• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAMA DAN PECANDU NARKOBA Etnografi Terapi Metode Inabah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AGAMA DAN PECANDU NARKOBA Etnografi Terapi Metode Inabah"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

1

AGAMA DAN PECANDU NARKOBA

Etnografi Terapi Metode Inabah

Alhamuddin, M.M.Pd Moh. Toriqul Chaer

Puad Hasim

(2)

2

Kata Pengantar

Alhamdulillah, syukur kepada Allah ta’ala yang telah memberikan anugerah yang sangat banyak hingga hari ini kita masih bisa berada di jalanNya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada uswah hasanah nabiyina Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, kepada ahli baitnya, para shahabatnya dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak sunnah beliau hingga akhir zaman.

Permasalahan narkoba saat ini semakin merajalela, penyebarannya telah menjadi musuh utama agama dan negara. tidak hanya menjadi konsumsi orang-orang yang berduit seperti selebritas dan konglomerat, ia telah pula dikonsumsi oleh gelandangan dan anak jalanan. Produk dari narkoba yang semakin bervariasi sangat memudahkan bagi orang-orang yang lemah imannya untuk mengonsumsinya. Para remaja yang salah gaul, karena alasan pergaulan atau karena ingin coba-coba akhirnya terjatuh ke dalam jeratan narkoba.

Penyalahgunaan Narkoba adalah satu hal yang harus kita cermati, kenapa mereka mengonsumsinya? Ada banyak jawaban tentunya. Beberapa pecandu narkoba awalnya hanya coba-coba kemudian akhirnya ketagihan dan tidak bisa lepas darinya. Pengguna lainnya menggunakan narkoba untuk menghilangkan stress karena beban hidup yang terlalu berat, semantara sebagian lainnya ingin bersenang-senang dan merasa happy dengan keadaanya.

Berbagai alasan penggunaan narkoba sejatinya adalah karena mereka jauh dari tuntutan agama. Sebagai sebuah pedoman hidup agama memberikan petunjuk bagaimana

(3)

3 menghadapi kehidupan, tidak hanya diwaktu senang namun

ketika waktu susah agama memberikan jalan untuk mengatasinya. Para pecandu narkoba adalah mereka yang merasa bahwa agama tidak bisa menyelesaikan problem yang mereka hadapi sehingga narkoba menjadi solusinya.

Islam sebagai agama yang paripurna telah memberikan kaidah-kaidah lengkap sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia. Ia adalah solusi bagi problematika yang dihadapi oleh manusia. Sehingga ketika seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan Islam hadir memberikan harapan dan jalan keluar. Permasalahannya adalah tidak semua manusia memahami hal ini sehingga mereka tidak kembali kepada Islam ketika ditimpa ujian.

Islam menjadi agama bagi penangkal penyalahgunaan narkoba. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara jelas mengharamkan hal-hal yang dapat merusak akal manusia. Bahkan salah satu dari maqashid asy-syariah (tujuan syariat Islam) adalah menjaga akal manusia dari segala hal yang dapat merusaknya. Narkoba adalah dzat yang merusak akal manusia sehingga Islam mengharamkannya. Memakainya, menjualnya dan melakukan transaksi padanya. Tidak ada satu umat Islam pun yang menhalalkannya, sehingga ia telah menjadi ijma’ kesepakatan seluruh umat Islam mengenai haramnya narkoba.

Jika Islam telah sejak awal mengharakan narkoba, maka Islam juga memberikan solusi bagi seseorang yang telah terjerat dengannya. Islam memberikan metode pengobatan bagi para pecandu narkoba dengan metode-metode yang telah disusun oleh para ulama untuk menghilangkan pengaruh dari dzat haram ini.

(4)

4 Salah satu dari metode pengobatan bagi para pecandu

narkoba adalah metode inabah yang dikembangkan oleh Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Pengalaman mengobati para pecandu narkoba selama berpuluh tahun telah menghasilkan satu metode baku yang mampu mengobati para pecandu narkoba.

