• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penerapan Terapi di Inabah VII

BAB III TERAPI INABAH

PANDANGAN ANAK BINA TERHADAP TERAPI INABAH

A. Gambaran Penerapan Terapi di Inabah VII

Sebagaimana penerapan terapi Inabah di lingkungan Pondok Remaja Inabah Suryalaya pada umumnya, penerapan terapi Inabah di Inabah VII tidak berbeda dengan Inabah-inabah lainnya Proses terapi Inabah dimulai pada pukul 02.00 WIB diawali dengan terapi mandi Taubat oleh Anak Bina. Bagi Anak Bina yang belum mampu melakukan mandi Taubat dibantu oleh wakil Pembina atau sesama rekan Anak Bina. Berikut beberapa gambaran proses terapi Inabah yang sempat saya ikuti dan saya amati.

“Sesuai dengan kesanggupan saya untuk mengikuti terapi Inabah pada malam hari sekitar pukul 02.00 WIB, saya sempat tidur sebelumnya. Saya dibangunkan oleh petugas Inabah VII untuk segera mengikuti terapi Inabah. Awalnya saya berencana untuk mengikuti terapi mandi di kamar mandi asrama Anak Bina dan harapan saya agar dapat dimandikan sesuai dengan terapi mandi Taubat pertama kali bagi Anak Bina yaitu dimandikan oleh Pembina atau wakil Pembina. Tetapi krisis air yang dialami Inabah VII malam itu menyebabkan saya harus rela menunda proses mandi Taubat. Saya memutuskan untuk mandi Taubat di lantai II sendiri, itu juga berdasar saran petugas Inabah VII. Selanjutnya saya ditemani petugas menelusuri lorong-lorong di Inabah VII menuju asrama Anak Bina yang terletak ditengah-tengah bangunan Inabah VII. Lorong yang saya lalui berliku-liku, dalam benak saya bagaimana jika saya berjalan sendirian?...

65 Sesampainya di depan pintu utama asrama Anak Bina yang di

gembok saya dipersilahkan masuk asrama anak bina sendiri, sendirian tanpa ditemani petugas. Beliau hanya berpesan untuk berhati-hati dan menjaga sikap saya terutama ketika berhadapan dengan Anak Bina. Selepas berpesan kepada saya beliau mengunci kembali pintu masuk, menggemboknya kembali, meninggalkan saya di dalam asrama.

Saya berjalan menyusuri kamar-kamar anak bina menuju musholla, udara malam itu begitu dingin, saya sempat menggigil. Beberapa saat kemudian saya memasuki musholla tempat dimana Anak Bina melakukan terapi shalat dan dzikir. Ada udara bau pesing yang saya rasakan di hidung, aroma gas amoniak! Sempat membuat saya sempat mual dan pusing. Mushola Anak Bina jauh dari gambaran musholla yang layak bagi saya, atap langit-langit yang terkelupas, dinding kusam, coretan-coretan di kanan-kiri dinding sebelah bawah musholla. Setelah saya amati coretan-coretan tersebut teryata kebanyakan mewakili ungkapan perasaan, hati para Anak Bina yang mengikuti terapi di Inabah VII, coretan-coretan seperti; LAPAS TASIK, *FOSKOMI* (BANDERAS) ANDRIAN (GARONX) BLOK E9/10 POS 2 RAFLES HILLS, CREW BOM BALI, AMARTA ABIMANYU, WELL STRUGGLE,

INI BUDI, SULEMAN, TASIKMALAYA,

BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM, JIBRIL, MIKAIL, ISROFIL, IZROIL, YA ALLAH, IRFAN DKI JAKARTA, TVRI 94, KIMIA-FISIKA-KOMPUTER-KALKULUS, SPEEDSHOP-SPEED MANIAC, NGAWI 21, KEDIRI 29, IN 431, 46158-9953 TIN AZ, SOLEMAN, DAMAI KAMI SEPANJANG HARI, NAORA LOVE AMI.

66 Berdasar pengamatan pada malam itu, saya mendapatkan

gambaran bahwa proses terapi shalat oleh anak bina dilakukan tanpa kekerasan, mereka shalat sesuai dengan kemampuan dan keadaan kondisi kejiwaan mereka. Saya melihat beberapa Anak Bina shalat dengan gaya mereka sendiri; ada yang terus berdiri tidak ruku’ dan tidak sujud, ada yang terus mengangguk-anggukan kepala, ada yang tertawa, cengengesan sendiri, ada juga yang terus sibuk membenahi sarung dan sajadahnya.

