• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

20. Gambar Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin DFF

a. Kolam Induk b. Pengecekan Kematangan Induk

c. Penyuntikan Induk Betina d. Pengambilan Benih

Lampiran 20. Lanjutan

g. Benih yang Sudah Dihitung h. Memasukkan Benih ke Plastik

i. Pemberian Oksigen untuk Benih j. Artemia Kultur

k. Induk Ikan Patin l. Benih Ikan Patin

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO 2002 (DKP, 2005) menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur).

Akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat sederhana dan hanya sebagai subsisten (sampingan). Akhir abad 20, akselerasi perkembangan perikanan budidaya menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya konvensional, tetapi kegiatan ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai sektor. Produk akualkultur telah membawa perubahan besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif rendah, dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera konsumen baik dari segi jumlah maupun mutu (DKP, 2005).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia yang mendukung akuakultur (Soegiarto dan Polunin, 1981 dalam DKP, 2005). Kelompok ikan yang ada di perairan Indonesia lebih dari 2000 spesies. Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,59 juta hektar, namun pada kenyataannya sampai tahun 2004

pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal. Masing-masing baru mencapai 10,1% untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau, dan 0,01% untuk budidaya laut (DKP, 2005).

Melihat dari kenyataan tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur.

Salah satu komoditas yang menjadi sasaran revitalisasi tersebut yaitu ikan patin. Komoditas tersebut menjadi salah satu unggulan dalam revitalisasi perikanan budidaya karena merupakan jenis ikan yang teknologi budidayanya sudah dikuasai dan sudah berkembang di masyarakat. Selain itu, komoditas patin memiliki peluang pasar ekspor yang tinggi dan tingkat serapan pasar dalam negeri yang cukup besar, tingkat permodalan yang relatif rendah, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi (DKP, 2005). Data produksi ikan patin dan ikan lainnya di Indonesia dari tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas 2002-2005 (Ton)

No. Jenis Budidaya 2002 2003 2004 2005

1 Udang 159.997 192.912 238.857 280.629 2 Kerapu 7.057 8.637 6.552 6.493 3 Nila 60.437 71.947 98.102 151.363 4 Ikan Mas 199.632 219.385 192.461 216.924 5 Bandeng 222.317 227.854 241.438 254.067 6 Kakap 30.984 5.508 4.663 2.935 7 Patin 10.264 12.904 23.962 32.575 8 Lele 39.193 58.614 55.691 69.386 9 Gurame 16.438 22.666 25.948 25.442 10 Rumput Laut 223.080 233.156 397.964 866.383 Total 969.399 1.053.583 1.285.638 1.906.197

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi perikanan didominasi oleh rumput laut, bandeng, dan udang. Hasil produksi ikan patin masih jauh lebih rendah dari rumput laut, bandeng, udang maupun dari beberapa ikan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah bermaksud meningkatkan hasil produksi patin mulai dari tahun 2006 hingga 2009. Rencana pemerintah dalam peningkatan produksi patin ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rencana Pengembangan Patin 2006-2009

Parameter 2005 Tahun

2006 2007 2008 2009

Produksi (ton) 16.500 20.000 25.300 30.300

· Lokal 14.850 18.000 20.240 24.240

· Ekspor 1.650 2.000 5.060 6.060

Kebutuhan Benih (x1000 ekor) 55.000 66.670 84.300 101.000

Kebutuhan Induk (ekor) 5.500 6.670 8.430 10.100

Sumber: DKP (2005)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemerintah menginginkan agar produksi ikan patin terus meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat (lokal) maupun ekspor. Caranya tentu saja melalui peran akuakultur dalam meningkatkan jumlah produksi ikan. Peran akuakultur di sini termasuk usaha budidaya pembenihan. Hal itu dapat dilihat dari target kebutuhan benih dari tahun 2006 sampai 2009 yang semakin meningkat sejalan dengan target peningkatan produksi ikan patin.

Berdasarkan target pemerintah yang digambarkan dalam Tabel 2, pada kenyataannya menunjukkan kenaikan produksi patin sesuai dengan yang diharapkan. Kenaikan produksi bahkan jauh lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Produksi Ikan Patin 2005-2009 (Ton)

Jenis Ikan Tahun Kenaikan Rata-rata

(%) 2005 2006 2007 2008 2009*)

Patin - Catfish 32.575 31.489 36.755 102.021 132.600 55,23

* Data Sementara Sumber : DKP (2009)

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin secara nasional rata-rata menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil produksi memperlihatkan bahwa program revitalisasi pemerintah untuk meningkatkan produksi ikan patin tercapai. Tabel 4 menunjukkan kuantitas produksi tiap wilayah di Indonesia.