Buku ini merupakan laporan penelitian etnografi mengenai metode inabah yang dipraktekan di beberapa pondok Inabah di wilayah Tasikmalaya Jawa Barat, Indonesia. Masih sedikitnya referensi mengenai metode ini menjadi alasan kuat bagi kami untuk menerbitkannya. Sifat dari buku ini yang merupakan laporan etnografi menjadi sisi kuat data dibandingkan dengan buku-buku lainnya.

Akhirnya, semoga buku ini menjadi referensi bagi seluruh umat Islam dan manusia pada umumnya untuk melihat bagaiman Islam memberikan solusi dalam semua sendi kehidupan umat manusia.

Bogor, 08 Januari 2015

(5)

5

TERAPI INABAH DAN PECANDU

Moh. Toriqul Chaer

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konsep-konsep dunia tasawuf dan praktek amaliyah dalam tradisi tarekat merupakan sumber yang sangat kaya bagi pengembangan terapi berwawasan Islami, khususnya untuk proses dan tehnik terapi. Berkaitan dengan proses pembinaan ahlak manusia dalam dunia tasawuf dan tarekat dikenal adannya tiga tahap, yaitu: takhali (pengosongan yang diridhoi sifat buruk dan hawa nafsu), tahalli (pengisian sifat-sifat baik), tajalli (terungkapnya rahasia ketuhanan) (Anagsyah, 2000 : 102-103). Tahap-tahap tersebut saat ini menjadi inspirasi teknik, metode dan landasan teoritis terapi dalam mengkonstruksi pondasi bangunan psikoterapi1 Islam.

Psikoterapi Islam2 sebagai terapi religius memiliki ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas, tidak hanya

1

Psikoterapi artinya pengobatan menurut ilmu jiwa, yaitu cara pengobatan yang dipakai adalah berdasarkan metode psikologis. (Mubarakh, 2006 : 11). Atau dapat disimpulkan psikoterapi merupakan interaksi sistematis antara klien dan terapis yang menggunakan prinsip-psinsip psikologis untuk membantu menghasilkan perubahan dalam tingkah laku, pikiran dan perasaan klien supaya membantu klien mengatasi tingkah laku abnormal dan memecahkan masalah-masalah dalam hidup atau berkembang sebagai seorang individu. Tujuan terapi menurut Ivey (1987) adalah membuat sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari (Ardani, 2007: 142).

2

Psikoterapi Islam atau sering disebut terapi pendekatan Islami adalah bentuk khusus dari religius psychotherapy, yaitu suatu proses pengobatan

(6)

6 menjangkau pada ruang lingkup psikologis, tetapi juga lingkup

moral-spiritual. Disamping itu, psikoterapi Islam tidak hanya menaruh perhatian pada proses penyembuhan tetapi juga berorientasi pada penekanan usaha peningkatan diri. Subandi (1994) menyebutkan bahwa tujuan psikoterapi yang berwawasan Islam menyangkut juga usaha membersihkan kalbu, menguasai pengaruh dorongan primitif, meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlaqul karimah dan meningkatkan potensi untuk menjalankan tugas khalifatullah. Pada proses penanganan dan pembinaan serta rehabilitasi para korban penyalahgunaan NAPZA3 diperlukan kerjasama berbagai pihak, baik dari keluarga, tim ahli (terapis) dan yang gangguan melalui kejiwaan yang didasari dengan nilai keagamaan (Islam). Yakni dengan cara membangkitkan potensi keimanan kepada Allah, lalu menggerakkan kearah pencerahan batin yang akan menimbulkan kepercayaan diri bahwa Allah swt adalah satu-satunya kekuatan penyembuh dari segala gangguan yang diderita (Mubarakh, 2006 : 87). Terapi pendekatan Islami adalah proses pengobatan yang diberikan sesuai dengan keimanan masing-masing untuk menyadarkan penderita yang diimbangi dengan do’a dan dzikir (Hawari, 2008 : 4)

