• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Rumah tangga responden dibagi menjadi dua, yaitu (1) rumah tangga yang keseluruhan anggota keluarganya mengonsumsi beras singkong (rasi) sebagai pangan pokoknya dan (2) rumah tangga yang sebagian anggota keluarganya mengonsumsi beras singkong dan sebagian lagi mengonsumsi beras padi (campuran) sebagai pangan pokoknya. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga

Karakteristik Sosial Ekonomi Kategori Rumah Tangga Campuran Rumah Tangga Rasi n % n % Tingkat Pendidikan 1-6 tahun (SD/sederajat) 10 27.78 16 44.44 7-9 tahun (SMP/sederajat) 12 33.33 5 13.89 10-12 tahun (SMA/sederajat) 10 27.78 12 33.33 13-16 tahun (Perguruan tinggi) 4 11.11 3 8.33

Tingkat Pengeluaran Rendah (<Rp 934 058) 8 22.22 14 38.89 Menengah (Rp 934 058- 1 441 042) 14 38.89 14 38.89 Tinggi (>Rp 1 441 042) 14 38.89 8 22.22 Ukuran Rumah Tangga Kecil (≤4 orang) 22 61.11 30 83.33 Menengah (5-6 orang) 12 33.33 4 11.11 Besar (≥7 orang) 2 5.56 2 5.56 Status Kepelikan Lahan

Tidak mempunyai lahan 27 75 14 38.89

Lahan bukan milik 0 0 6 16.67

Lahan milik 9 25 16 44.44

Luas Lahan

Rendah (<0.097 ha) 28 77.78 14 38.89 Menengah (0.097-1.143 ha) 6 16.67 14 38.89 Tinggi (>1.143 ha) 2 5.56 8 22.22

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh responden dan dihitung berdasarkan tahun sukses. Pendidikan formal terakhir digolongkan menjadi empat kategori, yaitu 1-6 tahun (SD/sederajat), 7-9 tahun (SMP/sederajat), dan 13-16 tahun (perguruan tinggi). Pada responden campuran sebagaian besar mengenyam pendidikan pada tingkat 7-9 tahun (SMP/sederajat) yaitu sebanyak 12 responden atau 33.33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan responden campuran berada pada tingkat menengah. Lain halnya dengan responden rasi yang sebagian besar mengenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) yaitu sebanyak 16 responden atau 44.44. Hal ini menunjukkan bahwa responden rasi memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Bila dilihat berdasarkan jenis kelaminnya terdapat perbedaan antara responden perempuan dan laki-laki dalam hal tingkat pendidikan. Persentase tingkat pendidikan responden berdasarkan golongan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden dan berdasarkan tingkat pendidikan

Tahun Sukses Laki-laki Perempuan

n % n % 1-6 tahun 13 36,11 13 36,11 7-9 tahun 8 22,22 9 25 10-12 tahun 13 36,11 9 25 13-16 tahun 2 5,56 5 13,89 Total 36 100 36 100

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden laki-laki paling banyak megenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) dan tingkat 10-12 tahun (SMA/sederajat) yaitu sebanyak 13 responden atau 36,11 persen pada masing-masing kategori. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden laki-laki berada pada tingkat rendah hingga tinggi. Pada responden perempuan paling banyak mengenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) yaitu sebanyak 13 responden atau 36,11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden perempuan berada pada tingkat rendah. Anak perempuan di Desa Cireundeu cenderung putus sekolah ketika keuangan keluarga tidak mencukupi karena persepsi bahwa perempuan akan ikut suaminya setelah mereka menikah dan bertugas mengurus rumah tangga, sehingga tidak diperlukan pendidikan yang tinggi. Sebagian besar responden perempuan menjadi ibu rumah tangga dan mengandalkan suaminya sebagai pencari nafkah utama. Hanya sedikit responden perempuan yang ikut bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan banyak merugikan perempuan karena pendidikan yang rendah membatasi perempuan pada pekerjaan informal dengan upah yang rendah.

