• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan dan Keputusan Migrasi Untuk Penguasaan Lahan Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jaringan dan Keputusan Migrasi Untuk Penguasaan Lahan Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

JARINGAN DAN KEPUTUSAN MIGRASI

UNTUK PENGUASAAN LAHAN

Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara

ELOK PONCO MULYOUTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Jaringan dan Keputusan Migrasi Untuk Penguasaan Lahan, Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Elok Ponco Mulyoutami

(4)
(5)

RINGKASAN

ELOK PONCO MULYOUTAMI. Jaringan dan Keputusan Migrasi Untuk Penguasaan Lahan Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI dan LALA M KOLOPAKING.

Migrasi desa ke desa secara spontan berdampak hampir pada setiap dimensi manusia. Migrasi atas dasar kehausan terhadap lahan yang dipicu oleh pengembangan tanaman komoditi dengan nilai ekonomi tinggi berlangsung secara bergelombang. Migrasi ini memicu terjadinya perubahan sosial dan ekonomi dalam struktur keluarga dan struktur sosial. Perubahan tersebut akan disertai dengan perubahan pola penghidupan, pengelolaan lahan serta keputusan terhadap migrasi lain. Studi mengenai jaringan migrasi dalam menguasai lahan pertanian/perkebunan dilakukan untuk memotret proses migrasi yang berlangsung terus menerus, aktor yang terkait dalam proses migrasi dan perannya dalam memfasilitasi migrasi serta pengaruhnya terhadap keputusan bermigrasi.

Studi dilakukan pada komunitas migran Bugis di Sulawesi Tenggara. Komunitas Bugis dikenal sebagai perantau ulung dan sukses di daerah barunya. Di Sulawesi Tenggara, komunitas ini mendominasi perkebunan coklat rakyat. Data BPS tahun 2010 menunjukkan produksi coklat 137.833 ton, dan masyarakat pendatang menyumbang dua pertiga dari produksi tersebut. Penelitian dilakukan di daerah tujuan migrasi, Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe dan di Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sinjai, yaitu daerah asal dari beberapa migran Bugis di dalam Komunitas migran yang diteliti.

Studi menunjukkan bahwa lahan, merupakan motivasi utama para migran Bugis ke daerah Sulawesi Tenggara. Perpindahan komunitas Bugis ke Tenggara dibagi menjadi tiga fase besar yang ditandai dengan program pengembangan komoditas pada setiap periode waktu. Periode tersebut adalah revolusi hijau dengan komoditas padi (tahun 1970 – 1980-an), dan masa meledaknya tanaman coklat yang dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase awal (1980 – 2000-an) dan fase lanjutan (2000-an hingga kini). Pada setiap periode ini, pengambilan keputusan migran berdasarkan pertimbangan rumah tangga, bukan hanya individu. Beberapa pola jaringan migran sengaja atau tidak sengaja dibentuk oleh para migran tersebut, meliputi migrasi karena jaringan kekerabatan, migrasi atas hubungan patron dan klien, serta migrasi yang terjadi karena penempatan pekerjaan. Pola jaringan yang keempat adalah pola yang dibangun oleh para migran yang sudah terlebih dahulu ada di Sulawesi Tenggara dan berupaya mengembangkan kebun coklat ke beberapa daerah lain di Sulawesi Tenggara. Jaringan keluarga dan pertemanan berperan penting di tahap awal migrasi. Jaringan ini juga dimanfaatkan oleh aktor sentral dalam proses migrasi, yaitu perantara migrasi atau perantara lahan, yang menjadi salah satu simpul pada jaringan yang membuka jaringan tersebut dengan jaringan-jaringan lainnya.

(6)

SUMMARY

ELOK PONCO MULYOUTAMI. Migration Network and Decision Making For Land Acquisition Case on Cacao Farmers – Bugis Migrant Community in Southeast Sulawesi. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI and LALA M KOLOPAKING.

Spontaneous rural to rural migration has many impacts on every human being dimension. The wave of migration on the basis of the land thirsty was triggered by the development of high economic value cash crops. Migration can lead to changes in social and economic spheres, in social and family structure. Those changes followed by changes in livelihood, land distribution, land management and the decision for another migration step. Study of migration networks will contribute to a good portrait of never-ending migration, the related actors and their role in facilitating the migration and also influence the decision for migration.

The study was conducted at Bugis migrant communities in Southeast Sulawesi. Bugis community were known as the great wanderer and always successful in their new area. In Southeast Sulawesi, smallholder cacao plantation were dominated by the Bugis migrant. Data from Statistic Bureau of Indonesia (2010) showing that cacao production in this province is about 137.833 ton, and the migrant communities contribute two third from all the production. Research was conducted in the destination areas of Bugis migrants (Besulutu sub district, Konawae District) and in the origin areas (Tellu Limpoe sub district, Sinjai district).

The results of the study showed that the main motivation Bugis migrants to the Southeast Sulawesi is because of land. Waves of Bugis migration to the Southeast can be defined in three main phases that was characterized by development of some major commodity in each difference time period. Green revolution with paddy development in 1970 – 1980s, cacao booming in early (in 1980 s – 2000s) and post phase (2000s until now). Migration decision making in each time period were based on household or family consideration, is not only rely on the individual bases. There were four migration network pattern that was deliberate or undeliberately developed by the Bugis migrant community. Kinship network, patron client relationship, and migration due to work displacement. The fourth network pattern is the migration by the pioneer migration that was inhabited Southeast Sulawesi for long time period. The motivation were to expand the agriculture or plantation land in other areas in Southeast Sulawesi. Family and friendship network play a very important in the early stages of migration. Another central actor in the migration is the migrant land broker, who becomes the node of the network that opens the network to different villages and families.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

JARINGAN DAN KEPUTUSAN MIGRASI

UNTUK PENGUASAAN LAHAN

Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

ELOK PONCO MULYOUTAMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni dan Bapak Dr. Lala M Kolopaking selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Arya Hadi Darmawan yang telah banyak memberi kritik dan saran dalam penyempurnaan thesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Suyanto, Dr. James Roshetko, Dr. Meine van Noordwijk, dan Dr. Ujjwal Pradhan, yang telah memberikan inspirasi atas berbagai masukan kritis terhadap penulis dalam penulisan tesis ini. Beberapa masukan berharga didapatkan juga dari Dr Sonya Dewi dan Dr Carol Colfer. Terimakasih kepada rekan-rekan team TAMMU (Trees, Agroforestry Management, and Marketing) di ICRAF Bogor yang telah

menjadi teman diskusi dan berbagi peran selama penulis menjalani masa kuliah, penelitian dan dalam masa penulisan tesis. Apresiasi diberikan kepada teman-teman AGFOR Kendari dan Bantaeng yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini, serta kepada Adlan, Sahabuddin dan Gilang yang telah membantu dalam kegiatan pengumpulan data lapangan. Penghargaan yang besar kepada rekan-rekan Sosiologi Pedesaan 2011, yang telah memberikan semangat moril sebagai teman seperjuangan dan bertukar ilmu, serta mencurahkan hati dan saling mendukung. Ungkapan terima kasih yang setulusnya kepada Amin Prihartono, Akmal Zhafif Makarim dan Arsyad Rizki Makarim, tiga lelaki yang selalu mendukung psikis dan moril kepada penulis. Tulisan ini dipersembahkan kepada Almarhum Prof. Ir. Agus Pudji Prawoto, ayahanda penulis serta ibunda penulis yang tercinta.

Adapun kegiatan penelitian ini merupakan bagian kecil dari sebuah program besar yang dilakukan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, yaitu Hutan dan Agroforest - Mengaitkan Pengetahuan Menuju Tindakan (Agroforestry and Forestry, Linking Knowledge to Action). Program ini dipimpin oleh Dr. James Roshetko (ICRAF), yang dilakukan dengan kerjasama beberapa mitra seperti Operation Wallacea Trust, Universitas Hasanuddin, dan beberapa organisasi lokal seperti Balang dan LEPMIL, serta mendapat dukungan dana dari perwakilan kedutaan Kanada di Indonesia (DFATD - Department of Foreign Affairs, Trade and Development Canada)

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan menjadikan karya ini sebagai referensi.

