4.1.4. Subjek III
4.1.7.2. Gambaran Enam Dimensi Subyek VI
a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu merupakan kriteria dimensi penerimaan diri sebagaiman diungkapkan oleh Ryff (2013).
Melalui wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap subjek, terungkap bahwa Subjek VI menerima dirinya sebagai pekerja rumah tangga, hal ini terlihat dari pernyataannya yang mengatakan bahwa pergi ke Jakarta untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga merupakan keinginannya sendiri.
“Aku sekarang ke Jakarta, itu aku yang pengen, kan teman teman pada ke Jakarta, kalo pulang dari Jakarta kok jadi gitu, jadi kepengen lah kerja di Jakarta”
Subjek VI mengakui dan menerima segala hal baik hal baik dan buruk yang ada di dalam dirinya, dan ia suka dan bangga dengan dirinya.
“Ya suka sih, bangga aku”
“Yaaa, apa ya, aku tuh jadi orang baik, suka jadi orang baik, terus ada rasa kasihan sama orang lain, peduli sama orang lain,mm udah deh.. terus saya juga saya suka marah, suka emosi”
Subjek VI megatakan bahwa jika dibandingkan dengan teman-temannya, Subjek VI merasa dirinya lebih baik. Walaupun kehidupannya sederhana, subjek VI dapat mengambil hal positif dalam diri dan kehidupannya.
“Dibandingin sama teman teman aku sih, aku ngerasanya lebih baik, soalnya mereka begitulah”
“Aku jadi cewe kalo ngomong selalu dijaga mba, kalo teman aku ngomongnya ga dijaga, terus aku ada rasa kasihan tapi teman aku jojong lah ga ada rasa kasihan mba”
Subjek VI dapat melihat sisi positif dari segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya, ia mengakui bahwa terdapat beberapa penyesalan pada masa lalunya, seperti ketika ia tidak meneruskan pendidikannya ke jenjang sekolah menengah atas tidak tercapai. Pada awalnya Subjek VI merasa sangat kecewa, dan kesal, namun Subjek VI berusaha menerima dan mencari sisi positifnya.
“Yaa, nyeselnya, kenapa kok ga nerusin SMA gitu ka,”
Dalam wawancara, Subjek VI menyatakan bahwa ia tidak pernah iri ataupun ingin menjadi seperti orang lain, karena ia selalu mengingat
“Engga sih ka, ga ada rasa iri, menerima apa adanya”
“Ya kalo orang tua sih kepinginnya aku jadi orang tuh gimana ya, yang ga usah ada rasa iri sama temannya, yang misalnya temannya begini begini, ga usah iri. Ga boleh jadi anak suka iri” Subjek VI juga mengakui bahwa dirinya kerapkali merasa sedih karena harus tinggal jauh dari orang tua
“Ya ada sih, yang bikin sedihnya kaya gini lah, jauh dari orang tua”
b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain (Positive Relations With
Others)
Kriteria dimensi hubungan positif dengan orang lain meliputi kehangatan, kepuasan dan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukan empati, afeksi dan keintiman serta memahami konsep “memberi dan menerima” dalam hubungan dengan orang lain. (Ryff, 2013)
Selama 2 bulan bekerja, hubungan subjek VI dengan keluarga majikan terjalin dengan baik, belum pernah ada masalah. Subjek VI mengatakan bahwa ia sangat dekat dan sering mengobrol dengan nenek di rumah tersebut, walaupun ia jarang mengobrol dengan anggota keluarga lainnya dikarenakan kesibukan mereka. Subjek VI juga mengatakan bahwa setelah satu tahun bekerja, majikannya bersedia dan menjanjikan kepadanya untuk membiayainya kursus menjahit supaya kelak ia dapat mengerjakan hal lain selain menjadi pekerja rumah tangga.
“Iya ada 5 orang disini ada ibu, bapak, maminya sama anak.. Sering ngobrolnya sama neneknya sih.. Ya, ngobrolin aku jadi apa ya, jadi anak jangan buru buru nikah dulu, ga boleh buru buru nikah, pokoknya suruh itu lah, suruh kursus jait dulu katanya”
“Ga terlalu deket banget sih ka, mereka kan keluar terus tiap hari.. kalo sama nenek, kalo ga ada siapa siapa pasti ngobrol ka, Cuma sekarang kan lagi pada belanja semua, nenek juga ikut”
“Yaah, kalo kata ibu sini sih, entar kalo udah setahun disini, entar satu tahun selanjutnya mau disuruh kursus ngejait”
“Paling Cuma ngomong, entar kalo tahun depan D masih disini, entar ibu kursusin jait biar kamu punya kemampuan lah”
Subjek VI menyatakan bahwa ia nyaman dan senang bekerja di tempat majikannya yang sekarang.