Studi yang dilakukan Pratitis dan Suryadi (2001) menemukan bahwa pilihan keluarga yang kurang beruntung memberikan prioritas bagi anak laki-laki untuk

25

sekolah dengan alasan biaya berdasarkan pada pengalaman empirik bahwa tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Laki- laki cenderung lebih aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi disebabkan nilai dan sikap masyarakat yang menganggap laki-laki lebih penting dalam berbagai dimensi kehidupan. Laki-laki masih dominan berperan sebagai kepala keluarga, pemimpin masyarakat, serta pemimpin dalam lembaga-lembaga birokrasi. Laki-laki juga mendominasi jurusan atau program studi berkaitan dengan ilmu-ilmu murni dan “ilmu-ilmu keras” (basic and hard sciences), seperti ilmu pengetahuan alam, otomotif, teknologi, industri, dan sejenisnya. Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan serta dalam pemilihan jurusan-jurusan keahlian membuat laki-laki memiliki kesempatan memperoleh keahlian dan status profesional yang tinggi. Akibatnya, rata-rata penghasilan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penghasilan perempuan.

Tingkat Pengeluaran

Tingkat pengeluaran dihitung berdasarkan jumlah rupiah yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Rata-rata tingkat pengeluaran per bulan seluruh rumah tangga responden adalah Rp 1 187 550 dan standar deviasinya adalah Rp 506 984. Rata-rata nilai ini akan menentukan batasan pada tiap kategori, yakni tingkat pengeluaran rendah, menengah dan tinggi. Pada rumah tangga campuran, sebagian besar responden memiliki tingkat pengeluaran menengah dan tinggi, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Berbeda dengan rumah tangga rasi yang sebagian besar respondennya memiliki tingkat pengeluaran tinggi rendah dan menengah, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Hal ini karena beras padi memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan beras rasi. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu SRH (21) dan Bapak YDI (33) sebagai berikut:

“Sebulannya beli rasi paling dua kilo harganya hanya dua puluh ribu, sedangkan untuk beras sebulannya bisa sampe delapan atau sembilan kilo, harganya kira-kira sembilan puluh lima ribu.” (Ibu SRH, 21 tahun)

“Mengonsumsi rasi akan lebih cepat kenyang. Satu kilogram rasi dapat mencukupi lebih dari lima orang karena porsi sedikit saja sudah bisa mengeyangkan. Hal ini terbukti tidak hanya pada orang-orang yang terbiasa makan rasi, orang-orang yang sekali mencoba rasi pun beranggapan demikian. Jadi, mengonsumsi rasi sebenarnya lebih hemat dan menguntungkan.” (Bapak YDI, 33 tahun)

Berdasarkan pernyataan responden di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengeluaran rumah tangga rumah tangga campuran lebih tinggi karena harga bahan pokok sehari-harinya lebih mahal dan kebutuhan per bulannya pun lebih banyak. Berbanding terbalik dengan rumah tangga rasi yang harga bahan

pokok sehari-harinya lebih murah dan kebutuhan per bulannya pun lebih sedikit, sehingga tingkat pengeluarannya menjadi rendah.

Ukuran Rumah Tangga

Ukuran rumah tangga dihitung berdasarkan jumlah anggota rumah tangga responden yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. Ukuran rumah tangga dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rumah tangga kecil bila jumlah anggota rumah tangga kurang dari atau sama dengan 4 orang, rumah tangga menengah bila jumlah anggota rumah tangga antara 5 dan 6 orang, dan rumah tangga besar bila anggotanya 7 orang atau lebih. Pada rumah tangga campuran, sebagian besar mempunyai ukuran rumah tangga kecil, yaitu sebanyak 22 responden atau 61.11 persen. Pada rumah tangga rasi, sebagian besar mempunyai ukuran rumah tangga kecil, yaitu sebanyak 30 responden atau 83.33 persen. Hal ini berarti bahwa rata-rata rumah tangga campuran maupun rasi memiliki anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang.

Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dapat membantu keuangan keluarga apabila berada dalam usia produktif dan bekerja, namun apabila dalam usia yang tidak produktif hanya akan menambah jumlah pengeluaran. Hal ini didukung oleh Sinaga et al. (2014) yang menjelaskan bahwa bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, akan diikuti juga dengan penambahan pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, maka rumah tangga tersebut sudah pasti memerlukan penambahan asupan pangan yang tentunya membutuhkan biaya. Nilai absolut belanja pangan akan meningkat pada jumlah anggota keluarga yang besar, tetapi belanja pangan per kapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada. Melihat kondisi tersebut ukuran rumah tangga masyarakat Cireundeu yang rata-rata memiliki keluarga kecil dan anggota keluarganya kurang dari atau sama dengan empat dinilai sudah bagus karena asumsi bahwa kebutuhan pangan masing-masing anggota keluarga dapat terpenuhi dan kandungan gizi pangan yang dikonsumsi bisa lebih diperhatikan.

Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan adalah informasi yang menggambarkan kepemilikan lahan yang dimiliki oleh rumah tangga responden sesuai dengan jenis komoditas yang diusahakan, yakni kebun singkong. Status kepemilikan lahan rumah tangga responden dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tidak mempunyai lahan, lahan bukan milik, dan lahan milik. Status kepemilikan lahan yang beragam akan mempengaruhi karakteristik-karakteristik tertentu antara lain: jaminan untuk akses terhadap lahan dalam jangka panjang, kemudahan untuk akses kepada lembaga perkreditan, kemudahan membuat keputusan berkaitan dengan pemanfaatan lahan, jaminan terhadap penyerobotan dari pihak lain, jaminan untuk memperoleh seluruh hasil produksi atas pemanfaatan lahan, kemudahan mentransfer hak-hak penguasaan atas lahan kepada pihak lain, kemudahan ikut serta dalam pembentukan kelompok, dan kemudahan campur tangan pemerintah

27

dalam hal penyuluhan, bantuan kredit maupun investasi langsung (Pakpahan et al. 1992).

Berdasarkan data di atas, terdapat perbedaan di antara rumah tangga responden campuran dan responden rasi. Sebanyak 27 responden atau 75 persen rumah tangga campuran tidak mempunyai lahan untuk menanam singkong. Pada rumah tangga rasi sebagian besar responden, yaitu sebanyak 16 responden atau 44.44 persen berstatus lahan milik yang digunakan untuk menanam singkong. Hal ini pun sesuai dengan mata pencaharian responden rumah tangga rasi yang kebanyakan bekerja sebegai petani.

Luas Lahan

Luas lahan adalah besarnya kepemilikan lahan kebun singkong yang dikuasai oleh responden. Luas lahan ini diukur dalam satuan hektar (Ha). Rata- rata luas lahan kebun singkong responden adalah 0.62 Ha dan standar deviasinya adalah 1.046 Ha, sehingga didapatkan kategori luas lahan rendah adalah luas lahan kurang dari 0.097 Ha, luas lahan menegah adalah luas lahan 0.097 sampai 1.143 Ha, dan luas lahan tinggi adalah luas lahan lebih dari 1.143 Ha. Berdasarkan pengkategorian tersebut, baik rumah tangga responden campuran maupun rumah tangga responden rasi memiliki luas lahan yang rendah. Hal ini dikarenakan responden yang tidak memiliki lahan dan responden yang memiliki lahan kurang dari 0.097 Ha dimasukkan dalam satu kategori, sehingga jumlah responden yang memiliki luas lahan rendah menjadi banyak. Pada rumah tangga campuran, mayoritas memiliki luas lahan yang rendah, yaitu sebanyak 28 responden atau 77.78 persen. Pada rumah tangga rasi sebagian besar memiliki luas lahan yang rendah hingga menengah, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori.

