• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Enam Dimensi Subyek IV

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 50-61)

4.1.4. Subjek III

4.1.5.3. Gambaran Enam Dimensi Subyek IV

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu merupakan kriteria dimensi penerimaan diri sebagaiman diungkapkan oleh Ryff (2013).

Melalui wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap subjek, terungkap bahwa Subjek IV dapat menerima pekerjaannya sebagai pekerja rumah tangga. Namun Subjek IV menyatakan bahwa kadang-kadang ia tidak menyukai diri dan hidupnya dan ingin menjadi orang lain. Dan apabila dibandingkan dengn orang lain disekitarnya, Subjek IV merasa bahwa dirinya belum lebih baik, karena ia belum dapat berbagi dengan orang lain.

“Yaaa, kadang kadang, engga, ga suka.. saya kepengen jadi orang lain kadang.. Yaa, ga sukanya, hidup, kenapa hidup begini gitu.” “Ga tau yah haha,, saya ga bisa menilai diri sendiri.. saya merasa belum baik, karena saya belum bisa ngasih orang lain apa apa gitu kan. Kalo orang udah baik itu kan udah bisa berbagi sama orang” Dari hasil wawancara juga, Subjek IV menunjukan bahwa ia mengenal dirinya dengan baik. Subjek IV mengatakan bahwa merupakan

tipe orang selalu mengalah dengan orang lain, mudah tersinggung dan mudah tergugah ketika melihat ada orang lain yang menderita.

“Saya ? gimana ya ? ngalah terus saya mah orang mah. Ya mendingan saya mah diem aja, mereka marah apa gimana, diem aja, ga mau saya ngoceh ngoceh..”

“Saya ? orangnya mudah tersinggung, kalo diomongin, kecilnya kurang kasih saying.. maksudnya, banyak adenya kana, jadinya saya ga pernah ngerasa punya kasih saya gitu kan, saya yang harus ngalah terus gitu”

“Yaaa saya merasa gampang tergugah kalo ngeliat orang menderita, itu aja, jadi lebih baik saya yang ga ada dariipada orang lain, saya orangnya gitu, kalo misalnya orang nih, tetangga ga makan, mendingan saya kasih gitu, daripada saya yang kenyang gitu kan, saya tetangga anaknya sama kecil2, mendingan saya bagi gitu, saya bagi dua.. biar saya ngalah.. ngalah lah ibaratnya”

Subjek IV menyatakan bahwa dirinya tidak lebih baik dari orang lain, ia hanya merasakan hal buruk yang ada pada dirinya yaitu suka menangis dan marah terhadap diri sendiri.

“Apa ya ? saya ga bisa merasa diri saya baik, bener dah.. Ada, ya itu, suka nangis, suka marah sama diri sendiri, marah sendiri, ga pernah dilampiasin ke orang, ga bisa”

Ketika peneliti bertanya mengenai kesedihan yang ia rasakan dan penyebabnya, Subjek IV tidak ragu untuk mengakui kesedihannya yang ia rasakan setiap hari. Hal ini dikarenakan ia selalu membandingkan kehidupannya dengan masa lalu yang lebih baik dari masa sekarang.

“Wah itu mah jangan diomongin, tiap hari itu mah.. Iya, kalo dulu saya masih bisa usaha usaha tuh lumayan, udah lumayan yah, punya usaha laundry, punya warteg yah, jadi udah kecukupan semua dari saya, gitu.. kalo sekarang, ya enak sih disini udah dijamin,, Cuma kadang kadang ya, kok saya ga bisa kaya dulu, ada tuna netra bisa ngasih gitu yah, ibaratnya bisa berbagi gitu lah, kalo sekarang, ya gitu ga bisa, ga kaya dulu,”

Walaupun Subjek IV seringkali meratapi hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidupnya, namun ia juga berusaha untuk melihat sisi positif dari segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia mengakui bahwa terdapat beberapa penyesalan pada masa lalunya, namun Subjek IV menerima hal tersebut sebagai resiko yang harus ia jalankan dan syukuri.

“saya kalo ga bisa berbagi tuh sedih gitu. Kenapa ya jadi begini gitu kan ? cuman orang hidupnya ga diatas terus, siklusnya ada, gitu.”