Tabel 4. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2005-2007 (Ton)

Wilayah 2005 2006 2007 Sumatera 20.224 16.992 15.990 Jawa 5.503 7.808 11.532 Bali-Nusa Tenggara 2 - 3 Kalimantan 6.840 6.687 9.231 Sulawesi 6 3 - Total 32.575 31.489 36.755 Sumber : DKP (2007)

Tabel 5. Hasil Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Jawa Tahun 2005- 2007 (Ton)

Wilayah Hasil Produksi

2005 2006 2007 Banten 242 252 271 DKI Jakarta 64 27 16 Jawa Barat 4.621 6.891 10.525 Jawa Tengah 99 98 168 D.I. Yogyakarta - - - Jawa Timur 477 540 552 Total 5.503 7.808 11.532 Sumber: DKP (2007)

Tabel 4 menunjukkan produksi terbesar dihasilkan di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan dan Jawa. Hasil produksi patin tiap wilayah rata-rata mengalami peningkatan. Khusus untuk pulau Jawa, data hasil produksi

diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin terbesar dihasilkan di Jawa Barat.

1.2. Perumusan Masalah

Program revitalisasi pemerintah dalam bidang perikanan yang menunjukkan peningkatan ternyata tidak menjamin ekspor patin meningkat. Indonesia memang mengembangkan ekspor ke negara-negara lain seperti Timur Tengah, tapi untuk ekspor ke Amerika dan Eropa lebih rendah dibandingkan Vietnam. Kebutuhan di dalam negeri juga belum dapat dipenuhi oleh sistem budidaya yang ada1.

Penyebab Indonesia kalah saing dengan Vietnam yaitu karena harga ikan patin di dalam negeri cukup tinggi misalnya tahun 2008 sekitar Rp 11.000/kg sedangkan dari Vietnam hanya Rp 9.000/kg. Mahalnya harga patin di Indonesia karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan karena harga pakan yang tinggi. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain2. Volume impor tepung ikan di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 6. 

Tabel 6. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Volume (Ton) 82.788 88.852 55.685 67.596 42.521 337.442

Nilai (US$) 54.953 76.527 49.923 42.401 24.732 248.536

Sumber : DKP (2009)

Tabel 6 menunjukkan bahwa volume impor terbesar terjadi pada tahun 2005 dan 2006. Mulai tahun 2007, Indonesia sudah mulai menurunkan impor tepung ikan. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70% dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal

       1

http://www.beritadaerah.com/ diakses tanggal 20 Juli 2010 

2  

telah mampu meningkatkan produksi dan kualitas tepung ikan yang dihasilkannya.

Indonesia juga kalah saing dengan Vietnam dalam hal kuantitas produksi patin. Tahun 2008 Vietnam mampu menghasilkan 1,2 juta ton ikan patin dan mengekspor 633.000 ton ke 107 negara di dunia3. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan hasil produksi patin Indonesia yang pada tahun 2008 hanya mencapai 102.021 ton.

Melihat dari kenyataan tersebut, pemerintah memiliki target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk perikanan untuk mewujudkan target tersebut4. Salah satu produk ikan yang diandalkan yaitu ikan patin. Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP Saut Parulian Hutagalung mengatakan, ikan patin merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah5.

Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan menekan ongkos produksi akibat mahalnya harga pakan. Pemerintah berencana membangun pabrik baru untuk memproduksi pakan ikan. Pakan itu berbahan baku maggot kelapa sawit, bukan tepung ikan yang saat ini digunakan. Pemerintah mengharapkan dengan melakukan substitusi bahan baku itu, harga pakan ikan dapat ditekan hingga 10-20% dari harga saat ini. Selain itu pemerintah akan

      

3 

http:// www.globefish.org/ diakses tanggal 3 Mei 2010  4

meningkatkan inovasi teknologi sektor perikanan, khususnya teknologi pengadaan bibit atau benih unggul dan teknik budidaya, guna mengejar target pertumbuhan produksi perikanan6.

