• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Pada bab ini peneliti akan mengemukakan hasil penelitian dan pembahasan yang berisi analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Analisis data kualitatif terdiri atas gambaran subjek penelitian, analisis hasil wawancara dengan subjek, analisis intra kasus dan analisis interkasus. Dan analisis data kuantitatif terdiri atas deskripsi subjek penelitian, hasil uji alat ukur, data hasil penelitian, dan uji normalitas.

4.1. Analisis Data Kualitatif

4.1.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek untuk data kualitatif terdiri atas enam orang subjek. Para subjek cukup terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dan sangat kooperatif. Keenam orang subyek diperoleh peneliti melalui beberapa perumahan yang ada di Jakarta, dan telah mendapat izin dari pihak-pihak yang berkaitan seperti pihak manajemen perumahan, ketua RT, majikan, serta dengan persetujuan subjek. Masing-masing subjek mewakili klasifikasi pekerja rumah tangga yang telah peneliti jabarkan pada bab II, yaitu menurut pekerjaan yang dilakukan, waktu kerja, status asal pekerjaan, dan pengalaman bekerja. Subjek juga mewakili klasifikasi dari faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu usia, jenis kelamin dan status sosial ekonomi. Seluruh dari subjek penelitian ini termasuk kedalam status sosial ekonomi yang rendah, dapat dilihat

(2)

dari pekerjaan dan pendapatan subjek yang cenderung rendah, sedangkan dilihat dari sisi pendidikan terakhir subjek tersebar dari jenjang pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

Subyek I Subyek II Subjek III Subjek IV Subjek V Subjek VI

Nama Inisial R S ZA Kh M D

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Laki – Laki Perempuan Laki – Laki Perempuan

Usia 40 tahun 35 tahun 21 tahun 33 tahun 56 tahun 16 tahun

Agama Islam Islam Islam Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Betawi Sumatera Jawa Sunda Lampung

Pendidikan SD SD SMA SMP SD SMP

Status

Pernikahan

Menikah Menikah Belum

Menikah

Menikah Menikah Belum

Menikah Jumlah Anak 1 3 - 3 4 - Pekerjaan PRT PRT PRT PRT PRT PRT Status Asal Pekerjaan Bukan Penyalur Bukan Penyalur Bukan Penyalur Bukan Penyalur Bukan Penyalur Penyalur Status Pekerjaan

Full Time Part Time Full Time Part Time Full Time Full Time

Lama Bekerja 15 tahun 10 bulan 8 bulan 12 tahun 30 tahun 1 tahun

4.1.2. Subjek I

4.1.2.1. Hasil Observasi Subjek I

Penelitian ini dilakukan di beberapa perumahan di daerah Jakarta. Wawancara pada Subjek I dilakukan di rumah majikan pada salah satu perumahan di daerah Jelambar. Menurut hasil pengamatan peneliti, Subjek I memiliki tinggi sekitar 150 cm, bertubuh kurus dan warna kulit sawo

(3)

matang. Selain itu Subjek I memakai baju sehari hari yaitu kaos berwarna coklat dan celana hitam pendek selutut.

Dalam proses wawancara, Subjek I beberapa kali mencari barang disekitarnya yang bisa ia pegang dan mainkan. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaannya, Subjek I terlihat terbuka meskipun beberapa kali melihat kearah lain, memainkan barang disekitarnya dan meminta pendapat kepada anak majikan yang pada saat itu ada didekatnya namun Subjek I tetap fokus dalam menjawab setiap pertanyaan dari peneliti. Selama wawancara berlangsung, terlihat bahwa Subjek I tidak merasa terbebani dalam menjawab, hal tersebut dapat dilihat dari wajah Subjek I yang tersenyum ketika menceritakan pengalaman Subjek I sendiri dan tertawa ketika ia menceritakan masa lalunya yang menyenangkan dan memperlihatkan raut wajah sedih ketika ia mengingat pengalaman tidak menyenangkan yang telah terjadi dalam hidupnya.

Peneliti melakukan wawancara pada hari rabu, 3 Juni 2015 pukul 14.00 WIB selama kurang lebih 1 jam. Pada awalnya R sempat ragu ragu dalam menjawab dan terlihat takut salah dalam menjawab terutama ketika peneliti bertanya mengenai identitasnya, namun setelah mendengarkan penjelasan dari peneliti untuk kedua kalinya bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam wawancara ini, dan peneliti mengharapkan jawaban yang benar benar terjadi dan dirasakan oleh Subjek I, akhirnya Subjek I dapat menjawabnya dengan baik dan cukup terbuka.

(4)

Walaupun hanya melakukan pertemuan sebanyak satu kali, wawancara berjalan baik dan peneliti dapat mengambil informasi yang dibutuhkan, hal ini karena majikan telah memberitahukan maksud kedatangan peneliti kepada Subjek I sebelumnya. Pada saat peneliti datang, Subjek I telah mengetahui dan menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukannya, wawancara dimulai dengan pertanyaan ringan untuk membangun rapport dengan R, setelah suasana cukup santai, peneliti menjelaskan kembali maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan dan menjelaskan kembali bahwa identitas Subjek I tidak akan secara langsung disebutkan dalam skripsi, kemudian peneliti mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan Subjek I sehari hari untuk membangun rasa percaya diri subjek. Setelah peneliti merasa cukup dengan membangun rapport dan informasi kegiatan sehari hari, baru peneliti masuk kepada pertanyaan mengenai aspek aspek psychological well-being, Subjek I cukup terbuka meskipun ada beberapa pertanyaan yang jawabannya singkat, tetapi Subjek I dapat memberi penjelasan. Subjek I menceritakan bagaimana kondisi yang dialaminya sebagai pekerja rumah tangga, menceritakan bagaimana kehidupan rumah tangganya yang mengalami beberapa masalah dan bagaimana ia menghadapi permasalahan sehari-harinya.

(5)

4.1.2.2. Gambaran Umum Subjek I

Subjek I merupakan seorang ibu yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Jakarta, ia merupakan seorang yang mandiri, hal ini dapat dilihat dari cerita subjek, ayah Subjek I meninggal sejak ia berusia 1 tahun dan ia mulai bekerja sejak umur 13 tahun untuk membantu ekonomi keluarganya. Subjek I juga merupakan orang yang ramah walaupun ia mengatakan bahwa ia jarang bergaul dengan orang sekitarnya.

R lahir pada tahun 1975 di Jawa Tengah. Kehidupan ekonomi Subjek I tergolong ekonomi menengah kebawah, oleh karena itu ia hanya mampu menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, Subjek I langsung bekerja sebagai pekerja rumah tangga untuk membantu perekonomian keluarga, ia mengatakan bahwa keadaan ekonominya saat itu tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama.

“lulus sekolah langsung ikut temen ke Jakarta, gitu pengalaman tadinya, masuk yayasan di mangga dua, namanya kantor pak A, tempat yayasan untuk prt, saya masih inget sampe sekarang” Ayah dan ibu Subjek I bekerja sebagai petani. Ayah Subjek I meninggal pada tahun 1976 karena sakit, oleh karena itu ia hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Subjek I adalah anak terakhir dari 4 bersaudara. Subjek I menikah dua kali, pernikahan pertamanya dilakukan pada tahun 1998 dan memiliki satu orang anak perempuan yang saat ini sudah berkeluarga pula. Pernikahan keduanya dilakukan pada tahun 2008 yang lalu.

(6)

Kehidupan rumah tangga pertama Subjek I tidak berjalan baik, ia menikah dengan suami pertamanya karena dijodohkan oleh orang tua subjek, namun setelah menjalani pernikahan beberapa tahun, Subjek I mulai merasakan penyesalan atas pernikahannya karena suami Subjek I adalah seorang pemabuk, dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap.

“cerenya itu masalah dia minum, minum entar dia pulang tengah malem minta duit, entar kalo ga ada, kitanya ditabokin, yaudah tinggalin ajaa, buat apa”

Setelah 5 tahun pernikahan, Subjek I tidak melihat perubahan perilaku suaminya dan Subjek I memutuskan meninggalkan anak dan suaminya untuk bekerja di Jakarta, kemudian setelah dua tahun, ia kembali ke kampungnya di Jawa Tengah untuk menceraikan suami pertamanya.

“saya tinggalin ke Jakarta, dua tahun setengah, pas pulang saya cerai, cerai sendiri, karena laki aku itu ga mau nyerein, otomatis kalo ga mau dicerein kan, kalo ada yang mau lagi kan susah kalo nikah, makanya saya cerein”

Setelah berpisah dengan suami pertama, Subjek I kembali bekerja di Jakarta dan bertemu dengan suami kedua dan menikah dengannya, pada pernikahan keduanya, Subjek I merasa lebih baik daripada sebelumnya, suami keduanya telah memiliki pekerjaan tetap sebagai sales, walaupun ia mengakui bahwa suami keduanya juga tidak memberikan uang bulanan kepadanya dengan alasan bahwa penghasilan suami keduanya digunakan untuk biaya berobat mertua yang sedang sakit.

