• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 MIGRASI KOMUNITAS PETANI COKLAT BUGIS DI SULAWESI TENGGARA

6.4 Pola-Pola Migras

Beranjak dari kisah-kisah yang disampaikan para migran, tipe-tipe migran Bugis dapat dikelompokkan menjadi migran baru (one time mover), migran

berulang (multiple times mover) dan migran ikutan (family mover). Migran baru

(migran pionir) dikategorikan sebagai migran yang langsung datang dari Selatan ke Tenggara dan belum pernah tinggal di Sulawesi Tenggara. Kelompok migran ini banyak terdapat pada kelompok migran datang pada periode-periode setelah 2000. Mereka adalah kelompok migran yang datang ke Tenggara dengan motivasi untuk mendapatkan lahan dan meningkatkan pendapatan mereka. Karakteristik migran yang berada di desa penelitian (desa tujuan migrasi) ditampilkan secara detail dalam Tabel 11.

Tabel 11 Tipe migran di daerah tujuan dan karakteristiknya (N=32)

Tipe migran % Asal daerah Latar belakang pendidikan (% penduduk)

Kelompok umur migran (%) Gender

SD SMP SMA PT 24 th 16 – 29 th 35 – 54 th 40 – >54th P L Migran baru 45,83 Bone, Bulukumba, Sinjai, Soppeng, Wajo 44,4 44,4 11,1 0 1.39 22.22 18.06 5.56 14 20 Migran berulang 38,89 Bone, Bulukumba, Soppeng, Sinjai, Wajo, Jeneponto, Maros 67,9 14,3 10,7 7 - 11.11 18.06 5.56 13 14 Migran ikutan 12,5 Bone, Bulukumba, Soppeng, Sinjai, Wajo 69,7 15,2 12,1 3 2.78 6.94 2.78 - 6 3

Migran berulang atau multiple times mover adalah migran yang sudah

melakukan perpindahan ke wilayah di dalam Sulawesi Tenggara lebih dari satu kali. Termasuk juga pengalaman pindah atau bekerja ke daerah lain selain di Sulawesi Tenggara, misalnya dari Malaysia dan Kalimantan. Migran berulang di Lawonua umumnya adalah migran pindahan dari suatu daerah di Kolaka, yaitu

Desa Pinanggo, Kecamatan Lambandia, Tobuha atau Ponggolaka dan Konaweha. Umumnya mereka datang di periode awal 1980 atau akhir 1970 dan mata pencarian utama di daerah asal di desa di Sulawesi Tenggara ini adalah bertani padi sawah.

P, 68 tahun, seorang petani coklat yang berasal dari Desa Kampala, Kabupaten Sinjai, berangkat ke Konaweha, Kabupaten Kolaka sekitar tahun 1970an dengan hanya menggunakan perahu layar. Ia menyeberang Teluk Bone bersama anaknya yang paling kecil berusia 6 tahun, membawa bekal 5 karung beras, dan 2 ekor sapi, serta uang sejumlah Rp 35 000. Setelah berlayar selama tiga hari dua malam, beliau sampai di Kolaka dan langsung mengunjungi pamannya yang telah terlebih dahulu pindah ke dea Konawe ha. Beliau dibantu oleh pamannya mencari lahan datar guna dijadikan areal bersawah. Setelah bermalam lebih kurang 2 malam, akhirnya ia mendapatkan lahan dan siap mengolahnya. Lahan tersebut diperolehnya dari seorang warga pribumi yang mendapatkan bagian lahan dari pemerintah namun tidak sanggup mengolah lahan tersebut. Lahan tersebut akhirnya dijual murah kepada P. Sejalan dengan waktu, kebutuhan P akan tanah semakin bertambah, terutama untuk membagi anak-anaknya lahan guna bekal mereka di masa depan. Pada tahun 1995, P berupaya mencari lahan di Lawonua dengan dibantu oleh SF. Setelah tanah didapat, P tidak langsung pindah ke Lawonua, tetap menetap di Kolaka. Namun pada tahun 2000, akhirnya P memutuskan untuk pindah ke Lawonua bersama isteri dan anaknya.

