• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Komunitas Bugis Di Desa Asal

Kalobba, adalah desa asal para migran, merupakan bagian wilayah Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa yang diklasifikasikan sebagai desa swasembada, memiliki luas wilayah 20,7 km2.

Desa ini terdiri dari lima satuan lingkungan (dusun), yaitu Dusun Toribi, Dusun Attironge, Dusun Kambuno, Dusun Borong Ampirie, dan Dusun Sumpang Ale.

25

Pusat Pemerintahan Desa Kalobba terletak di Dusun Toribi. Desa Kalobba terletak di sebelah utara Kabupaten Bulukumba, berbatasan langsung dengan Kelurahan Mananti di sebelah timurnya, dengan Desa Saotengah di bagian paling utaranya, serta juga di sebelah barat berbatasan dengan Desa Samaturu (Lihat Gambar 3).

4.1.1 Demografi

Jumlah penduduk di desa ini sekitar 3 244 jiwa atau 766 Kepala Keluarga (KK), dengan komposisi penduduk perempuan lebih besar (hampir 52% dari jumlah penduduk) jika dibandingkan dengan penduduk laki-lakinya. Kepadatan penduduk desa ini 166 jiwa per km2, dengan hampir 100% warganya beretnis Bugis. Detail informasi demografi ditampilkan pada Tabel 3.

Agak sulit mendapatkan gambaran tingkat migrasi masuk dan keluar jika hanya bersandarkan pada data potensi desa dan data kependudukan. Potret migrasi yang lebih detail dijelaskan pada Bab 5, namun secara keseluruhan maka tingkat migrasi di desa ini dapat dikatakan cukup tinggi dengan fakta bahwa sekitar 7 – 10 keluarga keluar setiap tahunnya. Di level individu, ada sekitar 3 – 10 orang setiap tahun berangkat ke Malaysia atau ke Kalimantan.

4.1.2 Kondisi Fisik Wilayah

Sebagai sebuah desa yang berada di ketinggian sekitar 500 meter dari permukaan laut dan tingkat kemiringan 0 – 10%, hamparan Desa Kalobba didominasi dengan areal kebun yang berisi beragam tanaman atau biasa disebut sebagai kebun campur (lihat Gambar 4). Selain itu, areal lahan kering yang ditanami dengan tanaman palawija seperti singkong dan sayuran meliputi lebih dari 40% luasan wilayah. Areal sawah dengan pengairan semi teknis serta tadah hujan terhampar meliputi 9% dari keseluruhan luasan wilayah desa. Total luasan desa ini sekitar 20.7 km2.

4.1.3 Sejarah Penghidupan Komunitas

Saat ini, sumber penghidupan utama komunitas Desa Kalobba dari berkebun (38.5%). Kegiatan beternak ayam (27.5%) menjadi sumber penghidupan yang cukup penting, disamping bertani sawah (22%). Kegiatan non pertanian seperti PNS dan berdagang hanya meliputi kurang dari 5% dari total sumber penghidupan komunitas. Kegiatan off farm (bukan pertanian) seperti menjadi buruh di lahan

orang lain dilakukan di saat orang sedang tidak mengolah lahan tani dan lahan perkebunannya. Dari pengamatan peneliti, kelompok komunitas yang menjadi buruh kerja di lahan orang lain adalah kelompok orang yang memiliki lahan kecil. Mereka menjadi buruh di kebun lain terutama di musim panen padi serta juga untuk membantu panen cengkeh.

Kegiatan petani dalam berkebun dilakukan dengan sistem non intensif, tanpa penerapan pupuk. Pendapatan tunai dari hasil kebun diperuntukkan biaya sekolah anak dan untuk menutupi beberapa keperluan lain yang harus mereka beli. Pendapatan dari sawah, dapat dikategorikan mencukupi dalam memenuhi kebutuhan mereka dalam setahun. Mereka tidak dengan sengaja menanam padi untuk tujuan menjual hasil panennya. Jadi padi ini diperuntukkan lebih untuk kebutuhan subsisten saja.

Di awal desa ini berdiri, sekitar tahun 1960 an, komunitas berupaya memenuhi kebutuhan primer dengan menanam jagung dan ubi. Awal tahun 1970, komunitas kemudian mulai menanam padi di lahan kering (asedarei) atau biasa

disebut padi gogo. Beberapa tahun kemudian, komunitas secara swadaya mulai membangun saluran irigasi sederhana (dibangun dari tanah) dan mulai menanam padi sawah (jenis padinya adalah ase ranggong atau padi air). Irigasi permanen

mulai dibangun oleh komunitas, separuh dari usaha swadaya dan separuh lainnya atas bantuan pemerintah. Di Bikeru, komunitas dusun membangun saluran irigasi dengan dibantu oleh ABRI. Di Toribi, saluran irigasi dibangun secara swadaya. Kini, sekitar 35% komunitas dusun yang menanam padi air sudah memiliki saluran ini.

27

komunitas desa mulai mengenal tanaman kopi sekitar awal tahun 1960an sebagai dampak dari perluasan informasi dari PT Lonsum di Bulukumba yang saat itu menanam kopi di areal perkebunannya. Komunitas yang tertarik menanam kopi mencari bibit di Bulukumba dan sekitarnya. Pengetahuan mengenai cara bertanam kopi juga diperoleh dari tukar pengalaman petani yang mencari ilmu ke wilayah Bulukumba. Saat itu Kayu sengon (Sappajeng) dan pete (petes) marak

ditanam oleh komunitas petani kopi sebagai pelindung tanaman kopi. Di Dusun Toribi, pada tahun 1969, komunitas dusun mulai mengganti tanaman kopi mereka dengan cengkeh dan sebagian kecil karet. Pada saat itu tanaman cengkeh mulai diprogramkan oleh pemerintah daerah, sehingga mereka mendapatkan bibit cengkeh juga dari pemerintah daerah. Berkembangnya perkebunan cengkeh di sekitar awal tahun 1990 membuat banyak lahan di daerah Toribi dibeli oleh pengusaha atau pejabat yang tinggal di luar Toribi dan ditanami dengan cengkeh untuk dikelola oleh kerabat mereka yang ada di Toribi. Pada masa ini juga, beberapa lahan sawah dikonversi ke kebun cengkeh karena sulitnya mendapatkan air.