Bapak Zaenal selaku Wakil Pembina yang bertugas sebagai imam senantiasa mengingatkan kembali kepada Anak Bina untuk melaksanakan shalat dengan baik. Pelaksanaan terapi shalat Tahajud itu juga menyertakan Anak Bina yang masih labil, mereka ditempatkan pada shof paling depan bagian kanan. Ada 3 Anak Bina yang ngeblenk. Anak Bina yang ngeblenk selama proses shalat, ada yang duduk terdiam dan ada yang berdiri. Tidak ada perilaku yang aneh pada diri mereka, kecuali selama proses sholat Tahajud mereka tidak mengikuti gerakan imam.

Pada pelaksanaan terapi malam itu saya menjumpai beberapa Anak Bina yang mengikuti terapi shalat dan dzikir dengan tenang, beberapa dari mereka duduk terdiam, bahkan sebagian ada yang menitikkan air mata. Dari pelaksanaan terapi inabah malam itu saya merasakan bahwa diperlukan usaha yang luar biasa bagi Anak Bina untuk melaksanakan terapi shalat Tahajud ini, tanpa menafikan peran wakil Pembina yang dengan sabar menuntun, membimbing mereka mengikuti rangkaian terapi Inabah. Bukan hal yang mudah ketika tubuh Anak Bina yang digerogoti oleh pengaruh NAPZA, berusaha sekuat tenaga mendekatkan diri dengan terapi riyadlah TQN.

67 Saya shalat Tahajud tepat dibelakang Anak Bina yang

tubuhnya kurus-ceking. Saat selesai shalat ia sempat menengok ke arah saya, tatapan matanya kosong. Saya sempat khawatir. Entah apa yang ada dibenaknya? Ia begitu antusias melakukan shalat Tahajud pada malam itu. Saya tak sanggup lagi melihatnya ! mereka, Anak Bina tertatih-tatih, melakukan terapi dengan sisa-sisa tubuh yang habis digerogoti NAPZA. Selesai terapi shalat Tahajud dan rangkaian shalat sunnah, terapi Inabah dilanjutkan dengan terapi dzikir TQN. Sekali lagi saya disuguhi pemandangan dari Anak Bina yang sungguh luar biasa, malam itu gema dzikir mengumandang di musholla Inabah VII. Ada perasaan tenang, syahdu, sulit bagi saya untuk mengutarakan dengan kata-kata dan menuliskannya kembali pada transkrip ini... Terapi shalat tahajud dan dzikir malam itu terus berlanjut hingga tiba waktu shalat subuh. Dengan arahan dari bapak Zaenal, Anak Bina melaksanakan shalat subuh dilanjutkan dengan dzikir TQN.

Pada pukul 07.00 Selanjutnya Anak Bina diperbolehkan istirahat sampai pukul 08.00 WIB. Beberapa Anak Bina ada memanfaatkan waktu tersebut untuk tidur kembali tetapi ada juga yang melakukan aktifitas lainnya, seperti ngobrol, nyuci dan berjemur. Saya menyempatkan diri ngobrol dengan beberapa Anak Bina. Saat itu saya berturut –turut menjumpai Mas SHM, BHN, ARY, HER, dan ANG. Pertemuan saya dengan BHN dan ARY merupakan kali kedua karena pada saat observasi sebelumnya saya sempat ngobrol dengan mereka di ruang tamu Inabah VII. Wawancara berkisar pada perihal masuknya mereka ke Inabah VII, mengapa mereka masuk Inabah, pendapat mereka tentang terapi Inabah dan harapan masa depan mereka. Saya sempat menyambangi HER dan

68 ANG di kamarnya, saya duduk di teras depan kamar mereka.

Sesekali wawancara terhenti karena ada beberapa Anak Bina yang ikut nimbrung. Dari kelima subyek yang saya wawancarai termasuk Anak Bina yang sudah stabil setelah beberapa waktu mengikuti terapi Inabah, walau saya melihat mereka tidak bisa menyembunyikan dampak dari mengkonsumsi Narkoba, salah satunya sosok HER yang menarik perhatian saya selama berada di Inabah VII. Beberapa saat kemudian, kami dipanggil petugas untuk kembali keatas karena Anak Bina perlu istirahat dan makan pagi sebelum mereka kembali melanjutkan terapi Inabah berikutnya. Kamipun mohon diri dihadapan Anak Bina dan bapak Zaenal, bergegas menuju pintu dimana petugas berada, dan seperti biasanya setelah kami lewat, petugas langsung menggembok pintu itu kembali,...”

Terapi mandi Taubat pada malam hari menjadi penting dalam proses penyembuhan Anak Bina di Inabah VII, terutama sebagai penawar ketika Anak Bina mengalami sakaw. Terapi mandi ini dilaksanakan pada pukul 02.00 WIB (dini hari) atau sebelum melaksanakan shalat Tahajud. Sundjaja (1983) menuturkan bahwa seorang remaja yang datang ke Inabah dalam keadaan mabuk, oleh karena itu perlu disadarkan terlebih dahulu. Penyadaran ini dilakukan dengan mandi atau dimandikan, yaitu mandi seluruh badan yang disebut dengan mandi junub atau di Inabah dengan istilah mandi Taubat (Haryanto, 2007 : 107-108). Filosofi Inabah menggunakan terapi air (Hidro Therapy) sebagai salah satu terapi terhadap korban penyalahgunaan NAPZA.