“iya udah lah saya cukup syukurin rejeki dari sini, gitu aja”

“Masa udah pilihan saya yang harus saya jalanin, udah gitu aja. Kan udah resiko kan”

Subjek IV merasakan bahwa pengalaman masa lalunya sangatlah berharga, karena dari masa lalu ia dapat belajar untuk lebih baik lagi dan menurutnya masa lalu telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat menjalani kehidupan.

“Masa lalu ya, gimana ya, hidup susah lebih baik, saya harus berjuang buat ade ade saya gitu kan, jadi ya banyak, banyak pengalam berharga, kalo ga gitu, mungkin saya ga bakalan kuat kaya sekarang kan, punya anak tiga pontang panting hidup di Jakarta, namanya jauh dari orang tua kan ya, apa apa urus sendiri.”

“ya gitu, masalah nikah, kenapa saya nikah muda, aturan kan saya waktu itu kan mau keluar negeri tapi sama orang tua ga boleh, kalo saya jalan aja mungkin ga bakalan kan saya nikah muda muda kan. Kaya ade saya sekarang kan enak, tapi gimana yah namanya udah nikah kan terus punya anak kan pasti bebannya banyak. Tapi ya kita mau ga mau, namanya kita udah dititipin sama Tuhan kan kita harus urusin, masa iya saya titipin sama orang tua yah, saya ga mungkin gitu, saya orangnya ga bisa mba, nyusahin orang tua, terus saya kerja disini misalnya, entar saya makan enak, saya ga ketelen. Gitu saya paling ga tega sama anak, jadi mending saya yang sengsara dari pada anak”

Dalam wawancara, Subjek IV menyatakan bahwa ia ingin menjadi seperti orang lain yang hidup sejahtera, dan dapat berbagi dengan orang lain yang merasakan kesulitan

“Iya, pengen, pengen saya kadang kadang, saya mau ikut audisi ini gitu, pengen jadi begini, pokoknya pengen deh. Yaaa idupnya kan pengen enak, pengen bisa berbagi sama orang lain, kecukupan, tapi gimana ya, caranya, gitu...”

b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain (Positive Relations With

Others)

Kriteria dimensi hubungan positif dengan orang lain meliputi kehangatan, kepuasan dan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukan empati, afeksi dan keintiman serta memahami konsep “memberi dan menerima” dalam hubungan dengan orang lain. (Ryff, 2013)

Selama kurang lebih 8 tahun bekerja, hubungan Subjek IV dengan keluarga majikan terjalin dengan sangat baik, bahkan ia mengakui bahwa ia sangat terbuka dalam menceritakan hal apapun yang terjadi dalam hidupnya kepada anggota keluarga majikan. Subjek IV mengatakan bahwa tidak ada masalah yang berarti selama ia bekerja disini, hal ini dikarenakan sikap majikan yang selalu percaya kepadanya dan tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang pernah ia lakukan. Subjek IV juga mengatakan bahwa ia sudah dianggap sebagai keluarga oleh majikannya, dan majikannya selalu membantu dan memberikan saran ketika ia menceritakan masalah yang sedang dihadapinya.

“Ibu, bapak, mereka tau semua tentang saya udah tau, jadi enak.. Mereka apa aja tentang urusan saya mau dengerin, jadi mau bantu gitu, misalnya saya kesusahan apa aja mau bantu, jadi saya betahnya disini begitu, orangnya enak, apalagi bapak ibu itu orangnya yaudah, ga usah dipikirin, kalo ada masalah yaudah ga usah nangis, jadi udah kaya keluarga sendiri gitu yah. Aku tuh mikir, mereka tuh siapa ya, orang kaya kok, maksudnya ke anak kita engga sungkan.”

“belum pernah, karena mereka kalo urusan kecil kecil, ah udahlah, ga usah dipermasalahin gitu kan, ga pernah ada ngotot ngotot, ini ga ada kemana misalnya. Ga pernah. Ya pokoknya bisa jadi contoh lah keluarga disini ya, enak gitu.”

Subjek III juga mengaku bahwa ia merasa senang dan nyaman dengan pekerjaannya saat ini.