3

NAPZA; Narkotika, Psikotropika dan Zat-zat adiktif lainnya. Narkoba atau NAPZA adalah obat, bahan, dan zat bukan makanan, yang jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau di suntikan berpengaruh pada kerja otak (susunan syaraf pusat) dan sering menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, kerja otak berubah (meningkat atau menurun), demikian pula fungsi vital organ tubuh lain (jantung, peredaran darah, pernapasan, dan lain-lain) (Harlina, 2005 : 5). Jenis Narkotika yang sering disalahgunakan adalah morfin, heroin (putauw), petidin, termasuk ganja atau kanabis, mariyuana, hashis dan kokain. Sedangkan jenis Psikotropika yang sering disalahgunakan adalah amfetamin, ekstasi, shabu, obat penenang seperti megadon, rohypnol, dumolid, lexotan, pil koplo, BK, termasuk LSD, mushroom. Zat adiktif lainnya disini adalah bahan/zat bukan Narkotika & Psikotropika seperti alkohol/etanol atau metanol, tembakau, gas yang dihirup (inhalansia) maupun zat pelarut (solven) (Sofyan, 2007: 12).

(7)

7 terpenting adalah korban NAPZA itu sendiri. Selain diperlukan

terapi psikofarma dan farmakoterapi bagi korban penyalahgunaan NAPZA, juga perlu diberikan terapi non farmakologik seperti: psikoterapi dengan berbagai variasi antara lain terapi sosial, therapiutik community, akupuntur, terapi religius dan lain sebagainya (http//infokes.Com/terapi, 2002).

Detoksifikasi merupakan upaya untuk menghilangkan toksin atau meniadakan efek toksin dari dalam tubuh para pecandu NAPZA. Toksin (racun) dalam medis berarti zat adiktif yang menimbulkan akibat negatif, merugikan dan membahayakan fisik/tubuh. Dalam proses dikeluarkannya zat adiktif tersebut, maka akan terjadi reaksi dari tubuh pasien atau pecandu NAPZA, yaitu mengalami sakit yang amat sangat yang dikenal dengan sakaw. Hal inilah yang sering menjadi penghambat sekaligus menghantui para penyalahguna NAPZA yang ingin berhenti sebagai pecandu. Mintarsih (2001) mengatakan bahwa dari berbagai sistem terapi (detoksifikasi) yang ada dan diterapkan saat ini di Indonesia pada garis besarnya terintegrasi kepada lima sistem, yaitu sistem Cold Turkey, sistem Hydro Therapy, sistem Substitution, sistem Rapid Detoxification dan sistem Abstinentia Totalis.

Cold Turkey adalah sistem terapi konvensional dimana bila seorang pasien penyalahguna Narkoba yang didetoksifikasi mengalami sakaw, pasien dibiarkan begitu saja tanpa obat, namun tetap diawasi, didampingi, diajak bicara, dibujuk dan dirayu serta diberi tugas kegiatan yang dapat mengalihkan perhatiannya terhadap keadaan yang menimpanya, sehingga dalam melewati sakaw dilalui dengan tidak merasa sakit. Sistem terapi yang demikian diterapkan antara lain pada Pusat

(8)

8 Rehabilitasi Pamardi Siwi (milik Polri) Jakarta, yang berdiri

sejak tahun 1975; Instalasi Pemulihan Ketergantungan NAPZA Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor, yang beroperasi sejak tahun 1999; Yayasan Wijaya Kusuma Sport Campus (WKSC) Bogor, yang berdiri sejak tahun 2000; dan Pamardi Putra Husnul Khotimah Tangerang (milik Departemen Sosial), yang mulai beroperasi sejak tahun 1974.

Hidro Therapy adalah suatu sistem terapi dimana pasien yang menjalani terapi (detoksifikasi) berlalu tanpa menggunakan obat-obatan, akan tetapi bila pasien sakaw dimandikan atau direndam ke dalam air. Kemudian pasien disuruh melaksanakan sholat, mulai dari sholat wajib dan berbagai sholat sunat, berdzikir baik dzikir jahar maupun dzikir khofi atau mengamalkan beberapa wirid yang sudah ditentukan. Apabila setelah menjalani detoksifikasi pasien tidak mau diam atau malah mengamuk, maka dengan keadaan terpaksa pasien akan diborgol. Sistem ini diterapkan di Pondok Remaja Inabah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, yang telah melaksanakan Rehabilitasi Korban Narkoba sejak tahun 1971.