Bogor, Juni 2014

(14)
(15)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR SINGKATAN v

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Migrasi Dalam Berbagai Ranah Teori 7

2.2 Jaringan Bermigrasi Sebagai Sebuah Modal Sosial 8

2.3 Keputusan bermigrasi 11

2.4 Jaringan Migrasi: Analisa Posisi dan Peran Para Aktor 14 2.5 Bugis dan Penguasaan Lahan Untuk Kebun Coklat 15

2.6 Kerangka Konseptual 16

3 METODE 18

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 18

3.2 Metode Pengumpulan Data 20

3.3 Analisa Data 21

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 24

4.1 Gambaran Komunitas Bugis Di Desa Asal 24

4.2 Gambaran komunitas migran Bugis di desa tujuan 28

4.3 Ikhtisar 30

5 GERAK PENDUDUK DI DAERAH ASAL PARA MIGRAN 31

5.1 Penyebaran Komunitas Bugis: Sebuah Analisis Sejarah 31

5.2 Gerak Penduduk di Desa Asal 34

5.3 Karakteristik Migran Keluar 36

5.4 Keputusan Bermigrasi 37

5.5 Ikhtisar 45

6 MIGRASI KOMUNITAS PETANI COKLAT BUGIS DI SULAWESI

TENGGARA 47

6.1 Perdesaan di Sulawesi Tenggara: Wilayah Tujuan Para Migran Bugis 47

(16)

6.3 Migrasi dan Pola Penghidupan di Desa Tujuan 52

6.4 Pola-Pola Migrasi 55

6.5 Mengapa Bermigrasi? 60

6.6 Lahan Dan Pewarisan 62

6.7 Ikhtisar 63

7 MENGURAI JARINGAN MIGRASI 64

7.1 Jaringan Sosial Vertikal Dan Horisontal 64

7.2 ‘Sentralisasi Keantaraan’ Dan ‘Sentralisasi Pengaruh’ 65

7.3 Ikhtisar 68

8 PERANTARA: SIMPUL UTAMA DALAM JEJARING MIGRASI 70

8.1 Lahan dan Ledakan Komoditi Coklat 72

8.2 Migrasi Karena Perantara 73

8.3 Ikhtisar 76

9 PENUTUP 77

9.1 Simpulan 77

9.2 Implikasi Terhadap Perkembangan Teoritis 78

9.3 Implikasi Terhadap Iklim Kebijakan 79

(17)

iii

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan teori migrasi 8

2 Jenis dan sumber data 22

3 Karakteristik penduduk di Desa Asal dan Desa Tujuan 24 4 Gerak penduduk di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba 33 5 Gerak penduduk di desa asal (Desa Kalobba, Sinjai) 35 6 Karakteristik migran pergi ditinjau dari tujuan wilayah migrasi 37 7 Tingkat Pendidikan ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’ 40 8 Pendapatan ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’ 40 9 Lahan yang dikuasai oleh kategori rumah tangga responden yang

merupakan ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’ di daerah asal 41 10 Migrasi masuk di beberapa desa di Sulawesi Tenggara 51 11 Tipe migran di daerah tujuan dan karakteristiknya (N=32) 55 12 Nilai ‘sentralisasi keantaraan’ dan sentralisasi pengaruh pada

(18)

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka konseptual penelitian 17

2 Lokasi penelitian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara 19 3 Lokasi Desa Kalobba, Kecamatan Tellu Limpoe, Sinjai 25

4 Penggunaan lahan di Desa Kalobba 26

5 Provinsi dengan laju migrasi keluar tertinggi di Indonesia 32 6 Estimasi migrasi masuk dan keluar setiap periode waktu di Desa

Kalobba berdasarkan hasil diskusi kelompok 35

7 Beberapa pertimbangan ‘bukan migran’ untuk tetap tinggal di daerah

asal 39

8 Persentase migran perdesaan dan perkotaan di beberapa provinsi di

Indonesia 48

9 Rute migran dari Sulawesi Selatan ke wilayah di Sulawesi Tenggara 49 10 Fase migrasi di Sulawesi Tenggara dan beberapa faktor yang

menandai fase tersebut 52

(19)

v

DAFTAR SINGKATAN

ADB Asian Development Bank

BPN Badan Pertanahan Nasional BPS Badan Pusat Statistik SNA Social Network Analysis

SPMA Sekolah Pertanian Menengah Atas

(20)
(21)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Migrasi sebagai sebuah fenomena telah banyak menjadi bahan diskusi dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, geografi, demografi, sosiologi dan psikologi sosial. Sebagai sebuah fenomena sosial, migrasi dipengaruhi dan mempengaruhi banyak dimensi manusia, sehingga diskusi mengenai migrasi tiada hentinya dilakukan. Perpindahan penduduk melintasi batas wilayah dengan karakteristik fisik dan komunitas yang berbeda memunculkan berbagai isu lain seperti perebutan ruang dan sumber daya, kerusakan lingkungan, pengangguran dan tenaga kerja, dan berbagai isu lainnya.

Zelinksi (1971) menggambarkan model transisi mobilitas dengan kolonisasi agraris menjadi satu strategi atas persaingan terhadap produksi lahan dan pertumbuhan penduduk. Model ini berada di fase awal dalam transisi masyarakat, dengan penghidupan utama komunitas masih berbasis kepada lahan dan aktivitas pertanian. Salah satu bentuk dari kolonisasi agraris ini adalah migrasi desa ke desa. Persaingan sumber daya lahan di desa asal mendorong gerakan penduduk ke area lain yang memiliki sumber daya lahan yang lebih memadai.

Migrasi dari satu daerah ke daerah lainnya yang kaya akan sumber daya lahan merupakan sebuah fenomena yang menjadi sebab dari adanya berbagai permasalahan sosial serta sebagai akibat dari berbagai fenomena sosial, ekonomi serta juga lingkungan. Di ranah ilmu tentang lingkungan, migrasi kerap dianggap sebagai satu biang terjadinya kerusakan lingkungan, karena berhubungan dengan perubahan alih fungsi lahan dan deforestasi. Pada ranah ilmu sosiologi, sebagai lanjutan dari perebutan ruang dan sumber daya alam, migrasi seringkali dianggap menjadi penyebab terjadinya konflik sosial, pengusiran komunitas lokal akibat kesuksesan para migran, dan konflik dengan ruang yang terlindungi seperti cagar alam dan suaka margasatwa. Sumber daya alam umumnya banyak terdapat di wilayah pedesaan, sehingga dalam konteks ini, migrasi desa ke desa dapat menggambarkan lebih jelas mengenai migrasi atas dasar sumber daya alam.

Biasanya isu migrasi desa ke desa berkaitan dengan program pemerintah (transmigrasi, relokasi paska bencana atau konflik) namun migrasi yang bersifat spontan terjadi secara simultan bahkan mengalami perkembangan dari tahun ke tahunnya (Tirtosudarmo 2009:19). Migrasi spontan ini, meski sedikit demi sedikit,

namun karena terjadi secara berkelanjutan justru memiliki jumlah yang bisa jadi lebih besar daripada migrasi terprogram. Migrasi ini bersifat sporadik dan sulit diprediksi perkembangannya. Migrasi spontan juga merupakan migrasi yang terjadi sebagai dampak lanjutan dari adanya migrasi terprogram yaitu transmigrasi sebagaimana dijelaskan oleh Charas dan Pain (1993).

(22)

migrasi besar-besaran, sistem sewa hutan (forest rent) yang memicu deforestasi. Jadi coklat merupakan komoditi yang telah membawa ledakan permintaan (boom)

namun sekaligus juga membawa pengaruh penurunan tajam (bust). Boom atau

ledakan karena mampu memberikan nilai ekonomi yang besar bagi komunitas serta pertumbuhan ekonomi regional. Namun, bagai sebuah pisau bermata dua, perkembangan komoditi ini juga memberikan dampak negative, seperti tingkat migrasi yang tinggi yang diikuti dengan persoalan lahan dan laju deforestasi yang cukup tinggi. Selain migrasi terprogram yang difasilitasi pemerintah di beberapa wilayah transmigrasi di Sulawesi, migrasi spontan sporadik juga terjadi cukup massif di sebagian wilayah Sulawesi seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Data BPS pada tahun 2010, menunjukkan bahwa dari 137.833 ton produksi coklat di Sulawesi Tenggara, 99% diantaranya dihasilkan dari kebun coklat rakyat (smallholder) yang tersebar di sebagian besar wilayah yang terdapat di pulau

utama di Sulawesi Tenggara. Hasil observasi lapang dan beberapa diskusi dengan sejumlah informan kunci dan tokoh pemerintah menyebutkan bahwa kebun coklat rakyat di Sulawesi Tenggara terutama dikelola oleh komunitas pendatang (lebih dari dua pertiganya). Tingginya produktivitas coklat dari provinsi ini disumbang oleh penduduk pendatang, dan terutama pendatang dari Selatan baik komunitas Bugis maupun Tator (Tana Toraja). Data BPS 2010 menunjukkan komposisi penduduk migran di wilayah pedesaan di Sulawesi Tenggara sekitar 4.22%. Komposisi ini tertinggi untuk beberapa wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki rata-rata migran di pedesaan 2.08%. Sulawesi Tengah menempati posisi kedua di pulau ini dengan komposisi penduduk migran pedesaan sebesar 4.03%. Sebagian penduduk migran pedesaan berasal dari program transmigrasi dari Jawa, Madura dan Bali, serta juga dari beberapa daerah di sekitar desa transmigrasi yang beretnis Tolaki (etnis lokal di Sulawesi Tenggara), dan sebagian lainnya merupakan migran yang berasal dari Sulawesi Selatan (etnis Bugis, Tana Toraja/Tator, dan Makassar).

Suku Bugis dan Toraja telah dikenal sejak jaman dulu sebagai perantau yang ulet dan selalu sukses di daerah tujuan (Lineton 1975, Acciaioli 1998, Pelras 2006). Budaya merantau yang dikenal oleh komunitas Bugis dan Toraja ini menjadi faktor yang berpengaruh besar mengapa mereka bermigrasi ke daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan hingga ke luar Indonesia, seperti ke Malaysia. Studi Abustam (1989) mencoba mengeksplorasi beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gerak penduduk pada beberapa komunitas tani di pedesaan. Abustam sepakat dengan Lineton (1975) bahwa tradisi Sompe atau

merantau telah melembaga pada komunitas Bugis sejak beberapa abad yang lalu. Faktor pendorong lain adalah konflik sosial, serta juga konsep bekerja dan jiwa pelaut atau wiraswasa, lalu nilai budaya siri (malu) serta sistem pelapisan sosial

juga menentukan perilaku migrasi komunitas Bugis (Kinseng dan Saharudin 2009, Vayda dan Sahur 1985, Vayda dan Sahur 1996).