“Ya pertama orangnya baik, ga cerewet, terus percaya ya.. pertama ya percaya orangnya, kalo ga percaya kan ya kitanya juga ga nyaman ya, misalnya ini diliatin, saya ga bisa digituin mba. Kalo orangnya percaya saya malah takut, jadi kita mau ngapa ngapain malah takut gitu loh. Ini kan dia percaya banget, saya dikasih kunci bawa pulang, kapan pun saya datang, saya bawa kunci gitu”

Dalam kehidupan rumah tangganya, Subjek IV merupakan sosok wanita yang penyayang dan dapat menjadi pendengar yang baik bagi suami dan anak-anaknya. Ia mengatakan bahwa suami dan anaknya sangat terbuka untuk menceritakan masalah dan hal menyenangkan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Subjek IV sendiri lebih sering sharing dengan anak sulung dan keluarga majikannya.

“Iya, cerita, tentang kerjaan, masalah apa aja dia cerita, jadi kita yang malah jadi tempat cerita, kita sendiri ga ada gitu, kadang saya mikir, kok kenapa saya yang harus dewasa yah, apa karena saya anak pertama ya, jadi saya hrus ngalah terus, tapi yaudahlah, takdir mungkin, mungkin saya begini karena saya mampu gitu, mampu mm apa yah, ngalah gitu, kalo ga ngalah gimana ? ribut terus. Satunya egois misalnya, rumah tangga kan ga gampang” “Iya, dia terbuka sama saya, tentang temannya di sekolah, tentang gurunya, tentang pelajaran, semuanya diceritain, ada cowo nih ma

rese bgt, misalnya BBM nya gitu, nih ma ada orang nih ma mau kenalan, boleh ga ? dia mah apa aja cerita sih.. diem sama orang lain, orangnya emang diem serius, tapi kalo sama saya dia terbuka. Jadi modelnya kaya bapaknya, diem aja gitu.”

“Suami saya orangya pendiem, jadi kalo punya masalah saya punya masalah jadi saya pendem sendiri, kalo ngomong malah masalah nantinya. Pernah saya ngomong cuma setelahnya diem, kita jadi kaya ngomong sama tembok gitu. Jadi saya mending ngomong sama anak gitu, kalo anak saya ngerti,”

Subjek IV merupakan pribadi yang ramah dan mudah bergaul dengan orang lain. Subjek IV mengatakan tidak pernah mengalami keulitan dalam membangun hubungan dengan orang baru, ia termasuk orang yang lebih suka memulai untuk menegur terlebih dahulu dan selalu menjadi dirinya sendiri. Hal ini terlihat saat awal pertemuan dengan peneliti, Subjek IV memberikan kesan terbuka dan ramah.

“Saya, kenal, kenal semua kayaknya ya dari daerah gang asem, meruya situ, pokoknya udah kenal, udah lama disini. Yaaa, saya begini aja, apa adanya, begini orangnya. Tapi biasanya saya lebih suka negor duluan sih.”

Subjek IV mengatakan bahwa ia adalah orang yang mudah berempati dengan kehidupan orang lain.

“Yaaa saya merasa gampang tergugah kalo ngeliat orang menderita, itu aja, jadi lebih baik saya yang ga ada daripada orang lain, saya orangnya gitu, kalo misalnya orang nih, tetangga ga makan, mendingan saya kasih gitu, daripada saya yang kenyang gitu kan, saya tetangga anaknya sama kecil2, mendingan saya bagi gitu, saya bagi dua..”

c. Kemandirian (Autonomy)

Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang baik ditunjukan sebagai pribadi yang mandiri, mampu bertahan terhadap tekanan sosial

meregulasi tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi (Ryff, 2013).

Subjek IV merupakan seorang wanita yang cukup mandiri dari sisi finansial, ia telah bekerja untuk membantu ekonomi keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya sejak usia 14 tahun.

Dalam wawancara Subjek IV mengatakan bahwa dalam mengambil keputusan untuk masalah yang serius, ia selalu berdiskusi terlebih dahulu dan meminta saran dari orang-orang yang lebih mengerti, sedangkan untuk hal yang sepele, ia mencoba untuk mengatasi masalahnya dan mengambil keputusannya sendiri.

