• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Gender Dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Gender Dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN GENDER DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI

PANGAN MENDAYAGUNAKAN PANGAN POKOK LOKAL

NUR FITRIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

NUR FITRIA. Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal. Dibimbing oleh SITI AMANAH.

Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras dan diarahkan kembali ke penggunaan bahan pangan lokal. Hal ini seperti yang dilakukan masyarakat Kampung Cireundeu yaitu mengonsumsi ketela atau singkong sebagai bahan pangan pokok. Penelitian bertujuan menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, peran gender dalam rumah tangga, dan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Penelitian dengan metode survai ini dilaksanakan di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Sebanyak 36 rumah tangga dipilih secara sengaja dengan beberapa pertimbangan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat korelasi positif yang nyata antara karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, peran gender dalam rumah tangga, dan tingkat dukungan lokal terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Akses dan bantuan teknologi untuk penanaman dan pengolahan bahan pangan non beras masih kurang. Diperlukan sosialisasi dan pendampingan mengenai diversifikasi konsumsi pangan pokok yang melibatkan masyarakat lokal.

Kata kunci: peran gender, diversifikasi konsumsi pangan pokok, masyarakat lokal

ABSTRACT

NUR FITRIA. Gender Role in Local Food Consumption Through Diversifying

Local Staple Food. Supervised by SITI AMANAH

Diversification of food consumption is one attempt to overcome the problem of dependence on rice and directed back to the use of local food. It is like the village society in Cirendeu is by eating sweet potatoes or cassava as a staple food. The research aims were to analyze the relationship between socio-economic characteristics of households, gender roles in the household, and amount of family member that consumed cassava rice (rasi). The research site was in Cireundeu, Leuwigajah Village, South Cimahi Sub District, Cimahi City. There were 36 households were purposivily selected by some considers. The research result show that there is a significant positives correlation between socio-economic characteristics of households, gender roles in the household, and amount of family member that consumed rasi. Access and technology support for planting and processing of non rice food still not enough. Socialization and direction about diversification of stample food consumption needed based on local society participation.

(6)
(7)

PERAN GENDER DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI

PANGAN MENDAYAGUNAKAN PANGAN POKOK LOKAL

NUR FITRIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal

Nama : Nur Fitria NIM : I34110108

Disetujui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga skripsi yang berjudul Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal dapat terselesaikan tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, MSc selaku Dosen Pembimbing dan Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah banyak mencurahkan waktunya dan memberikan saran serta masukan selama proses penulisan skripsi.

2. Orang tua tercinta, Bapak Heri Kusdianto dan Ibu Herlin Nurhaeni, serta kakak tersayang Muhammad Syaifullah Akbar yang selalu memberikan doa dan melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.

3. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran kuliah serta memberikan semangat dan motivasi untuk berprestasi.

4. Sahabat-sahabat terkasih penulis, The Outliers: Yunita, Phia, Muti, Rina, Yayuk, Mufi, Nafiah, Ghani, Anca, Zainun, Zhilal, Iwan, Lathif, dan Faisal yang selalu membuat hari-hari di kampus menjadi menyenangkan dan memberikan kebersamaan layaknya keluarga.

5. Teman-teman satu bimbingan Kinan, Nina dan Ade yang selalu menyemangati satu sama lain.

6. Keluarga Besar SKPM 48 yang selalu memberikan dukungan semangat, bantuan, dan doanya kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai. Terima kasih telah menemani perjalanan meraih ilmu yang bermanfaat. 7. Kepala Kesatuan Bangsa Kota Cimahi, Kepala Dinas Koperasi Perindustrian

Perdagangan dan Pertanian (Diskopindagtan), Kepala Desa Leuwigajah, Ketua Kampung Cireundeu, dan seluruh warga Kampung Cireundeu yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan dan memberikan pengalaman berharga bagi penulis.

Semoga skripsi ini dapat menjadi sumber ilmu yang berkah dan bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga 5

Peran Gender dalam Rumah Tangga 6

Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok 8

Diversifikasi Pangan Berbasis Lokal 9

Kerangka Pemikiran 10

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Operasional 12

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Teknik Pengumpulan Data 15

Validitas dan Reliabilitas Instrumen 17

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19

Kondisi Geografis dan Administratif 19

Kondisi Penduduk 20

Karakteristik Pangan Pokok Kampung Cireundeu 21

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA, PERAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA, DAN TINGKAT DUKUNGAN

LOKAL 23

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga 23

Tingkat Pendidikan 24

Tingkat Pengeluaran 25

Ukuran Rumah Tangga 26

Status Kepemilikan Lahan 26

Luas Lahan 27

Peran Gender dalam Rumah Tangga 28

Pola Pembagian Kerja 28

Tingkat Akses 31

(14)

Tingkat Dukungan Lokal 33 Tingkat Aturan Lokal Mengenai Pangan Pokok 33

Besarnya Peran Elit Lokal 34

JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG MENGONSUMSI

RASI 35

HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA PEUBAH DENGAN JUMLAH

ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG MENGONSUMSI RASI 37

PENUTUP 42

Kesimpulan 42

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 46

(15)

ix

DAFTAR TABEL

1 Rincian metode pengumpulan data 16

2 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan

tingkat pendidikan 20

3 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan

mata pencaharian 20

4 Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik sosial

ekonomi rumah tangga 23

5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 24 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan domestik 28 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan produktif 29 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan sosial 30 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat akses 31 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kontrol 32 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat dukungan lokal 33 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah anggota rumah

tangga yang mengonsumsi rasi 35

13 Hasil uji statistik Rank Spearman antara karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang

mengonsumsi rasi 37

14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga

yang mengonsumsi rasi 38

15 Hasil uji statistik Rank Spearman antara peran gender dalam rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi

rasi 40

16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan peran gender dalam rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga

yang mengonsumsi rasi 40

17 Hasil uji statistik Rank Spearman antara tingkat dukungan lokal

terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi 41 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat

dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang

mengonsumsi rasi 41

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 10

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 44

2 Jadwal kegiatan penelitian 45

3 Kerangka sampling 46

4 Kuesioner penelitian 48

5 Pedoman wawancara mendalam 54

6 Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner 55

7 Dokumentasi 56

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang merupakan hak yang harus dipenuhi. Ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 yaitu negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal. Berdasarkan undang-undang tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintah Indonesia.