(23)

3

1975, Charras dan Pain 1993, Weber et al 2007). Melalui jaringan yang terbentuk,

komunitas mendapatkan informasi lahan mana yang dijual dan dapat mereka akses untuk diolah menjadi lahan kebun coklat. Jaringan inilah yang kemudian memandu terjalinnya rantai migrasi (Massey et al 1993:728) ke Sulawesi

Tenggara secara simultan.

Lahan, menjadi komoditas yang menarik para migran masuk dan menempati suatu daerah. Hall (2011) dan Galudra et al (2013) menjelaskan bahwa kurang

jelasnya status lahan di suatu wilayah telah membuka peluang pasar lahan yang memudahkan proses migrasi masuk berlangsung. Masuknya para migran ke dalam suatu wilayah telah mengubah pola tata guna lahan dan seringkali diasosiasikan dengan terjadinya deforestasi (Faust et al 2003). Sebagai akibatnya, terjadi konflik

kepentingan antar kelompok komunitas pribumi dengan pendatang. Di Sulawesi Tengah, di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, penduduk pribumi terusir dari wilayah desa mereka dengan semakin masifnya migran dari Sulawesi Selatan yang menempati dan menguasai lahan di wilayah desa para pribumi (Suku Kaili dan Kulawi) tersebut (Abdulkadir-Sunito dan Sitorus 2007, Weber et al 2007).

Penduduk pribumi terpaksa masuk dan merambah wilayah yang termasuk dalam wilayah taman nasional (Sitorus 2002a) dan dianggap sebagai pengganggu. Meski demikian mereka tidak punya pilihan lain karena lahan yang mereka miliki sudah berpindah tangan.

Fenomena yang nyaris sama terjadi di Sulawesi Tenggara, di mana komunitas lokal beretnis Tolaki mulai berkurang lahannya, dan komunitas Bugis yang berdatangan dari Selatan mulai menguasai sejumlah besar lahan. Seperti pisau bermata dua, fenomena tersebut tak lagi terelakkan. Di satu sisi, komunitas pendatang telah mempercepat proses pembangunan dan pengembangan wilayah di Sulawesi Tengah dan Tenggara. Pendatang dari Selatan memiliki kemampuan yang cukup besar untuk menyerap pengetahuan baru dan mengembangkan teknik penanaman coklat (Ruf dan Yoddang 2001, Schippers dan Faust 2009), komoditi utama di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, produksi coklat di provinsi ini cukup pesat meningkat dan memicu pertumbuhan di segi lainnya. Di sisi lainnya, komunitas pribumi yang sejatinya merupakan pemilik lahan semakin tergeser dan lebih suka menekuni pekerjaan yang tidak berkaitan dengan pertanian/perkebunan.

(24)

1.2 Perumusan Masalah

Proses migrasi komunitas Bugis ke beberapa wilayah di Indonesia merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan sangat terkelola dengan baik (Vayda dan Sahur 1985). Proses ini berdampak besar pada perubahan tata kelola lahan di wilayah yang mereka tempati, termasuk juga terhadap pola kehidupan komunitas pribumi. Proses migrasi komunitas ini relatif berbeda dengan proses migrasi lainnya yang biasanya terjadi secara langsung dalam periode waktu tertentu, seperti halnya transmigrasi dan migrasi yang terjadi karena kebutuhan tenaga kerja (contohnya migrasi orang Jawa ke Kerinci, Jambi untuk tenaga kerja perkebunan teh Negara, dan migrasi orang Jawa ke Simalungun, Sumatera Utara, sebagai tenaga kerja perkebunan karet milik swasta). Migrasi ini berlangsung secara bergelombang. Komunitas Bugis, sebagaimana halnya dengan komunitas perantau lain, misalnya etnis Minang, bermigrasi sesuai dengan budaya mereka, yaitu budaya perantau (Lineton 1975).

Gelombang migrasi komunitas Bugis ini seringkali didorong atau ditarik oleh hal yang berbeda, sesuai dengan masalah yang mereka hadapi dan peluang yang ingin mereka ambil pada saat itu. Dan itu bisa berbeda dalam setiap periode waktu yang berbeda sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa tersebut. Pada masa sebelum kemerdekaan, migrasi Bugis lebih banyak didorong karena rasa malu atas kekalahan kerajaan Makassar dari Koloni. Kemudian paska kemerdekaan akibat adanya konflik Kahar Muzakar. Setelah itu, migrasi komunitas ini berlangsung sebagai respon dari permintaan komoditi pertanian dan perkebunan yang tinggi untuk Indonesia, seperti pada masa program Panca Usaha Tani (sekitar tahun 1970-an) dan pengembangan kebun merica, coklat dan kopi.

Isu penting untuk dicermati dalam memahami gelombang migrasi orang Bugis adalah hal-hal yang mendasari keputusan komunitas Bugis untuk bermigrasi, arah migrasi, serta juga bagaimana merantau sebagai suatu lembaga penting dalam komunitas Bugis. Lineton (1975) menyebutkan bahwa budaya migrasi dan kemauan orang Bugis untuk bekerja keras menjadi dasar penting atas keputusan mereka untuk bermigrasi. Kinseng dan Saharuddin (2009) juga menggambarkan bagaimana etos kerja keras komunitas Bugis yang kini bermukim di daerah pesisir telah membuka peluang mobilitas sosial yang tidak hanya horisontal namun juga vertikal dan membuat mereka selalu berhasil di setiap daerah baru di mana mereka tinggal. Namun demikian, penjelasan mengenai etos kerja dan semangat bermigrasi belum dapat menunjukkan arah perpindahan komunitas ini. Lahan, merupakan satu faktor yang dapat menunjukkan arah migrasi komunitas Bugis dari masa ke masa. Lahan merupakan komoditi yang dicari untuk mengembangkan produksi pertanian dan perkebunan.

(25)

5

untuk pengembangan lahan pertanian dan/atau perkebunan. Ketidaktersediaan lahan, menjadi faktor pendorong terjadinya migrasi keluar dari daerah asal. Ekspansi lahan dilakukan ke daerah yang masih memiliki lahan dan mudah diakses. Teori Lee (1966) melihat proses migrasi dalam satu periode waktu saja. Massey (1990) menyatakan bahwa proses migrasi tidak dapat dilihat dari satu faktor penyebab saja karena faktor penyebab tersebut merupakan akumulasi dari faktor yang sebelumnya.

Zelinsky (1971) menyatakan bahwa penyebab migrasi yang terjadi dalam kurun waktu dan periode yang berbeda juga akan sangat berbeda. Transisi demografi dalam kaitannya dengan migrasi akan berubah sesuai dengan perkembangan wilayah. Zelinsky (1971) mengungkapkan lima tahapan perkembangan masyarakat yaitu (1) masyarakat tradisional pra modern (the premodern traditional society), (2) Masyarakat transisi awal (the early transitional society), (3) Masyarakat transisi akhir (the late transitional society),

(4) Masyarakat maju (the advanced society) dan (5) Masyarakat super maju (a future super advanced society). Migrasi desa ke desa yang digambarkan dalam

studi ini ada pada model yang kedua, yaitu early transitional society. Zelinsky

menjelaskan tahapan ini sebagai upaya kolonisasi pertanian di daerah tepian hutan yang masih memiliki banyak lahan. Akan tetapi, kondisi daerah kolonisasi di Sulawesi Tenggara saat ini sudah berbeda dari masa sebelumnya, tidak lagi merupakan daerah frontier (tepian hutan) yang tak bermilik. Saat ini, hampir semua lahan yang dituju sudah dimiliki baik oleh komunitas pribumi dan komunitas pendatang terdahulu. Dengan mempertimbangkan pendekatan Zelinski dalam menganalisis pola mobilitas penduduk dengan fase perkembangan masyarakat, studi ini berupaya melihat lebih lanjut proses perolehan lahan dari komunitas yang telah menetap di Sulawesi Tenggara dalam berbagai periode waktu yang berbeda sesuai dengan tahapan perkembangan masyarakat.

(26)

Fenomena umum sebuah migrasi spontan adalah adanya rantai migrasi yang terus berkelanjutan. Rantai migrasi ini terbangun dari hubungan antar komunitas migran dengan komunitas migran pendahulunya yang membentuk modal sosial yang penting untuk mempermudah proses perpindahan mereka. Jaringan migrasi ini menjadi sebuah mekanisme yang dinamis dan senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi masyarakat dan program pembangunan yang melatarbelakangi kondisi masyarakat. Dalam pergerakannya, aktor dan posisi aktor dalam jaringan dapat bertahan, namun mungkin juga dapat berubah. Dalam hal ini, menarik kiranya untuk mengelaborasi lebih jauh jaringan mana yang banyak dimanfaatkan oleh para aktor dalam posisi tertentu, serta jaringan mana yang kemudian tidak lagi digunakan. Adapun jaringan ini sangat berperan penting agar aktor dan pelaku migrasi dapat memperoleh sumber daya yang mereka inginkan, yaitu lahan. Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana struktur jaringan dalam komunitas mempengaruhi keputusan para pelaku migrasi untuk melakukan migrasi dalam upaya mereka untuk mendapatkan lahan garapan untuk tanaman yang bernilai ekonomis.