Subjek I telah bekerja sebagai pekerja rumah tangga kurang lebih selama 15 tahun, ia juga pernah bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia sebagai baby sitter pada tahun 2001 selama dua setengah

(7)

tahun, pada saat itu Subjek I kembali ke Indonesia karena dihubungi ibunya sedang sakit untuk segera pulang.

“Kan kerja kan baby sitter, sedangkan ibu sakit, aku ditelponin suruh pulang, kerjanya suruh seminggu, lewat dari seminggu dia udah ngambil lagi”

Setelah kembali ke Indonesia, Subjek I merawat ibunya yang sedang sakit dan ia tidak kembali lagi ke Malaysia dan melanjutkan bekerja di Indonesia kembali menjadi pekerja rumah tangga. Sampai pada dua tahun terakhir ini, Subjek I bekerja pada tempat yang sekarang, pekerjaan utamanya disini adalah membantu memasak, membuat kue, mencuci baju, menyetrika setiap seminggu sekali dan membersihkan rumah.

Selain bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, subjek I juga telah bekerja di beberapa daerah di daerah Jabodetabek. Subjek mengatakan bahwa penyebab pekerjaannya yang berpindah pindah adalah rutinitas tahunannya untuk pulang kampung ke Jawa Tengah yang cukup lama, dan ketika ia ingin kembali bekerja, majikannya telah mengambil pekerja baru dari penyalur untuk menggantikannya.

“Udah banyak lah, orang pernah di Bekasi udah pengalaman, terus daerah green garden, udah sering lah pindah pindah, maksudnya ga setempat doang”

“Ya gara garanya begitu, kalo waktu lebaran kan kita pulang, pulang kan otomatis ga mungkin seminggu dua minggu, cepet kesini lagi, entar kita dateng ke tempat majikan dia udah ngambil lagi, yaudah kita cari lagi tempat lain, gitu”

(8)

4.1.2.3. Gambaran Enam Dimensi Subyek I a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu merupakan kriteria dimensi penerimaan diri sebagaiman diungkapkan oleh Ryff (2013).

Melalui wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap subjek, terungkap bahwa Subjek I cukup mampu menerima dirinya sebagai pekerja rumah tangga, walaupun beberapa kali ia berpikir ingin memiliki pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang cukup. Tetapi subjek kurang menerima masa lalunya, terlihat dari ungkapan penyesalannya terhadap masa lalu yang beberapa kali Subjek I lontarkan selama proses wawancara.

Subjek I mengakui dan menerima segala hal baik hal baik dan buruk yang ada di dalam dirinya, ia mengakui bahwa dirinya tidak lebih baik dari orang lain karena menurut Subjek I penilaian orang lain merupakan hal yang penting, ia tidak ingin menganggap dirinya lebih baik menurut sudut pandang dirinya.

“Kalo aku sih mending lebih buruk daripada lebih baik, Takutnya kita baikin diri sendiri, takutnya dinilai orang kita jelek, gitu” Subjek I dapat melihat sisi positif dari segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya, ia mengakui bahwa terdapat beberapa penyesalan pada masa lalunya, terutama kehidupan rumah tangga, namun Subjek I

(9)

menerima hal tersebut dan berusaha mencari sisi positif dari kehidupannya.

“Ya begitulah, diceritain katanya, itu mba rina punya laki orang cina, masih tetep aja kerja begitu. Aturan mah kalo dapetin orang cina kan tinggal diem, banyak yang ceritain begitu, tapi yah kita mah, biarin aja, orang yang ngomong mah biarin, ga ngambil ati, emang kenyataannya aja.”

“saya pikir kenapa kok ga bisa kaya orang orang bergaul ama orang.. apa masalahannya apa.. Tapi aku pikir lagi, ah ngapain kita gaul sama orang, entar kena masalah lagi, kalo orang ga suka sangkain ngomongin orang jelekinn orang gitu. Saya kadang – kadang pikir lagi begitu. Sedangkan laki saya aja suka ngelarang, kalo udah pulang udah, jangan suka ngerumpi, entar takutnya ada salah paham, orang seneng lain, ga seneng lain”

Dalam wawancara, Subjek I menyatakan bahwa ia ingin menjadi seperti orang lain yang hidup sejahtera, memiliki pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang cukup. Ia juga menyadari bahwa ia merasa sedih karena melihat orang lain yang hidupnya sejahtera dan bahagia. Ia mengungkapkan segala hal yang membuatnya sedih dan kecewa dimasa lalu, dan peneliti dapat melihat penghayatannya terhadap kesulitan dan kehidupan yang selama ini Subjek I hadapi sangat mempengaruhi penerimaan dirinya. Dari beberapa pernyataan yang ia sebutkan, peneliti dapat melihat penghayatan dirinya yang merasa tidak sebaik orang lain.

“Ya kenapa gitu, orang lain punya suami hidupnya enak seneng bahagia, kenapa suami sendiri kaya gini, gitu permasalahannya.. kenapa saya walaupun udah punya suami tetep aja susah, capek, payah gitu”

“Ya selain itu yang bikin sedih, kenapa ya orang lain masih punya orang tua, sedangkan aku ditinggal papa semenjak kecil, gimana ya rasanya”

(10)

Namun, ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai perasaan iri terhadap orang lain, Subjek I menjawab ia tidak merasa iri.

“Engga, ga pernah, kan ga boleh kita, kalo orang lain kaya, biarin masing masing, kita emang udah cukup, yang penting cukup buat makan ada, gitu”

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations With Others)

Kriteria dimensi hubungan positif dengan orang lain meliputi kehangatan, kepuasan dan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukan empati, afeksi dan keintiman serta memahami konsep “memberi dan menerima” dalam hubungan dengan orang lain. (Ryff, 2013)

Hubungan yang dijalani Subjek I dengan keluarga majikan terjalin dengan baik, Subjek I tidak sungkan untuk mengobrol dengan anggota keluarga majikan baik itu mengenai pekerjaan sehari hari selama di rumah majikan sampai menceritakan pengalaman bekerja sebelumnya.

“Suka, ya tentang pekerjaan, masalah buat kue, nyuci, gosok, kerja rumah tangga, waktu jadi babysitter gimana gitu. Deket sih sama keluarga disini, sampe suka curhat curhatan, nyaman juga kerja disini, enak, ibunya juga ga banyak omong, kita mau masuk lambat, ya dia diem, ga pernah ngomel apa ini itu engga, orangnya baik.”

Dalam kehidupan sehari harinya, Subjek I selalu berusaha untuk menghindari masalah masalah yang mungkin akan menjadikan kehidupannya menjadi lebih sulit, seperti yang ia nyatakan dalam

(11)

wawancara ia tidak terlalu sering mengobrol dengan tetangganya, karena ia khawatir mendapat masalah atau salah paham dengan tetangganya.

“Iya, emang saya ga bergaul sama orang. Tapi aku pikir lagi, ah ngapain kita gaul sama orang, entar kena masalh lagi, kalo orang ga suka sangkain ngomongin orang jelekin orang gitu. Saya kadang kadang pikir lgi begitu. Sedangkan laki saya aja suka ngelarang, kalo udah pulang udah, jgn suka ngerumpi ngerumpi, entar takutnya ada salah paham, orang seneng lain, ga seneng lain”

Walaupun Subjek I tidak terlalu sering bergaul dengan orang sekitarnya, ia percaya untuk menceritakan mengenai masalah yang sedang ia hadapi kepada teman temannya, terutama mengenai rumah tangganya, ia mengakui bahwa teman teman dekatnya telah mengetahui bagaimana kehidupan rumah tangganya dan ia menceritakan masalahnya kepada teman temannya hanya untuk sekedar meluapkan perasaannya.

“Cerita, sama orang juga aku cerita, jadi ga sama suami doang, sama temen juga cerita, andai kata gua lagi punya masalah sama laki aku, orang kan suka ngeledekin, mba rina kok cemberut aja sih, iya lagi ada masalah, emang kenapa, aku lgi masalah sama laki aku, kemarin abis berantem, cerita aku, saya orangnya ga bisa mendem rahasia, terus terang aja”

“Ya jawabannya begini, emang orang sana udah tau sifat laki saya, itu emang laki kamu sifatnya keras, keras kepala, jawabannya begitu, kan darah tinggi juga laki aku”

Sedangkan dalam kehidupan berkeluarga, Subjek I mengaku bahwa ia tidak dekat dengan anaknya, hal ini dikarenakan sejak anaknya masih kecil, ia sudah bekerja di Jakarta.

“Dia ga pernah deket sama saya, deketnya sama nenek dia, karena dia udah aku tinggal dari umur setahun setengah, jadi akrabnya sama mama saya, sekarang mama saya udah meninggal, jadi sama kaka saya yang paling tua nomor 2, deketnya sama dia. Kalo sama saya jarang curhat, karena saya pulang setahun sekali, setiap lebaran doang.”

