• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Geografis dan Administratif

Cireundeu merupakan salah satu kampung yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota

Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”

karena dahulu di kampung ini populasinya sangat banyak. Pohon reundeu itu sendiri bermanfaat sebagai obat herbal. Kampung Cireundeu terletak di perbatasan Kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan Kecamatan Batujajar. Jarak kampung Cireundeu ke Kantor Kelurahan Leuwigajah kurang lebih 3 km dan 4 km ke kecamatan serta 6 km ke kota atau Pemerintah Kota Cimahi, dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit.

Kampung Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah Langu dan Gunung Jambul di sebelah Utara, Gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA dan Gunung Kunci di sebelah Barat. Dari ketinggian Gunung Gajah Langu kurang lebih 890 meter dpl tersebut, selayang pandang terlihat jelas panorama Kota Cimahi, Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada pada cekungan dan hamparan telaga yang terbentuk dari sejak zaman purba, hamparan keindahan alam tersebut menarik untuk tempat berwisata.

Kampung Cireundeu merupakan rukun warga (RW) 10 di Kelurahan Leuwigajah yang memiliki 20 RW di dalamnya. Terdapat 5 rukun tetangga (RT) di Kampung Cireundeu yang seperti terbagi menjadi dua bagian, yaitu RT 01 dan 04 yang terpisahkan oleh bukit dengan RT 02, 03, dan 05.

Masyarakat Cireundeu membagi daerah menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat, khususnya masyarakat adat Cireundeu

2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru, luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar

3. Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian

Luas areal tanah di Kampung Cireundeu yang biasa digunakan untuk kegiatan budidaya tanaman singkong dan tanaman jenis lainnya oleh masyarakat sekitar 25 Ha. Disamping itu areal tanah di sepanjang bukit mulai dari Pasir Panji, Gunung Jambul, Gunung Gajah Langu, Gunung Puncak Salam, Gunung Cimenteng sampai berbatasan dengan Kecamatan Batujajar diperkirakan seluas 800 Ha. Sedangkan, luas areal yang dipakai perumahan masyarakat sekitar 5 Ha.

Kondisi Penduduk

Penduduk Kampung Cireundeu berjumlah 200 KK, terdiri dari 270 orang laki-laki dan 256 orang perempuan. Menurut struktur umur terdiri dari dewasa > 21 tahun, sebanyak 160 orang, remaja 7 – 21 tahun, sebanyak 283 orang, dan anak-anak < 7 tahun, sebanyak 83 orang. Dalam hal pendidikan, mayoritas penduduk Kampung Cireundeu adalah lulusan SMP/sederajat. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kampung Cireundeu sudah tergolong menengah atau sedang. Pada Tabel 2 disajikan data penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan pendidikannya.

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

SD/sederajat 24 8.05

SMP/sederajat 205 68.80

SMU/sederajat 65 21.81

Perguruan Tinggi 4 1.34

Mata pencaharian penduduk Kampung Cireundeu beragam, tetapi mayoritas bekerja sebagai petani. Pada Tabel 3 disajikan data penduduk berdasarkan mata pencahariannya.

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan mata pencaharian

Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Bertani dan beternak 96 54.24

PNS/pensiunan 6 3.39

Buruh bangunan 25 14.12

Pegawai swasta 50 28.25

Mayoritas penduduk Kampung Cireundeu beragama Islam yaitu sebanyak 814 orang, selain itu juga terdapat penganut kepercayaan terhadap Tuhan sebanyak 119 orang. Suku atau etnis yang terdapat di Kampung Cireundeu yaitu 1006 orang etnis Sunda dan 5 orang etnis Jawa, sisanya adalah etnis Cina. Penduduk Kampung Cireundeu merupakan salah satu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar khususnya dalam mempertahankan adat

leluhurnya. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat

memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka

Jaman” memiliki arti penduduk Kampung Cireundeu tidak melawan akan

perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa handphone, dan penerangan.

Potensi yang telah dicapai saat ini diantaranya ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan nasional dibidang Ketahanan Pangan Nasional di Makasar dan Lampung serta sering diundang oleh instansi, lembaga maupun forum yang

21

berkaitan erat dengan dunia pangan dan pertanian umumnya, serta mendapat beberapa penghargaan tingkat lokal, regional dan nasional.

Karakteristik Pangan Pokok Kampung Cireundeu

Masyarakat adat Kampung Cireundeu menganut keyakinan tersendiri. Pada mulanya mereka menggunakan beras sebagai makanan pokoknya. Alasan beralihnya makanan pokok menjadi singkong karena pada masa penjajahan Belanda terjadi kekurangan pangan khususnya beras. Oleh karena itu, pengikut aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan cara mengganti nasi beras dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak terbatas. Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan batin, menguji keyakinan para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu masyarakat adat kampung Cireundeu berpedoman pada prinsip hidup yang mereka anut, yaitu teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat, yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat bisa menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Menohon kekuatan ini harus kepada Yang Memiliki, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih Tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah lalu mengembangkan makanan pokok non beras ini. Berkat kepeloporannya tersebut pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai Pahlawan Pangan pada Tahun 1964.

Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.

Kearifan budaya lokal yang selalu diterapkan di lingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut:

“Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun, Jeung Basisir Jagaeun.” (Abah EMN, tidak diketahui)

“Gunung ada kayunya, tebingnya banyak bambu, mata air dirawat, tegalan kebun, pasir kosong/lahankosong, dataran

persawahan, sungai ada airnya, kolam balongan,

balongan/empang dipelihara/rawat, kampung dijaga, sungai dirawat, dan pinggiran danau dijaga.” (Abah EMN, tidak diketahui)

Masyarakat kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidaya tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis

makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “rasi” atau beras

singkong. Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari delapan puluh tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini.

Terdapat 199 orang warga yang setiap harinya mengonsumsi beras singkong yang tersebar di 56 KK (Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan sementara dari sekretaris RW, belum pernah diadakan pendataan kembali dari pemerintah). Beras singkong berkembang di Kampung Cireundeu dikarenakan singkong merupakan tanaman yang paling cocok ditanaman di daerah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak SDJ (36 tahun), sebagai berikut:

“Sudah dicoba bermacam-macam tanaman lain seperti jagung dan sorgum namun, hasilnya tidak memuaskan karena tanahnya yang

asam.” (Bapak SDJ, 36 tahun)

Terdapat 42 hektar kebun yang ditanami singkong sehingga akses untuk mendapatkan bahan baku beras singkong mudah. Selain itu juga telah terkoordinir mengenai pengolahan dan pemasaran beras singkong yang berpusat di sebuah balai di RT 02. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonomi tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya.

Cara pembuatan rasi pertama-tama singkong dikupas lalu dicuci sampai bersih, sesudah itu singkong diparut dan hasil parutannya diperas. Ampas perasan kemudian dijemur sampai kering, setelah itu ditumbuk atau digiling lagi lalu diayak. Cara pengolahannya yaitu rasi diberi air secukupnya sampai bisa dikepal

eumeul-eumeul” setelah itu adonan rasi dikukus ± 15 menit lalu angkat dan tiriskan. Nasi singkong siap disajikan. Kandungan gizi rasi per 100 gram adalah energi 359 kalori, karbohidrat 86,5 gram, protein 1.4 gram, lemak 0.9 gram. Standar gizi 100 gram beras setara dengan 120 gram singkong. Rasi memiliki kadar gukosa yang rendah, sehingga sangat baik untuk penderita diabetes dan untuk mengurangi tingkat obesitas.

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA,

Dokumen terkait