Kegiatan beternak kerbau mulai dilakukan oleh komunitas desa paska masa konflik pemberontakan DI/TII di awal era 1960an. Sejak komunitas desa mengenal tanaman cengkeh, tenak kerbau diganti menjadi sapi. Kerbau dianggap menjadi hama bagi tanaman ini. Beberapa tahun terakhir ini, Desa Kalobba menjadi salah satu sentra produsen ternak unggas yang utama untuk jenis ayam ras dan bukan ras. Desa Kalobba merupakan produsen unggas ketiga tertinggi setelah Desa Tellu Limpoe dan Sao Tengah.

Sekitar tahun 1977, komunitas desa mulai mengenal tanaman merica melalui program dari Dinas Pertanian, yang kemudian memperkenalkan tanaman coklat sekitar tahun 1983. Tahun 1998 – 1999 terjadi kenaikan harga komoditi yang cukup drastic yang diiringi dengan krisis dunia. Harga cengkeh dan coklat meningkat cukup tajam (harga cengkeh meningkat dari Rp 250 per kg basah menjadi Rp 12 000). Pada masa inilah terjadi perluasan lahan secara besar-besaran. Sejumlah lahan di Desa Kalobba mulai dilirik oleh tuan tanah dari luar desa. Mereka membeli lahan di desa Kalobba untuk kemudian diolah oleh keluarga mereka di desa, atau disewakan untuk dijadikan kebun. Komunitas desanya sendiri mulai mencari lahan yang lebih ekonomis dan menjanjikan di luar areal desa mereka, diantaranya ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Mereka yang memiliki tanah terbatas dan ingin mendapatkan pendapatan yang tinggi kemudian memilih untuk merantau ke Malaysia dan Kalimantan atau Papua untuk mencari sumber penghidupan yang lain.

4.1.4 Struktur Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan di desa ini umumnya adalah lahan milik individu. Sekitar 53% komunitas desa ini memiliki areal kebun di desa ini berkisar 1 – 4 ha, dengan rata-rata luasan per rumah tangga sekitar 1 ha. Sawah dimiliki oleh sekitar 22% penduduk, dengan rata-rata luasan sawah 0.25 – 1 ha. Hasil diskusi menunjukkan pemilik lahan yang termasuk di dalam desa ini tidak semuanya komunitas desa. Sebagian lahan yang ada (sekitar 20%), dimiliki oleh orang di luar Desa Kalobba. Pemiliknya rata-rata adalah pengusaha dari luar Desa Kalobba,

yang sebagian ada yang menetap di Makassar dan di Sinjai. Lahan mereka kemudia digarap oleh kerabat atau tetangga mereka yang tinggal di Desa Kalobba. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maraknya penguasaan tanah oleh komunitas di luar Desa Kalobba terutama dipicu pada masa berkembangnya tanaman cengkeh dan kemudian dilanjutkan pada masa berkembangnya tanaman coklat.

Hasil diskusi bersama beberapa informan kunci mengindikasikan bahwa pada saat ini ada sekitar 46% penduduk yang tidak memiliki lahan dan lebih banyak menjadi petani penggarap. Sebagian dari mereka yang tidak memiliki lahan ini juga menggantungkan hidupnya dari bekerja di sektor non pertanian baik di dalam desa (angkutan dan jasa) serta di luar desa (migrasi temporer) serta sebagai buruh di kebun orang lain.

Sekitar 24% areal wilayah desa ini masuk ke kawasan Hutan Lindung Balang Pesoang, Kabupaten Bulukumba. Kawasan Hutan Lindung ini memiliki total luasan 648,88 ha yang ditetapkan dalam keputusan Menteri Pertanian no 760/Kpts/Um/10/82/Mentan. Areal Desa Kalobba yang termasuk dalam kawasan hutan tersebut sebagian besar berada di wilayah dusun Sumpang Ale’, dan sebagian kecil meliputi wilayah dusun Kambuno dan Toribi, yang berada dekat dengan perbatasan Sinjai-Bulukumba. Saat ini, kondisi areal di kawasan tersebut berupa kebun coklat, merica, dan cengkeh yang digarap oleh beberapa warga desa. Bahkan ada beberapa lahan yang dikelola oleh warga di luar Desa Kalobba.

Areal yang termasuk kawasan Hutan Lindung ini bukan tanpa masalah. Hingga saat ini, status kepemilikan tetap masih tumpang tindih. Jika secara status lahan tersebut masih termasuk kawasan hutan lindung, namun faktanya masih banyak orang di luar komunitas Desa Kalobba yang menguasai lahan tersebut dan mengolahnya menjadi kebun produktif. Sekitar 10 tahun yang lalu, sempat terjadi pengusiran penduduk yang menguasai areal kawasan tersebut, pondok kebun serta beberapa tanaman coklat, kopi, dan cengkeh pun dibakar. Namun hingga kini, areal tersebut masih tetap digarap oleh sebagian kecil oknum komunitas di dalam maupun dari luar Desa Kalobba.