(12)

Subjek I mengaku senang menceritakan masalah dan perasaannya kepada suaminya, begitu pula dengan suaminya. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak menyukai beberapa sifat suaminya, seperti suaminya seringkali mengeluarkan kata kata kasar saat sedang bertengkar. Walaupun begitu, permasalahannya dengan suami dapat selesai dengan baik setelah mengobrol dengan kepala dingin.

“Pernah, marah sering lah, yang engga2 dah keluar, bangsa kasar dikeluarin gitu, maksudnya masalah binatang gitu. Saya ga sukanya, dia kalo lagi marah gitu, suka ngomong anjing lu, bangsat lu, monyet lu, gituu.. saya paling ga suka. Sedangkan ibu saya ga pernah ngomong begitu”

“Saya ga mau dikatain gitu, saya ga suka, paling ga suka, saya suka ngelawan, tapi entar belakangannya saya jalan duluan, gua pergi dah kemana gitu, jadi entar selesai gitu.. kalo sama sama bebel mah entar ngotot-ngototan terus, makanya kalo kita selek sama rumah tangga, mending kita yang ngalah, kemana kek, jalan keluar, jadi entar pulang kan udah segeran lah, ngadepin permasalahan lagi. Tapi nanti kalo ada masalah lagi , selalu yang diungkapin itu lagi itu lagi, laki saya itu mulutnya kaya orang udah kebiasaan gitu , gimana sih, makanya aku sering ngomong, lu kalo ngatain orang ga begitu, emang ga puas gitu, udah kebiasaan sih, mulut kalo udah begitu udah susah di rem, saya paling ga suka.”

Dalam hal membangun hubungan dengan orang baru, Subjek I termasuk orang yang fleksibel, ketika bertemu dengan orang baru yang lebih diam, ia akan memulai untuk menegurnya terlebih dahulu, hal ini juga terlihat saat awal pertemuan dengan peneliti, Subjek I terkesan sedikit tertutup namun setelah beberapa lama, Subjek I semakin terbuka dan ramah.

“biasanya teman saya yang lebih ramah, nanya duluan biasanya, tapi kalo orangnya diem, saya yang negor duluan, tergantung situasi. Beberapa kali juga saya negor duluan..sulitnya, kan satunya kita ga kenal, satunya kenal tapi ga gitu deket, terus kenal

(13)

cuman ga begitu deket, gimana caranya biar kita bisa deket sama dia, kita tanya dulu sama dia gitu.”

c. Kemandirian (Autonomy)

Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang baik ditunjukan sebagai pribadi yang mandiri, mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara cara tertentu, mampu meregulasi tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi (Ryff, 2013).

Subjek I merupakan seorang wanita yang cukup mandiri dari sisi ekonomi atau finansial, hal ini dapat dilihat dari ceritanya yang ditinggal ayahnya sejak ia berusia satu tahun, dan ia sudah mulai bekerja untuk membiayai kesehariannya dan membantu ekonomi keluarga sejak usia 14 tahun.

Subjek I merupakan pribadi yang selalu mengambil keputusan sendiri, karena berdasarkan pengalamannya, meminta pendapat orang lain hanya akan mendapatkan cemooh dari orang lain.

“Engga kita mikir sendiri, kita minta pertimbangan orang lain, bukan masalah dibantu, malah dijelekin iya, makanya kita mendingan mikir sendiri.”

Subjek I merupakan pribadi yang mampu menolak tekanan sosial dalam berperilaku dan bertindak, ia juga merupakan orang yang teguh dalam pendiriannya.

“Engga, saya bukan masalah apanya, saya kalo ikut pengaruh dari orang, takutnya entar walau bener takut jadi buruk, takutnya entar kejeblos yang malah jelek gitu, makanya saya otomatis

(14)

ngambil pendapat sendiri aja, mau bener mau engga kita mending ambil pendapat sendiri”

Dalam wawancara, terungkap bahwa Subjek I mampu meregulasi perilaku dan mengevaluasinya bedasarkan tuntutan dalam dirinya. Seperti saat peneliti bertanya ketika ada orang lain yang membicarakan subjek, apakah Subjek I akan merubah sikapnya, Subjek I menjawab

“engga sih, itu ga mempengaruhi saya, tetep aja”

Begitu pula ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan orang lain, subjek I mengatakan bahwa ia akan tetap menjalankan apa yang ia sudah rencanakan atau pendapat yang ia pegang.

“kaya sekarang kan musimnya lebaran, pulang kampung, kan kita ngomong dong, aku mau pulang kampung, kamu mau ikut ga ? dia bilang engga entar abis lebaran aja.. engga, kalo kamu mau abis lebaran terserah, saya pokoknya mau pulang lebaran, gitu..” Dalam kesehariannya, Subjek I menyatakan bahwa dirinya terbiasa dengan suatu aktivitas yang sudah biasa ia lakukan dalam keseharian, dan ia mengatakan bahwa dalam kesehariannya ia hampir tidak pernah mengalami hal spontan.

“Seperti kaya kita rumah tangga aja, kita kerja rumah tangga kan otomatis, bangun biasa kita jam 5, apa yang mau kita pegang dulu, kita kan cukup dikasih tau satu kali sama majikan, kita perhatiin ingetin, oh iya kita bangun tidur masak air, entar abis masak air sambil ngelap ngelapin meja, sambil nyapu ngepel gitu. Entar udah begitu, udah kelar, kita nyuci, kelar nyuci kita ngejemur, abis itu kepasar”

d. Penguasaan Terhadap Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan

(15)

yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki penguasaan dan kemampuan untuk mengatur lingkungan, mengontrol susunan yang kompleks dari aktifitas eksternal, menggunakan kesempatan yang tersedia secara efektif, serta mampu memilih dan menciptakaan keadaaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai diri. (Ryff, 2013)

Subjek I mengatakan bahwa dirinya selalu menghindar dari lingkungan sekitarnya, ia tidak banyak bergaul dengan orang orang disekitarnya, hal ini bukan dikarenakan kesibukannya dalam bekerja menjadi pekerja rumah tangga melainkan karena rasa takut Subjek I menghadapi permasalahannya yang mungkin terjadi.

“emang banyakan yang ngomong, katanya gua agak sombong, karena aku orangnya ga pernah gaul sama orang. Kalo udah pulang dair sini udah naik keatas udah, paling turun pling mandi, entar beli sayur, udah Terus udah naik lagi, sedangkan saya ngontraknya kan di lantai 3 cape naik turun naik turun. Kita gimana bisa bergaul sama orang ngobrol sama orang kaya yang lain, kita kerja pergi jam 7 pulang jam 5, kadang mandi sekalian bebenah, belum lagi pulang kita ngurusin laki, ngasih makan, kan ga bisa ngerumpi sama orang orang. Sementara hari minggu ada waktunya kita ke tempat mertua nyuci, jadi.. Yang emang sih banyak yang ngomongin saya katanya orangnya ga pernah gaul sama orang, emang saya orangnya ga pernah gaul. Saya akuin.” “Mmm. Bukan masalah sibuknya, saya kalo sama orang paling ga suka takutnya jadi masalah, gitu, takutnya entar disangka jelek jelekin orang, atau ngomongin orang. Jadi mending diatas gitu, saya orang ga suka ngerumpi takutnya begitu salah paham”

Dalam lingkungan tempat kerja, Subjek I mengikuti perintah perintah dan aturan yang dibuat oleh majikan, seperti waktu mulai dan selesai kerja, walaupun ia mengakui bahwa majikannya tidak pernah

(16)

merasa nyaman bekerja dengan majikannya saat ini dan Subjek I selalu menyelesaikan pekerjaan apa saja yang harus diselesaikan pada hari itu tanpa harus diperintahkan terus menerus oleh majikannya.

“Seperti kaya kita rumah tangga aja, kita kerja rumah tangga kan otomatis, bangun biasa kita jam 5, apa yang mau kita pegang dulu, kita kan cukup dikasih tau satu kali sama majikan, kita perhatiin ingetin, oh iya kita bangun tidur masak air, entar abis masak air sambil ngelap ngelapin meja, sambil nyapu ngepel gitu. Entar udah begitu, udah kelar, kita nyuci, kelar nyuci kita ngejemur, abis itu kepasar. Udah dikasih tau sekali harus inget, gitu”

“Ya, ibunya juga ga banyak omong, kita mau masuk lambat ya dia diem, ga pernah ngomel apa ini itu, engga.. orangnya baik”

Ketika subjek mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, salah satu contohnya gaji bulanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama sebulan, subjek mengaku mengatasinya dengan melakukan pinjaman terlebih dahulu, dan usaha lainnya adalah menahan keinginan menggunakan uang untuk hal yang tidak terlalu penting.