Substitution yaitu suatu cara dimana saat pasien menjalani

detoksifikasi kemudian mengalami sakaw, maka pasien diberikan obat atau zat yang terdiri dari jenis Narkoba atau turunannya. Hal ini dilakukan secara bertahap dimana dosisnya dikurangi atau diturunkan, misalnya pada hari pertama diberikan 60 cc, pada hari berikutnya diberikan 50 cc, demikian seterusnya makin berkurang sampai pada akhirnya pasien tidak diberikan lagi obat berupa Narkotika atau turunannya. Sistem Terapi Substitution diterapkan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta Selatan.

(9)

9 Rapid Detoxification, pada sistem ini pasien (khususnya

pecandu Narkoba jenis Opiat) yang menjalani detoksifikasi dilakukan dengan pembiusan, yang bertujuan untuk mengeluarkan racun Narkoba yang ada dalam tubuhnya. Hanya dalam jangka waktu 6 (enam) jam pelaksanaan detoksifikasi telah berakhir, karena dalam sistem terapi ini selain pasien dibius sekaligus juga racun Narkoba dipaksa keluar dengan menggunakan zat pelawan heroin dan diberikan obat Naltrexone atau Naloxone (Samudra, 1999: 58). Tantan (1999: 32) mengatakan bahwa obat tersebut (dengan dosis 50 mg) harus dimakan 1 (satu) tablet setiap harinya selama 6 (enam) bulan untuk memperoleh kesembuhan. Dengan sistem terapi model DOCA (Detoksifikasi Opiat Cepat dengan bantuan Anestesia) ini, pasien tidak ada merasa sakit atau sakaw selama detoksifikasi, namun yang menjadi kendala atau masalah adalah biaya yang dibutuhkan tergolong mahal, yaitu mencapai Rp 11.000.000,-. Rapid Detoxification ini dipraktikkan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Jatinegara Jakarta, yang berdiri sejak tahun 1999.

Abstinentia Totalis adalah suatu sistem terapi (detoksifikasi), dimana pada saat pasien mengalami putus zat atau sakaw diberi obat-obatan penawar yang bukan jenis Narkoba atau turunannya dan bukan pula obat substitusi, dengan demikian pasien dapat menjalankan detoksifikasi tanpa merasa kesakitan. Dengan terapi ini pasien lebih banyak ditidurkan. Setelah hari kelima, dimana pasien telah mencapai kesadaran penuh maka diberikan tuntunan sholat, do’a dan dzikir oleh seorang Ustadz/Kyai. Sistem Terapi model blok total ini dipraktikkan di Pusat Rehabilitasi Korban Narkoba Pondok Pesantren Modern Darul Ichsan Bogor yang berdiri

(10)

10 sejak tahun 1998, dan juga diterapkan di Rumah Sakit Agung,

Rumah Sakit Indah Medika, Rumah Sakit Mitra Menteng Abadi dan Rumah Sakit MH.Thamrin yang kesemuanya berlokasi di Jakarta.

Dari kelima sistem Terapi yang disebutkan di atas dapat dibedakan kepada 2 (dua) penggolongan, masing-masing: terapi yang menggunakan aspek religi (terapi pendekatan agama Islam) seperti sistem Hydro Therapy dan sistem Terapi Abstinentia Totalis; dan terapi yang tidak menggunakan aspek religi (pengamalan agama), seperti sistem Terapi Cold Turkey, sistem Terapi Substitution dan Sistem Terapi Rapid Detoxification. Beberapa pesantren di Indonesia telah menggunakan terapi pendekatan agama Islam untuk merehabilitasi para korban penyalahgunaan NAPZA, sebut saja Pesantren Raudhatul Muttaqien dan Al- Islamy di Yogyakarta, Pesantren Al-Ghafur di Situbondo, Pesantren An-Nawawi di Bojonegoro (Rendra, 2000: 219-220) serta Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya (Arif, 2005: 52), yang dikenal dengan metode Inabah.