Hal ini didukung oleh Adnyana (2000) yang mengungkapkan bahwa proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai lahan di daerah Jawa cenderung meningkat dari 0.72 Ha menjadi 0.78 Ha, sedangkan di luar Jawa meningkat dari 0.53 Ha menjadi 0.54 Ha. Selama ini ada anggapan bahwa pendapatan yang diperoleh rumah tangga pedesaan dari usaha tani berhubungan dengan luas penguasaan sawah (milik dan bukan milik). Semakin luas tanah yang dimiliki, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dari usaha tani. Bila dikaitkan dengan Kampung Cireundeu masih banyak masyarakat yang bekerja sebagai petani maupun bukan petani yang tidak memiliki lahan atau hanya memiliki luas lahan rendah untuk menanam singkong. Hal ini akan mempengaruhi pendapatan mereka dari hasil usaha tani dan menghambat diversifikasi konsumsi pangan.

Peran Gender dalam Rumah Tangga

Peran gender dalam rumah tangga adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden terhadap perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konstruksi sosial-budaya masing-masing responden. Perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan bukanlah suatu hal yang negatif. Akan tetapi, ada baiknya perbedaan tersebut dapat saling mendukung untuk terciptanya diversifikasi konsumsi pangan pokok. Peran gender dalam rumah tangga diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu pola pembagian kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol.

Pola Pembagian Kerja

Pola pembagian kerja adalah pembagian seluruh aktivitas dalam suatu rumah tangga responden sesuai peranan masing-masing anggotanya. Pola pembagian kerja dibagi ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu: (1) kegiatan reproduktif (domestik); (2) kegiatan produktif; dan (3) kegiatan sosial. Untuk melihat proporsi pembagian kerja yang dilakukan perempuan dan laki-laki, akan dijelaskan satu-satu per kegiatan.

Kegiatan reproduktif (domestik) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, menyiapkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan keluarga dan mengasuh serta mendidik anak. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan domestik disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan domestik

Jenis

Kelamin Kegiatan Domestik

Rumah Tangga Campuran Rumah Tangga Rasi n % n % Laki-laki Rendah 13 72.22 13 72.22 Menengah 4 22.22 5 27.78 Tinggi 1 5.56 0 0 Perempuan Rendah 0 0 0 0 Menengah 5 27.78 7 38.89 Tinggi 13 72.22 11 61.11

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa pada kegaiatan domestik yang dilakukan responden perempuan campuran maupun rasi berada pada tingkat yang tinggi, yaitu sebanyak 13 responden campuran atau 72.22 persen dan 11 responden rasi atau 61.11 persen, sedangkan kegiatan domestik yang dilakukan responden laki-laki campuran berada pada tingkat yang rendah, yaitu sebanyak 13

29

responden atau 72.22. Hal ini dikarenakan kegiatan domestik adalah kegiatan yang identik dengan kaum perempuan. Kegiatan ini hampir selalu menjadi tanggung jawab perempuan dan anak perempuan. Pekerjaan domestik yang dilakukan di dalam rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif (karena tidak dibayar) (Hubeis 2010). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu SPH (34 tahun) sebagai berikut:

“Saya masak, cuci baju, nyetrika, cuci piring, pokoknya beres- beres rumah sama ngasuh anak saya yang ngerjain, suami mah kerja aja, cari uang buat kebutuhan keluarga.” (Ibu SPH, 34 tahun)

Kegiatan produktif (publik) merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, seperti petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Kegiatan ini diimbali (dibayar) dengan uang (tunai) dan natura. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan produktif disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan produktif

Jenis Kelamin Kegiatan Produktif Rumah Tangga Campuran Rumah Tangga Rasi n % n % Laki-laki Rendah 0 0 1 5.56 Menengah 0 0 0 0 Tinggi 18 100 17 94.44 Perempuan Rendah 9 50 6 33.33 Menengah 9 50 7 38.89 Tinggi 0 0 5 27.78