Menurut Pusdatin (2014)1, beras merupakan bahan pangan pokok lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Berdasarkan data hasil SUSENAS - BPS (2002 dan 2012), konsumsi beras per kapita cenderung menurun, yaitu dari 107.71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 97.65 kg/kapita/tahun pada tahun 2012. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yaitu 1.49 persen per tahun pada periode tahun 1999-2000 (BPS 2000). Kenyataan tersebut menunjukkan total konsumsi domestik beras Indonesia akan terus meningkat walaupun per kapitanya menunjukkan penurunan. Total konsumsi domestik beras yang terus meningkat tentu akan menambah beban penyediaan beras untuk memenuhi permintaan, ditambah dengan kondisi sumberdaya alam produksi yang semakin terbatas. Jika kondisi ini terus berlangsung dikhawatirkan terjadi kerawanan pangan di tingkat masyarakat. Oleh karena itu, diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting untuk dilakukan.

Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras. Bagi produsen, diversifikasi konsumsi pangan akan memberi insentif pada produksi yang lebih beragam, termasuk produk pangan dengan nilai ekonomi tinggi dan pangan berbasis sumberdaya lokal. Jika ditinjau dari sisi konsumen, konsumsi dan pangannya menjadi lebih beragam, bergizi, bermutu, dan bermartabat (Giriwono dan Hariyadi 2004). Penganekaragaman pangan bukan hanya dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, tetapi juga untuk pengingkatan mutu gizi masyarakat.

Diversifikasi konsumsi pangan diarahkan kembali ke penggunaan bahan pangan lokal, sumber karbohidrat non beras. Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cireundeu yang masih memelihara tradisi lama yang mengakar dan diwariskan oleh tetua adat terdahulu yaitu mengonsumsi ketela atau singkong sebagai bahan pangan pokok.

1

(18)

Seksi Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cimahi (2010) menyatakan bahwa beralihnya makanan pokok masyarakat adat Kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1924, ketika lahan pertanian yang ditanami padi oleh masyarakat Cireundeu mengalami gagal panen (puso). Ancaman kelaparan yang dirasakan masyarakat membuat sebuah gagasan baru yaitu konversi lahan sawah menjadi kebun singkong karena kegagalan panen dari kebun singkong relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan padi. Sejak itulah warga Cireundeu mulai beralih mengonsumsi nasi singkong, yang oleh warga Cireundeu dinamakan rasi atau sanguen. Hingga kini tradisi tersebut masih dipertahankan. Masyarakat Cireundeu menjadi mandiri dan tidak tergantung dengan beras yang merupakan makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Oleh karena itu, semua dinamika yang terkait dengan beras seperti naiknya harga atau kelangkaan pasokan beras tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan mereka.

Diversifikasi konsumsi pangan di Kampung Cireundeu tidak terlepas dari relasi antara perempuan dan laki-laki. Relasi gender adalah cara-cara di mana suatu budaya atau masyarakat mendefinisikan hak-hak, tanggung jawab, dan identitas laki-laki dan perempuan dalam relasi komunikasinya (Bravo-Baumann 2000). Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda dalam menjaga tradisi konsumsi singkong sebagai pangan pokok. Peran tersebut dapat terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat bersifat subyektif sehingga terkadang mengakibatkan adanya ketimpangan peran gender, seperti yang terjadi pada masyarakat Kampung Cireundeu.

Kelompok Tani Kampung Cireundeu diikutsertakan dalam program-program pendukung ketahanan pangan yang dilaksanakan Pemerintah Kota Cimahi secara berkelanjutan. Salah satu program tersebut adalah peningkatan di sektor agroindustri yang memberikan penyuluhan HACCP, GMP dan pelatihan kemasan, serta memberikan bantuan-bantuan berupa mesin pemarut singkong, mesin pengering, mesin penghalus aci, alat sealer, dan plastik kemasan. Program tersebut sangat membantu dalam diversifikasi produk olahan dari bahan dasar singkong segar yang dapat dibuat menjadi beras singkong (rasi), kanji, aci, serta produk makanan lainnya yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan harga asli singkong. Pada praktiknya, anggota kelompok tani mayoritas didominasi oleh laki-laki, sehingga dalam sistem produksi lebih banyak melibatkan laki-laki dibandingkan perempuan. Begitu pun dalam hal akses informasi dan teknologi, tidak terdapat kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan, sehingga manfaat dari program-program pembangunan tidak dapat dirasakan oleh semua orang.

(19)

3

dan penentuan pangan yang dikonsumsi dapat mengakibatkan diversifikasi konsumsi pangan dalam rumah tangga sulit untuk dilakukan.

Kenyataannya, masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pangan di Kampung Cireundeu. Dalam konteks diversifikasi konsumsi pangan, baik laki-laki maupun perempuan, dapat terlibat dalam perencanaan, pengolahan, dan sistem produksi. Keterlibatan tersebut tentu didasarkan pada niat, pengetahuan, minat, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Peran gender yang seimbang dapat memicu semakin banyak sumberdaya manusia produktif di masyarakat, yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama, sehingga diversifikasi konsumsi pangan dapat tercapai.

Rumusan Masalah

Upaya penganekaragaman pangan bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1950 telah dilakukan usaha melalui Panitia Perbaikan Makanan Rakyat, tahun 1963 dikembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, tahun 1974 dikeluarkan Inpres 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR) yang kemudian disempurnakan dengan Inpres 20/1979, melanjutkan proses sebelumnya pada Pelita VI telah pula dikembangkan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG) (Giriwono dan Hariyadi 2004). Keseluruhan upaya tersebut sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ketergantungan pangan masyarakat Indonesia terhadap beras sudah mencapai tingkatan yang memprihatinkan. Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk akan sulit terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi padi, sehingga diperlukan bahan pangan lain yang dapat menggantikan beras baik dari segi gizi, kepraktisan, dan ketersediaannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Masyarakat Indonesia perlu mengubah persepsi pangan yang identik dengan beras. Hal ini dinilai sangat nyata dengan sering terdengarnya kalimat yang

berbunyi “belum makan kalau belum makan nasi”. Dengan mulai menghilangkan

persepsi tersebut, maka konsumsi bahan pangan pokok lainnya untuk memenuhi rasa lapar mendapat peluang yang lebih besar. Di Kampung Cireundeu, sebagian masyarakat telah menganggap beras singkong (rasi) sebagai bahan pangan pokok mereka. Kasus ini menjadi menarik untuk diteliti untuk mengetahui mengapa dan bagaimana mereka dapat menganggap rasi sebagai bahan pangan pokok untuk dijadikan pembelajaran penerapan diversifikasi di daerah lain.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ingin menjawab:

1. Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dalam mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan di Kampung Cireundeu dilihat dari jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi?

2. Bagaimana peran gender dalam rumah tangga masyarakat Kampung Cireundeu dan hubungannya dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi?