Berkaitan dengan pengadaan benih, salah satu sentra produksi benih ikan patin yang potensial di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengusaha pembesaran ikan patin atau pengusaha ikan patin konsumsi yang berasal dari luar daerah yang membeli benih ikan patin dari Kabupaten Bogor karena kualitas benih yang relatif baik dibandingkan daerah lain seperti Sumatera7. Tingkat mortalitas benih patin dari Bogor juga relatif rendah, kurang dari 0,02%8. Hasil produksi benih patin Kabupaten Bogor ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil produksi benih di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Tabel 7. Hasil Produksi Benih Patin Kabupaten Bogor

Tahun Hasil produksi (ekor)

2006 37.394.810 2007 58.126.000 2008 79.893.000

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2010)

Salah satu daerah pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu Ciampea. Petani pembenihan di Ciampea salah satunya aitu Deddy Fish Farm (DFF). Selain pembenihan patin, DFF juga menekuni pembenihan ikan lainnya seperti ikan hias sebagai usaha sampingan. Usaha ini sudah berdiri sejak tahun 1999. Selama ini produk DFF sudah dipasarkan ke berbagai daerah baik Jawa maupun luar Jawa seperti Solo, Palembang, dan Banjarmasin. Berdasarkan rata- rata jumlah benih yang dihasilkan yang mencapai hampir 2 juta dan larva

       6

http://www.indonesia.go.id/ diakses tanggal 17 Juli 2010

7  

http:/www.trubus-online.com/ diakses tanggal 3 Juli 2010 

8 

mencapai 600.000 per tahun, DFF mengambil peran yang cukup besar dalam peningkatan produksi patin di Indonesia.

Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas serta berkembangnya isu-isu internasional akhir-akhir ini, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha akuakultur, termasuk DFF sendiri. Tantangan itu antara lain: (1) perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya syarat mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, dan (3) iklim usaha yang kurang kondusif terutama mengenai jaminan kepastian dan keamanan usaha. Beberapa permasalahan lain juga dihadapi oleh DFF seperti munculnya pesaing baru dan inflasi.

Awalnya daerah Bogor Barat merupakan sentra penampungan benih ikan patin, kemudian muncul calon sentra baru yaitu Parung yang mengakibatkan bertambahnya saingan bagi DFF. Produsen patin di Parung menggunakan tenaga kerja berpengalaman (dulunya petani ikan lele), sedangkan DFF menggunakan tenaga kerja belum berpengalaman. Dengan menggunakan tenaga kerja berpengalaman, produksi benih patin di Parung lebih efisien daripada DFF. Sebagai akibatnya, jika benih ikan dijual dengan harga yang sama, pengusaha ikan patin di Parung mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan DFF.

Salah satu strategi DFF untuk menghadapi persaingan ini yaitu dengan meningkatkan kualitas benih ikan yang dihasilkan. Hal itu dilakukan DFF dengan cara memproduksi ikan dengan warna yang lebih jernih sehingga tingkat mortalitas ikan lebih rendah dibandingkan dengan warna ikan yang kurang jernih. Daya tumbuh benih ikan yang diproduksi DFF mencapai 90%, sedangkan yang di Parung daya tumbuh benih ikan hanya 60-80% karena tingkat mortalitasnya

tinggi. Selain itu, DFF mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang seragam sedangkan petani di Parung masih menghasilkan benih dengan ukuran tidak seragam.

DFF mampu menghadapi persaingan dengan petani ikan di parung dengan keunggulan yang dimiliki. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, petani pembenihan patin di Parung semakin mampu menghasilkan benih patin dengan kualitas seperti benih patin hasil produksi DFF. Petani pembenihan di Parung mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang lebih seragam dan lebih besar dibandingkan dengan ukuran benih yang dihasilkan DFF. Akibatnya, DFF menghadapi persaingan yang semakin sulit.

Inflasi juga berpengaruh terhadap usaha DFF. Inflasi di Indonesia yang berfluktuasi mengakibatkan harga-harga input cenderung meningkat tiap tahunnya sedangkan harga jual benih ikan dari tahun ke tahun cenderung stabil bahkan saat- saat tertentu harga benih turun. Hal ini berdampak pada keuntungan riil yang diperoleh tidak sebesar keuntungan riil saat inflasi sedang rendah.