“Ya kan otomatis kita kan pinjem orang dulu”

“Yah, andai kata kita kan udah sering kaya gini, saya punya utang diwarung, kemudian warungnya jgn dibayar dulu, entar kita beli keperluan dulu, nanti gajian minggu depan baru kita bayarin gitu.. namanya diputer gitu”

“yang tadinya kita pengen kebeli pakaian gitu, kita rem dulu, nanti kalo ada waktu buat beli pakaian baru, baru beli”

e. Tujuan Hidup (Purpose In Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dana percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki tujuan

(17)

yang ingin dicapai dalam hidup dan mampu mengarahkannya, merasakan arti hidup, serta memegang kepercayaan bahwa hidup memiliki maksud dan keobjektifan dalam hidup. (Ryff, 2013)

Dalam menjalankan kehidupannya, Subjek I tidak terlalu banyak membuat target jangka panjang. Ketika peneliti bertanya mengenai cita cita dan target dalam proses wawancara, Subjek I hanya memberikan jawaban berupa hal yang ingin ia capai dalam waktu dekat.

“Ada sih, ya kepengen kerja lagi, pengen jadi baby sitter lgi” “Yang dari dulu ga ada sih, yang penting jadi lebih baik aja lagi” “Aku sih pengennya pengen pulang sih, cepet cepet pulang kampung, terus udah keinginan sih itu”

Namun, ketika peneliti bertanya mengenai ketertarikan Subjek I untuk mempelajari hal lain, Subjek I mengatakan bahwa ia ingin memiliki perusahaan sendiri seperti majikannya memiliki usaha sendiri.

“Pengen sih, pengen punya perusahan sendiri kaya disini, majikan saya ada usaha sendiri, gitu, pengen belajar kerja yang lain, pengalaman yang lain”

Subjek I merasakan bahwa pengalaman masa lalunya yang berharga adalah ketika memiliki suami yang pertama, yang suka mabuk dan tidak memiliki pekerjaan tetap, karena menurutnya dari sana ia belajar untuk lebih baik lagi. Sedangkan di masa sekarang Subjek I tidak merasa bahwa hidupnya berarti, hal ini dikarenakan Subjek I merasa tidak bahagia dalam hidupnya.

(18)

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi ini didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki keinginan untuk melanjutkan perkembangan diri, melihat diri terus berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat perkembangan diri dan perilaku serta dapat berubah untuk dapat merefleksikan lebih banyak pemahaman diri dan keefektivitasan. (Ryff, 2013)

Subjek I menjabarkan bahwa ia merasakan adanya perubahan dalam kehidupannya, terutama dalam kehidupan rumah tangganya.

“Dulu kan ama suami yang dulu begitu, nah yang sekarang begini juga, nah gimana caranya supaya ga gini terus, tapi ya lebih baik yang sekarang siih. Yang sekarang kan suami saya ga kasar, ga main tangan”

Subjek I mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki pengalaman kerja lain selain menjadi pekerja rumah tangga karena ia tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan hal lainnya.

“Engga ada, saya kerja paling jadi pembantu, sama baby sitter” “Ga bisa saya, saya kan ga ada bakat ngerjain hal lain”

Dan Subjek I mengungkapkan bahwa ia merasa ada perubahan lebih baik dalam diri dan kehidupannya dari yang dulu sampai sekarang, namun Subjek I pesimis dan mengungkapkan bahwa kehidupannya tidak akan dapat lebih maju lagi dimasa depan.

(19)

4.1.3. Subjek II

4.1.3.1. Hasil Observasi Subjek II

Wawancara pada Subjek II dilakukan di rumah majikan pada salah satu perumahan yang ada di daerah Jakarta Barat. Menurut hasil pengamatan peneliti, Subjek II memiliki tinggi sekitar 160 cm, bertubuh gemuk dan warna kulit sawo matang. Selain itu Subjek II memakai baju sehari hari yaitu kaos berwarna merah muda dan celana hitam pendek selutut.

Dalam proses wawancara, Subjek II dapat berkomunikasi dengan baik, walaupun beberapa kali terlihat kurang memahami maksud dari beberapa pertanyaan yang diajukan peneliti. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaannya, Subjek II cukup terbuka meskipun beberapa kali melihat kearah lain dan beberapa kali kurang fokus dalam menjawab pertanyaan dari peneliti. Selama wawancara berlangsung, terlihat bahwa Subjek II merasa sedikit terbebani dalam menjawab, hal tersebut dapat dilihat dari wajah Subjek II yang jarang tersenyum dan lebih banyak memperlihatkan raut wajah sedih atau tidak senang, walaupun ia beberapa kali tertawa ketika bercerita, peneliti melihat bahwa seperti ada beban yang membuat tertawanya tertahan.

Peneliti melakukan pertemuan pertama dengan subjek II dan majikannya pada hari sabtu tanggal 3 Oktober 2015, untuk meminta izin kepada majikan Subjek II agar dapat berbicara dan menyampaikan maksud kedatangan peneliti kepada Subjek II. Pada pertemuan pertama ini, peneliti

(20)

tidak banyak berbicara dengan subjek II, ia terburu-buru ingin kembali ke rumah karena pada saat itu ia sudah selesai mengerjakan pekerjaannya. Oleh karena itu, peneliti hanya menggali informasi umum mengenai identitas subjek II untuk menentukan apakah subjek II sesuai dengan klasifikasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Setelah mengetahui identitas umum Subjek II, peneliti meminta izin dan kesediaan subjek II untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini serta menentukan waktu untuk pertemuan selanjutnya.

Kemudian pada pertemuan kedua, peneliti melakukan proses wawancara dengan Subjek II pada hari Rabu, 6 Oktober 2015 pukul 09.30 WIB selama kurang lebih 1 jam. Pada pertemuan kedua ini, wawancara berjalan baik dan peneliti dapat mengambil informasi yang dibutuhkan dari Subjek II, dan pada saat peneliti datang, Subjek II masih melakukan pekerjaannya sehingga peneliti perlu menunggu beberapa saat sampai pekerjaannya selesai.

Untuk mengawali proses wawancara, peneliti kembali bertanya mengenai identitas Subjek II, serta memberikan penjelasan kepada Subjek II bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam wawancara ini, dan peneliti mengharapkan jawaban yang benar benar terjadi dan dirasakan oleh Subjek II. Kemudian wawancara dilanjutkan dengan pertanyaan ringan untuk membangun rapport dengan S. Pada awalnya subjek II terlihat cemas, ia mengatakan bahwa ia ingin segera pulang dan meminta peneliti untuk mempercepat proses wawancara, oleh karena itu peneliti

(21)

menjelaskan kembali maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan secara singkat dan menjelaskan kembali bahwa identitas Subjek II tidak akan secara langsung disebutkan dalam skripsi, kemudian peneliti mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan Subjek II sehari hari untuk membangun rasa percaya diri subjek. Setelah peneliti merasa cukup dengan membangun rapport dan menggali informasi kegiatan sehari hari, baru peneliti masuk kepada pertanyaan mengenai aspek aspek psychological well-being, Subjek II cukup terbuka meskipun ada beberapa pertanyaan yang jawabannya singkat dan terlihat beberapa kali acuh tak acuh, tidak yakin dan terburu-buru, tetapi Subjek II dapat memberi penjelasan. Subjek II menceritakan bagaimana kondisi yang dialaminya sebagai ibu rumah tangga yang baru bekerja sebagai pekerja rumah tangga untuk membantu suaminya mencari nafkah, dan bagaimana ia menghadapi tuntutan kehidupan sehari-harinya.

4.1.3.2. Gambaran Umum Subjek II

Subjek II merupakan seorang ibu rumah tangga yang baru bekerja sebagai pekerja rumah tangga di salah satu perumahan di Jakarta Barat. Subjek II mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertama kalinya ia menjadi pekerja rumah tangga, dan ia sudah bekerja selama 10 bulan.

“10 bulan lah, baru kali ini saya. Sebelumnya engga kerja, saya cuma ngurusin anak, ibu rumah tangga aja, ya anak saya sekolah swasta, bayarannya kan mahal ya, tau sendiri, duit mulu jadi mau ga mau saya cari tambahan disini, pengen nambahin, bantu bantu suami”

(22)

S lahir pada tahun 1980 di Jakarta. Kehidupan ekonomi Subjek II tergolong ekonomi menengah kebawah, ia hanya mampu menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, Subjek II langsung bekerja sebagai buruh pabrik kancing untuk membantu perekonomian keluarga, ia mengatakan bahwa keadaan ekonominya saat itu tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama dan tidak memikirkan untuk melanjutkan sekolah.