(20)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dalam mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan di Kampung Cireundeu dilihat dari jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

2. Menganalisis peran gender dalam rumah tangga masyarakat Kampung Cireundeu dan hubungannya dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

3. Menganalisis hubungan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi di Kampung Cireundeu.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademisi, pembuat kebijakan dan masyarakat peminat kajian gender. Secara spesifik manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai peran gender dalam diversifikasi konsumsi pangan. 2. Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai

bahan masukan dalam perumusan kebijakan terkait diversifikasi konsumsi pangan di masyarakat.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Badan Pusat Statistik (BPS) (2014) menyatakan rumah tangga adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. Orang yang tinggal di rumah tangga ini disebut anggota rumah tangga, sedangkan yang bertanggung jawab atau dianggap bertanggung jawab terhadap rumah tangga adalah kepala rumah tangga. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan sifat yang melekat pada rumah tangga dan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi serta pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Menurut Aini (2014), karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, dan tingkat penguasaan lahan.

1. Tingkat pendidikan

Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan hidangan konsumsi makanan bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan. Susunan hidangan adalah hasil dari proses belajar. Cahyani (2008) menyatakan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat sulit dirubah, namun tetap dapat berubah. Perubahan dapat dilakukan melalui proses belajar, peningkatan pengetahuan dan pembentukan kesadaran akan manfaat gizi seimbang melalui konsumsi aneka ragam pangan. Perubahan lebih mudah terjadi apabila sejak dini anak-anak mulai diperkenalkan pendidikan tentang konsep gizi seimbang yang diiringi dengan praktek konsumsi pangan yang beranekaragam. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat konsumsi pangan adalah semakin meningkat tingkat pendidikan, maka konsumsi pangan akan semakin beragam. Tingkat pendidikan formal anggota rumah tangga sangat penting karena diduga berkaitan dengan pengetahuan akan pangan dan gizi beserta pengelolaannya.

2. Tingkat pengeluaran

(22)

3. Ukuran rumah tangga

Ukuran rumah tangga merupakan komponen penting dalam karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dapat membantu keuangan keluarga apabila berada dalam usia produktif dan bekerja, namun apabila dalam usia yang tidak produktif hanya akan menambah jumlah pengeluaran. BKKBN (2014) mengelompokkan ukuran rumah tangga ke dalam tiga kelompok, yaitu rumah tangga kecil bila jumlah anggota rumah tangga kurang dari atau sama dengan 4 orang, rumah tangga sedang bila jumlah anggota rumah tangga antara 5 dan 6 orang, dan rumah tangga besar bila anggotanya 7 orang atau lebih.

4. Tingkat penguasaan lahan

Dalam studi-studi sosial ekonomi pertanian tentang masalah penguasaan tanah di pedesaan Indonesia dilakukan penyederhanaan dalam pengelompokkan tanah ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) Milik, dan (2) Bukan milik, yang terdiri dari sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya. Meskipun pendekatan tersebut belum dapat menerangkan dengan baik eksistensi dan implikasi ekonomi dari sistem kelembagaan tanah adat, namun cukup baik untuk menjelaskan fenomena dinamika penguasaan tanah dan hubungannya dengan pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan (Sumaryanto dan Rusastra 2000).

Peran Gender dalam Rumah Tangga

Gender adalah konstruksi sosial yang mengacu pada perbedaan sifat perempuan dan laki-laki yang tidak didasarkan pada perbedaan biologis tetapi pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan perseorangan (pribadi) dan dalam tiap bidang masyarakat yang menghasilkan peran gender (Hubeis 2010). Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi perempuan dan laki-laki. Analisis peran gender merupakan kajian sistematik tentang peranan, hubungan dan proses yang difokuskan pada ketidaksetaraan dalam akses dan kontrol terhadap kekuasaan, kekayaan, beban kerja antara perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah untuk melihat keragaman peran yang ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki bukan karena perbedaan biologis tetapi karena persoalan relasi gender yang berlaku tidak selalu sama untuk tempat dan waktu yang tidak sama (Hubeis 2010).

Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan kelaziman bertindak untuk seks tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu. Namun, secara perseorangan ada kemungkinan bahwa seorang perempuan dan atau laki-laki memiliki peran aktual gender yang bertentangan dengan peran gender per jenis seks yang dipandang tepat dan lazim serta disepakati di masyarakat bersangkutan. Menurut Moser (1993), secara universal, peran gender dapat diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran masyarakat (sosial).

(23)

7

insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, menyiapkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan keluarga dan mengasuh serta mendidik anak. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari, dan hampir selalu merupakan tanggungjawab perempuan dan anak perempuan. Pekerjaan reproduktif yang dilakukan di dalam rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif (karena tidak dibayar). 2. Peran produktif (publik) merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan

jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, seperti petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Peran ini diimbali (dibayar) dengan uang (tunai) dan natura.

3. Peran masyarakat (sosial) merupakan kegiatan jasa dan partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan, sedangkan peran politik di masyarakat adalah peran yang terkait dengan status dan kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih tinggi, biasanya dilakukan oleh laki-laki.

Salah satu alat analisis gender adalah Kerangka Harvard yang dapat digunakan untuk keperluan menganalisis situasi hubungan gender dalam keluarga dan masyarakat. Tujuan Kerangka Harvard adalah untuk memetakan pekerjaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan melihat faktor penyebab perbedaan. Komponen analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama yaitu (1) pembagian kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan laki-laki dan perempuan); (2) profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat; dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan.

1. Pola Pembagian Kerja

Menurut Hubeis (2010), pembagian pekerjaan menurut seks mengacu pada cara di mana semua jenis pekerjaan (reproduktif, produktif, dan pekerjaan sosial) dibagi antara perempuan dan laki-laki dan bagaimana pekerjaan tersebut dinilai dan dihargai dalam suatu masyarakat atau kultur tertentu. Analisis pembagian kerja pada kelompok sasaran pada suatu area proyek akan memberikan gambaran tentang penggunaan waktu dari perempuan dan laki-laki di dalam melakukan berbagai pekerjaan yang berbeda.

2. Profil Akses dan Kontrol

(24)

Analisis ini berguna untuk mengidentifikasi kekurangan sumber daya yang nantinya dapat di atasi oleh program pembangunan, ketidakseimbangan peluang dan penguasaan antara perempuan dan laki-laki, siapa yang memperoleh manfaat dari penggunaan sumber daya dan potensi apa yang dapat digunakan atau ditingkatkan dalam program pembangunan.

Akses dan kontrol juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya partisipasi. Aksesibilitas dapat diukur dengan partisipasi kuantitatif, yaitu berapa jumlah laki-laki dan perempuan yang berperanserta dalam lembaga tertentu dengan kedudukan dan tugas apa. Selanjutnya kontrol diukur dengan partisipasi kualitatif yaitu bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di lembaga tersebut. Analisis ini dilakukan pada lembaga formal maupun informal yang ada di desa. Kegunaan analisis ini adalah untuk memperlihatkan hierarki wewenang, ketidak seimbangan dalam pengambilan keputusan, peran serta, dan alasan keterbatasan perempuan. Selain itu pola pengambilan keputusan dalam keluarga juga dapat digunakan untuk melihat siapa bertanggungjawab untuk apa, siapa memperoleh manfaat apa, dan siapa yang bisa dijadikan mitra untuk program pembangunan.