Hal ini didukung pula oleh firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya : “…dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu, dan

69 menghilangkan dari kamu gangguan syetan dan untuk

menguatkan hatimu… (QS. Al-Anfal / 8:11)”.

Setelah proses terapi mandi usai selanjutnya Anak Bina melakukan terapi shalat. Di Inabah VII semua Anak Bina diharuskan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, termasuk para Anak Bina yang masih labil juga diikutkan pada pelaksanaan terapi shalat. Shalat yang diterapkan pada terapi Inabah ini merupakan terapi psikis yang bersifat kuratif (penyembuhan), preventif (pencegahan) dan konstruktif (pengembangan jiwa). Mubarokh (2006:19) mengatakan bahwa shalat dapat menjaga kesehatan potensi-potensi psikis manusia seperti potensi kalbu untuk merasa (emosi), potensi akal untuk berpikir (kognisi) dan sebagainya. Adapun keutamaan shalat antara lain sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya: “ Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadahibadah yang lain)” (Q.S Al-Ankabut , 29 : 45) (Hawari, 2008 : 58).

Menurut Nasr bahwa ritual utama dalam agama Islam adalah shalat yang mengintegrasikan kehidupan manusia ke dalam pusat rohaniah. Jadi dapat disimpulkan, bahwa shalat adalah ibadah yang wajib dikerjakan oleh umat Islam, dimana shalat dapat memberikan ketenangan hati, menjaga kesehatan seperti kesehatan untuk menjaga emosi dan kesehatan akal, dan shalat juga dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar (Haryanto, 1993 : 34). Proses pelaksanaan terapi shalat Tahajud di Inabah VII turut menyertakan Anak Bina yang masih labil. disesuaikan dengan tingkat kesadaran para Anak Bina (sebagaimana terlihat pada gambar diatas). Gambar diatas menunjukkan beberapa Anak Bina melaksanakan terapi Inabah

70 dengan tingkat kesadaran, mereka belum bisa mengikuti

gerakan imam pada saat shalat Tahajud berjamaah. Terlihat pada saat imam tahiyat akhir, beberapa Anak Bina ada yang berdiri, ada yang sujud dan ada yang menggoda rekannya dibelakang. Keadaan suasana shalat yang berbeda adalah suasana yang lumrah pada Inabah VII, hal ini dikarenakan Anak Bina yang mengikuti terapi Inabah belum memiliki kesadaran yang sama antara Anak Bina satu dengan yang lain.

Dalam terapi shalat Tahajud yang saya amati Anak Bina melakukannya sesuai dengan tingkat kesadaran yang mereka miliki, dari sinilah saya mengetahui bagaimana para Anak Bina melakukan shalat Tahajud. Posisi Bapak Zaenal selaku imam shalat Tahajud menjadi penting dalam memandu jalannya terapi shalat pada Anak Bina. Ini terlihat dari cara beliau dengan sabar menyampaikan tentang nama-nama shalat yang hendak mereka tunaikan. Beliau juga menyerukan pada Anak Bina untuk shalat dengan tenang. Sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Zaenal, selaku Wakil Pembina Inabah VII sebagai berikut;

“Menangani Anak Bina harus sabar mas, karena mereka pada umumnya datang dengan kondisi yang memprihatinkan secara kejiwaan. Kita harus menyentuh hatinya mas, ya... dengan sabar dan kasih sayang bukan dengan kekerasan. Dan nyata terbukti dengan kesabaran dan pendekatan baik-baik mereka mampu kembali menjadi orang yang berguna”.

Setelah selesai menunaikan shalat Tahajud Anak Bina melanjutkan terapi Inabah dengan terapi dzikir Thoriqah Qodiriyyah Naqsabandiyah. Filosofi dari terapi dzikir ini adalah bertujuan untuk mengupayakan agar Anak Bina dapat membangunkan kesadaran mereka, sehingga akan terjaga dan

71 timbul kesadarannya. Munculnya kesadaran akan

kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan tumbuhnya penyesalan untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang telah diperbuat. Sebagaimana yang diungkapkan Subandi (Haryanto, 1993 : 32) bahwa setelah proses dzikir TQN ini, pada diri seseorang akan timbul insight (kesadaran), terutama ketika melaksanakan tawajuh (dzikir khofi). Anak Bina akan merasa berhadapan dengan Allah SWT yang maha mengetahui segala tindakannya. Perasaan ini sering diikuti oleh rasa penyesalan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam terapi dzikir ini, individu bisa mencapai insight yang relatif cepat dibandingkan dengan proses terapi atau konseling biasa. Setelah menangis pada proses tersebut korban merasa lega, karena telah melepaskan segala emosi yang selama ini terbelenggu. Korban (para Anak Bina) merasa terlahir kembali dan menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana yang ditakdirkan Tuhan dan memberikan rasa aman dan berarti. Keadaan sebagaimana yang digambarkan Subandi saya jumpai pada proses pelaksanaan terapi dzikir di Inabah VII. Pada proses terapi dzikir tidak sedikit Anak Bina menitikkan air mata, baik pada proses dzikir jahar maupun dzikir khofi.