“Diliat dulu masalahnya, kalo masalah sepele ya iniin sendiri, kalo masalah serius, ya saya nanya dulu sama yang ngerti, kaya ibu sama bapak kan lebih ngerti gitu, saya tanya. Soalnya kan mereka kan berpendidikan, jadi kan beda sama saya, takutnya nanti salah kan, kalo saya kan orang awam”

“lebih banyak cerita disini, sama bapak sama ibu. Jadi bisa pecahin, paling ibu sama bapak, ngasih saran sama anak.”

Subjek IV merupakan pribadi yang mampu menolak tekanan sosial dalam berperilaku dan bertindak, ia juga merupakan orang yang teguh dalam pendiriannya. Dalam wawancara, Subjek IV mengatakan dalam hal hal tertentu, ia memiliki pendapatnya sendiri, namun ia tidak menolak pendapat atau saran dari orang lain.

“Engga, punya pendapat sendiri.. dengerin aja dulu, nanti dipikirin di rumah, mana yang baiknya gitu kan, disaring dulu, ini bener ga sih gitu kan”

Dalam wawancara, terungkap bahwa Subjek IV mampu meregulasi perilaku dan mengevaluasinya bedasarkan tuntutan dalam dirinya. Ia mengatakan bahwa ia selalu menjadi dirinya sendiri dan pendiam.

“Engga lah, saya mah jadi diri sendiri aja.. Saya lebih banyak diem, dia ngomong begitu, dia ngomong begini, nanti saya buktiinnya lain gitu, mendingan saya diem gitu”

d. Penguasaan Terhadap Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki penguasaan dan kemampuan untuk mengatur lingkungan, mengontrol susunan yang kompleks dari aktifitas eksternal, menggunakan kesempatan yang tersedia secara efektif, serta mampu memilih dan menciptakaan keadaaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai diri. (Ryff, 2013)

Dalam kesehariannya, Subjek IV menyatakan bahwa dirinya terbiasa melakukan aktifitasnya yang statis tanpa harus membuat jadwal-jadwal tertentu, walaupun begitu Subjek IV mengatakan ia dapat menyesuaikan diri dengan baik ketika ada hal mendadak atau spontan.

“Engga ada sih.. Ngalir aja gitu, pokoknya kita subuh bangun, masak ngurusin anak, gitu aja, udah tiap hari gitu aja udah biasa, terus anak pulang saya berangkat kesini, udah gitu aja”

Dalam lingkungan tempat kerja, Subjek IV selalu dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ia mengatakan bahwa majikannya tidak pernah mempermasalahkan apabila ia melakukan

kesalahan kecil, hal ini lah yang membuat dirinya merasa nyaman bekerja dengan majikannya saat ini.

“Ya pertama orangnya baik, ga cerewet, terus percaya ya.. pertama ya percaya orangnya, kalo ga percaya kan ya kitanya juga ga nyaman ya”

Dalam kehidupan sehari-hari, Subjek IV mengatakan tidak kesulitan dalam mengatur keuangannya dan ia selalu memprioritaskan keuangannya untuk kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak.

“Kalo kesulitan sih engga ya.. Yang diutamain, anak, anak aja udah, kebutuhan anak aja udah, buat tumpuan masa depan nanti” Subjek IV juga mengatakan bahwa ia belum puas dengan keadaannya sekarang, hal ini dikarenakan kehidupannya pernah lebih baik dari ini sebelumnya. Namun, ia selalu bersyukur dan berusaha untuk puas dengan apa yang telah ia dapatkan saat ini, ia juga mampu menciptakan lingkungan kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya.

“Kalo sekarang saya syukurin aja, saya jalanin aja, apa yang ada, namanya manusia kan ga ada puasnya. Mungkin nanti anak udah gede gede saya bisa buka usaha gitu kan, kalo sekarang mau ditinggal masih bayi, susah”

“Sebenernya sih saya kalo kerja nyaman nyaman aja ya, yang penting, ngejalaninnya kan, mau dagang oke, mau apa aja saya mah happy aja orangnya”

Dalam wawancara, Subjek IV menyatakan ketika ia merasa stress, marah, sedih dan hal lainnya yang membuat keadaannya tidak seperti keinginannya, ia berusaha menyalurkannya dengan berkaroke di rumahnya.