3. Faktor-Faktor Pengaruh

Untuk memecahkan permasalahan yang menyangkut hubungan gender perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut bisa berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan, sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Analisis ini berguna untuk mengaji dampak, kesempatan, dan kendala faktor-faktor tersebut dalam mengupayakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok

(25)

9

Pengertian diversifikasi konsumsi pangan pokok adalah proses pemilihan pangan utama sumber karbohidrat yang tidak tergantung pada satu jenis bahan saja. Menurut penelitian Briawan et al. (2003), istilah diversifikasi konsumsi pangan pokok tampaknya belum familiar bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang sebagian besar (71,1 persen) mengaku belum pernah mendengar istilah diversifikasi konsumsi pangan pokok, baik responden yang tinggal di desa maupun yang tinggal di kota. Pengertian diversifikasi konsumsi pangan pokok bermacam-macam sesuai dengan persepsi dan pengetahuan masing-masing orang. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa diversifikasi konsumsi pangan pokok adalah makanan yang beragam yang dimakan sehari-hari, terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayuran, buah dan susu atau yang lebih dikenal dengan istilah empat sehat lima sempurna. Pendapat yang lain adalah makanan yang bergizi untuk kesehatan. Selain itu ada juga pendapat yang hampir mendekati benar tentang pengertian istilah diversifikasi konsumsi pangan pokok yaitu bermacam-macam bahan makanan pokok selain nasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sosialisasi mengenai diversifikasi konsumsi pangan pokok di tingkat masyarakat sangat diperlukan mengingat masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut.

Diversifikasi Pangan Berbasis Lokal

Hariyadi et al. (2003) berpendapat bahwa beras sebagai makanan pokok dipersepsikan komoditas strategis dan memiliki nilai politis. Ini berlangsung sejak zaman kolonial, para pengambil keputusan mempunyai obsesi untuk berhasil dalam swasembada beras. Beras dalam menu masyarakat Indonesia menduduki strata sosial tertinggi, dibandingkan dengan karbohidrat lainnya seperti jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, dan lain-lain.

Politik pangan nasional bertumpu pada bagaimana ketersediaan beras, secara tidak disadari telah mengakibatkan terjadinya perubahan menu karbohidrat non beras ke beras, terutama untuk daerah-daerah yang secara tradisional bukan pemakan beras, seperti kawasan Indonesia timur, ini dikarenakan beras mudah didapat dimana-mana. Hal tersebut dilakukan tanpa memperhatikan pola pangan lokal.

Upaya nasional untuk mengembangkan ketahanan pangan bias pada beras, hampir sebagian besar dana riset pangan lebih difokuskan untuk menciptakan varietas-varietas padi unggul, sedangkan untuk serealia lainnya kurang mendapat perhatian. Padahal sumber karbohidrat lain non beras juga penting. Banyak daerah memiliki sumber karbohidrat yang tidak kalah kualitasnya dengan kandungan gizi beras seperti biji-bijian dan umbi-umbian. Jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan aneka talas-talasan relatif belum tersentuh. Upaya-upaya kearah penciptaan diversifikasi pangan lokal belum dilakukan secara serius.

(26)

petani mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang realitas komoditas pangan nasional sehingga mereka dapat memfokuskan usahanya untuk memproduksi komoditas yang memberikan manfaat ekonomi yang paling optimum, kebebasan petani memproduksi aneka bahan makanan akan berkontribusi dalam mempercepat diversifikasi pangan.

Kerangka Pemikiran

Diversifikasi konsumsi pangan pokok bukanlah suatu konsep dan situasi yang terjadi tanpa proses. Diversifikasi konsumsi pangan pokok terlaksana apabila terdapat dukungan, baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat masyarakat. Peran serta dari rumah tangga, masyarakat, dan budaya memiliki hubungan yang penting dalam terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan pokok. Oleh karena itu, peneliti mengusulkan kerangka pemikiran sebagai berikut.

Keterangan: : Berhubungan

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Diversifikasi konsumsi pangan pokok adalah proses pemilihan pangan utama sumber karbohidrat yang tidak tergantung pada satu jenis bahan saja. Masyarakat Kampung Cireundeu ada yang mengonsumsi beras padi dan ada pula yang mengonsumsi beras singkong sebagai makanan pokoknya. Pemilihan kedua bahan pangan ini diduga berbeda pada setiap karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi beras singkong (rasi) yang dikonsumsi oleh masyarakat,

Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi (Y) Peran Gender dalam Rumah

Tangga (X2) (X2.1) Pola Pembagian Kerja

(X2.2) Tingkat Akses

(X2.3) Tingkat Kontrol

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga (X1) (X1.1) Tingkat Pendidikan

(X1.2) Tingkat Pengeluaran

(X1.3) Ukuran Rumah Tangga

(X1.4) Status Kepemilikan Lahan

(X1.5) Luas Lahan

Tingkat Dukungan Lokal (X3) (X3.1) Tingkat Aturan Lokal

(27)

11

maka diperkirakan tingkat diversifikasi konsumsi pangan semakin tinggi pula. Hal ini karena masyarakat tidak tergantung pada bahan pangan beras saja, tetapi dapat mengonsumsi bahan pangan lain sebagai pangan pokoknya, sehingga untuk mengukur tingkat diversifikasi pangan pokok rumah tangga akan dilihat berdasarkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yang diteliti adalah tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan dan luas lahan. Tingkat pendidikan yang berbeda diduga akan berbeda pula pola pikir dan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berbeda pula pertimbangan dalam memilih bahan pangannya. Tingkat pengeluaran yang berbeda diduga berbeda pula konsumsi pangan pokoknya karena diperkirakan tujuh puluh persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk membeli pangan pokok. Ukuran rumah tangga yang berbeda diduga akan berbeda pula jumlah anggota rumah tangga dan pangan pokok yang dikonsumsi. Begitupun status kepemilikan dan luas lahan yang berbeda diduga berbeda pula dalam produksi dan ketersediaan pangan pokok. Oleh karena itu, kelima karakteristik tersebut diduga memiliki hubungan dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi perempuan dan laki-laki. Analisis peran gender merupakan kajian sistematik tentang peranan, hubungan dan proses yang difokuskan pada ketidaksetaraan dalam akses dan kontrol terhadap kekuasaan, kekayaan, beban kerja antara perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat. Peran gender dalam rumah tangga yang diteliti adalah pola pembagian kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol. Pola pembagian kerja yang berbeda antara perempuan dan laki-laki diduga akan berbeda pula dalam mobilitas sosial yang dilakukan berdasarkan kemampuan dan potensi baik secara pendidikan maupun kemandirian dalam hal pangan pokok. Tingkat akses dan kontrol yang berbeda antara perempuan dan laki-laki diduga akan berbeda pula besarnya kesempatan dan kekuasaan dalam hal sumber fisik/material, pasar komoditas, sumberdaya sosial-budaya, dan perolehan manfaat dari pangan pokok. Oleh karena itu, peran gender dalam rumah tangga tersebut diduga memiliki hubungan dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