Kebijakan pemerintah di bidang pertanian khususnya perikanan yang diterapkan selama ini diharapkan bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha agribisnis perikanan terutama usaha pembenihan ikan patin. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tersebut seringkali mengakibatkan perbedaan harga input maupun output yang diterima produsen dan konsumen yang berdampak pada besar keuntungan yang diperoleh. Pemberlakuan PPN pada barang input misalnya, akan membuat harga barang menjadi semakin mahal. PP Nomor 7 tahun 2007, yang berisi mengenai penghapusan PPN pakan ternak termasuk pakan ikan

ternyata tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Pakan ikan masih dikenai PPN sehingga harganya tetap mahal.

Keuntungan yang diperoleh suatu usaha agribisnis akan menentukan apakah usaha tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang berdampak pada kelangsungan usaha. Banyak bidang usaha yang memiliki keunggulan kompetitif jika perhitungan biaya dan keuntungan didasarkan pada harga pasar. Akan tetapi jika perhitungan didasarkan pada harga sosial, maka belum tentu setiap perusahaan memiliki keunggulan komparatif. Misalnya, saat inflasi sedang cukup tinggi, apakah DFF masih memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif dibandingkan saat inflasi sedang rendah.

Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1) Bagaimanakah keunggulan komparatif dan kompetitif dari pengusahaan benih patin.

2) Bagaimanakah dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin Deddy Fish Farm.

2) Menganalisis dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1) Bagi para peneliti, diharapkan penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pertanian khususnya perikanan.

2) Bagi perusahaan yang bersangkutan (DFF), penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna dalam melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

3) Rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan studi lainnya yang berhubungan dengan perikanan, terutama perikanan budidaya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Deddy Fish Farm, sebuah perusahaan agribisnis yang bergerak di bidang pembenihan ikan patin yang berlokasi di Ciampea. Ciampea merupakan salah satu daerah yang banyak terdapat petani pembenihan ikan patin dan DFF merupakan salah satu perusahaan yang cukup baik dalam menghasilkan benih patin sehingga dapat mewakili perusahaan- perusahaan pembenihan patin lainnya di daerah Bogor. Komoditas yang diteliti yaitu benih ikan patin yang merupakan hasil produksi DFF. Kualitas benih patin yang dihasilkan oleh DFF termasuk baik, dilihat dari rendahnya tingkat mortalitas benih. Data yang dikumpulkan yaitu data dari tahun 2008-2009.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Ikan Patin

Gambaran umum berisi mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan ikan patin. Diantaranya klasifikasi ikan patin, jenis, ciri fisik, kandungan gizi, dan pemanfaatan. Selain itu juga terdapat penjelasan mengenai sentra perikanan, syarat lokasi dan pedoman budidaya, pakan, hama dan penyakit, serta pemasaran.

2.1.1. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Patin

Klasifikasi ikan patin yaitu sebagai berikut9: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Siluriformes Famili : Pangasiidae Genus : Pangasius Spesies : Pangasius sp.

Jenis ikan patin di Indonesia cukup banyak, diantaranya (Prahasta dan Masturi, 2008) :

1) Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius sp. Terdapat beberapa jenis ikan patin yang populer di Indonesia. Salah satu jenis populer yang berpeluang menjadi komoditas ekspor adalah patin djambal (Pangasius djambal).

2) Patin siam (Pangasius hypopthalmus atau Pangasius sutchi) yaitu patin bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand). Patin jenis ini banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena ukurannya yang relatif lebih

besar, relatif mudah untuk dibudidayakan, dan memiliki laju perumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan patin lokal.

3) Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu,

lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus (pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya hanya di Kalimantan Timur.

4) Patin bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan merupakan komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa negara Asia.

2.1.2. Ciri Fisik

Ciri morfologi ikan patin yaitu memiliki kepala yang melebar ke arah punggung. Mata berukuran sedang pada sisi kepala, lubang hidung relatif besar. Mulut relatif kecil dan melebar ke samping serta memiliki gigi yang tajam. Ikan patin berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuh bisa mencapai lebih dari satu meter. Kepala ikan patin relatif kecil, dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah (merupakan ciri khas golongan catfish) dan memiliki dua pasang kumis atau antena pendek yang berfungsi sebagai peraba (Prahasta dan Masturi, 2008).

2.1.3. Kandungan Gizi dan Pemanfaatan

Daging ikan patin memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (protein 65%, lemak 2%, dan kalori 48%). Rasa dagingnya khas, enak, lezat dan gurih. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya lebih rendah dibandingkan dengan daging ternak10. Produk olahan patin diantaranya nugget, empek-empek, dan kerupuk kulit ikan patin.