“Ya seneng, disini tuh agamanya dididik bgt, kalo waktu nya solat disuruh solat, ga boleh kerja dulu, makannya juga teratur, kalo pagi suruh makan dulu, ga boleh kerja”
Di lingkungan sekitarnya, Subjek VI mengaku bahwa ia memiliki satu teman yang sangat dekat yang biasa menjadi tempat untuk menceritakan masalah yang dihadapinya, begitu pula temannya tersebut juga biasa bercerita kepadanya. Namun sayangnya saat ini teman baiknya tersebut telah kembali ke daerah asalnya di Lampung untuk menikah.
“Kalo ada teman deket sih cerita ka, kemarin ada teman deket, cuman udah pulang ke Lampung, dia tinggalnya di Lampung selatan, kerja baru pertama dia umur 15, baru pertama ini dia ga betah, pulang, bulan depan mau nikah juga”
Sedangkan dengan orang lain disekitar rumah tempatnya bekerja, ia mengatakan hanya sekedar mengenal sebagai teman biasa dan ia mengakui bahwa dirinya memang jarang main dengan orang di sekitarnya, baru beberapa hari belakangan ini ia main bersama.
“Punya tapi ga terlalu deket, paling Cuma teman biasa aja.. Ya waktu itu sih ga sering campur ka, campur aja baru beberapa hari ini, emang jarang main.”
Ketika bertemu dengan orang baru, Subjek VI tidak menunggu orang lain untuk menegurnya, melainkan ia akan membuka obrolan
dengan orang tersebut. Subjek VI juga mengatakan bahwa ia tidak pernah memiliki masalah dalam membangun hubungan dengan orang baru.
“Kalo ada mba yang baru, kaya gitu pasti tak tanyain mba, dari mana, namanya siapa, biar kenal lah, biar ada teman”
“Engga ada sih ka, kalo aku mah ga ada kesulitan kalo buat temen baru”
Subjek VI termasuk orang yang tidak mudah untuk terbuka, terlebih jika itu mengenai hal pribadinya. Ia mengatakan bahwa ia akan lebih terbuka dan percaya dengan dengan teman dekatnya.
“Engga sih, cuman paling cerita sama teman deket yang mau dicurhatin, ya itu sama temannya, tapi sekarang temannya udah pulang, ya kita diem sendiri ga ada yang diajak curhat”
Dalam keluarganya, subjek VI mengatakan bahwa ia adalah anak bungsu dan kakak-kakaknya sudah menikah. Jadi sebelum ia memutuskan untuk bekerja di Jakarta, ia tinggal hanya dengan orang tuanya. Sebagai anak bungsu, Subjek VI mengakui bahwa ia sangat dekat dengan ibunya, ia selalu menceritakan hal apapun kepada ibunya. Ia juga mengatakan bahwa ia jarang dimarahi oleh orang tuanya.
“sama mamaku.. Kalo curhat-curhat gitu mah gimana ya, sering sih, tapi kan curhatnya, sekarang kan udah ga sekolah nih ka, jadi ngomonginnya sering masalah cowo aku, atau juga masalah-masalah lain, apapun, seringnya ya masalah-masalah cowo lah haha” “Ya kan aku kan bungsu ya, jadi ga pernah marah marah yang gimana gitu ga pernah, cuman yang misalnya aku salah apa diomongin biar bener lah, biar ga salah”
Subjek VI mengatakan bahwa ia adalah orang yang mudah berempati dengan kehidupan orang lain.
“Kalo menurut aku sih gimana ya, aku sih orangnya baik ya ka, baik, selalu ada rasa kasihan kalo liat orangnya gimana gitu.”
“Misalnya dijalan liat orang minta minta atau liat orang yang kehidupannya kurang, apa ya misalnya mereka makannya kurang, aku kasihan, padahal aku juga kan jadi anak kekurangan ya, tapi aku juga ada rasa kasihan ke mereka”
c. Kemandirian (Autonomy)
Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang baik ditunjukan sebagai pribadi yang mandiri, mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara cara tertentu, mampu meregulasi tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi (Ryff, 2013).
Subjek VI merupakan pribadi yang cukup mandiri dan dapat beradaptasi dengan baik, terlihat dari usianya yang masih 16 tahun, ia sudah membantu ekonomi keluarganya dan ia jgua dapat mengatur kegiatannya sehari-hari dengan baik tanpa harus diberi perintah oleh majikannya.
“Tadinya sih waktu pertama masuk sini, diomongin sama ibu, kalo pagi kerja ini ini, kalo siang masak, tapi kan sekarang udah biasa, jadi udah tau”
Subjek VI mengatakan bahwa dalam mengambil keputusan, selama itu masih dalam kapasitasnya, ia akan mempertimbangkannya sendiri, seperti keputusannya untuk bekerja di Jakarta. Namun jika membutuhkan saran orang lain, biasanya ia berdiskusi dengan orang tuanya terutama ibunya.