(28)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Karakteristik rumah tangga memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

2. Peran gender dalam rumah tangga memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

3. Tingkat dukungan lokal memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberikan batasan dan indikator pengukurannya. Berikut ini adalah rumusan operasionalisasi masing-masing peubah:

1. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan sifat yang melekat pada rumah tangga dan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi serta pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Variabel ini diukur dengan: a. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh

responden dan dihitung berdasarkan tahun sukses. 1) SD/sederajat: 1 – 6 tahun

2) SMP/sederajat: 7 – 9 tahun 3) SMA/sederajat: 10 – 12 tahun 4) Perguruan tinggi: 13 – 16 tahun

b. Tingkat pengeluaran adalah jumlah rupiah yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan pangan dan non pangan selama satu bulan. Rata-rata pengeluaran responden adalah Rp 1 187 550 dan standar deviasinya adalah Rp 506 984. 1) Rendah: pengeluaran < Rp 934 058

2) Menengah: pengeluaran Rp 934 058 - Rp 1 441 042 3) Tinggi: pengeluaran > Rp 1 441 042

c. Ukuran rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga responden yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur.

1) Kecil: jumlah anggota rumah tangga ≤ 4 orang 2) Menengah: jumlah anggota rumah tangga 5 - 6 orang 3) Besar: jumlah anggota rumah tangga ≥ 7 orang

d. Status kepemilikan lahan adalah keadaan atau kedudukan yang menggambarkan kepemilikan lahan yang dimiliki oleh rumah tangga responden sesuai dengan jenis komoditas yang diusahakan, yakni kebun singkong.

(29)

13

2) Lahan bukan milik: golongan responden yang menggarap lahan kebun singkong atas dasar sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya. Lahan yang digarap bukan milik sendiri.

3) Lahan milik: golongan responden yang memiliki lahan kebun singkong sendiri dan hasilnya sepenuhnya menjadi milik responden.

e. Luas lahan adalah besarnya kepemilikan lahan kebun singkong yang dikuasai oleh responden. Luas lahan ini diukur dalam satuan hektar (Ha). Rata-rata luas lahan responden adalah 0.62 Ha dan standar deviasinya adalah 1.046. 1) Rendah: luas lahan < 0.097

2) Menengah: luas lahan 0.097 - 1.143 3) Tinggi: luas lahan >1.143

2. Peran gender dalam rumah tangga adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden terhadap perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konstruksi sosial-budaya masing-masing responden. Variabel ini diukur dengan:

a. Pola pembagian kerja adalah pembagian seluruh aktivitas dalam suatu rumah tangga responden sesuai peranan masing-masing anggotanya. Kegiatan rumah tangga dibagi menjadi kegiatan domestik (13 kegiatan), kegiatan produktif (10 kegiatan), dan kegiatan sosial (8 kegiatan). Responden dapat memilih 1 dari 4 pilihan. Kegiatan laki-laki sendiri (skor 1), kegiatan perempuan sendiri (skor 1), dan kegiatan bersama (skor 2).

1) Rendah: skor 31-41 2) Menengah: skor 42-52 3) Tinggi: skor 53-62

b. Tingkat Akses adalah besarnya kesempatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat akses dibagi menjadi kesempatan untuk menggunakan sumber daya fisik/material (5 pertanyaan), sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya (7 pertanyaan), sumberdaya sosial-budaya (5 pertanyaan), dan manfaat (7 pertanyaan). Responden dapat memilih 1 dari 3 pilihan, yakni dominan laki-laki sendiri (skor 1), dominan perempuan sendiri (skor 2), dan bersama (skor 3).

1) Dominan laki-laki: skor 24-39 2) Dominan perempuan: skor 40-55 3) Dominan bersama: skor 56-72

c. Tingkat kontrol adalah tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat kontrol dibagi menjadi kesempatan untuk menggunakan sumber daya fisik/material (5 pertanyaan), sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya (7 pertanyaan), sumberdaya sosial-budaya (5 pertanyaan), dan manfaat (7 pertanyaan). Responden dapat memilih 1 dari 3 pilihan, yakni dominan laki-laki sendiri (skor 1), dominan perempuan sendiri (skor 2), dan bersama (skor 3).

(30)

3) Dominan bersama: skor 56-72

3. Tingkat dukungan lokal adalah suatu bentuk aturan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan dalam masyarakat untuk penganekaragaman pangan. Variabel ini diukur dengan:

a. Tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok adalah ketentuan dan norma mengenai pemanfaatan pangan pokok berupa rasi dan tradisi untuk mempertahankan rasi sebagai pangan pokok masyarakat di Kampung Cireundeu. Terdapat 7 pertanyaan mengenai aturan lokal mengenai pangan. Responden dapat memilih 1 dari 2 pilihan, yakni tidak (skor 1) dan ya (skor 2).

1) Rendah: skor 7-9 2) Menengah: skor 10-12 3) Tinggi: skor 13-14

b. Besarnya peran elit lokal adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden mengenai elit lokal yang mengatur mengenai rasi sebagai pangan pokok di Kampung Cireundeu. Terdapat 7 pertanyaan mengenai peran elit. Responden dapat memilih 1 dari 4 pilihan, yakni tidak (skor 1) dan ya (skor 2).

1) Rendah: skor 7-9 2) Menengah: skor 10-12 3) Tinggi: skor 13-14

4. Jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi adalah jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi dalam rumah tangga responden. Pada Kampung Cireundeu terdapat dua macam makanan pokok yang sehari-hari dikonsumsi oleh masyarakat yaitu beras padi (beras) dan beras singkong (rasi). Diversifikasi pangan pokok yang terjadi adalah peralihan dari beras padi ke beras singkong, untuk itu yang akan diukur dalam variabel ini berfokus pada beras singkong (rasi). Jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi dihitung sebagai berikut.

Jumlah anggota rumah = Jumlah anggota rumah tangga yang x 100%

Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga responden yang mengonsumsi rasi adalah 70.21 persen dan standar deviasinya adalah 34.03 persen.