Migran berulang ini melakukan migrasi dengan motif menambah luasan lahan. Beberapa dari mereka memang mengalami masalah keuangan dan berniat menjual lahan di Pinanggo atau Konawe ha untuk mengatasi masalah mereka. Harga tanah di daerah tersebut jauh lebih mahal dari tanah di Lawonua. Dengan menjual lahan di daerah mereka yang lama dan mencari lahan di tempat yang lebih murah dapat membantu memecahkan masalah mereka. Beberapa yang lainnya, yang mampu mengakumulasi modal, sengaja mencari lahan di daerah baru untuk menambah jumlah kebun. Gambar 12 menunjukkan seberapa banyak lahan yang dikuasi oleh masing-masing tipe migran. Nampak bahwa migran berulang ini bukan kelompok penduduk yang tidak memiliki lahan. Lahan yang mereka peroleh ini kemudian mereka bagikan sebagai warisan atau mahar untuk pernikahan keturunan mereka.

Migran ikutan adalah keturunan dari para migran yang telah tinggal di Sulawesi Tenggara cukup lama. Sebagian dari mereka kelahiran Sulawesi Selatan yang pindah ke Tenggara saat balita atau remaja menyusul orang tuanya yang telah lebih dahulu pindah, serta sebagian lainnya memang kelahiran Sulawesi Tenggara. Di Desa Lawonua masih terdapat migran Bugis yang sudah menikah namun belum memiliki lahan. Mereka adalah migran ikutan yang belum mendapatkan bagian lahan dari keluarga serta juga belum mampu mendapatkan lahan sendiri.

Pendatang Bugis dan Makassar di Desa Lawonua datang secara bergelombang hingga sekarang meliputi 54% dari jumlah penduduk di Desa Lawonua. Dilihat dari pola masuknya migran ke desa ini, gelombang kedatangan migran di Desa Lawonua terbagi menjadi lima model. Secara sederhana, model kedatangan dan jaringan yang terbangun oleh migran Bugis ini diilustrasikan seperti dalam Gambar 13.

57

6.4.1 Migrasi Karena Penempatan Pekerjaan

Model pertama migrasi adalah kedatangan seorang penyuluh yang ditempatkan di desa ini, dan kemudian menikah dengan warga pribumi dan hidup menetap. HN, penyuluh yang berasal dari Kabupaten Soppeng datang ke desa ini

Keterangan: MT, HN, SO, HU, HS, AB dan SF adalah inisial para tokoh yang menjadi pusat pada setiap jaringan yang ada

Gambar 13 Pola migrasi dan model jaringan yang terbentuk

2.86% 2.86% 2.86% 2.86% 17.14% 20.00% 5.71% 11.43% 20.00% 8.57% 5.71% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% Tidak punya lahan

< 1 ha 1 - 2 ha 2 - 4 ha > 4 ha

Migran baru Migran berulang Migran ikutan

sekitar tahun 1987. Pada saat itu, Dinas Pertanian dan Perkebunan memiliki program untuk menempatkan sejumlah lulusan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) di Makassar di beberapa daerah di Indonesia, diantaranya adalah ke Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur. HN bersama 7 orang lainnya, merupakan perwakilan SPMA yang ditempatkan di Sulawesi Tenggara di 7 desa yang berlainan. HN ditempatkan di Desa Lawonua. Bersama dengan kepala Desa, HN ikut membangun desa ini hingga saat ini.

6.4.2 Migrasi Mandiri

Migrasi model ini adalah migrasi yang dilakukan atas inisiatif para migran dengan motivasi untuk mencari lahan. Mereka adalah sekelompok orang yang karena memiliki kesamaan tujuan yaitu mencari lahan untuk lokasi berkebun coklat, bersama-sama mencoba mengakses desa-desa yang menurut informasi memiliki lahan yang dapat diakses.