Sebagai ringkasan dari penjelasan sebelumnya, rumusan permasalahan penelitian dalam studi ini adalah:

(1) Bagaimana jejaring migrasi dalam upaya mengakses lahan pertanian dan perkebunan terbentuk, siapa saja aktor yang berperan dan bagaimana posisi mereka dalam jejaring migrasi?

(2) Bagaimana jejaring migrasi tersebut menentukan proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga migran?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama penelitian untuk mengkaji bagaimana proses jaringan dalam migrasi komunitas migran Bugis menentukan terjadinya migrasi yang berlangsung secara gradual dalam upaya penguasaan lahan untuk pengembangan kebun dan lahan pertanian. Secara praktis hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk menghasilkan analisis peranan jaringan dalam pengambilan keputusan bermigrasi dan upaya penguasaan lahan. Adapun secara strategis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan perencanaan wilayah suatu daerah yang memiliki laju migrasi antar desa yang cukup tinggi. Penelitian ini akan bermanfaat bagi para pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan masalah migrasi desa ke desa, sehingga pola migrasi saat ini tergambar dapat membantu memprediksikan migrasi yang dapat terjadi dan pendekatan yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah migrasi ini.

Tujuan penelitian secara lebih rinci dirumuskan sebagai berikut:

(1) Menganalisis model dan pola jejaring migrasi yang terbentuk dalam upaya mengakses lahan pertanian dan perkebunan.

(27)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Teori-teori migrasi yang berkembang dewasa ini mencoba menjelaskan proses suatu migrasi antar wilayah yang dicirikan oleh karakteristik wilayah yang berbeda. Hampir semua teori bersandar pada premis ekonomis yaitu atas dasar upaya mencari penghidupan yang lebih baik, namun juga tetap memperhatikan dimensi lain yang turut mempengaruhi proses migrasi tersebut. Teori-teori mengenai sebab migrasi lebih banyak muncul dalam ranah internasional, sedangkan dalam ranah internal, teori ini dicoba diaplikasikan dengan memperhatikan aspek mikronya. Teori migrasi internal sendiri lebih berkembang dalam menjelaskan pola migrasi yang terjadi, penyebab dan eksesnya. Bagian pertama bab ini menjelaskan perkembangan teori migrasi internasional yang dapat membantu menjelaskan mengapa fenomena migrasi internal terjadi. Bagian kedua menjelaskan mengenai teori-teori dalam migrasi internal meliputi beberapa konsep yang berkembang dalam migrasi internal. Bagian ketiga adalah eksplorasi teori-teori sosial yang membangun teori jaringan bermigrasi, dilanjutkan dengan eksplorasi beberapa teori dan konsep terkait dengan pengambilan keputusan migrasi (bagian keempat). Diskusi ditutup dengan penjelasan kerangka berpikir yang mendasari penelitian ini.

2.1 Migrasi Dalam Berbagai Ranah Teori

Berbagai teori besar berkembang dalam menjelaskan proses terjadinya suatu migrasi. Disiplin Ekonomi menjelaskan migrasi dalam tiga fase besar yaitu Neoklasik, Ekonomi Baru dan Ekonomi Migrasi Keluarga (Tabel 1). Teori-teori ini memusatkan perhatian pada migrasi tenaga kerja dengan pertimbangan dasar bahwa terjadi aliran tenaga kerja dari wilayah dengan aras pembangunan yang lebih rendah daripada wilayah tujuannya. Teori ekonomi neoklasik berkembang dari yang hanya melihat pada aras makro dengan unit analisa negara, menjadi lebih fokus melihat pada keputusan individual dalam aras mikro. Dalam teori ini dikemukakan bahwa dorongan migrasi ditentukan oleh analisis cost – benefit

(biaya dan manfaat) yang dimanifestasikan pada positive net return (Massey et al

1993). Keputusan melakukan migrasi ditentukan dengan mempertimbangkan investasi.

Perdebatan teori migrasi semakin berkembang dan melahirkan teori ekonomi baru yang melihat keputusan migrasi yang lebih ditentukan oleh tingkat rumah tangga atau keluarga (Massey et al 1993). Migrasi ditujukan untuk

meningkatkan pendapatan rumah tangga dengan tujuan untuk mengurangi resiko akibat tidak adanya jaminan pangan, akses ke pasar yang rendah karena modal rendah, serta pengangguran. Dalam teori ini, peningkatan pendapatan tidak dalam pengertian pendapatan yang absolut, namun bersifat relative yang melibatkan partisipasi seluruh anggota keluarganya.

(28)

Fokus analisa dalam teori Lee ini lebih bersifat individual dalam aras mikro. Teori ini melihat karakteristik daerah asal dan daerah tujuan migrasi untuk menentukan faktor pendorong dan penariknya. Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan semua tipe migrasi.

Migrasi yang terjadi saat ini sangat mungkin dipengaruhi oleh migrasi yang telah terjadi sebelumnya. Teori yang dikemukakan oleh Lee (1966) belum cukup detail menjelaskan keterhubungan antara migrasi yang terjadi sebelumnya dengan migrasi yang terjadi saat ini. Selanjutnya, berkembanglah teori jaringan yang dapat dapat lebih menjelaskan rantai migrasi yang terjadi. Teori jaringan ini dapat membantu menjelaskan konsekuensi dari migrasi yang terjadi dalam ranah budaya, ekonomi dan sosial masyarakat. Tokoh-tokoh yang memperkenalkan teori jaringan dalam kaitannya dengan migrasi adalah Boyd (1989) dan Massey (1990). Jaringan merupakan sebuah bentuk modal sosial yang dapat memfasilitasi terjadinya migrasi dan menekan biaya yang dikeluarkan untuk bermigrasi. Pilihan bermigrasi ini sangat dipengaruhi oleh ikatan para migran terhadap daerah asal mereka melalui jaringan sosial yang bersifat lintas wilayah.

2.2 Jaringan Bermigrasi Sebagai Sebuah Modal Sosial

Keputusan bermigrasi dapat berdasarkan pada beragam alasan. Meski tidak dapat disangkal bahwa faktor ekonomi memegang peranan penting dalam keputusan bermigrasi, namun pada saat migrasi terus menerus terjadi, di satu lokasi yang sama atau berdekatan pasti ada faktor lain yang ikut menentukan mengapa proses ini terjadi. Percampuran faktor ekonomi dan non ekonomi dalam perilaku rasional disebut sebagai keterlekatan oleh Granovetter (1985). Faktor non Tabel 1 Perkembangan teori migrasi

Teori Neo classic Ekonomi

Baru Migrasi keluarga Push/Pull Jaringan

Tipe

migrasi Tenaga kerja Tenaga kerja Tenaga kerja Semua tipe migrasi Semua migrasi tipe

Aras Makro Mikro Mikro Mikro Mikro Mikro – Meso -Makro

Unit

analisa Negara Individu Keluarga Keluarga Individu Individu/ Keluarga/

jaringan

Disiplin Ekonomi Sosiologi

Faktor Penarik Penarik Penarik Penarik Penarik dan pendorong

(29)

9

ekonomi dapat mengurangi biaya ekonomi, dan mempengaruhi keputusan dan perilaku migran. Salah satu faktor non ekonomi dalam keterlekatan sosial ala Granovetter (1985) adalah identitas etnis, budaya, dan orientasi politis. Namun demikian, studi ini lebih melihat modal sosial yang terwujud dalam jaringan sosial juga menentukan perilaku ekonomi seseorang yang menentukan keputusan mereka untuk bermigrasi.

Jaringan sosial adalah keterhubungan antar aktor, baik itu individu maupun organisasi, yang berperan atas tujuan tertentu (Coleman 2008). Fazito (2009) mendefinisikan jaringan sosial sebagai distribusi simpul (node) dan ikatan atau hubungan antar simpul tersebut yang dapat menggambarkan dinamika perilaku dalam suatu sistem. Simpul-simpul tersebut digambarkan sebagai individu yang terhubung dengan simpul lain melalui ikatan atau garis hubungan. Coleman (2008) menilai bahwa hubungan interpersonal yang melekat pada aktor ini tidak dapat dipindah-pindah begitu saja, dan bahkan bisa patah atau putus, bisa memanjang, dan bisa pula memendek. Granovetter (1985) dan Burt (2013) melihat jaringan sosial sebagai sebuah ikatan yang bisa sangat kuat mengikat (binding), mengait (bonding), dan menjembatani (bridging), namun juga bisa

sangat lemah. Kuat dan lemahnya ikatan ini dipengaruhi banyak faktor. Sebagai sebuah sistem yang dinamis, posisi simpul dan hubungan antar simpul dapat berubah tergantung dari kondisi sosial dan budaya, serta lingkungan fisik. Model jaringan tersebut belum tentu dapat berubah secara drastis sehingga memotret jaringan yang terbentuk saat ini dapat membantu melihat dan meramalkan perubahan pola hubungan yang terjadi. Rantai migrasi merupakan efek langsung dari adanya jaringan migrasi ini. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial para migran ini dapat mereduksi resiko dan biaya yang perlu dikeluarkan dalam bermigrasi (Granovetter 1985, Abustam 1998, Hugo 1981, dan Massey et al 1993).