“Kan dulu juga susah de, boro-boro mau sekolah, anak emak dulu kan banyak, kebutuhan juga banyak, jaman dulu kan ga kaya sekarang, kalo dulu mah ga sekolah juga gapapa, kalo sekarang mah kalo sampe ga sekolah, anak kasian, malu juga orang tuanya jaman sekarang mah. Kerjaan kan sekarang juga nuntutnya pendidikan tinggi, biar dikata gitu kan, perlu ijazah juga”

“Engga lah, lagian mau ngapain sekolah.. emang sih biaya sekolah dulu mah murah, tapi kan nyari duitnya juga ga gampang kaya sekarang de, dulu mah ibaratnya dlu saya anak yatim lagi kan, maksudnya ongkos buat itu ga ada, udah buat makan aja” Subjek II adalah anak ke 8 dari 9 bersaudara. Ayah Subjek II meninggal saat Subjek II masih kecil karena sakit, oleh karena itu ia hanya dibesarkan oleh ibunya. Subjek II memiliki tiga orang anak perempuan, anak yang pertama berusia 16 tahun, yang kedua berusia 10 tahun dan yang terakhir berusia 3,5 tahun dan suami subjek bekerja sebagai satpam di perumahan daerah Joglo.

Pekerjaan sehari-hari subjek II adalah seorang ibu rumah tangga, dan sepuluh bulan terakhir, ia menjadi pekerja rumah tangga part time untuk membantu suaminya. Tugas utama subjek II adalah menyapu, mengepel, mencuci baru, menyetrika, dan mencuci piring. Waktu kerjanya

(23)

hanya beberapa jam dalam sehari dan datang ke rumah majikan setiap dua hari sekali, biasanya subjek II datang pukul 07.00 WIB dan pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya pukul 10.00 WIB. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Subjek II kembali ke rumahnya dan mengerjakan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.

4.1.3.3. Gambaran Enam Dimensi Subyek II a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu merupakan kriteria dimensi penerimaan diri sebagaiman diungkapkan oleh Ryff (2013).

Melalui wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap subjek, terungkap bahwa Subjek II menerima dirinya sebagai pekerja rumah tangga, hal ini terlihat dari pernyataannya yang mengatakan bahwa pekerjaannya saat ini merupakan keinginannya untuk membantu suami.

Subjek II mengakui dan menerima segala hal baik hal baik dan buruk yang ada di dalam dirinya, ia mengakui bahwa dirinya pemarah dan tidak sabar dalam menghadapi anak.

“Saya pemarah sih orangnya, kalo sama anak ga sabaran,”

“Ya engga sih, suka semua, kalo ga suka gimana, orang diri sendiri”

Subjek II megatakan bahwa ia beberapa kali menjadi bahan omongan tetangganya tentang sifatnya yang ketus sampai kehidupan

(24)

sehari-harinya yang sederhana, tetapi Subjek II merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Walaupun kehidupannya sederhana dan sulit, subjek II dapat mengambil hal positif dalam kehidupannya dan mengutamakan hal yang menurutnya harus diprioritaskan.

“Ibaratnya kondangan, pake bajunya itu itu aja, bajunya masa gak ganti ganti, ya jangankan buat ganti ya, orang anak butuh sekolah, ya duitnya buat bayaran dlu kan pasti, sekolah tau sendiri, yaudah SMP mah mahalan lagi de, sebulan aja dua setengah, belum lgi buku, kalo mau semester ganjil, mau ulangan gitu, bayar, boro boro buat beli baju”

“Ya, saya mah ngerasanya lebih baik lah, yah kaya disindir, dikatain apa di apa, saya mah ga ngebalikin lagi, engga, biarin aja lah, ibaratnya ngerti lah, biarin yang diatas aja yang bales, jadi kalo ada orang yang ngatain saya mah, saya ga bakal ngatain lagi”

Subjek II dapat melihat sisi positif dari segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya, ia mengakui bahwa terdapat beberapa penyesalan pada masa lalunya, seperti ketika keinginannya supaya anak pertamanya masuk sekolah negeri tidak tercapai. Pada awalnya Subjek II merasa sangat kecewa, dan kesal, namun Subjek II mengiingat pesan orang tuanya untuk tidak mengeluh dan menerima hal yang dan berusaha mencari sisi positifnya.

“Ya pernah sih dulu, cuman ya kata orang tua, ya ngapain disesalin, udah nasi jadi bubur, gitu katanya, maksudnya kan kita sering ngeluh kaya gini kaya gini sama orang tua, kata emak yaudah jalanin aja gitu, maksudnya kan anak udah banyak, udah pada gede gitu, waktu dulu ya, sekarang mah udah engga, biarin, anuin aja, mau punya mau engga yaudah.”

Dalam wawancara, Subjek II menyatakan bahwa ia tidak pernah iri ataupun ingin menjadi seperti orang lain.

(25)

Subjek II juga mengakui bahwa dirinya kerapkali merasa sedih dengan hidupnya, walaupun sedih dengan keadaan ekonominya saat ini, subjek II tetap berusaha supaya anaknya dapat mencapai jenjang perguruan tinggi.

“yah sedih lah, maksudnya kalo, jaranglah megang duit kalo anak sekolah ma, baru gajian kan dibawa ke sekolahan, besok mau bayar kuliah lagi kan buat ngelanjutin”

b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain (Positive Relations With Others)

Kriteria dimensi hubungan positif dengan orang lain meliputi kehangatan, kepuasan dan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukan empati, afeksi dan keintiman serta memahami konsep “memberi dan menerima” dalam hubungan dengan orang lain. (Ryff, 2013)

Selama 10 bulan bekerja, hubungan subjek II dengan keluarga majikan terjalin dengan cukup baik, belum pernah ada masalah, namun Subjek II sangat jarang mengobrol dengan anggota keluarga majikan.

“Engga sih, jarang, orang kita udah mau rapih dia baru bangun, engga sempet sempet ngobrol, entaran kita masak, orang begitu mah ya engga de, ngomong juga seperlunya”

Subjek II memiliki banyak teman di lingkungan rumahnya, ia biasa mengobrol pada siang atau sore hari dengan tetangga-tetangganya ketika ia telah selesai melakukan pekerjaan di rumah. Dalam membangun hubungan dengan orang baru, Subjek II berpendapat bahwa orang baru yang harus menegur dan biasanya ia akan menunggu orang lain untuk menegurnya.

(26)

Subjek II juga mengatakan bahwa ia tidak pernah memiliki masalah dalam membangun hubungan dengan orang baru, karena ia tinggal di lingkungan keluarganya

“Ya nunggu ditanya sama dia, kita kan baru, kalo dia orang baru kan kita ga ikut ikutan. Hari gini orang baru masih gaya gaya” “Engga sih, orang di deket rumah saya mah sodara semua”

Walaupun Subjek II sering bergaul dengan orang sekitarnya, subjek termasuk orang yang tidak mudah untuk terbuka, terlebih jika itu mengenai hal pribadi subjek II. Ia mengatakan bahwa ia lebih terbuka dan percaya dengan suami dan anaknya. Dengan suaminya, subjek II berbagi pemikiran mengenai kondisi ekonomi keluarganya sekarang dan kesejahteraan masa depan anak-anaknya kelak.

“Ya iya itu, kalo sama suami, paling ngomongin keuangan, anak diomongin tuh yang paling kecil, mau kaya gimana, nanyain kaya gimana, udah mandi belom, udah makan belom, begitu, cerita masalah sehari hari”

“He’eh kadang kadang ke anak juga saya cerita itu tetangga begini begini, bapaknya begitu,”

Dalam kehidupan rumah tangganya, subjek II adalah seorang ibu yang galak, ia pun mengakui bahwa terkadang ia tidak sabar dalam menghadapi anaknya dan menurutnya ia lebih sering marah daripada suaminya.

“Pernah lah, tapi lebih sering saya yang marah sih hehe” c. Kemandirian (Autonomy)

Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang baik ditunjukan sebagai pribadi yang mandiri, mampu bertahan terhadap tekanan sosial

(27)

untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara cara tertentu, mampu meregulasi tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi (Ryff, 2013).

Subjek II merupakan seorang wanita yang cukup mandiri dari sisi ekonomi atau finansial, dimana ia sudah mulai membantu ekonomi keluarga dengan keinginan sendiri sejak ia lulus sekolah dasar. Ia juga mampu mengatur kegiatan sehari harinya dengan baik.

“Ya gimana ya, seneng lah, maksudnya saya bisa bantu orang ya, dulu kan keadaan ekonomi juga rada susah, temen temen saya juga emang pada kerja. Kan bapak ga punya, yagitu, pas kerja mah enak, bisa tiap bulan belanja, beli baju, beli apa, gitu”

Subjek II merupakan pribadi yang selalu mengambil keputusan sendiri, selama itu masih dalam kapasitasnya, namun jika membutuhkan teman diskusi, biasanya ia mengajak suami atau anaknya untuk berdiskusi. Dan ketika menghadapi perbedaan pendapat, subjek II mampu menolak tekanan sosial dalam berperilaku dan bertindak mengatakan akan tetap teguh pada pendiriannya.