Salah satu contoh migran mandiri adalah SO, seorang Bugis yang berasal dari Desa Waempubbue, Kecamatan Amali, Kabupaten Bone yang datang sekitar tahun 1988. SO telah terlebih dahulu tinggal di daerah Desa Ponggolaka, Kelurahan Pinanggo, Kolaka selama 4 tahun. Dengan motivasi untuk mencari lahan yang bisa digarap, isteri SO mengajak pindah ke Lawonua karena harga di Lawonua yang cukup murah. Bersama dengan 8 keluarga lainnya, SO pindah ke desa ini.

Kedelapan keluarga yang ikut bermigrasi bersama SO memiliki beragam alasan untuk pindah. Sebagian besar bertujuan untuk membuka kebun coklat. Sebagian besar dari mereka memang sudah memiliki lahan di Ponggolaka, namun sebagian kecil lainnya belum memiliki lahan karena mereka adalah migran ikutan. Kedelapan keluarga ini semuanya berasal dari desa Pinanggo di Kolaka. Jadi tipe migran yang ada dalam kelompok ini adalah migran berulang dan migran ikutan yang ingin membeli lahan baru atau pindah ke lokasi baru. Sebagian dari mereka masih mempertahankan lahannya di Pinanggo, sebagian lainnya sudah menjual lahan mereka yang ada di Sulawesi Tenggara.

Sebelum pindah ke Lawonua, SO dan beberapa temannya sengaja mendatangi kepala Desa Lawonua untuk mencari kemungkinan lahan yang bisa dibeli. Setelah melalui beberapa tahap negosiasi, akhirnya SO dapat membali lahan yang sekarang ditempatinya dari warga pribumi. Lahan yang dibeli SO dalam kondisi masih mirip hutan. Perlu usaha yang cukup keras bagi SO membuka kebun coklat di daerah ini. Usaha keras SO ini dikarenakan beliau sudah tidak memiliki lahan lagi di desa sebelumnya, dijual sebagai modal untuk membuka kebun di Lawonua ini.

6.4.3 Agen Atau Makelar Tanah

Agen atau makelar tanah berperan cukup penting dalam memfasilitasi proses migrasi di desa ini. Mereka adalah penyedia informasi lahan yang akan dijual, baik kondisi maupun harganya. Dengan memanfaatkan jaringan kekerabatan dan kenalannya, agen atau makelar tanah secara aktif mencari para calon migran yang berminat untuk membeli lahan di daerah baru. Awalnya,

59

mereka adalah migran yang telah datang cukup lama dan tinggal di salah satu desa di Sulawesi Tenggara. Dengan pemahaman yang mereka miliki mengenai dinamika jual beli lahan di wilayah ini maka mereka mencoba membantu para migran yang tidak memiliki informasi mengenai lahan yang dijual. Berkat agen, dalam komposisi daerah asal etnis bugis yang ada di desa ini menjadi cukup banyak, tidak hanya satu atau dua kelompok saja.

Beberapa migrasi masuk di Desa Lawonua terjadi karena difasilitasi oleh SF dan AB. Kedua tokoh ini cukup dikenal oleh penduduk Desa Lawonua sebagai ‘agen’ dalam membeli tanah. SF, adalah seorang warga Bugis yang telah tinggal di Kolaka yang membantu proses penjualan tanah oleh HU (seorang warga pribumi). Pada saat itu, sekitar tahun 1997 – 1998, selain membantu HU untuk menjual tanah, SF juga membantu HS, yang juga sedang mencari tanah. Untuk membantu menginformasikan tanah HU yang akan di jual, SF sengaja mengambil waktu untuk mengunjungi kerabat dan kenalannya dengan datang langsung mengundang mereka di Sulawesi Selatan dan berhasil menghimpun sekitar 5 keluarga untuk membeli lahan di Lawonua. Selain itu, informasi lahan yang dijual tersebut juga disampaikan olehnya kepada tetangga dan kerabatnya yang tinggal di Sulawesi Tenggara, yang berniat untuk mencari lahan baru. SF tidak berjuang sendiri, ia dibantu oleh AB rekannya. Jika SF saat ini tidak tinggal di desa ini, AB merupakan penduduk desa ini dan memiliki lahan untuk bercocok tanam coklat. Hingga tahun 2000an, komunitas yang pindah ke desa ini dari informasinya sekitar 2 – 5 KK per tahun.

