjara yang maksudnya adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan.Tetapi pertanyaannya”

Apakah memang demikian kenyataannya ? Apakah masyarakat sudah terlindungi dari kejahatan? dan apakah mantan nara pidana yang sudah kembali kemasyarakat tidak akan melakukan kejahatan lagi ? Singkatnya apakah mereka dapat dijamin untuk tidak menjadi residivist ?

Dari pertanyaan-pertanyaan yang ada itu dan apabila kita hubungkan dengan gambaran perlakuan terhadap paranara pidana tadi, kemungkinan besar pertanyaan tadi tidak terjawab dengan kata “Ya”bahkan keadaanya justru sebaliknya. Kegagalan Sistem Kepenjaraan Penyebabnya ? Sistem Itu sendiri Mengapa ? Tujuan dari sistem kepenjaraan. Karena secara (sistem perlakuan) terhadap konseptual sistem narapidana atau anak didiknya adalah menghendaki agar para kepenjaraan justru narapidana menyadari bahwa bertentangan dengan perbuatan yang pernah tujuan yang dianutnya.dilakukan itu adalah salah dan bertentangan dengan hukum yang berlaku serta dilarang dengan sistem agama yang dianutnya. perlakuan yang tidak apabila mereka sudah mau menyadari maka mereka akan manusiawai justru akan merasa tobat menimbulkan dampak .

Petugas Penjara Masyarakat karena stigma Balas dendam kepada Nara Pidana yang merupakan lingkaran setan terhadap kembali Residivis melakukan kejahatan.

Apa dampak buruknya ? melakukan Tindak pidana Stigma baru Diproses dalam SPP menjadi Nara pidana Kembali. Itulah sebabnya mengapa dikatakan secara konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan tujuan yang dianutnya, disatu pihak sistem kepenjaraan bertujuan untuk membuat jera para nara pidana, namun

dilain pihak tujuan pidana penjara tidak akan tercapai dengan cara memperlakukan mereka dengan cara tidak manusiawi. Dengan istilah lain dapat dikatakan bahwa“jera”

buka merupakan jalan untuk membuat para narapidana menjadi tobat.

Disamping hal tersebut diatas, kegagalan dari sistem kepenjaraan yang menganut prinsip-prinsip “kepenjaraan” masih ada lagi factor lain yang ikut terlibat di dalamnya yaitu:

1. sistem kepenjaraan diterapkan tanpa disertai dengan proses-proses kepenjaraan (tidak adanya pentahapan perlakuan terhadap nara pidana yang sudah benar-benar menunjukkan rasa tobatnya) walaupun pada saat itu sudah dikenal adanya lembaga (Pelepasan Bersarat) namun cara pemberiannya dilakukan dengan cara tidak konsisten.

2. sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya kurang mendidik para nara pidana, tapi hanya untuk mengisi sikap apriori dan prejudice masyarakat terhadap nara pidana lebih menambah kegagalan dari sistem kepenjaraan dengan memberikan cap bahwa penjara itu adalah “sekolah tinggi kejahatan”

3. dalam penerapan sistem kepenjaraan tidak memperhitungkan atau tidak mengikut sertakan partisipasi masyarakat dalam sistem perlakuannya (terlalu bersifat individual);

4. Re educatie dan resosialisasi saebagai jiwa dari sistem kepenjaraan di dalam penerapannya justru sama sekali tidak mencerminkan jiwa dari sistem kepenjaraan itu sendiri.

Walaupun demikian, untuk mengatasi kegagalan sebagaimana telah disebutkan diatas, jauh sebelum dikemukakannya konsepsi pemasyarakatan sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan, pada tahun 1955 masih diusahakan perbaikan-perbaikan terhadap pelaksanaan sistem kepenjaraan tersebut. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya konferensi para direktur dan pemimpin kepenjaraan di Sarangan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Bahroedin Soerjobroto, sebagai seorang praktisi kepenjaraan pada konferensi tersebut ditunjuk untuk memberi

preadviesnya. Dalam preadvisnya yang berjudul “ masalah-masalah disekitar pelaksanaan hukuman hilang kemerdekaan dan penutupan-penutupan lainnnya dipenjara” mengatakan:

“ bahwa orang-orang yang oleh hakim dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan yang harus segera dijalankan, maka yang selalu menjadi perhatian bagi siterhukum adalah kepentingan keluarganya dan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu dalam memperlakukan siterhukum ke 2 hal tersebut harus selalu diperhatikan. Selain daripada yang telah dikemukakan diatas yang harus mendapatkan perhatian adalah penghidupan keluarga dari seseorang yang terhukum”.

Dalam dokumen BAHAN AJAR MATA KULIAH PENOLOGI (Halaman 22-26)