Hugo (1981) mengemukakan bahwa jaringan ini dapat memberikan dukungan sosial dan emosional kepada para migran.

Massey et al (1993) mendefinisikan jaringan sosial dalam migrasi sebagai

(30)

sosial dan budaya antara daerah tujuan dengan daerah asalnya sebagai suatu modal untuk membentuk hubungan sosial yang memudahkan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan memungkinkan terjadinya migrasi-migrasi lanjutan.

Fazito (2009) menjelaskan bahwa analisis jaringan sosial lebih banyak melihat pada pola struktur jaringan tersebut tanpa melihat pada dinamika dan perilaku yang terjadi pada sistem tersebut. Dalam studi migrasi, dinamika dan perilaku para aktor yang terlibat sangat fluid atau bersifat cair sehingga agak sulit

menggambarkan struktur jaringan tersebut. Dengan demikian, batasan jaringan yang dianalisis menjadi penting. Batasan dapat dibuat berdasarkan etnik dan daerah asal migrasi. Etnik tertentu atau kesamaan tempat tinggal dapat menentukan apakah seseorang mudah atau sulit mengakses sumber daya yang mereka inginkan. Batasan juga dapat mempertimbangkan fungsi para aktor tersebut, apakah para aktor tersebut memiliki peran penting dalam jaringan atau tidak. Batasan juga dapat digunakan untuk melihat pola jaringan yang akan diamati. Fazito (2009) menyarankan bahwa jaringan yang dilihat secara utuh dapat dilakukan dengan pendekatan realis atau nominalis. Realis berarti analisis yang didasarkan pada para aktor (migran) sebagai suatu simpul-simpul (obyektif) yang memiliki keterhubungan satu sama lain. Pendekatan nominalis berdasarkan asumsi eksternal. Pendekatan realis lebih mungkin dilakukan untuk jaringan migrasi yang kecil. Pendekatan nominalis dilakukan untuk migrasi yang populasinya cukup besar dan sulit dijangkau.

Dalam jaringan migrasi, Portes (1998) menyatakan bahwa selain adanya hubungan sosial, komponen yang penting dalam menentukan pola jaringan adalah sumber daya yang dapat diakses melalui hubungan tersebut. Sumber daya tersebut juga kemudian menentukan waktu dan arah terjadinya migrasi. Waktu, dalam konteks kapan migrasi tersebut dilakukan, serta juga arah atau kemana migrasi dilakukan. Sumber daya tersebut dapat berupa apapun, misalnya informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan lahan garapan. Portes (1998) melihat bahwa apapun sumber daya tersebut, namun semua pasti mengarah ke kebutuhan ekonomis migran, yaitu untuk meningkatkan kemampuan finansial mereka. Jaringan tidak dengan sendirinya menghasilkan proses migrasi (de Haas 2010), namun ditentukan juga oleh karakter aktor yang terlibat dalam jaringan tersebut. Dalam jaringan tersebut perlu ada aktor yang memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya atau modal dalam memfasilitasi proses migrasi. Selain kemampuan (ability) tersebut, migran tersebut memiliki keinginan atau kemauan

(willing) untuk membantu calon migran. Jadi kombinasi antara kemampuan dan kemampuan cukup menentukan apakah jaringan tersebut bekerja cukup baik

dalam memfasilitasi proses migrasi. Granovetter (1985) menunjukkan bahwa kuat dan lemahnya ikatan antar simpul dalam suatu jaringan selain ditentukan oleh atribut individu, juga ditentukan oleh posisi individu dalam jaringan tersebut. Individu yang terintegrasi dalam suatu kelompok dan memiliki relasi terhadap aktor lain, dapat mengakses informasi baru. Informasi ini akan lebih mudah mengalir dalam jaringan dan sangat dipengaruhi oleh unsur kenal dan percaya.

(31)

11

migrasi yang dapat menjelaskan latar belakang jaringan migrasi terbentuk. Model ‘jaringan metafora diskursi’ dan ‘jaringan semu’ menekankan bagaimana komposisi para migran di daerah asalnya membangun jaringan atau ikatan. Model ‘jaringan metafora diskursif’merupakan model jaringan yang melihat jaringan sebagai sebuah entitas alami (natural bounded entity) yang mengikuti proses

migrasi tersebut. Rantai sosial, seperti hubungan pertemanan, kekerabatan, kedekatan rumah hanya merupakan faktor yang memperkuat proses migrasi yang terjadi. Hal yang menjadi penting dalam proses migrasi ini adalah tujuan bermigrasi itu sendiri (Coleman 2008). Dalam ‘model jaringan semu’, jaringan merupakan strategi untuk mengurangi resiko dan biaya yang timbul dari proses migrasi, serta juga untuk meningkatkan kemampuan memperoleh sumber finansial yang lebih dan meningkatkan nilai upah. Jaringan dibentuk atas dasar kebutuhan dari aktor yang terlibat dalam proses migrasi.

Dua model lainnya, yaitu (3) model ‘jaringan terpusat pada ego’ ( ego-centered network) dan (4) model ‘jaringan penuh’ (whole network). berupaya

menjelaskan relasi dan posisi aktor atau individu atau organisasi yang berperan dalam migrasi. Fazito (2009:16) menyatakan bahwa model-model ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur relasi setiap aktor./simpul/node, yang menggambarkan distribusi pola ikatan yang terjalin diantara simpul tersebut. Jika ‘jaringan yang terpusat pada ego’ memusatkan perhatian pada satu aktor/individu/organisasi, maka ‘jaringan penuh’ melihatnya sebagai aktor dalam satu keseluruhan jaringan. Dengan demikian, posisi aktor dalam jaringan secara utuh sangat penting untuk memprediksikan perilaku sosial.

2.3 Keputusan bermigrasi

Teori pilihan rasional merupakan teori yang memiliki pengaruh terbanyak terhadap keputusan migrasi terutama dikaitkan dengan perkembangan sosiologi migrasi. Pilihan rasional dipelopori oleh Max Weber (2005), yang menyatakan bahwa tindakan dan pola hubungan sosial dalam struktur masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu zweck (pertimbangan atas faktor eksternal yaitu karena

pengaruh dari luar), wert (pertimbangan nilai, seperti etika dan estetika), afektual

(motivasi dan emosi), dan tradisional (hukum normative atau kesepakatan komunitas). Coleman (2008) mengembangkan teori pilihan rasional ini menjadi sebuah pendekatan dalam sosiologi yang berbasis pada aktor dan mengaitkan pada kondisi mikro dan makro. Dalam kaitannya dengan kajian migrasi, perspektif aktor ini dapat dijelaskan melalui perilaku individu. Keputusan di tingkat individu ini akan berpengaruh pada hasil atau pola bermigrasi yang berada di tingkat makro.

(32)

dan kondisi wilayah yang lebih kondusif dalam mendukung usaha mereka, seperti pasar yang lebih terbuka. Teori yang dikembangkan oleh Lee (1966) berangkat dari keputusan individu dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal namun kurang memperhatikan dinamika yang terjadi antar faktor tersebut. Teori ini belum dapat menjelaskan mengapa migrasi kerap terjadi dengan tujuan lokasi yang sama atau saling berdekatan.

De Jong dan Fawcett (1981) mengemukakan teori harapan nilai (value expectation theory), yang menunjukkan strategi pemilihan lokasi tujuan untuk

bermigrasi melalui seperangkat alternatif yang merupakan hasil pertimbangan dari beberapa dimensi. Jadi pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi perlu dilihat dari berbagai disiplin ilmu. Dimensi kekayaan (wealth), status sosial,

kenyamanan (comfort), saran dari orang lain, otonomi, afiliasi dan moralitas

menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan bermigrasi sebagaimana dikemukakan oleh De Jong dan Fawcett (1981). Haberkorn (1981) mengemukakan beberapa karakteristik lain dapat juga berpengaruh terhadap keputusan bermigrasi meski tidak secara langsung. Karakteristik individu dan rumah tangga, terutama yang berhubungan dengan variabel demografi dan sosial ekonomi merupakan karakteristik pertama yang berpengaruh. Karakteristik kedua adalah norma sosial dan norma budaya. Ketiga, karakteristik personal atau motivasi psikologis seperti kesiapan untuk mengambil resiko atau beradaptasi. Dan yang keempat adalah kesempatan.