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa pada kegaiatan produktif, laki-laki memilki tingkat yang tinggi, yaitu sebanyak 18 responden campuran atau 100 persen dan 17 responden rasi atau 94.44 persen, sedangkan perempuan memiliki tingkat yang rendah hingga menengah, yaitu sebanyak 9 responden campuran atau 50 persen dan tingkat yang menengah, yaitu sebanyak 7 responden rasi atau 38.89 persen. Hal ini dikarenakan kegiatan produktif identik dengan kaum laki-laki. Hal-hal seperti mempunyai penghasilan/gaji, menghasilkan pendapatan utama, dan memenuhi sebagian besar kebutuhan rumah tangga adalah tanggung jawab laki-laki. Perempuan di Kampung Cireundeu banyak yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan hanya sedikit yang bekerja membantu suami.

Hal ini didukung oleh Handayani dan Sugiarti (2008) yang menyatakan bahwa banyak data menunjukkan bahwa persentase perempuan yang bekerja di sektor produktif (publik) berada di bawah laki-laki. Perempuan dan laki-laki

melakukan kegiatan produktif, akan tetapi pada umumnya fungsi dan tanggung jawab masing-masing berbeda sesuai dengan pembagian kerja gender. Kegiatan produktif yang dilakukan perempuan seringkali kurang diakui dibanding yang dilakukan laki-laki. Di lain pihak perempuan yang bekerja untuk menopang penghasilan keluarga memiliki beban kerja yang sangat berat karena disamping bekerja di sektor formal maupun non formal, masih harus menyelesaikan pekerjaan domestik tanpa bantuan dan campur tangan laki-laki. Hal ini menunjukkan konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai.

Kegiatan masyarakat (sosial) merupakan kegiatan jasa dan partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan, sedangkan peran politik di masyarakat adalah peran yang terkait dengan status dan kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih tinggi, biasanya dilakukan oleh laki-laki. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan sosial disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan sosial

Jenis

Kelamin Kegiatan Produktif

Rumah Tangga Campuran Rumah Tangga Rasi n % n % Laki-laki Rendah 4 22.22 1 5.56 Menengah 8 44.44 5 27.78 Tinggi 6 33.33 12 66.67 Perempuan Rendah 11 61.11 6 33.33 Menengah 3 16.67 4 22.22 Tinggi 4 22.22 8 44.44

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa pada responden laki-laki campuran kegaiatan sosial yang dilakukan berada pada tingkat menengah, yaitu sebanyak 8 responden atau 44.44 persen, sedangkan responden laki-laki rasi kegaiatan sosial yang dilakukan berada pada tingkat tinggi, yaitu sebanyak 12 responden atau 66.67 persen. Pada responden perempuan campuran sebagian besar memiliki tingkat ikut serta dalam kegiatan sosial yang rendah, yaitu sebanyak 11 responden atau 61.11 persen, sedangkan responden perempuan rasi berada pada tingkat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan sosial, yaitu sebanyak 8 responden atau 44.44 persen.

Kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cireundeu, meliputi pertemuan desa/RT/RW, arisan, selamatan, kegiatan kelompok tani, kegiatan PKK, kerja bakti, dan melayat bila ada yang meninggal. Pada responden rasi, baik laki-laki maupun perempuan sudah sama-sama berada pada tingkat yang tinggi. Hal ini disebabkan responden rasi, yang sebagian besar tergabung dalam masyarakat adat, sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama besarnya dan diikutsertakan hampir dalam setiap acara yang ada di desa. Kegiatan sosial penting bagi pemeliharaan dan

31

pengembangan aspek spiritual, kultural komunitas, serta sebagai alat komunikasi untuk dapat menentukan nasibnya sendiri, sehingga sangat penting bagi laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam kegiatan sosial sesuai dengan sistem sosial gender yang berlaku.