1) Rendah: jumlah anggota rumah tangga yang mangonsumsi rasi < 53.20 persen

2) Menengah: jumlah anggota rumah tangga yang mangonsumsi rasi 53.20 persen – 87.22 persen

(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Pertimbangan penentuan lokasi didasarkan pada dua indikator utama yaitu masyarakat Kampung Cireundeu melakukan diversifikasi konsumsi pangan dengan mengganti pangan pokok mereka dari beras padi menjadi beras singkong (rasi) dan hal tersebut sudah dilakukan sejak lama. Penulis tertarik memilih lokasi tersebut sebagai tempat penelitian untuk menganalisis lebih lanjut mengenai peran gender dalam diversifikasi konsumsi pangan yang mendayagunakan pangan pokok lokal berupa singkong. Peta lokasi Kampung Cireundeu dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penelitian dimulai dari bulan Januari, meliputi kegiatan penyusunan proposal, kolokium, dan perbaikan proposal. Selanjutnya pengumpulan data di lapangan, pengolahan data, penyusunan skripsi, sidang skripsi dan perbaikan laporan skripsi dilakukan pada bulan Februari sampai Juli. Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan adalah survai. Survai merupakan penelitian yang mengambil sampel atau contoh untuk mewakili seluruh populasi lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 1989). Terdapat dua data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yakni data primer dan data sekunder.

(32)

Tabel 1 Rincian metode pengumpulan data

No Data Sumber Data Teknik Perolehan

Data 1. Profil desa, potensi desa,

data kependudukan, dan

3. Peran gender dalam rumah tangga, meliputi: pola

4. Tingkat dukungan lokal, meliputi: tingkat aturan

Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga di Kampung Cireundeu yang mengonsumsi pangan pokok berupa rasi yang berada di RT 02 dan 03. Hal ini dikarenakan masyarakat yang mengonsumsi rasi tersebar di RT 02, 03, dan 05, akan tetapi paling banyak berada di RT 02 dan 03. Menurut Sekretaris RW terdapat 199 orang warga yang setiap harinya mengonsumsi beras singkong yang tersebar di 56 rumah tangga. Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan sementara karena belum pernah diadakan pendataan kembali dari pemerintah.

Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga yang mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja atau purposive, dengan pertimbangan-pertimbangan berupa:

1. Populasi yang digunakan dalam lingkup kampung, yang tidak memiliki data lengkap terkait anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

2. Responden dengan kriteria spesifik, yaitu rumah tangga yang salah satu anggota atau keseluruhan anggota rumah tangganya mengonsumsi rasi, serta terdapat laki-laki dan perempuan dewasa yang tinggal di dalam rumah tersebut.

(33)

17

Jumlah sampel yang akan dijadikan responden di setiap daerah berjumlah 36 rumah tangga yang mengacu pada rumus Slovin. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan. Lebih lanjut tentang teknik sampling responden dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2 Teknik sampling responden

Sampel yang diambil terdiri dari 18 rumah tangga yang mengonsumsi beras singkong (rasi) dan 18 rumah tangga yang mengonsumsi campuran, yaitu beras singkong (rasi) dan beras padi. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga yang diwakili oleh satu laki-laki dewasa, diutamakan kepala keluarga dan satu perempuan dewasa, diutamakan istri dalam rumah tangga tersebut. Setiap rumah tangga diambil dua orang responden, sehingga jumlah responden rasi menjadi 36 orang dan jumlah responden campuran 36 orang. Jumlah responden keseluruhan sebanyak 72 orang dari 36 rumah tangga.

Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner. Mengutip Singarimbun dan Effendi (2006), validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Uji Validitas Product Momen dengan Correlate Bivariate dilakukan untuk mengetahui validitas dari setiap pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner yang digunakan dengan taraf signifikansi 0.05.

Nilai rtabel yang diperoleh untuk jumlah data (n) sebanyak 72 orang

responden pada taraf signifikansi 0.05 adalah 0.195. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai validitas pada taraf signifikansi 0.05 dari variabel ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan, luas lahan, tingkat akses, tingkat kontrol, tingkat aturan lokal, dan besarnya peran elit lokal lebih besar daripada nilai rtabel. Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang

Kampung Adat Cireundeu (56 Rumah Tangga)

18 Rumah Tangga Mengonsumsi Rasi

+ Beras 18 Rumah tangga

Mengonsumsi Rasi

36 Rumah Tangga

(34)

terdapat dalam kuesioner sudah valid dan dapat digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, peran gender dalam rumah tangga, dan tingkat dukungan lokal terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Nilai validitas pada taraf signifikansi 0.05 dari variabel tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, dan pola pembagian kerja lebih kecil daripada rtabel. Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam

kuesioner tidak valid dan kurang dapat digunakan untuk mengukur hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan peran gender dalam rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.

Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi 2006). Uji reliabilitas intrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas. Setelah dilakukan pengujian kuesioner pada 10 orang, diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0.701. Nilai reliabilitas lebih dari 0.5 dan mendekati 1. Dengan demikian data hasil kuesioner memiliki tingkat reliabilitas yang baik atau dengan kata lain data hasil kuesioner dapat dipercaya. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 3.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data penelitian yang diperoleh diverifikasi terlebih dahulu apakah sudah lengkap atau belum. Data yang sudah lengkap diberi skor dan pengkodean. Selanjutnya data dianalisis menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Kaidah pengambilan keputusan tentang ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti adalah dengan signifikansi/probabilitas. Dasar pengambilan keputusan dirumuskan sebagai berikut.

1. Jika nilai signifikansi/probabilitas < 0.01 atau 0.05, maka Ho akan ditolak,

sehingga hubungan antar variabel signifikan atau berhubungan nyata

2. Jika nilai signifikan/probabilitas > 0.01 atau 0.05, maka Ho akan ditolak,

sehingga hubungan antar variabel tidak signifikan atau tidak berhubungan nyata

(35)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis dan Administratif

Cireundeu merupakan salah satu kampung yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota

Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”

karena dahulu di kampung ini populasinya sangat banyak. Pohon reundeu itu sendiri bermanfaat sebagai obat herbal. Kampung Cireundeu terletak di perbatasan Kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan Kecamatan Batujajar. Jarak kampung Cireundeu ke Kantor Kelurahan Leuwigajah kurang lebih 3 km dan 4 km ke kecamatan serta 6 km ke kota atau Pemerintah Kota Cimahi, dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit.

Kampung Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah Langu dan Gunung Jambul di sebelah Utara, Gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA dan Gunung Kunci di sebelah Barat. Dari ketinggian Gunung Gajah Langu kurang lebih 890 meter dpl tersebut, selayang pandang terlihat jelas panorama Kota Cimahi, Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada pada cekungan dan hamparan telaga yang terbentuk dari sejak zaman purba, hamparan keindahan alam tersebut menarik untuk tempat berwisata.