6.4.4 Migrasi Dengan Jaringan Kekerabatan

Migran dari Soppeng mulai datang pada tahun 1997 – 2000 melalui jaringan yang dibangun oleh HS. Salah satu migran yang memanfaatkan hubungan kekerabatan ini MT yang datang ke Lawonua atas informasi iparnya. Ia diajak oleh iparnya untuk mencoba mencari lahan di Desa Lawonua ini, dan akhirnya iapun datang ke desa ini untuk survey awal. Selama melakukan survey, MT tinggal di rumah iparnya Setelah mempelajari kondisi desa ini, pada tahun 1997, ia akhirnya mendapatkan tanah seluas 4 ha lahan dengan harga per hektarnya Rp. 500 000. Tanah ini dibelinya dari seorang warga pribumi. Setelah mendapatkan lahan, ia kembali ke Soppeng untuk mempersiapkan kepindahannya ke Lawonua. Beberapa bulan kemudian, ia datang kembali ke Lawonua bersama isterinya untuk menetap. Ia datang tidak sendiri, ia mengajak 3 orang lainnya yang juga berminat mencari lahan desa ini. Ketiga rekannya tersebut juga pada akhirnya membeli lahan dan membuka kebun di desa ini, meski, kelima kerabatnya tersebut meninggalkan desa ini beberapa tahun mengelola kebunnya. Pada tahun-tahun selanjutnya masih berdatangan migran dari Kabupaten Soppeng, dan dari desa yang sama, atau meskipun bukan dari desa yang sama namun masih memiliki kekerabatan dengan beberapa warga yang ada. Gelombang kedatangan ini berkisar 1 – 2 KK per tahunnya.

6.4.5 Patron Klien

Pola hubungan antara pemilik tanah (Ajjoa‟raeng) dan pengikutnya (Joa‟) menjadi salah satu pintu masuk terjadinya migrasi yang cukup massif di Desa Lawonua ini pada sektiar periode 1997-an. Hubungan mereka merupakan

manifestasi dari nilai siri yang menjadi pendorong terjadinya mobilisasi antar

keduanya (Pelras 2006). Pemilik tanah memiliki sejumlah modal untuk membuka kebun coklat dan merekrut beberapa pengikut dari desa asal mereka yang membuka lahan, menanam dan merawat coklat tersebut. Setelah lima tahun, dan coklat mulai menghasilkan, sistem bagi hasil diterapkan. Ajjoa’raeng ini berupaya menjaga hubungan dengan para kliennya untuk mendukung kegiatan ekonomi mereka serta juga mempertahankan jaringan kuasa mereka (Pelras 2006). Namun, klien para patron tersebut yang umumnya berasal dari kelompok ekonomi bawah tetap dapat mempertahankan sumber pendapatannya jika dibandingkan dengan di desa asal mereka yang sudah tidak menarik perhatian mereka. Disamping itu, proses migrasi mereka ke daerah baru menjadi tidak memiliki resiko yang besar serta menekan biaya yang diperlukan untuk bermigrasi. Hubungan timbal balik (resiprositas) ini meski tidak sepenuhnya bersifat simetris, bahkan seringkali sangat asimetris, tetap mampu membuat mereka meningkatkan kehidupan ekonominya.

Sekitar tahun 1997, HS, seorang karaeng yang berasal dari Kabupaten Barru, membeli tanah yang cukup luas di Desa Lawonua ini dengan bantuan dari SF, AB, dan HU. HS (patron) membeli lahan yang luas untuk kemudian ia memanggil anak buah (klien) untuk mengolah lahannya. Anak buahnya diberi lahan sekitar 4 hektar untuk diolah dan dipersiapkan menjadi kebun karet. Selama 6 bulan pertama, anak buah HS diberi jatah hidup berupa beras sekitar 20 kg per bulan dan ikan asin, serta beberapa bahan pokok lainnya. Setelah 6 bulan, anak buah HS menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman musiman di kebun mereka. Setelah coklat menghasilkan (sekitar 5 tahun), hasil panen dibagi, satu bagian untuk pemilik lahan dan satu bagian lagi untuk yang mengolah.