“Ya sendiri aja, emang anuan kita, untuk diri kita kok, selama masih mampu mah, paling ngomong sama anak atau suami doang”

“Tetep pilihan kita, kita yang ngejalanin sii, ya misalkan sekolah, ada yang bilang disitu aja dah yang murah, disana aja, ya emang dari SMP kita disitu, ngapain kita pindah pindah, kan kita udah kenal, kalo kita harus nyari lagi mah ribet entar”

Dalam wawancara, terungkap bahwa Subjek II mampu meregulasi perilaku dan mengevaluasinya bedasarkan tuntutan dalam dirinya. Seperti saat peneliti bertanya ketika ada orang lain yang mengatakan bahwa

(28)

pendapatnya salah, ia mengatakan akan mengikuti mana yang menurutnya benar.

d. Penguasaan Terhadap Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki penguasaan dan kemampuan untuk mengatur lingkungan, mengontrol susunan yang kompleks dari aktifitas eksternal, menggunakan kesempatan yang tersedia secara efektif, serta mampu memilih dan menciptakaan keadaaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai diri. (Ryff, 2013)

Dalam lingkungan tempat kerja, Subjek II mengikuti perintah perintah dan aturan yang dibuat oleh majikan dengan kesadarannya sendiri, ia mengakui bahwa majikannya tidak pernah banyak bicara atau menegurnya, hal ini lah yang membuat dirinya merasa cukup nyaman bekerja dengan majikannya saat ini dan Subjek II selalu menyelesaikan pekerjaan apa saja yang harus diselesaikan pada hari itu tanpa harus diperintahkan terus menerus oleh majikannya.

Subjek II mengaku bahwa ia tidak memiliki jadwal tertentu dalam kehidupan sehari-harinya, semua ia jalankan seperti biasanya secara fleksibel. Subjek II juga mampu mengatur waktunya dengan baik agar tidak memiliki masalah dalam berkegiatan.

(29)

“yah, fleksibel aja. Pernah sih, kadang kalo nyuci campur masak, gitu, maksudnya biar dua duanya rapih, cepet rapih, masak rapih cuci juga rapih”

“ini mah lagi ga ada kegiatan, maksudnya ga da kondangan, nanti sabtu banyak, eh minggu.. misalkan hari ini rabu saya datang, nanti datang lagi jumat, terus minggu.. kan kondangan mah johor, klo engga abis ashar, kalo ini mah kan wayah gini, tadi saya dateng dari jam 7”

Subjek II menyatakan bahwa hidupnya saat ini sudah sesuai dengan keinginannya, karena ia sudah berhasil menyekolahkan anak sampai saat ini, walaupun ia juga mengakui bahwa ia mengalami kesulitan dalam mengatur keuangan supaya dapat memenuhi kebutuhan, namun selama ini masih dapat diatasi dengan baik.

“Puas, ya puas, maksudnya ya bisa nyekolahin anak, anak udah pada gede”

“Ya sulit juga, tapi ya udah jalanin, ibaratnya saya ada kondangan, ada apa, ya sulit, cuman ya udah jalanin aja”

e. Tujuan Hidup (Purpose In Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dana percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam hidup dan mampu mengarahkannya, merasakan arti hidup, serta memegang kepercayaan bahwa hidup memiliki maksud dan keobjektifan dalam hidup. (Ryff, 2013)

Dalam menjalankan kehidupannya, Subjek II memiliki cita-cita, namun keinginannya saat ini adalah ia ingin naik haji. Ia juga berharap

(30)

supaya anaknya dapat sekolah setinggi mungkin, supaya dapat membantu orang tua dalam ekonomi dan sekolah adiknya.

“Ya pengen sih Insha Allah, mau naik haji, katanya mah kalo niat mah bisa, kalo untuk pergi haji mah kudu niat juga, biar dikata ga mampu tapi niat mah ada”

“Ya itu pengen anak sekolah lulus dah semua, jadi kalo udah lulus nanti bisa ngebantu orang tua, adenya sekolah gitu”

Untuk dapat mencapai keinginannya, Subjek II mengatakan bahwa ia berusaha untuk membantu suaminya bekerja, walaupun hanya sebagai pekerja rumah tangga, ia juga berusaha mengatur keuangan keluarga agar cukup untuk semuanya, terutama untuk biaya sekolah anak.

“Ya cukup ga cukup, nurutin kemauan mah emang ga pernah cukup, manusia mah de, Ya sekolah dulu udah, bayaran anak sekolah, ibaratnya kita beli apa, entar anak belom bayaran, kan ga enak juga, entar bulan besok malah makin banyak”

Subjek II mengatakan bahwa pengalaman masa lalunya tidak ada yang berharga karena menurutnya dibandingkan dengan masa lalunya, jauh lebih baik kehidupannya yang sekarang. Saat ini, Subjek II merasa bahwa hidupnya berarti, untuk anak anak dan suaminya

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi ini didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki keinginan untuk melanjutkan perkembangan diri, melihat diri terus berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat perkembangan diri dan perilaku serta dapat berubah untuk

(31)

dapat merefleksikan lebih banyak pemahaman diri dan keefektivitasan. (Ryff, 2013)

Subjek II menjabarkan bahwa ia merasakan adanya perubahan dalam kehidupannya menjadi lebih baik sekarang ini.

“Ada, ya itu, maksudnya rejeki ya tambah ada, cuman karena anak sekolah, jadi buat anak sekolah, gitu”

Ketika peneliti bertanya mengenai peluang untuk menjadikan kehidupan lebih maju dari saat ini, subjek II mengatakan untuk sekarang ini, secara ekonomi mungkin ia sulit untuk lebih maju, tapi ia berharap anak anaknya yang akan menaikan ekonomi keluarga.

“Kalo untuk sekarang mah engga dulu kali de, ekonominya masih begitu. Harapan saya yaudah nanti biar jadi orang yang ekonominya ada, kalo anak udah lulus, sekarang mah saya kata yang penting sekolah, jadi ga bisa kita gimana gimana dulu,masih 3 tahun lagi saya ongkosin sekolah, perjuangannya masih panjang”

Hasil wawancara dengan subjek II menunjukan bahwa ia tidak tertarik untuk belajar hal baru selain yang sudah biasa ia lakukan.

(32)

4.1.4. Subjek III

4.1.4.1. Hasil Observasi Subjek III

Wawancara pada Subjek III dilakukan di rumah majikan pada salah satu perumahan yang ada di daerah Jakarta Barat. Menurut hasil pengamatan peneliti, Subjek III memiliki tinggi sekitar 165 cm, bertubuh kurus dan warna kulit sawo matang. Selain itu Subjek III memakai baju sehari hari yaitu kaos berwarna abu abu dan celana jeans berwarna biru.

Dalam proses wawancara, Subjek III dapat berkomunikasi dengan baik. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaannya, Subjek III cukup terbuka walaupun beberapa kali tidak yakin dalam menjawab pertanyaan. Selama wawancara berlangsung, terlihat bahwa Subjek III sedikit tidak percaya diri atas dirinya sendiri.

Peneliti melakukan pertemuan pertama dengan Subjek III dan majikannya pada hari sabtu tanggal 3 Oktober 2015, untuk meminta izin kepada majikan Subjek III agar dapat berbicara dan menyampaikan maksud kedatangan peneliti kepada Subjek III. Pada pertemuan pertama ini, peneliti menggali informasi umum mengenai identitas Subjek III untuk menentukan apakah Subjek III sesuai dengan klasifikasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Setelah mengetahui identitas umum Subjek III, peneliti meminta izin dan kesediaan Subjek III untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini serta menentukan waktu untuk pertemuan selanjutnya.

Kemudian pada pertemuan kedua, peneliti melakukan proses wawancara dengan Subjek III pada hari Sabtu, 10 Oktober 2015 pukul

(33)

10.00 WIB selama kurang lebih 1 jam. Pada pertemuan kedua ini, wawancara berjalan baik dan peneliti dapat mengambil informasi yang dibutuhkan dari Subjek III, dan pada saat peneliti datang, Subjek III masih melakukan pekerjaannya yaitu mencuci mobil sehingga peneliti perlu menunggu beberapa saat sampai pekerjaannya selesai. Saat sedang masih proses wawancara Subjek III sempat terlihat panik, karena pada saat itu majikannya memang ada rencana untuk pergi ke suatu tempat, namun setelah majikannya memberikan instruksi kepadanya untuk menyelesaikan proses wawancara terlebih dahulu, Subjek III dapat kembali fokus.