2.3.1 Keputusan Individu atau Keputusan Keluarga?

Wood (1982) membahas bagaimana pendekatan neoklasik yang mengedepankan konsep keseimbangan atau equilibrium dalam migrasi yang lebih

bersifat individualistic, perlu dipadankan dengan teori struktur historis ( historical-structural). Pendekatan neoklasik lebih mengedepankan individu sebagai

pengambil keputusan. Pendekatan struktur historis melihat migrasi terjadi karena ada tekanan struktur baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Struktur ini menentukan mobilitas tenaga kerja, yang berpengaruh pada distribusi spasial tenaga kerja berdasarkan permintaan, sehingga terjadilah keputusan bermigrasi. Dari analisisnya, Wood (1982) menyimpulkan bahwa mengubah unit analisa menjadi rumah tangga akan dapat mengintegrasikan kedua teori tersebut. Menurutnya, rumah tangga memiliki strategi nafkah yang bersifat dinamis untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan mempertimbangkan tidak hanya pendapatan moneter dan non moneter. Rumah tangga ini merupakan bagian terkecil dari sebuah struktur yang lebih holistik yang terdapat dalam lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

(33)

13

bermigrasi (Da Vanzo 1981). Migrasi akan menjadi pilihan saat pertimbangan antara tetap tinggal di daerah asal tidak lebih menarik daripada kondisi yang berada di daerah tujuan.

Hugo (1981) juga melihat bahwa keputusan bermigrasi juga secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya. Konteks ini akan menentukan bagaiman migrasi berlangsung, dalam bentuk apa migrasi tersebut berlangsung (permanen atau sirkuler), daerah tujuan migrasi, dan bagaimana mereka beradaptasi terhadap lingkungan baru mereka. Harbinson (1981) menambahkan bahwa struktur demografi masyarakat seperti ukuran rumah tangga, umur dan gender, pola kekerabatan, harapan dan motivasi bermigrasi juga berpengaruh.

2.3.2 Keputusan Bermigrasi Dalam Ruang Dan Waktu

Fenomena perpindahan desa ke desa dalam model transisi mobilitas dan pembangunan yang dikemukakan oleh Zelinski (1971: 233) digambarkan berada pada fase kedua (early transitional society). Fase ini menunjukkan suatu pilihan

migrasi atau kolonisasi agraris yang menjadi penting sebagai alternatif atas meningkatnya pertumbuhan penduduk, perubahan kepemilikan dan produksi lahan, serta minimnya peluang usaha. Pengertian kolonisasi agraris disini menunjukkan tujuan migrasi sebagai upaya untuk mendapatkan lahan untuk memperluas usaha pertanian atau perkebunan migran. Desa, berada dalam tahapan pembangunan awal, yaitu ketika kehidupan masyarakatnya masih banyak bersandar pada aktivitas pertanian. Bilamana peluang meningkatkan ekonomi dengan pertanian tak lagi memadai karena persaingan, mereka melakukan kolonisasi agraris ke wilayah lain yang masih memiliki areal lahan memadai. Zelinski (1971) melihat bahwa mobilitas ini membentuk pola mobilitas tinggi pada periode-periode yang dianggap berhasil, serta dalam satuan tempat yang mengikuti zona-zona dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Dengan meluasnya transfer informasi mengenai hasil dari wilayah yang lebih maju ke wilayah yang kurang maju, transisi mobilitas semakin cepat berubah. Dengan demikian, terdapat suatu masa ketika mobilitas rendah, atau mengarah pada lokasi yang berbeda, tergantung dari sumber daya yang dicari.

Massey (1990) menjelaskan kembali teori yang dikembangkan oleh Gunar Myrdal mengenai circular cumulative causation atau sebab-sebab kumulatif

melingkar, untuk menganalisis bagaimana pengambilan keputusan keluarga sangat dipengaruhi oleh variabel struktur masyarakat. Gunar Myrdal adalah seorang tokoh ekonomi yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh berbagai sebab yang saling terakumulasi dan sirkuler (melingkar). Myrdal memperkenalkan adanya efek pembangunan ekonomi backwash effect

atau efek balik dan spread effect atau efek menyebar. Dari pemikiran Myrdal,

(34)

2.4 Jaringan Migrasi: Analisa Posisi dan Peran Para Aktor

Jaringan migrasi sebagai bentuk jaringan sosial merupakan pola hubungan aktor dan kelompok aktor yang melakukan migrasi maupun yang tidak melakukan migrasi namun memiliki keterhubungan satu sama lain. Para aktor dan hubungan diantara mereka dapat mempengaruhi bahkan menentukan proses pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Jaringan migrasi dapat terjadi di setiap level masyarakat dan bahkan mampu menghubungkan antar level dan antar kelompok masyarakat. Jadi jaringan migrasi adalah sebuah peta keterhubungan antar aktor yang bisa berlangsung sederhana, namun seringkali memiliki keterhubungan yang sangatlah kompleks. Sejumlah ukuran dikembangkan oleh para pemerhati jaringan sosial untuk membantu menguraikan kompleksitas hubungan para aktor tersebut (Freeman 1979, Borgatti 2005)

Dalam kompleksitas hubungan antar aktor dan pelaku migrasi, konsep sentralisasi digunakan untuk melihat di mana pusat-pusat simpul atau node dari hubungan tersebut. Freeman (1979) mengemukakan bahwa pada sekitar tahun

1948, Bavelas (seorang pakar jaringan sosial dalam komunikasi) memperkenalkan konsep sentralisasi dalam hubungan komunikasi suatu kelompok kecil masyarakat. Posisi sentral pada masyarakat ini mampu mengendalikan serta menjadi pusat dalam arus komunikasi. Pemikiran Bavelas ini kemudian dikembangkan oleh Freeman (1979) untuk melihat lebih lanjut keterhubungan aktor dan kelompok aktor dalam suatu jaringan sosial yang memiliki keterhubungan langsung maupun tidak langsung, bahkan kelompok yang nampak tidak memiliki hubungan satu sama lain.

Borgatti (2005) menguatkan pemikiran Freeman (1979) dengan mengembangkan konseptualisasi mengenai sentralisasi dalam jaringan sosial dan salah satu ukuran penting dalam sentralisasi yaitu betweeness centrality.

‘sentralisasi keantaraan’ (betweeness centrality) adalah ukuran dalam analisis

jaringan migrasi yang melihat sejauh mana posisi aktor dan letak di mana letak mereka diantara para aktor lainnya dalam jaringan tersebut. Ukuran ini memperhitungkan keterkaitan antar aktor yang berada di sekitarnya. Ukuran keantaraan atau betweeness yang tertinggi menunjukkan aktor tersebut mampu

menjembatani aktor dan kelompok aktor lainya. Jadi, dalam ukuran ini dapat terlihat aktor atau kelompok aktor mana yang secara tidak langsung memiliki hubungan dengan mereka

Borgatti (2005) kemudian juga menyatakan konsep lain yang penting dalam mengukur suatu jaringan sosial yaitu eigenvector centrality atau ‘sentralisasi

pengaruh/kuasa’, merupakan dua konsep penting untuk melihat aktor yang paling berperan dalam migrasi dan berperan serta dalam mengiringi proses migrasi yang terjadi. Konsep eigenvector centrality ini pertama kali dikemukakan oleh

Bonacich (1987) dan kemudian dikembangkan oleh Borgatti (2005). Eigenvector centrality merupakan sebuah konsep yang dapat mengukur pengaruh dari simpul

(35)

15

2.5 Bugis dan Penguasaan Lahan Untuk Kebun Coklat

Etnis Bugis sudah sangat dikenal sebagai komunitas perantau yang senantiasa berhasil di daerah baru di mana mereka tinggal. Tidak hanya sebagai nelayan sebagaimana di daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, dan Riau – Jambi (Kinseng dan Saharuddin 2009), komunitas ini juga cukup dikenal berhasil sebagai petani pekebun merica di Kalimantan Timur (Vayda dan Sahur 1985), coklat di Sulawesi Tengah (Sitorus 2002b, Schippers dan Vaust 2009) dan Sulawesi Tenggara, serta kelapa dalam di daerah Riau dan Jambi. Acciaioli (1998) menilai bahwa keberhasilan orang Bugis ini adalah karena komunitas ini memiliki kelenturan dalam beradaptasi dengan kehidupan masyarakat di mana mereka tinggal serta mampu mengkonseptualisasi daerah baru sebagai daerah yang sudah lama mereka kenal sebelumnya.

Migrasi Bugis ke berbagai daerah di Indonesia dan terutama Sulawesi Tengah berkaitan erat dengan pengembangan tanaman komoditi yang sedang mengalami ledakan untuk mendapatkan lahan (Ruf dan Yoddang 2001, Faust et al

2003). Komunitas Bugis berupaya mendapatkan lahan berhutan yang memiliki tingkat kesuburan tinggi untuk mengolah kebunnya agar memperoleh hasil yang maksimal. Ruf (2001) menyebutkan perbedaan biaya pengelolaan lahan untuk lahan bekas hutan yang memiliki kesuburan tinggi dengan lahan yang sebelumnya telah diolah sebagai forest rent atau ‘sewa hutan’. Tidak hanya di Sulawesi, pada

komunitas Bugis yang bermigrasi ke Kalimantan Timur (Vayda dan Sahur 1985), preferensi lahan mempertimbangkan ketersediaan pohon seperti Ulin (Eusideroxylon zwageri) untuk digunakan sebagai tajar merica. Lahan yang masih

berhutan, dengan komposisi jenis pohon Ulin yang cukup besar menjadi incaran para migran Bugis dan mengarahkan daerah tujuan migrasi mereka. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa komunitas ini akan berupaya mencari lahan yang sesuai dengan kebutuhan komoditas yang akan mereka tanam.