Tingkat Akses

Tingkat Akses adalah besarnya kesempatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat akses yang diukur, yaitu meliputi sumber fisik/material, sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya, sumberdaya sosial-budaya, dan manfaat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat akses disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat akses terhadap sumberdaya pangan Tingkat Akses Rumah Tangga Campuran Rumah Tangga Rasi N % n % Dominan Laki-laki 18 50 9 25 Dominan Perempuan 11 30.56 12 33.33 Dominan Bersama 7 19.44 15 41.67

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa pada tingkat akses responden campuran sebagian besar didominasi oleh laki-laki, yaitu sebanyak 18 responden atau 50 persen, berbeda pada tingkat akses responden rasi yang sebagian besar didominasi oleh bersama (laki-laki dan perempuan), yaitu sebanyak 15 responden atau 41.67. Hal ini menunjukkan bahwa pada rumah tangga campuran laki-laki yang lebih banyak berperan dalam mengelola sumberdaya pangan berupa singkong. Kesenjangan gender terlihat dari adanya perbedaan akses antara perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya. Lebih rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya, juga tenaga kerja mereka sendiri menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki. Dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan-pekerjaan domestik, sehingga ia tidak punya cukup waktu lagi untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya. Adapun akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran (Handayani dan Sugiarti 2008). Pada rumah tangga rasi kesenjangan gender mulai dihilangkan. Perempuan maupun laki-laki memiliki akses yang sama besarnya dalam mengelola sumberdaya pangan.

Tingkat Kontrol

Tingkat kontrol adalah tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat akses yang diukur, yaitu meliputi sumber fisik/material, sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaan- nya, sumberdaya sosial-budaya, dan manfaat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kontrol disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kontrol terhadap sumberdaya pangan Tingkat Kontrol Rumah Tangga Campuran Rumah Tangga Rasi n % n % Dominan Laki-laki 19 52.78 6 16.67 Dominan Perempuan 10 27.78 15 41.67 Dominan Bersama 7 19.44 15 41.67

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa pada tingkat kontrol responden campuran sebagian besar didominasi oleh laki-laki, yaitu sebanyak 19 responden atau 52.78 persen, berbeda pada tingkat kontrol responden rasi yang sebagian besar didominasi oleh perempuan dan bersama (laki-laki dan perempuan), yaitu sebanyak 15 responden atau 41.67 pada masing-masing kategori.

Hal ini dikarenakan pada responden rasi, tingkat kontrol mengenai pangan pokok lebih banyak terbuka untuk perempuan. Sebagian besar rumah tangga dalam hal pemilihan pangan untuk dikonsumsi, strategi pengelolaan pangan, pemegang pendapatan rumah tangga, dan pembagian pendapatan rumah tangga dilakukan oleh perempuan. Tidak hanya itu dalam pengolahan lahan pertanian, penanaman singkong, pemeliharaan, pemanenan, sarana produksi, penyuluhan pertanian, baik perempuan dan laki-laki sama-sama dilibatkan. Biasanya dalam suatu rumah tangga, apabila suaminya adalah petani, maka istrinya pun ikut membantu suaminya dalam bertani. Mereka sama-sama saling membantu dalam mengelola pertanian, sehingga peran laki-laki maupun perempuan sama besarnya dalam perencanaan, produksi, maupun distribusi hasil petanian. Hal ini seperti yang dungkapkan oleh Ibu KYT (57 tahun) sebagai berikut:

“Dari pagi saya ikut bapak ke kebun (singkong), pulangnya abis

dzuhur. Dari mulai menanam, mengolah, sampe panen dilakukan bareng-bareng neng, saya sama suami saya. Saya juga ikut membantu dalam pembuatan singkong menjadi rasi.” (Ibu KYT, 57 tahun)

33

Tingkat Dukungan Lokal

Tingkat dukungan lokal adalah suatu bentuk aturan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan dalam masyarakat untuk penganekaragaman pangan. Tingkat dukungan lokal diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat aturan lokal mengenai pangan dan besarnya peran elit lokal yang dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat dukungan lokal

Dokumen terkait