Sebagai salah satu tempat rehabilitasi para korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia adalah Pondok Remaja Inabah Suryalaya Tasikmalaya dan sekarang sudah berkembang dengan membuka Pondok Remaja Inabah Suryalaya di beberapa tempat di Indonesia dan di luar negeri. Pondok Remaja Inabah Suryalaya merupakan bagian dari lembaga pendidikan dari Yayasan Serba Bakti yang didirikan oleh Abah Anom atas dasar perhatian dan keprihatinan beliau terhadap umat yang sedang tertimpa musibah, yaitu para korban penyalahgunaan narkotika.

(11)

11 Pada pelaksanaan metode inabah, remaja yang menjadi

korban penyalahgunaan narkotika atau yang memiliki gangguan kejiwaan dikategorikan sebagai orang berdosa karena telah melakukan maksiat dan diharuskan bertaubat. Tindakan pertama yang dilakukan adalah; Anak Bina disadarkan dengan mandi Taubat selanjutnya setelah anak bina dianggap telah sadar maka masuk pada tahapan berikutnya berupa proses perawatan; yakni berdzikir melalui talqin dzikir. Setelah melalui proses inisiasi dzikir (talqin dzikir) anak bina dapat melanjutkan perawatan dengan mengamalkan dzikir sesuai kurikulum yang telah disusun oleh KH.Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin.

Adalah hal menarik untuk diungkap bagaimana penerapan metode terapi Inabah serta bagaimana Anak Bina memaknainya. Hal ini dikarenakan jika melihat Anak Bina yang umumnya datang dari kalangan remaja, merupakan masa pencarian identitas diri, masa dimana bayang-bayang ketakutan tersembunyi dan perselisihan kolektif berada di dua alam, alam keremajaan yang diliputi dengan berbagai gejolak, kebingungan orientasi dan alam kedewasaan yang menuntut keutuhan dan keteraturan.4 Hal inilah yang mendorong minat untuk mengkaji, bagaimana penerapan metode Inabah dan

4

Dari sinilah muncul istilah subculture; yaitu sebuah budaya khas remaja yang merepresentasikan deklarasi kemerdekaan diri, ekspresi kelainan, tujuan asing dan penolakan atas pandangan stereotip tentang diri mereka. Celia Lury (1996: 12-15) mengatakan bahwa subculture sering diartikan sebagai naluri pengorbanan diri secara sengaja yang bisa memicu timbulnya perilaku abnormal seperti gangguan belajar, gangguan komunikasi, gangguan pemusatan perhatian, kecemasan dan depresi serta penyimpangan perilaku.

(12)

12 bagaimana Anak Bina memandang tahap demi tahap proses

terapi Inabah di Inabah VII.

B. Rumusan Masalah

Berdasar dari latar belakang diatas, maka pertanyaan pokok yang dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah di Inabah VII”. Untuk memudahkan jalannya pengumpulan data pustaka maupun lapangan dan untuk menghindari bias masalah yang barangkali perlu namun tidak utama dalam penelitian ini, maka perlu disusun permasalahan khusus sebagai berikut;

1. Bagaimana penerapan terapi Inabah di Inabah VII? 2. Bagaimana pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah

di Inabah VII?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang penerapan terapi Inabah di Inabah VII serta gambaran pandangan Anak Bina terhadap pelaksanaan terapi Inabah yang bersumber dari amaliyah TQN. Penerapan terapi Inabah di Inabah VII tentu akan dimaknai berbeda pada Anak Bina, terutama pandangan mereka terhadap tahap-tahap terapi Inabah yang dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan pertimbangan bagi para praktisi (terapis), tentang gambaran tahap-tahap terapi Inabah di Inabah VII dan juga pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penerapan terapi Inabah juga pandangan Anak Bina terhadap terapi inabah itu sendiri. Pandangan para Anak Bina terhadap terapi Inabah dalam hal ini bisa menjadi acuan untuk

(13)

13 mengevaluasi kondisi kesadaran Anak Bina di Inabah VII. Dari

pengungkapan masalah di atas ada manfaat yang dapat diambil; pertama, menggambarkan penerapan terapi Inabah di Inabah VII. Kedua, menjelaskan pandangan Anak Bina Inabah VII atas penerapan terapi Inabah.

D. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini memberikan gambaran proses terapi Inabah bagi korban penyalahgunaan NAPZA dan penyimpangan perilaku. Terapi yang digunakan bersumber dari amaliyah TQN Pondok Pesantren Suryalaya. Penerapan terapi Inabah tentu akan memunculkan pandangan dari para Anak Bina. Pandangan ini lahir karena proses pemaknaan Anak Bina atas pelaksanaan terapi Inabah yang dilakukan. Signifikansi penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para praktisi (terapis) tentang penerapan terapi Inabah di Inabah VII dalam membina para korban penyalahgunaan NAPZA dan penyimpangan perilaku dan pandangan para Anak Bina muncul dari proses pelaksanaan terapi Inabah di Inabah VII.

E. Literatur Review

Ada beberapa kajian yang meneliti tentang terapi pendekatan Islami, terapi Inabah, Anak Bina di Inabah Pondok Pesantren Suryalaya, diantaranya adalah sebagai berikut;

Yuliaturrahmah (2004), Andam (2010), Haryanto (1999) mengkaji tentang penerapan terapi Inabah sebagai terapi berbasis pendekatan agama Islam pada remaja korban penyalahgunaan narkoba di Pondok Remaja Inabah Pondok Pesantren Suryalaya. Dari hasil kajian yang dilakukan

(14)

14 diantaranya menunjukkan bahwa pada para remaja; yaitu

korban penyalahgunaan narkoba mendapatkan ketenangan dan keyakinan diri selama mengikuti terapi Inabah. pada proses rehabilitasi dengan menggunakan terapi Inabah pada akhirnya memunculkan kesadaran dan keyakinan diri bahwa hidup dengan narkoba akan membuat sengsara, mengakibatkan kerugian fisik maupun psikis.

Al-Haramain (2011) meneliti tentang praktek amaliyah tasawuf pada rehabilitasi penyakit kejiwaan. Ia mengawali kajian dengan mengemukakan alasan bahwa salah satu hasil kebudayaan Islam yang senantiasa mampu berkembang dan beradaptasi secara kondisional adalah tasawuf. Menurut Haramain, studi tentang perkembangan tasawuf akhir-akhir ini, mulai mengarah pada persoalan medis. Para ahli menyebutnya dengan istilah Sufi Healing. Hal ini menurut beliau menarik untuk dibahas, karena pergeseran orientasi ini membawa hal positif bagi perkembangan tasawuf. Dari hasil kajian dapat diambil kesimpulan adanya keinginan untuk membuka pemahaman tentang tasawuf dan berbagai upayanya dalam mengembangkan ajaran al-ihsan dalam Islam dalam konteks era digital.

Penelitian yang dilakukan Supriatna (2012). Penelitian yang ia lakukan berangkat dari asumsi bahwa patologi sosial penyalahgunaan narkoba merupakan hal yang dapat mengancam kehidupan masyarakat dan generasi penerus di masa yang akan datang sehingga perlu dilaksanakan upaya pencegahan dan penyembuhan. Penyembuhan dalam bentuk rehabilitasi, khususnya rehabilitasi berbasis nilai keagamaan menempati posisi yang sangat strategis dan terorganisasi dalam upaya memberikan pelayanan dan pembinaan kesehatan fisik,

(15)

15 psikologis, mental, sosial dan spiritual bagi penyalahguna

narkoba sehingga dapat kembali ke kondisi yang sehat seperti semula. Fokus masalah yang beliau teliti meliputi; bagaimana bentuk dan materi program rehabilitasi narkoba berbasis nilai, tujuan rehabilitasi yang diharapkan; upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba; dan manfaat rehabilitasi bagi Anak Bina. Hasil penelitian terungkap bahwa program rehabilitasi di Pondok Remaja Inabah XX dilaksanakan secara agama Islam melalui amaliyah yang dipraktekkan Thoriqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN).