Untuk mengawali proses wawancara, peneliti kembali bertanya mengenai identitas Subjek III, serta memberikan penjelasan kepada Subjek III bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam wawancara ini, dan peneliti mengharapkan jawaban yang benar benar terjadi dan dirasakan oleh Subjek III. Kemudian wawancara dilanjutkan dengan pertanyaan ringan untuk membangun rapport dengan ZA. Kemudian setelah suasana lebih santai, peneliti menjelaskan kembali maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan secara singkat dan menjelaskan kembali bahwa identitas Subjek III tidak akan secara langsung disebutkan dalam skripsi, kemudian peneliti mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan Subjek III sehari hari untuk membangun rasa percaya diri subjek. Setelah peneliti merasa cukup dengan membangun rapport dan menggali informasi kegiatan sehari hari, baru peneliti masuk kepada pertanyaan mengenai aspek aspek psychological well-being, Subjek III tertutup saat membahas

(34)

mengenai permasalahan keluarga, namun ia cukup terbuka dalam menjawab pertanyaan lainnya meskipun ada beberapa pertanyaan yang jawabannya singkat dan terlihat tidak yakin dan tidak percaya diri dengan jawaban yang ia berikan, tetapi Subjek III dapat memberi penjelasan. Selama proses wawancara juga ia beberapa kali bersandar di bangku, memperlihatkan bahwa ia pasrah dengan hal hal yang telah terjadi dalam kehidupannya. Subjek III menceritakan mengenai pekerjaannya sebagai supir, mengenai kehidupan keluarganya yang tidak terlalu harmonis dan bagaimana ia menghadapi tuntutan kehidupan sehari-harinya.

4.1.4.2. Gambaran Umum Subyek III

Subjek III merupakan seorang laki-laki yang baru bekerja sebagai pekerja rumah tangga sebagai supir di salah satu perumahan di Jakarta Barat. Subjek III mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertama kalinya ia menjadi pekerja rumah tangga, sebelumnya ia adalah seorang supir taksi dan saat ini ia sudah bekerja selama 8 bulan sebagai supir rumah tangga.

“Baru sekitar 8 bulan lah.. tadinya saya narik taksi, terus ketemu sama bapak di taksi”

ZA lahir pada tahun 1994 di Sumatera. Kehidupan ekonomi Subjek III tergolong ekonomi menengah kebawah, pendidikan terakhirnya adalah SMA, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, Subjek III langsung bekerja sebagai sales di PT. Putra Jaya Abadi. Ia mengaku

(35)

bahwa berhenti karena tidak percaya diri ketika melihat karyawan yang lain, yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.

“SMA paket C saya”

“Berenti ? ya karena saya introspeksi diri aja sih, karena saya cuma lulusan SMA kan, kalo yang lain lain kan rata2 lulusan D3, S1 gitu. ya saya nge down, karena pernah, ya gitu, datang gitu kan ke pabrik pabrik gitu, turun ke lapangan gitu, ketika udah buat janji, mau presentasi nih, udah ngadain janji gitu, pas udah sampe disana ternyata yang saya telpon itu namanya bukan yang sebenarnya gitu. Ya gitu saya down disitu, terus banyak juga kaya didikan”

Subjek III adalah anak kedua dari empat bersaudara. Ayah dan ibunya bercerai saat ia menduduki bangku SMA, dan ia mengatakan bahwa sedikit banyak perpisahan orang tua cukup mempengaruhi kehidupannya. Ketika peneliti bertanya mengenai alasan Subjek III tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, subjek III menjawab

“Ya orang tua saya, yagitu lah, urusan keluarga, tadinya dari keluarga karena pisah kan, ya disitu saya ngerasa males udah.” “Tadinya sih iya, tapi sekarang ya udah jadi males, karena itu kan, karena kadang suka kepikiran satu, ya ga gitu juga sih, karena orang tua lah terutama, itu yang ngebuat saya jadi….”

“Yaa intinya tentang keluarga, orang tua saya kan bercerai tuh, dari situ saya udah males gitu, karena saya juga smanya ambil paket C kan, jadi udah terlalu banyak pelajaran yang ketinggalan gitu”

Tugas utama Subjek III adalah mengantar jemput seluruh anggota keluarga dan mencuci mobil. Waktu kerja Subjek III fleksibel, biasanya ia datang jam 8 pagi dan pulang pada sore hari, tergantung pada kebutuhan majikan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Subjek III kembali ke kontrakannya.

(36)

Subjek III tinggal di Jakarta hanya dengan adiknya, sedangkan keluarga besarnya di Sumatera.

“Engga, saya tinggal berdua sama adik saya aja. Yang lainnya ya kebetulan orang tua saya disumatera, disini sama adik aja”

4.1.4.3. Gambaran Enam Dimensi Subyek III a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu merupakan kriteria dimensi penerimaan diri sebagaiman diungkapkan oleh Ryff (2013).

Melalui wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap subjek, terungkap bahwa Subjek III menerima dirinya sebagai pekerja rumah tangga, hal ini terlihat dari pernyataannya yang mengatakan bahwa ia ingin pekerjaan yang lebih santai, ketika ditanya mengenai alasan berpindah profesi.

Dari hasil wawancara, dapat dilihat bahwa pada awal wawancara Subjek III menutup dirinya dan bingung ketika ditanya mengenai apa kelebihan dan kekurangan dirinya, namun setelah peneliti bertanya lebih lanjut, subjek mulai terbuka dan mengatakan bahwa ia merupakan orang yang jujur. Dan Subjek III mengaku merasa lebih buruk bila dibandingkan dengan orang lain karena pekerjaan dan pendidikannya yang hanya lulusan SMA.

“Saya ? yaaaa adik saya mah bilangnya saya baik lah yang pasti kan, kalo ga baik ga mungkin bersama kan.. ”

(37)

“saya ngerasa baik baik aja sih.. saya suka diri saya, karena saya laki-laki… yaaa gimana ya, saya jujur orangnya, abis itu, yaudah itu sih terutama, jujur, jujur yang bikin saya lebih baik dari orang lain”

“Ngerasanya ? yang pasti lebih buruk lah. Ya karena, ya kaya pekerjaan saya, yaa bisa dibilang ga berpendidikan mungkin, karena cuma lulus sma”

Subjek III mengakui bahwa ia merasa sedih dengan kehidupannya ketika ia berpikir mengenai keluarganya, walaupun membuatnya sedih ia mengaku tidak menyesal atas apa yang telah terjadi di masa lalu dan selalu bersukur untuk apa yang telah ia jalani selama ini.

“Ya kadang kadang sih, suka sedih begitu.. keluarga aja sih yang bikin sedih”

“Gimana ya, kalo masa lalu, nyesel sih engga lah, namanya udah jalannya gitu”

Dalam wawancara, Subjek III menyatakan bahwa ia tidak pernah iri ataupun ingin menjadi seperti orang lain

“Engga ah, biarin, jalanin aja, hidupnya emang kaya gini”

b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain (Positive Relations With Others)

Kriteria dimensi hubungan positif dengan orang lain meliputi kehangatan, kepuasan dan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukan empati, afeksi dan keintiman serta memahami konsep “memberi dan menerima” dalam hubungan dengan orang lain. (Ryff, 2013)

(38)

Selama 8 bulan bekerja, hubungan Subjek III dengan keluarga majikan terjalin dengan baik, belum pernah ada masalah, Subjek III biasanya mengobrol dengan anggota keluarga majikan untuk membicarakan mengenai jalan, arah, dan hal hal yang berhubungan dengan pekerjaan, dan terkadang membicarakan mengenai keluarganya. Subjek III juga mengaku bahwa ia merasa senang dan mencintai pekerjaannya saat ini.

“ya palingan tentang jalan, namanya juga driver, jalan arah kemana kemana gitu, yang berhubungan sama kerjaan paling” “ya terutama ya keluarga, keluarga saya lah, kalo namanya mau masuk kerja kan mesti interview kan, jadi ditanya ini itu tentang latar belakang keluarga, sama kaya mba juga gitu”

“Ya namanya kita kerja yak an, harus mencintai pekerjaan kita.. Ya selama saya masih merasa nyaman, ya bakal pertahanin gitu, selama hasilnya lumayan dan sesuai dengan kebutuhan gitu.” Subjek III tidak memiliki teman di lingkungan rumahnya, karena ia bekerja hampir setiap hari dan dari pagi sampai sore, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengobrol dengan tetangga – tetangganya.

“ga ada, soalnya kan saya pergi pergi terus, jadi ga ada teman” Dalam membangun hubungan dengan orang baru, Subjek III lebih menyesuaikan diri dengan karakter masing-masing orang, dan ia selalu memberikan image terbuka dan jujur terhadap orang baru yang dihadapinya. Subjek III juga mengatakan ketika ia bertemu dengan teman yang tidak terlalu dekat, biasanya ia hanya sekedar menyapa. Subjek III juga mengatakan bahwa ia tidak pernah memiliki masalah dalam membangun hubungan dengan orang baru.

(39)

“Yaaahh, tergantung orangnya aja, orang yang saya liat gimana gitu kan. Kalo keliatannya orangnya asik ya deket, bisa gitu, kalo orangnya keliatan cuek, yaa gimana ya. Balik lagi ke karakter orangnya”

Saat ini, Subjek III hanya tinggal bersama dengan adiknya. Dalam kesehariannya, ia selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk mengobrol dan olahraga dengan adiknya. Ia mengatakan bahwa ia cukup dekat dengan adiknya.