“Biasanya itu mah emang aku sendiri yang pengen, kaya aku sekarang ke Jakarta, itu aku yang pengen, kan teman teman pada ke Jakarta, kalo pulang dari Jakarta kok jadi gitu, jadi kepengen lah kerja di Jakarta”
“Kalo teman teman aku pulang tuh gimana ya, badannya bersih, keliatan cantik kaya gitu pokoknya ka. Jadi terawatt banget, penampilannya berubah, sedangkan yang disini biasa biasa aja, jadi kepengen lah kaya gitu”
Dan ketika menghadapi perbedaan pendapat, subjek VI mampu menolak tekanan sosial dalam berperilaku dan bertindak mengatakan akan tetap teguh pada pendiriannya dan tidak pernah menyesal atas pendiriannya itu.
“Kalo aku sih kaya gimana ya, ga suka ikutin pendapat teman aku sih ka, soalnya teman teman aku ya gimana gitu anaknya tuh. Jadi aku tetap sama pendapat sendiri aja”
Dalam wawancara, terungkap bahwa Subjek VI mampu meregulasi perilaku dan mengevaluasinya bedasarkan tuntutan dalam dirinya. Seperti saat peneliti bertanya ketika ada orang lain yang mengatakan bahwa pendapatnya salah, ia mengatakan akan mengikuti mana yang menurutnya benar. Subjek VI juga dapat menerima kritik dari orang sekitarnya dan selalu berusaha memperbaiki dirinya agar menjadi pribadi yang lebih baik.
“Kalo kaya gitu mah biarin aja lah, ga usah dengerin apa kata teman, ya soalnya apa kata teman aku belum tentu bener juga ka” “Ya iya sih, kadang ada teman yang bilang ih kamu kok jadi cewe jangan marahan bisa ga sih, masa dikit dikit marahan, terus lama kelamaan gimana caranya aku bikin, biar aku jadi cewe ga selalu marah”
d. Penguasaan Terhadap Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki penguasaan dan kemampuan untuk mengatur lingkungan,
mengontrol susunan yang kompleks dari aktifitas eksternal, menggunakan kesempatan yang tersedia secara efektif, serta mampu memilih dan menciptakaan keadaaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai diri. (Ryff, 2013)
Dalam lingkungan tempat kerja, Subjek VI mengikuti perintah perintah dan aturan yang dibuat oleh majikan dengan kesadarannya sendiri. Walaupun Subjek VI tidak membuat perencnaan atau jadwal-jadwal tertentu dalam kesehariannya, namun ia dapat mengatur kesehariannya supaya tugas-tugasnya tidak terbengkalai, walaupun ia mengakui bahwa ia sedikit keteteran untuk menyelesaikan tugas menyetrika dan solusinya atas permasalahan itu adalah Subjek VI mengutamakan untuk menyetrika pakaian yang akan digunakan dalam waktu dekat.
“Ga ada sih ka, jalan aja, yang penting bangun tidur kan subuh tuh, jadi solat dulu gitu.. Ya kaya gitu, paling nyetrika yang susah, suka ga selesai, jadi paling ditunda besok, tapi selama ini ga masalah sih, yang penting baju sekolah kan dipake sehari hari, jadi itu lah di setrika dulu”
Ketika peneliti bertanya mengenai pendapat tentang kegiatannya sehari-hari, ia mengatakan bahwa kegiatannya penting untuk dijalankan karena kalau ia tidak bekerja, maka keadaan rumah majikannya saat ini akan berantakan dan dengan pekerjaannya saat ini, ia akan terbiasa ketika sudah berkeluarga nanti.
“Yang lakukan disini ? ya penting sih ka, disini kan kerjanya beres beres, kalo misalnya ga kerja kaya gini, kalo dirumah kan kita belum tentu beres beres atau kerja tiap hari, jadi nanti kalo
misalnya kita udah punya keluarga kan, kita bakal udah biasa ka, bisa ngurus keluarga kita”
Subjek VI juga dengan ragu-ragu mengakui bahwa ia sudah cukup puas dengan kehidupannya sekarang, namun ia menjawab dengan pasti bahwa pengahasilannya sudah cukup untuk menunjang kehidupannya, bahkan ia mengatakan bahwa ia dapat membawa uang dengan jumlah cukup besar saat pulang kampung untuk diberikan kepada orang tuanya.