“Paling karokean, kalo lagi setres saya karokean, saya suka, maksudnya saya marahnya sedihnya, diinin aja ke nyanyi, karena saya suka nyanyi”

e. Tujuan Hidup (Purpose In Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dana percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam hidup dan mampu mengarahkannya, merasakan arti hidup, serta memegang kepercayaan bahwa hidup memiliki maksud dan keobjektifan dalam hidup. (Ryff, 2013)

Dalam menjalankan kehidupannya, Subjek IV berpegang dengan prinsip bahwa masa depan harus lebih baik dari saat ini. Ia juga mengatakan keinginannya sejak dulu adalah supaya dapat hidup sejahtera dan berbagi dengan orang yang membutuhkan.

Dalam wawancara, Subjek IV menyampaikan keinginan yang ingin ia capai yaitu ia ingin memiliki usaha sendiri seperti sebelumnya dan menginginkan supaya anaknya dapat sekolah setinggi-tingginya supaya kelak anaknya dapat menaikan taraf hidup keluarga. Saat ini, subjek IV merasa bahwa hidupnya berarti bagi anak-anak dan orang lain disekitarnya.

“saya pengen punya usaha lagi, belum tercapai, gitu aja, tapi walaupun punya usaha mungkin disini ga bakalan saya tinggalin” “sekarang anak saya yang saya iniin terus, jangan sampe kaya mama, kamu harus sekolah. Biarin mama jadi pembantu gapapa, nanti kamu biar bisa SMA, bisa kuliah, kerja dikantor deh ibaratnya.”

“Mungkin saya berarti buat anak anak dan orang disekitar saya, kalo ga ada saya, anak anak gimana ?”

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi ini didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki keinginan untuk melanjutkan perkembangan diri, melihat diri terus berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat perkembangan diri dan perilaku serta dapat berubah untuk dapat merefleksikan lebih banyak pemahaman diri dan keefektivitasan. (Ryff, 2013)

Dari hasil wawancara, Subjek IV menjabarkan mengenai perubahan dalam kehidupannya yang semakin lebih baik.

“Ya dulu ibaratnya waktu pertama kali ngontrak, sepeda aja ga ada ya tapi sekarang mah alhamdulillah ya, sekarang mah mau motor gede ada, ya bukan sayanya nyombong ya, tapi maksudnya keinginan udah tercapai yah, pengen apa bisa, tapi yang belum itu rumah, rumah sendiri di Jakarta gitu kan.”

Subjek IV mengungkapkan bahwa ia memiliki banyak ketertarikan, rasa ingin tau dan selalu ingin mencoba hal baru.

“Apalagi ya yang saya pengen, saya orangnya kepengen tau sih, ya ngeliat apa aja saya kepenegen, pengen bisa. Kaya contohnya nyetir gitu, saya pengen bisa bawa angkot, narik angkot, bener deh, busway gitu, saya tertantang gitu orangnya”

Dalam wawancara, terungkap bahwa subjek IV cukup mampu melihat potensi dan peluang yang ada di dalam dan di luar dirinya, terlihat dari banyak hal yang telah ia lakukan untuk mencapai apa yang ia inginkan. Subjek IV mengatakan untuk meraih apa yang ia inginkan, ia

telah melakukan banyak hal mulai dari bekerja sebagai pekerja rumah tangga, berjualan, membuka jasa laundry, dan hal lain yang dapat ia lakukan.

“Jualan, warteg, laundry, usaha sendiri aja.. Saya mah udah jualan nasi uduk, jual kreditan, jual bedak, apa aja saya jual, pontang panting dari dulu”

“sempet kerja ya, tapi engga setiap hari kerja, paling kalo puasa gitu, imsal gitu, ga setiap hari begini, kerja disini kan baru kenal ibu baru kerja disini, dulu dulu mah engga,”

Subjek IV menyatakan bahwa ia memiliki peluang untuk menjadikan masa depannya lebih baik dari saat ini, namun untuk saat ini dia cukup bersyukur atas apa yang sudah ia dapatkan.

“Untuk kedepannya ? saya yakin bisa, saya pupuk dari sekarang anak saya supaya bisa bantu saya kedepannya.. Mungkin kalo anak saya udah gede mah mungkin bisa aja, jadi saya bisa mulai usaha, sekarang saya sadarin dan syukurin dulu aja deh”

4.1.6. Subjek V

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 50-61)

Dokumen terkait