Kampung Cireundeu merupakan rukun warga (RW) 10 di Kelurahan Leuwigajah yang memiliki 20 RW di dalamnya. Terdapat 5 rukun tetangga (RT) di Kampung Cireundeu yang seperti terbagi menjadi dua bagian, yaitu RT 01 dan 04 yang terpisahkan oleh bukit dengan RT 02, 03, dan 05.

Masyarakat Cireundeu membagi daerah menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat, khususnya masyarakat adat Cireundeu

2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru, luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar

3. Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian

(36)

Kondisi Penduduk

Penduduk Kampung Cireundeu berjumlah 200 KK, terdiri dari 270 orang laki-laki dan 256 orang perempuan. Menurut struktur umur terdiri dari dewasa > 21 tahun, sebanyak 160 orang, remaja 7 – 21 tahun, sebanyak 283 orang, dan anak-anak < 7 tahun, sebanyak 83 orang. Dalam hal pendidikan, mayoritas penduduk Kampung Cireundeu adalah lulusan SMP/sederajat. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kampung Cireundeu sudah tergolong menengah atau sedang. Pada Tabel 2 disajikan data penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan pendidikannya.

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

SD/sederajat 24 8.05

SMP/sederajat 205 68.80

SMU/sederajat 65 21.81

Perguruan Tinggi 4 1.34

Mata pencaharian penduduk Kampung Cireundeu beragam, tetapi mayoritas bekerja sebagai petani. Pada Tabel 3 disajikan data penduduk berdasarkan mata pencahariannya.

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan mata pencaharian

Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Bertani dan beternak 96 54.24

PNS/pensiunan 6 3.39

Buruh bangunan 25 14.12

Pegawai swasta 50 28.25

Mayoritas penduduk Kampung Cireundeu beragama Islam yaitu sebanyak 814 orang, selain itu juga terdapat penganut kepercayaan terhadap Tuhan sebanyak 119 orang. Suku atau etnis yang terdapat di Kampung Cireundeu yaitu 1006 orang etnis Sunda dan 5 orang etnis Jawa, sisanya adalah etnis Cina. Penduduk Kampung Cireundeu merupakan salah satu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar khususnya dalam mempertahankan adat

leluhurnya. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat

memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka

Jaman” memiliki arti penduduk Kampung Cireundeu tidak melawan akan

perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa handphone, dan penerangan.

(37)

21

berkaitan erat dengan dunia pangan dan pertanian umumnya, serta mendapat beberapa penghargaan tingkat lokal, regional dan nasional.

Karakteristik Pangan Pokok Kampung Cireundeu

Masyarakat adat Kampung Cireundeu menganut keyakinan tersendiri. Pada mulanya mereka menggunakan beras sebagai makanan pokoknya. Alasan beralihnya makanan pokok menjadi singkong karena pada masa penjajahan Belanda terjadi kekurangan pangan khususnya beras. Oleh karena itu, pengikut aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan cara mengganti nasi beras dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak terbatas. Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan batin, menguji keyakinan para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu masyarakat adat kampung Cireundeu berpedoman pada prinsip hidup yang mereka anut, yaitu teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat, yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat bisa menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Menohon kekuatan ini harus kepada Yang Memiliki, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih Tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah lalu mengembangkan makanan pokok non beras ini. Berkat kepeloporannya tersebut pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai Pahlawan Pangan pada Tahun 1964.

Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.

Kearifan budaya lokal yang selalu diterapkan di lingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut:

(38)

“Gunung ada kayunya, tebingnya banyak bambu, mata air dirawat, tegalan kebun, pasir kosong/lahankosong, dataran

persawahan, sungai ada airnya, kolam balongan,

balongan/empang dipelihara/rawat, kampung dijaga, sungai dirawat, dan pinggiran danau dijaga.” (Abah EMN, tidak diketahui)

Masyarakat kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidaya tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis

makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “rasi” atau beras

singkong. Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari delapan puluh tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini.

Terdapat 199 orang warga yang setiap harinya mengonsumsi beras singkong yang tersebar di 56 KK (Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan sementara dari sekretaris RW, belum pernah diadakan pendataan kembali dari pemerintah). Beras singkong berkembang di Kampung Cireundeu dikarenakan singkong merupakan tanaman yang paling cocok ditanaman di daerah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak SDJ (36 tahun), sebagai berikut:

“Sudah dicoba bermacam-macam tanaman lain seperti jagung dan sorgum namun, hasilnya tidak memuaskan karena tanahnya yang

asam.” (Bapak SDJ, 36 tahun)

Terdapat 42 hektar kebun yang ditanami singkong sehingga akses untuk mendapatkan bahan baku beras singkong mudah. Selain itu juga telah terkoordinir mengenai pengolahan dan pemasaran beras singkong yang berpusat di sebuah balai di RT 02. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonomi tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya.

Cara pembuatan rasi pertama-tama singkong dikupas lalu dicuci sampai bersih, sesudah itu singkong diparut dan hasil parutannya diperas. Ampas perasan kemudian dijemur sampai kering, setelah itu ditumbuk atau digiling lagi lalu diayak. Cara pengolahannya yaitu rasi diberi air secukupnya sampai bisa dikepal

(39)

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA,

PERAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA, DAN

TINGKAT DUKUNGAN LOKAL

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Rumah tangga responden dibagi menjadi dua, yaitu (1) rumah tangga yang keseluruhan anggota keluarganya mengonsumsi beras singkong (rasi) sebagai pangan pokoknya dan (2) rumah tangga yang sebagian anggota keluarganya mengonsumsi beras singkong dan sebagian lagi mengonsumsi beras padi (campuran) sebagai pangan pokoknya. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang dapat dilihat pada Tabel 4.