Sulistiawati (2008), Aqib (2005) mengkaji tentang tahapan terapi inabah yang dilakukan di Pondok Remaja Inabah Suryalaya. Ia mengemukakan bahwa terapi mandi taubat dalam terapi inabah dengan menggunakan istilah Hydro Therapy. Ia menggambarkan air sebagai media terapi berdasar penelitian bahwa air memiliki kekuatan sebagai media terapi fisik maupun kejiwaan dan penggunaan air sebagai media terapi telah banyak digunakan seiring dengan perkembangan manusia. Dari hasil kajian didapati bahwa; pertama, pemanfaatan air sebagai media terapi mandi taubat yang dilakukan para Anak Bina di Pondok Remaja Inabah Suryalaya. Kedua, langkah-langkah pengobatan dengan terapi ini, dilakukan secara bertahap, yaitu: tahap penyadaran diri, tahap penyucian jiwa, tahap perawatan dan tahap pemantapan jiwa.

Penelitian yang dilakukan oleh Hermawati (2007) tentang perubahan identitas Anak Bina di Pondok Remaja Inabah II Panjalu Ciamis. Ia mengkaji bagaimana perubahan identitas pada Anak Bina sebelum dan saat berada di Pondok Remaja Inabah II. Hal ini jika melihat kehidupan pengguna Narkoba

(16)

16 sebelum dan saat berada di Pondok Remaja Inabah II sama

sekali berbeda. Dalam analisanya Hermawati menuturkan bahwa pengguna Narkoba sebagai makhluk subjektif, menyadari adanya perbedaan ruang. Sehingga pengguna Narkoba dianggap secara sadar memahami kehidupan yang telah dan sedang dijalaninya. Dalam perspektif fenomenologi, pengguna Narkoba menyadari fenomena kehidupan mereka. Dengan kata lain, pengguna Narkoba secara sadar dapat memaknai pengalaman hidup mereka, dari penyalahgunaan Narkoba sampai Pondok Remaja Inabah II. Perubahan tersebut cenderung mengarah pada perubahan identitas yang terjadi pada pengguna Narkoba, dari kehidupan saat menyalahgunakan Narkoba dengan kehidupan di Pondok Remaja Inabah II.

Astutik (2011) mengkaji tentang terapi pendekatan Islami yang berkembang saat ini identik dengan pendekatan Spiritual Behavior Emotive Rational Therapy (SBERT) yang berkembang dalam dunia psikoterapi yang merupakan pengembangan dari terapi Rational Emotive Behavior (REBT) yang dikembangkan oleh Albert Ellis, hanya saja terdapat perbedaan pada tahapan dalam proses terapiutiknya. Dari beberapa kajian terapi pendekatan Islami pada remaja korban penyalahgunaan NAPZA menunjukkan bahwa subyek penelitian yaitu para korban penyalahgunaan NAPZA dan penyimpangan perilaku mendapatkan ketenangan jiwa. Mereka mendapatkan ketenangan batin pada saat melakukan terapi shalat, dzikir, mandi dan puasa yang merupakan unsur-unsur penting pada terapi pendekatan Islami.

(17)

17 Kajian oleh Wafiri (2008) mencoba menjembatani

kekosongan dimensi spiritual antara Logoterapi5 dengan Tazkiyatun Nafsnya Al Ghazali dengan memunculkan istilah Terapi Fitrah. Terapi ini diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, salah satunya pasien ketergantungan obat-obatan. Pada kajian yang dilakukan, Wafiri mencoba mencari titik temu antara Logoterapinya Victor Frankl dengan Tazkiyatun Nafs yang digagas Al-Ghazali. Hasil penelitian menunjukkan adanya relevansi antara tazkiyatun nafs dengan logoterapi, yaitu pada tataran pandangan dasar tentang manusia. Pertama, bahwasannya hidup manusia di dunia ini mempunyai makna atau tujuan dalam menjalani hidupnya. Al Ghazali membahasakan dengan manusia sebagai abdi atau beribadah dan khalifah di dunia ini, sedangkan Frankl membahasakannya dengan makna hidup (the meaning of life). Kedua, antara Frankl dan Al Ghazali memiliki kesamaan pandangan bahwasannya, manusia secara inhern memiliki keinginan untuk mencari makna/tujuan hidupnya.

5

Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl yang lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina, Austria. Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. Logoterapi juga bisa disebut health through meaning. Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling tinggi. Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992: 170).