       10

2.1.4. Sentra Perikanan

Daerah yang merupakan sentra perikanan ikan patin di Indonesia meliputi Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Daerah Kalimantan yang menjadi sentra produksi patin yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Daerah Sumatera yang menjadi sentra produksi patin yaitu Riau, Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan, sedangkan di Jawa yaitu Jawa Barat11.

2.1.5. Persyaratan Lokasi

Budidaya pembesaran ikan patin dapat dilakukan dengan sistem kolam, sistem karamba/karamba jaring apung, dan sistem Fence. Jenis kolam yang biasa digunakan yaitu kolam irigasi, kolam tadah hujan, dan kolam rawa. Lokasi pemasangan karamba bisa di kolam, danau, waduk atau di pinggir sungai dengan kedalaman tertentu. Pembesaran dengan sistem Fence dilakukan di pinggir sungai atau rawa dengan membuat pagar-pagar keliling yang ditanam di dasar sungai atau rawa dengan kedalaman tertentu. Perbedaan cara budidaya ini terkait dengan skala usaha (Prahasta dan Masturi, 2008).

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika petani ingin melakukan pemeliharaan di kolam yaitu12:

1) Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan yaitu jenis tanah liat/lempung dan tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam.

2) Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi.

       11

3) Untuk pemeliharaan larva, kualitas air untuk pemeliharaan ikan patin harus bersih, tidak terlalu keruh, dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun maupun minyak/limbah pabrik. Suhu air yang baik pada saat penetasan telur menjadi larva di akuarium yaitu antara 260-280C. Pada daerah-daerah yang suhu airnya relatif rendah diperlukan heater (pemanas) untuk mencapai suhu optimal yang relatif stabil.

4) Keasaman air berkisar antara 6,5-7.

2.1.6. Pedoman Teknis Budidaya

Budidaya ikan patin meliputi beberapa kegiatan, secara garis besar dibagi menjadi dua kegiatan yaitu pembenihan dan pembesaran13. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Produk akhir dari kegiatan pembenihan berupa benih berukuran tertentu, yang umumnya merupakan benih selepas masa pendederan. Secara garis besar usaha pembenihan ikan patin meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) pemilihan calon induk siap pijah (2) persiapan hormon perangsang (3) kawin suntik (induced breeding) (4) pengurutan (striping) (5) penetasan telur (6) perawatan larva (7) pendederan dan (8) pemanenan. Sementara kegiatan pembesaran merupakan upaya membesarkan benih sampai dewasa untuk kemudian dijual.

2.1.7. Pakan Patin

Pakan merupakan kebutuhan primer untuk mempercepat pertumbuhan ikan. Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang lahap mengonsumsi pakan. Pakan ikan patin terdiri dari dua macam yaitu pakan alami dan pakan buatan (Prahasta dan Masturi, 2008).

       13

1) Pakan Alami

Pakan alami mengandung komposisi gizi yang baik diantaranya protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Pakan alami seperti infori, dapnia, dan artemia, dan cacing sutra (Tubifex) dibutuhkan dalam proses pembenihan karena pakan dapat bergerak aktif dan merangsang larva ikan untuk memakannya. Selain itu, ukurannya yang sangat kecil sesuai dengan ukuran mulut larva.

2) Pakan Buatan

Pakan buatan berbentuk pelet, bisa berupa pelet buatan pabrik maupun buatan sendiri yang dibuat dari campuran ikan asin, dedak, ampas tahu, dan lain- lain. Ada dua cara pembuatan pakan ramuan sendiri yaitu dengan direbus lebih dahulu dan tanpa direbus.

2.1.8. Hama dan Penyakit

Salah satu kendala yang sering dihadapi dalam dunia agribisnis perikanan adalah hama dan penyakit yang menyerang ikan. Hama dan penyakit tersebut bisa diatasi tapi tidak jarang pula yang menyebabkan kematian ikan secara massal. Berikut adalah beberapa hama dan penyakit yang sering terdapat pada ikan patin (Prahasta dan Masturi,2008):

1) Hama

Hama yang mengganggu diantaranya yaitu predator dan kompetitor. Pada pembesaran ikan patin di jaring apung, sistem sekat, dan karamba, hama yang mungkin menyerang antara lain lingsang, kura-kura, biawak, ular air, dan burung. Karamba yang ditanam di dasar perairan relatif aman dari serangan hama. Pada