“Ngobrolin apa ? yaa kaya tadi berangkat jam berapa, masuk jam berapa, pulang jam berapa, tentang sekolahnya paling gitu gitu aja, tentang kesehariannya dia”

“Yaa, iya, suka cerita, kalo misalnya ada masalah, kaya seandainya, kalo misalnya ada sesuatu yang bisa dia kerjakan gitu kan, ya di kerjakan gitu, ga perlu menunggu saya gitu kan”

c. Kemandirian (Autonomy)

Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang baik ditunjukan sebagai pribadi yang mandiri, mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara cara tertentu, mampu meregulasi tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi (Ryff, 2013).

Subjek III merupakan pribadi yang cukup mandiri dari sisi ekonomi atau finansial, saat ini ia tidak bergantung kepada orang tua dan telah mampu membantu orang tuanya untuk membiayai kuliah adiknya. Dalam kehidupan bekerja sehari-hari, Subjek III selalu mengikuti perintah dan instruksi dari majikan dengan baik.

“Yang ngatur kegiatan saya ya Majikan lah.. Iya, tergantung dia mau dianter kemana”

(40)

Subjek III merupakan pribadi yang selalu mengambil keputusan sendiri, selama itu masih dalam kapasitasnya dan ia jarang berdiskusi dengan orang lain. Subjek III juga menyatakan bahwa ia merupakan pribadi yang tidak mudah terpengaruh pendapat orang lain. Dan ketika menghadapi perbedaan pendapat, Subjek III mampu menolak tekanan sosial dalam berperilaku dan bertindak mengatakan akan tetap teguh pada pendiriannya

“Kalo saya sih, kalo saya sendiri masih bisa ngatasin, ya sendiri sih”

“Terpengaruh, ya kalo yang namanya terpengaruh sih, engga sih, lebih diri saya sendiri aja, kalo dengerin cerita orang kan agak begini lah, bla bla bla bla gitu kan, saya iya iya in aja, tapi saya senernya punya pemikiran sendiri, ya kita pikirin sendiri lah, mana yang bagus untuk kita sendiri ya kan ? masa orang mau nyuruh kita apa, kita ikutin aja gitu kan hahaa”

“Mm, engga sih, tetap sama aja apa yang saya anggep bener ya saya lakuin”

Dalam wawancara, terungkap bahwa Subjek III mampu meregulasi perilaku dan mengevaluasinya bedasarkan tuntutan dalam dirinya. Seperti saat peneliti bertanya ketika ada orang lain yang mengatakan bahwa pendapatnya salah, ia mengatakan akan mengikuti mana yang menurutnya benar.

"Ya kalo menurut pas diskusi, seandainya dan kalo dipikir emang salah, ya terima lah.. Iya, seperti itu, seandainya kita udah menyampaikan sesuatu kan, tapi ternyata ada yang lebih baik dari itu, gitu. Kalo itu lebih baik, ya kita terima”

“Ya tetap aja begitu lah, emang karakter saya udah kaya begini, ya begini aja, sesuain sama karakter saya”

(41)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan memiliki penguasaan dan kemampuan untuk mengatur lingkungan, mengontrol susunan yang kompleks dari aktifitas eksternal, menggunakan kesempatan yang tersedia secara efektif, serta mampu memilih dan menciptakaan keadaaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai diri. (Ryff, 2013)

Dalam lingkungan tempat kerja, Subjek III berpendapat sudah seharusnya ia mengikuti perintah dan aturan yang dibuat oleh majikan. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa kesehariannya diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan majikannya. Subjek III tidak memiliki jadwal tertentu dalam kesehariannya kecuali pada hari minggu, karena ia memanfaatkan hari libur kerjanya untuk berolahraga pagi bersama dengan adiknya. Dan walaupun ia tidak membuat perencanaan atau jadwal tertentu, ia mengatakan tidak pernah mengalami masalah dalam kesehariannya.

Subjek III menyatakan bahwa ia bersyukur dengan hidupnya saat ini, walaupun ketika peneliti bertanya mengenai apakah kehidupannya sudah sesuai dengan keinginannya Subjek III tidak menjawab dengan jelas.

“Gimana ya, kalo masalah itu sih ya, kita bersyukur aja lah.. Menurut sayanya ? standar aja lah”

(42)

Subjek III juga menyatakan bahwa ia sudah puas dengan kehidupannya saat ini, walaupun ia mengakui bahwa penghasilannya selama sebulan kadang tidak cukup untuk biaya hidupnya dan kuliah adiknya. Oleh karena itu, subjek III selalu berusaha untuk mengatur keuangannya agar cukup dan ia mengatakan bahwa selama ini semua dapat diatasi dengan baik tanpa kesulitan yang berarti.

“Yaa, cukup ga cukup harus cukup.. Supaya cukup ? ya kita harus bisa ngatur keuangan pertama kan, mana yang seharusnya lebih penting ya kita duluan gitu, kalo kalo kita mau kita beli kan, mana yang penting buat dibeli, ya kita beli, tapi kalo itu engga perlu buru buru dibeli, ya ga usah dibeli, nanti aja gitu aja”

e. Tujuan Hidup (Purpose In Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam hidup dan mampu mengarahkannya, merasakan arti hidup, serta memegang kepercayaan bahwa hidup memiliki maksud dan keobjektifan dalam hidup. (Ryff, 2013)

Dari hasil wawancara dan observasi, Subjek III menunjukan bawah dirinya merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri. Dan ketika peneliti bertanya mengenai cita-cita, subjek III mengatakan bahwa ia memiliki keinginan untuk membahagiakan orang tua, namun sampai saat ini ia mengakui bahwa belum ada tindakan nyata untuk mencapai keinginan tersebut.

(43)

“Apa ya cita cita saya, apa ya, kalo mau bahagiain orang tua tuh cita cita bukan sih, keinginan itu mah ya,”

“Apa ya, belum ada sih”

Dalam wawancara juga, peneliti menggali mengenai hal-hal yang telah Subjek III capai selama hidupnya. Subjek III menyatakan bahwa ia tidak memiliki keinginan yang telah ia capai, semua hal yang terjadi dalam hidupnya ia jalani begitu saja tanpa perencanaan dan target.

“Iya, emang ga ada keinginan sih, emang udah jalan jalan jalan gitu aja udah, ga ada keinginan jadi apa gitu, yaa instrospeksi aja, kalo kita lulusnya tinggi, mungkin kita bisa berpikir mau apa gitu, tapi ya kita lulusan SMA mau jadi apaan, jadi saya sesuai dengan keahlian aja gitu, apa yang saya bisa”

Subjek III mengatakan bahwa ia memiliki pengalaman berharga dimasa lalunya yaitu mengenai kehidupan berkeluarga, yaitu jangan sampai bercerai ketika sudah menikah nanti, karena ia telah merasakan dampak negatif dari perpisahan kedua orang tuanya.

“ada lah.. Keluarga sih yang terutama, ya jangan sampe lah kita kaya mereka, jangan sampe kaya terpisah gitu”

Dalam wawancara, subjek III mengatakan bahwa tidak banyak perubahan yang ia alami dari masa lalu dan masa sekarang. Dan saat ini, dibalik ketidakyakinan Subjek III atas dirinya, ia masih merasakan bahwa hidupnya berarti untuk orang-orang disekitarnya.

“Berarti lah, ya salah satunya ya kaya gini, yang saya kerjain ini, buat orang lain, ada gunanya saya. Kalo ga guna ya ga mungkin”

Gambar

Tabel 4.1 Deskripsi Subjek Menurut Usia
Tabel 4.2 Deskripsi Subjek Menurut Jenis Kelamin
Tabel 4.4 Deskripsi Subjek Menurut Suku
Tabel 4.6 Deskripsi Subjek Menurut Tempat Tinggal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Raudatussalamah & Susanti (2014) kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah suatu kondisi dimana individu menjadi sejahtera dengan menerima

hasil uji regresi linear berganda yang dilakukan menerima hipotesis kedua yang menyatakan bahwa Pertumbuhan Penjualan berpengaruh positif signifikan terhadap

Masa kecil JR dilalui dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Hal ini dikarenakan perselisihan keluarganya dengan keluarga besar ayah JR. perselisihan ini yang

Ini disebabkan anak remaja seusia mereka merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan remaja, dimana terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan rasa tidak

Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis dan suatu kondisi individu yang dapat menerima

Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan

Kesejahteraan psikologis atau psychological wellbeingadalah suatu kondisi dimana individu menjadi sejahtera dengan menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi

dilihat dari bagaimana seorang narapidana bisa menerima keadaan diri dan masa lalunya dengan apa adanya, memiliki kemampuan dalam membina hubungan yang positif