Migrasi dan kolonisasi bukan hal yang baru dalam isu migrasi. Masing-masing etnik yang bermigrasi dan berupaya mengambil alih lahan di tempat baru memiliki strategi dan pola yang berbeda. Pada masyarakat transmigran dari Jawa, pagar menjadi batas-batas yang pasti yang menunjukkan identitas mereka di daerah mereka yang baru. Ini juga sekaligus menggambarkan upaya mereka untuk membangun koloninya dalam penguasaan lahan. Komunitas migran membangun berbagai strategi agar mereka tetap bisa mencari sumber penghidupan di daerah barunya dan diterima oleh masyarakat lokal. Kontrasnya perbedaan cara mereka mencari sumber nafkah dan pola hidup, serta pola pemukiman yang mereka bangun, mencirikan siapa mereka dan menunjukkan secara jelas bahwa mereka berbeda dari komunitas pribumi. Eksklusifitas komunitas transmigran maupun komunitas migran yang pindah secara spontan juga menimbulkan reaksi dari masyarakat lokal. Transmigrasi lokal yang dikhususkan bagi komunitas pribumi yang tinggal di sekitar area transmigrasi, merupakan strategi yang muncul sebagai respon dari reaksi masyarakat lokal yang merasa berhak atas lahan di mana mereka tinggal.

(36)

tanaman komoditi coklat (Ruf dan Yoddang 2001, Hall 2011, Li 2012) yang berlangsung di Indonesia. Transmigrasi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan dikembangkan sejalan dengan berkembangnya kelapa sawit, dan migrasi spontan di Sulawesi dan di Sumatera karena perkembangan tanaman coklat dan kopi.

Berbeda dengan migrasi dalam kerangka transmigrasi yang datang dalam jumlah yang cukup besar dan perolehan tanah yang difasilitasi oleh pemerintah, migrasi spontan datang secara bergelombang. Mereka berupaya mencari sendiri lahan yang mereka tuju, dan mereka memanfaatkan jaringan yang sudah mereka miliki untuk mengakses tanah tersebut. Biasanya tanah yang mereka pilih adalah tanah yang mudah diakses oleh mereka dan cocok untuk dijadikan lahan bagi tanaman komoditi tertentu. Namun selain itu, Ruf (2001) serta Vayda dan Sahur (1985) menyatakan bahwa aspek legalitas tanah yang masih kurang di daerah tujuan membuat mereka semakin mudah mengakses lahan tersebut. Galudra et al

(2013) menyatakan bahwa tumpang tindihnya status lahan memberikan kesempatan para aktor berupaya untuk menguasai lahan-lahan yang statusnya tidak jelas. Harga-harga tanaman komoditi yang meningkat seperti cengkeh, coklat, kopi, kelapa sawit dan pohon cepat tumbuh (akasia dan kayu putih) telah membantu mendongkrak harga lahan sekaligus mendorong upaya perluasan lahan bagi komunitas tertentu.

2.6 Kerangka Konseptual

Sejalan dengan pendapat Harbinson (1981), penelitian ini menggunakan rumah tangga sebagai fokus kajian, dengan individu sebagai bagian anggota rumah tangga. Keputusan-keputusan individu sangat dipengaruhi oleh anggota keluarga yang lain, karena dampak yang dihasilkan akan dirasakan juga oleh anggota keluarga lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan migrasi seperti faktor sosial, ekonomi, budaya dan psikologis menjadi bahan pertimbangan penting dalam rumah tangga. Jaringan migran kemudian berfungsi dalam menekan resiko migrasi, dengan mengurangi biaya sosial, ekonomi, psikologi dan budaya (Gambar 1). Dari berbagai faktor tersebut, faktor ekonomi dan upaya mencari lahan menjadi faktor utama yang diperhatikan secara mendalam. Lahan merupakan komoditas utama yang menjadi daya tarik para pendatang, sekaligus juga faktor pendorong para migran keluar dari wilayahnya.

Tanpa menegasikan kondisi yang ada di tingkat makro seperti proses dan dampak pembangunan dan peraturan mengenai migrasi, penelitian ini fokus pada proses yang ada di aras mikro dan meso. Di aras mikro, individu dan rumah tangga mengembangkan seperangkat alternatif dalam memutuskan bermigrasi, dan pengaruh jaringan migrasi yang berada di aras meso yang dapat menggambarkan interaksi sosial para migran. Lagipula, jaringan sosial melibatkan tidak hanya aktor yang melakukan migrasi saja, namun juga kepada aktor lain yang mempengaruhi keputusan mereka untuk migrasi (Massey et al 1993, Portes

(37)

17

Dalam mengkaji proses resiprokal migrasi dan migrasi yang terjadi selanjutnya, satuan waktu dan tempat perlu didefinisikan (Zelinski 1971). Migran pionir dan migran susulan dalam setiap periode waktu serta apakah lokasi kepindahan sama dengan migran pionir atau ada pertimbangan lokasi lain. Kajian ini terutama dilakukan dalam konteks daerah tujuan migrasi. Di daerah asal, pertimbangan waktu dan lokasi ini juga penting dikaji dalam dinamika internal komunitas yang tidak bermigrasi, mengapa mereka memutuskan untuk tetap tinggal di desa mereka pada periode keberhasilan tersebut. Apakah hambatan secara sosial, budaya, psikologis dan ekonomi yang menjadi pertimbangan untuk tidak bermigrasi. Sebab-sebab migrasi tidak dilihat sebagai satu faktor, melainkan sebab yang terakumulasi dan sebab yang melingkar (Massey 1990).

Studi migrasi desa ke desa ini meliputi pola migrasi dengan populasi yang tidak terlalu besar. Pendekatan jaringan yang realis sebagaimana dikemukakan oleh Fazito (2009) lebih tepat diterapkan untuk mendapatkan gambaran secara utuh mengenai pola migrasi yang ada, namun dapat membantu menggambarkan pola migrasi yang lebih luas. Dengan demikian batasan yang digunakan untuk membantu penelitian ini lebih terarah adalah jaringan migran bugis yang berprofesi sebagai petani coklat di Desa Lawonua.

(38)

18

3 METODE

Penelitian dilakukan dengan merumuskan pertanyaan mendasar mengenai bentuk dan realitas migrasi desa ke desa, jaringan sosial yang terbentuk pada komunitas migran dalam upaya mengambil alih lahan dan pola pengambilan keputusannya. Penelitian ini berupaya menangkap keunikan pola migrasi desa ke desa, jaringan sosial dan berbagai faktor yang saling mempengaruhi dalam menentukan keputusan seseorang untuk bermigrasi ke desa di daerah lain. Meski bersifat unik dan lokal, kajian ini dapat menunjukkan suatu kesepakatan realitas sosial yang bersifat subyektif. Rantai migrasi, pola hubungan sosial, struktur dan peranan para aktor dalam jaringan dan pengambilan keputusan bermigrasi dan pola pengambilan keputusan merupakan sebuah realitas yang perlu dipandang secara kritis melalui pengamatan dan penggalian informasi yang komprehensif. Memahami fenomena rantai migrasi merupakan sebuah upaya eksploratif yang bertujuan untuk membuka pemahaman yang lebih baik mengenai jaringan migrasi, relasi para aktor serta sebagai upaya membangun metodologi untuk melakukan studi yang lebih jauh (Babbie 2004). Dengan demikian, pendekatan yang paling tepat dilakukan untuk mendapatkan pemahaman ini adalah pendekatan kualitatif.

Keterhubungan antar faktor penentu keputusan bermigrasi penting untuk dikaji dalam kaitannya dengan upaya menjelaskan hubungan antar faktor dalam fenomena ini (Babbie 2004) serta untuk memprediksi pola migrasi di masa depan. Metode pengambilan data menggunakan survey rumah tangga diimplementasikan untuk mengelompokkan pelaku migrasi dan mengaitkan dengan faktor-faktor penentu migrasi lainnya, dan untuk melihat apakah peranan jaringan migrasi ini cukup krusial berpengaruh dalam pola pengambilan keputusan. Dengan menggunakan kerangka analisis yang lebih ke arah kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mendukung analisis kualitatif dan memberikan gambaran yang lebih detail mengenai karakteristik ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’. Survey rumah tangga dilakukan dengan menggunakan sampel kecil yang hanya mampu menggambarkan kondisi pada kedua desa tersebut.

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

(39)

19

penduduk migran Bugis dan lokal yang hampir sama banyak. Arus migrasi komunitas Bugis di desa ini masih berlangsung beberapa tahun belakangan ini sehingga memudahkan studi ini untuk menelusuri bagaimana identitas komunitas migran ditinjau dari komunitas asalnya. Hasil penelusuran beberapa migran yang berada di Desa Lawonua ini menunjukkan bahwa Desa Kalobba, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan merupakan daerah asal sejumlah kecil migran yang ada. Beberapa arus migrasi dari Desa Kalobba masih baru-baru saja terjadi, sehingga dengan mudah ditelusuri dan ternyata, sejarah migrasi dari desa ini sudah dimulai sejak lebih kurang 10 tahun. Pemilihan Desa Kalobba sebagai area studi tidak hanya dapat menggambarkan migrasi terkini, namun juga potret migrasi sebagaimana terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Secara visual, lokasi desa penelitian ditampilkan dalam Gambar 2.

Kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan baik di desa tujuan maupun di desa asal (Kabupaten Sinjai). Survey di desa tujuan (Kabupaten Konawe) dilakukan terlebih dahulu (Tahapan pertama) guna menelusuri rantai migrasi yang dibangun oleh para migran tersebut. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Februari 2013 selama 3 – 4 minggu. Tahapan kedua adalah penelitian di daerah asal migrasi yaitu di Desa Kalobba, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan serta di daerah tujuan migrasi, Sulawesi Tenggara. Penelitian di daerah asal dilakukan selama kurang lebih dua minggu pada bulan April 2013.

(40)

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dari wawancara mendalam, survey rumah tangga, dan pengamatan, serta diskusi terstruktur. Data primer yang dikumpulkan menggambarkan kondisi mikro dan membantu menjelaskan fenomena di aras meso mengenai jaringan bermigrasi dan pola pengambilan keputusan bermigrasi. Data-data sekunder dari hasil sensus penduduk BPS, beberapa literatur dan dokumentasi terkait, digunakan guna memperkuat pemahaman dan penjelasan mengenai fenomena migrasi ini terutama dalam aras meso dan makro. Secara lebih detail mengenai jenis data, sumber data dan cara pengumpulan data dapat dilihat dalam Tabel 2.

Pada Tahapan pertama penelitian yang dilakukan di desa tujuan migrasi, diskusi bersama beberapa tokoh desa dilakukan guna mendapatkan gambaran mengenai kondisi umum desa, pola dan model gerak penduduk dari masa ke masa, serta juga untuk mengetahui sejarah perkembangan desa secara umum. Survey rumah tangga dilakukan untuk mendapatkan gambaran sosial ekonomi masyarakat, dan memahami keterhubungan antar faktor yang menentukan dalam proses migrasi. Wawancara terstruktur ini diterapkan guna mengidentifikasi pola jaringan dan posisi masing-masing individu dalam jaringan tersebut. Sampel yang diambil dalam survey rumah tangga ini adalah warga migran Bugis yang saat ini mengolah lahan di Desa Lawonua. Sebanyak 32 responden yang merupakan pendatang beretnis Bugis dipilih yang mewakili setiap dusun yang ada di wilayah Desa Lawonua diwawancara dengan menggunakan wawancara terstruktur. Jumlah responden ini meliputi 90% dari komunitas Bugis yang ada. Penentuan jumlah responden untuk komunitas Bugis cukup besar mengingat sedikitnya jumlah penduduk yang menjadi komunitas migran di desa ini. Selain itu, guna menggambarkan pola dan jaringan migrasi, maka sebaiknya sebagian besar komunitas diwawancara, agar pola jaringan lebih jelas terlihat. Sepuluh persen komunitas yang tidak diwawancara dalam studi ini, adalah orang yang tidak ada di lokasi saat studi dilakukan, dan beberapa karena menolak diwawancara.

Wawancara mendalam dilakukan dalam upaya memahami realitas historis dan sosial yang menggambarkan rantai migrasi dan jaringan yang terbentuk. Untuk melihat sejarah migrasi, wawancara mendalam dilakukan dengan sejumlah informan yang dipilih secara purposif, dengan kriteria migran Bugis yang berperan cukup penting dalam migrasi. Pemilihan informan selanjutnya menggunakan metoda snowball sampling berdasarkan informasi dari

(41)

21

kunci yang diwawancara secara mendalam adalah aktor-aktor yang berperan dalam perekrutan migran dari daerah asal mereka.

Dari hasil observasi dan wawancara, hampir 40% penduduk pendatang di Lawonua berasal dari Kabupaten Sinjai, dan sebagian besar diantaranya berasal dari Desa Kalobba, Kecamatan Tellu Limpoe. Penelusuran keenam informan kunci juga menunjukkan bahwa migrasi yang berlangsung sejak lama dan masih ada hingga kini berasal dari Kabupaten yang sama. Dengan demikian desa inilah yang kemudian dipilih menjadi daerah studi.

Selanjutnya, pada Tahapan Kedua, penelitian di daerah asal, pendekatan kualitatif dilakukan untuk memahami sejauhmana faktor jaringan menentukan keputusan migrasi, mengapa sebagian masyarakat memutuskan untuk tetap tinggal dan bagaimana persepsi mereka terhadap jaringan yang telah terbentuk untuk membangun rantai migrasi. Informan kunci yang dipilih di daerah asal yang memiliki kaitan dengan informan di daerah tujuan, diantaranya adalah keluarga yang ditinggalkan oleh migran di daerah tujuan, atau kerabat terdekat yang tinggal di satu desa (jika migran di daerah tujuan bersama seluruh keluarganya). Wawancara mendalam dilakukan guna menelusuri sejarah perpindahan mereka ke daerah tujuan, hubungan apa yang dibangun oleh para migran tersebut untuk memperoleh lahan dan pengetahuan tentang bercocok tanam coklat.

Di daerah asal, dilakukan juga survey rumah tangga dengan sampel rumah tangga diambil secara purposif dengan menggunakan kuota 30 responden. Rumah tangga yang dipilih adalah rumah tangga yang sebagian anggota keluarganya bermigrasi ke Sulawesi Tenggara (kuota 15 rumah tangga) serta keluarga yang tidak ada anggota keluarga yang bermigrasi (kuota 15 rumah tangga).

Metode penelusuran daerah tujuan ke daerah asal migran dikenal sebagai metode penelusuran sejarah keluarga (tracing family history) yang akan sangat

membantu memahami jalur-jalur migrasi seseorang dan keluarganya, serta hubungan antar aktor yang membangun jalur migrasi tersebut (Wahyuni 2007). Metode tracing ini menggunakan satu atau dua sejarah kehidupan dengan keyakinan bahwa pola yang sama akan terdapat juga di lokasi lain dan dalam bentuk yang beragam (Newman 2000:398).

3.3 Analisa Data

Penelitian ini berupaya memetakan keterhubungan antar aktor, organisasi, kejadian (waktu) dan lokasi yang merupakan pola yang berlaku umum. Peta hubungan antar aktor ini dapat dijelaskan dari sebuah fenomena spesifik yang merupakan bagian dari pola yang berlaku lebih luas, atau merupakan satu bagian dari struktur yang lebih luas, atau merupakan satu keterkaitan dari keterkaitan yang lebih kompleks. Newman (2000) menyebutnya sebagai penjelasan structural (structural explanation). Oleh karena itu, dengan mengangkat proses migrasi yang

(42)

Sosiogram, sebuah alat bantu dalam pemetaan jaringan, diterapkan guna membantu melihat fenomena relasi yang membentuk suatu jaringan dan menggambarkannya secara lebih konkrit (Scott 2013). NodeXL, aplikasi yang dikembangkan dalam program Microsoft Excel khusus untuk membuat diagramatik jaringan sosial, jaringan penemuan dan jaringan eksplorasi digunakan untuk membantu menggambarkan pola jaringan, hubungan antar aktor, posisi aktor yang berpengaruh dalam migrasi, serta juga membantu mengkuantifikasi pola hubungan tersebut untuk analisa lebih lanjut. Penerapan software ini dalam studi jaringan migrasi belum pernah dilakukan, penelitian ini berupaya menjadi pionir dalam hal ini. Aplikasi Node XL dapat diunduh dari http://www.codeplex.com/nodexl.

Scott (2013:3) menjelaskan bahwa jaringan sosial dapat dianalisis secara kuantitatif untuk melihat relasi yang ada serta signifikansi dalam pola relasi tersebut, namun dalam struktur dan perkembangannya hanya dapat tertangkap Tabel 2 Jenis dan sumber data

No Data Deskripsi Metode

6 Pendapatan Pendapatan

Pengeluaran

Pendapatan

(43)

23

melalui analisis kualitatif. Studi ini belum dalam konteks untuk mengkuantifikasi relasi tersebut, serta juga pola relasi, sehingga analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif.

Gambar

Gambar 1 Kerangka konseptual penelitian
Gambar 2 Lokasi penelitian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
Tabel  2 Jenis dan sumber data
Tabel  3 Karakteristik penduduk di Desa Asal dan Desa Tujuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

INDUSTRI RUMAH TANGGA PENGOLAHAM BANDENG ASAP D l KABUPATEN SIDOARJO, PROPlNSl JAWA

Berdasarkan kepada Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, bahwa setiap perguruan tinggi wajib memenuhi Standar

Perusahaan mengharapkan adanya kekuatan atau semangat yang timbul dalam diri penerima insentif yang mendorong mereka untuk bekerja dengan lebih baik dalam arti lebih produktif

Berbeda dengan teripang lainnya, teripang jenis Holothuria leaucospilota daerah penyebaran- nya relatif lebih luas, yaitu selain di daerah tubir dan lereng terumbu, teripang ini

mempengaruhi corak dan pelakanaan proyek-proyek pembangunan oleh masyarakat atas dasar pandangan yang menguntungkan bagi perbaikan kehidupan mereka, peningkatan

Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi konsentrasi enzim papain pada pH 5,5 dan pH 7,0 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak, kadar

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi diantaranya bibit unggul yang belum tersebar merata dan adanya pola pikir masyarakat Indonesia terhadap tanaman

Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang Alokasi dan Rincian Anggaran Bantuan Sosial di Pendidikan dan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2011 dan