Dzikir jahar; adalah dzikir yang diucapkan dengan suara keras dan dengan gerakan-gerakan tertentu yang ditunjukkan oleh wakil pembina Inabah VII dengan melafalkan kalimat Laa Ilaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan selain Allah. Dzikir ini dilaksanakan setelah shalat, baik fardhu maupun sunnah yang bilangannya minimal 165 kali, utamanya lebih yang diakhiri pada bilangan ganjil. Sedang dzikir khofi; yaitu dzikir yang diingat dalam hati, dzikir ini bukan merupakan ucapan, tetapi diingat di dalam hati sehingga ada yang menyebutnya

72 bahwa dzikir ini terlintas dalam pikiran dan tidak terdengar

oleh telinga. Dalam hal ini diharapkan hati selalu mengingat dan penyebut nama Allah SWT.

Selain terapi mandi Taubat, shalat dan dzikir, terapi Inabah juga menerapkan terapi puasa. Terapi puasa ini merupakan terapi penunjang karena tidak semua diharuskan melakukan kegiatan ini, yaitu mereka yang sudah baik dan sudah sadar akan disuruh puasa. Khususnya puasa sunnah, misalnya puasa senin-kamis, puasa tiga hari setiap bulan (puasa kifarat), dan puasa fardhu pada bulan ramadhan. Disamping amalan-amalan seperti tersebut di atas, Inabah VII mengenal pula amalan-amalan yang disebut amalan harian, amalan mingguan, dan amalan bulanan. Amalan yang dimaksud di atas adalah : pertama, amalan harian adalah berdzikir setelah melakukan shalat sunnah. Kedua, amalan mingguan adalah khotaman, berdzikir seperti halnya amalan harian ditambah dengan bacaan atau do’a-do’a (wirid) yang dilakukan setiap seminggu sekali. Khususnya di Inabah VII, amalan ini dilakukan setiap hari ba’da shalat wajib. Hal ini berarti dijadikan sebagai amalan harian. Ketiga, amalan bulanan adalah yang disebut dengan Manaqiban atau Manaqib, yaitu amalan harian ditambah dengan amalan mingguan dan pengajian umum. Semua amalan-amalan tersebut dimaksudkan untuk membina kelangsungan corak keagamaan yang secara terus menerus dan setiap saat kehidupannya akan selalu terjaga oleh kehidupan keagamaan.

Dari hasil pengamatan yang saya lakukan terlihat jelas bahwa proses pelaksanaan terapi Inabah tidak sekejam dan sesadis berita yang terdengar diluar Inabah VII. Pelaksanaan terapi Inabah oleh Pembina dan wakil pembina dilakukan

73 dengan kesabaran dan pemahaman bahwa mereka –Anak Bina-

adalah korban yang harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Pada terapi Inabah Anak Bina disentuh perasaannya dengan ajaran agama Islam melalui ajaran amaliyah Thoriqah Qodiriyyah Naqsabandiyah. Hal inilah yang kemudian memunculkan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa terapi Inabah merupakan terapi dengan menggunakan pendekatan amaliyah dalam Tasawuf.

Menurut Subandi (dalam Haryanto, 1993 : 54) bahwa salah satu efek mengamalkan terapi pendekatan Islami dengan melalui ajaran Thoriqah Qodiriyyah Naqsabandiyah yaitu suatu aliran pendekatan yang digunakan pada terapi agama adalah dapat meningkatkan Alfered States of Conciousness (ASC). ASC sendiri adalah suatu kesadaran yang berubah atau berbeda dengan kesadaran normal. Ciri-ciri dari pengalaman ASC, antara lain ditandai adanya fungsi kognitif atau pikiran, perubahan suasana hati, perubahan persepsi dalam memandang dunia luar. Dalam hal ini pada proses terapi Anak Bina, kesadaran suatu saat tumbuh seiring dengan frekuensi pelaksanaan penerapan terapi Inabah yang Anak Bina lakukan. Menurut KH. Ahmad Anwar salah satu indikator terapi Inabah berjalan adalah ditunjukkan salah satunya dengan “kesanggupan” tidur tenang pada Anak Bina.

Dokumen terkait