“mungkin sih udah puas ka”
“udah.. Kalo aku kan gajinya 1,2 juta mba, jadi 1 bulannya Cuma dikasih 200 ribu, jadi yang 1 juta ditabung sama ibu. 200 ribu itu sih cuman buat beli sampo, lotion apa beli apa gitu, ya cukup sih itu. Kadang sih sebelum gajian lagi udah abis ka, tapi kan yang penting kebutuhan bulanan udah sedia semua buat 1 bulan”
e. Tujuan Hidup (Purpose In Life)
Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dana percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam hidup dan mampu mengarahkannya, merasakan arti hidup, serta memegang kepercayaan bahwa hidup memiliki maksud dan keobjektifan dalam hidup. (Ryff, 2013)
Dalam menjalankan kehidupannya, Subjek VI mengatakan bahwa ia tidak memiliki cita-cita ataupun target, karena ia pesimis bahwa apa yang ia inginkan akan dapat tercapai. Namun subjek VI mengatakan bahwa keinginannya saat ini adalah ia ingin menjadi orang sukses dan ketika ia menginginkan sesuatu ia akan mengusahakan agar keinginannya itu tercapai.
“Engga ada sih ka, soalnya gimana ya, ga ada, kan gimana sih ga tentu kesampean kan ka, kepengen sih jadi orang yang sukses lah” “Gimana sih ka, kalo misalnya aku pengen sesuatu ya, aku perjuangin harus bisa milikin itu, misalnya aku kepengen beli HP yang kaya teman teman kaya gini yang model sekarang, ya aku berusaha buat beli hp kaya gitu.. Alhamdulillah, semua bisa kesampean semua. Paling waktu itu lulus SMA kepengen nerusin SMA, ya gitu tapi gagal”
Melalui wawancara yang dilakukan, peneliti bertanya mengenai pendapat Subjek VI tentang masa depan. Menurut Subjek VI, masa depan lebih penting daripada masa sekarang, namun Subjek VI tidak dapat mendeskripsikan alasan atas pendapatnya tersebut dan ia juga menyatakan kebingungannya tentang masa depan seperti apa yang ia inginkan.
Subjek VI juga mengatakan bahwa pengalaman masa lalunya yang berharga dan selalu ia ingat adalah saat masa sekolah. Dan saat ini, Subjek VI merasa bahwa hidupnya berarti, untuk ayah dan ibunya.
f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dimensi ini didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki keinginan untuk melanjutkan perkembangan diri, melihat diri terus berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat perkembangan diri dan perilaku serta dapat berubah untuk dapat merefleksikan lebih banyak pemahaman diri dan keefektivitasan. (Ryff, 2013)
Subjek VI menjabarkan bahwa ia merasakan adanya perubahan dalam kehidupannya menjadi lebih baik sekarang ini karena saat ini ia telah mempu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung dengan orang tuanya.
“Mungkin yang sekarang lah, sekarang apa apa bisa cari sendiri, kalo dulu kan minta sama orang tua”
Subjek VI juga mengatakan bahwa ia menyukai kegiatan berolahraga, seperti voli, dan ia selalu ingin mempelajari olahraga apapun. Namun saat ini ia tidak memiliki waktu untuk menyalurkan hobinya tersebut. Ketika peneliti bertanya mengenai minat Subjek VI untuk beralih pekerjaan yang lebih baik, terlihat bahwa Subjek VI tidak berpikir untuk beralih dengan pekerjaan selain pekerja rumah tangga, terlihat dari jawabannya ia hanya berkata ingin menjadi pengasuh bayi dan ia menyatakan ketidakinginannya untuk pindah dari tempat bekerjanya saat ini. Selain itu, Subjek VI juga mengatakan akan senang ketika nanti ia sudah memiliki kemampuan menjahit, karena ia akan memiliki pekerjaan saat di rumah.
“Kalo kaya gitu sih mungkin kepikirannya sih paling gimana ya, pas lebaran kan pulang ya, nah aku pas mau balik kerja lagi kepikiran, ah aku mau kerja momong, mau kerjaan yang lain, pengen rasain ke tempat yang lain.. Pernah sih tadinya kan kerja di Bintaro, terus coba cari kerja yang lain, terus kesini, tapi sekarang mah kayaknya engga ada rasa pengen pindah lagi, udah disini aja gitu ka, udah nyaman disini”
“Ya kan sama neneknya sih selalu dinasehati suruh belajar jait, jadi kalo dirumah bisa jait aja, jadi perasaan aku ya jadi apa ya, jadi kepengen, jadi cewe bisa jahit, jadi kalo di rumah kana da kerjaan mba, engga pengangguran”
Ketika peneliti bertanya mengenai peluang untuk menjadikan kehidupan lebih maju dari saat ini, subjek VI menjawab bahwa dirinya akan bisa lebih maju dan lebih baik, namun Subjek VI tidak mampu menjelaskan lebih maju dan lebih baik yang seperti apa