(40)

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh responden dan dihitung berdasarkan tahun sukses. Pendidikan formal terakhir digolongkan menjadi empat kategori, yaitu 1-6 tahun (SD/sederajat), 7-9 tahun (SMP/sederajat), dan 13-16 tahun (perguruan tinggi). Pada responden campuran sebagaian besar mengenyam pendidikan pada tingkat 7-9 tahun (SMP/sederajat) yaitu sebanyak 12 responden atau 33.33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan responden campuran berada pada tingkat menengah. Lain halnya dengan responden rasi yang sebagian besar mengenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) yaitu sebanyak 16 responden atau 44.44. Hal ini menunjukkan bahwa responden rasi memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Bila dilihat berdasarkan jenis kelaminnya terdapat perbedaan antara responden perempuan dan laki-laki dalam hal tingkat pendidikan. Persentase tingkat pendidikan responden berdasarkan golongan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden dan berdasarkan tingkat pendidikan

Tahun Sukses Laki-laki Perempuan

n % n %

1-6 tahun 13 36,11 13 36,11

7-9 tahun 8 22,22 9 25

10-12 tahun 13 36,11 9 25

13-16 tahun 2 5,56 5 13,89

Total 36 100 36 100

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden laki-laki paling banyak megenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) dan tingkat 10-12 tahun (SMA/sederajat) yaitu sebanyak 13 responden atau 36,11 persen pada masing-masing kategori. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden laki-laki berada pada tingkat rendah hingga tinggi. Pada responden perempuan paling banyak mengenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) yaitu sebanyak 13 responden atau 36,11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden perempuan berada pada tingkat rendah. Anak perempuan di Desa Cireundeu cenderung putus sekolah ketika keuangan keluarga tidak mencukupi karena persepsi bahwa perempuan akan ikut suaminya setelah mereka menikah dan bertugas mengurus rumah tangga, sehingga tidak diperlukan pendidikan yang tinggi. Sebagian besar responden perempuan menjadi ibu rumah tangga dan mengandalkan suaminya sebagai pencari nafkah utama. Hanya sedikit responden perempuan yang ikut bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan banyak merugikan perempuan karena pendidikan yang rendah membatasi perempuan pada pekerjaan informal dengan upah yang rendah.

(41)

25

sekolah dengan alasan biaya berdasarkan pada pengalaman empirik bahwa tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Laki-laki cenderung lebih aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi disebabkan nilai dan sikap masyarakat yang menganggap laki-laki lebih penting dalam berbagai dimensi kehidupan. Laki-laki masih dominan berperan sebagai kepala keluarga, pemimpin masyarakat, serta pemimpin dalam lembaga-lembaga birokrasi. Laki-laki juga mendominasi jurusan atau program studi berkaitan dengan ilmu-ilmu murni dan “ilmu-ilmu keras” (basic and hard sciences), seperti ilmu pengetahuan alam, otomotif, teknologi, industri, dan sejenisnya. Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan serta dalam pemilihan jurusan-jurusan keahlian membuat laki-laki memiliki kesempatan memperoleh keahlian dan status profesional yang tinggi. Akibatnya, rata-rata penghasilan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penghasilan perempuan.

Tingkat Pengeluaran

Tingkat pengeluaran dihitung berdasarkan jumlah rupiah yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Rata-rata tingkat pengeluaran per bulan seluruh rumah tangga responden adalah Rp 1 187 550 dan standar deviasinya adalah Rp 506 984. Rata-rata nilai ini akan menentukan batasan pada tiap kategori, yakni tingkat pengeluaran rendah, menengah dan tinggi. Pada rumah tangga campuran, sebagian besar responden memiliki tingkat pengeluaran menengah dan tinggi, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Berbeda dengan rumah tangga rasi yang sebagian besar respondennya memiliki tingkat pengeluaran tinggi rendah dan menengah, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Hal ini karena beras padi memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan beras rasi. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu SRH (21) dan Bapak YDI (33) sebagai berikut:

“Sebulannya beli rasi paling dua kilo harganya hanya dua puluh ribu, sedangkan untuk beras sebulannya bisa sampe delapan atau sembilan kilo, harganya kira-kira sembilan puluh lima ribu.” (Ibu SRH, 21 tahun)

“Mengonsumsi rasi akan lebih cepat kenyang. Satu kilogram rasi dapat mencukupi lebih dari lima orang karena porsi sedikit saja sudah bisa mengeyangkan. Hal ini terbukti tidak hanya pada orang-orang yang terbiasa makan rasi, orang-orang yang sekali mencoba rasi pun beranggapan demikian. Jadi, mengonsumsi rasi sebenarnya lebih hemat dan menguntungkan.” (Bapak YDI, 33 tahun)

(42)

pokok sehari-harinya lebih murah dan kebutuhan per bulannya pun lebih sedikit, sehingga tingkat pengeluarannya menjadi rendah.

Ukuran Rumah Tangga

Ukuran rumah tangga dihitung berdasarkan jumlah anggota rumah tangga responden yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. Ukuran rumah tangga responden atau 61.11 persen. Pada rumah tangga rasi, sebagian besar mempunyai ukuran rumah tangga kecil, yaitu sebanyak 30 responden atau 83.33 persen. Hal ini berarti bahwa rata-rata rumah tangga campuran maupun rasi memiliki anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang.

Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dapat membantu keuangan keluarga apabila berada dalam usia produktif dan bekerja, namun apabila dalam usia yang tidak produktif hanya akan menambah jumlah pengeluaran. Hal ini didukung oleh Sinaga et al. (2014) yang menjelaskan bahwa bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, akan diikuti juga dengan penambahan pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, maka rumah tangga tersebut sudah pasti memerlukan penambahan asupan pangan yang tentunya membutuhkan biaya. Nilai absolut belanja pangan akan meningkat pada jumlah anggota keluarga yang besar, tetapi belanja pangan per kapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada. Melihat kondisi tersebut ukuran rumah tangga masyarakat Cireundeu yang rata-rata memiliki keluarga kecil dan anggota keluarganya kurang dari atau sama dengan empat dinilai sudah bagus karena asumsi bahwa kebutuhan pangan masing-masing anggota keluarga dapat terpenuhi dan kandungan gizi pangan yang dikonsumsi bisa lebih diperhatikan.

Status Kepemilikan Lahan

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran
Tabel 1 Rincian metode pengumpulan data
Gambar 2  Teknik sampling responden
Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian tentang kemampuan Dye Sensitized Solar Cell pada kaca konduktif ITO dengan sensitizer dari bunga rosela ( Hibiscus sabdariffa ).. Konstruksi

Pada tatarn praktek, sejumlah diplomasi yang telah dilaksanakan banyak terkait dengan upaya mengurai konflik baik intra-agama islam (antar sunni- syiah), konflik

〔商法 四〇一〕経営が悪化した会社の資金捻出のため売れ残った販 売用不動産を時価より高額に購入したことにつき取締役の会社に対

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa waktu muncul tunas stek pucuk jeruk kacang lebih cepat tumbuh pada 4 perlakuan yaitu; menggunakan komposisi media campuran tanah dan

Saya adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan FK USU yang melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Stres Kerja Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Di Instalasi Rawat

The applications of differentiation to various tests for local extrema and points of inflection are bread-and-butter topics in calculus courses, so much so that many students think

para mahasiswa tidak lepas dari membuat makalah, laporan-laporan, maupun menyelesaikan tugas akhir yang berupa skripsi ataupun laporan akhir lain yang semuanya

Klasifikasi konsetrasi spasial industri kecil dan kerajinan rumah berdasarkan jumlah unit usaha pada tingkat kecamatan di Kabupaten Tuban tahun 2009 dan tahun 2012.. ………