(18)

18 Logoterapi membahasakannya dengan konsepnya keinginan

akan makna (the will to meaning), sedangkan Al Ghazali membahasakanya dengan konsep yang diambil dari Al Qur`an yaitu fitrah, yakni naluri yang cenderung untuk mencari dan mengenal Allah SWT.

Dalam penelitian ini saya akan menghadirkan gambaran tentang penerapan terapi Inabah di Inabah VII Kp. Rawa, Cilincing, Sukahening, Tasikmalaya dan pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah. Pada penelitian ini pandangan Anak Bina merupakan bentuk perilaku yang harus di interpretasikan. Boleh dikatakan bukan situasi yang mudah bagi saya untuk mengungkap tema kajian penelitian yang saya pilih, terutama bagaimana mengartikulasikan secara intepretatif pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah. Setidaknya masih ada harapan tulisan ini bisa mendeksripsikan pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah di Inabah VII Putra Kp. Rawa, Desa Cilincing, Kec. Sukahening, Tasikmalaya Pos Rajapolah 46155

F. Kerangka Teoritis

1. Pandangan; Pandangan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1990: 643) memiliki arti benda atau orang yang dipandang (dihormati, disegani, dan lain sebagainya), Pandangan hidup adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan di masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini. Pandangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pandangan Anak Bina dalam menanggapi dan menerangkan terapi Inabah pada proses rehabilitasi di Inabah VII.

2. Anak Bina; Istilah yang diberikan kepada para korban

(19)

19 menjalani proses rehabilitasi di Inabah Pondok Pesantren

Suryalaya. Istilah Anak Bina pertama kali diperkenalkan Abah Anom untuk nama santri yang menjalani rehabilitasi di Inabah, yaitu; para korban penyalahgunaan NAPZA dan penyimpangan perilaku. Anak Bina ditempatkan pada asrama Inabah guna mengikuti terapi Inabah dengan pengawasan penuh selama 24 jam. Kurikulum pembinaan terapi Inabah mencakup mandi dan wudlu, shalat dan dzikir, serta ibadah lainnya. Disamping kegiatan-kegiatan tersebut di atas, kegiatan tambahan juga diberikan berupa : pelajaran baca Al-Qur’an, berdoa, tata cara ibadah, ceramah keagamaan dan olah raga. Untuk mengetahui perkembangan kesehatan jasmani dan rohaninya, evaluasi diberikan dalam bentuk wawancara atau penyuluhan oleh ustadz atau oleh para pembina Inabah yang bersangkutan.

3. Terapi Inabah; Terapi Inabah merupakan terapi yang

digunakan di Pondok Remaja Inabah Suryalaya bagi para pecandu Narkotika, remaja-remaja nakal, dan orang-orang yang mengalami gangguan. Konsep perawatan korban penyalahgunaan obat serta kenakalan remaja adalah mengembalikan kondisi perilaku yang selalu menentang kehendak Allah atau maksiat, kepada perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah. Atau dengan kata lain terapi Inabah adalah bentuk upaya rehabilitasi mengembalikan kembali anak-anak remaja dari al- akhlak al-madzmumah ke arah kehidupan yang dihiasi dengan al- akhlak al-mahmudah (al-karimah).

4. Pondok Remaja Inabah Pondok Pesantren

Suryalaya; Pada era kepemimpinan KH. Shahibul Wafa Tajul

Arifin (Abah Anom) Pondok Pesantren Suryalaya tidak hanya sebagai pusat pengembangan TQN tetapi juga menfasilitasi penyembuhan para korban penyalahgunaan NAPZA. Dengan

(20)

20 menggunakan terapi riyadlah, beliau mengembangkan

psikoterapi alternatif untuk kesembuhan bagi mereka yang mempunyai penyakit psikis dan penyakit-penyakit fisik akibat gangguan psikis (psikosomatik) karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang ( Arifin, 1995:84-85). Untuk kepentingan terapi ini, kemursyidan TQN membuka “cabang-cabang pondok pesantren” dalam bentuk Inabah ( www.suryalaya.org/inabah.html diakses tanggal 10 Oktober 2012). Menurut Aqib (2001: 151) Pondok Inabah ini merupakan suatu bentuk “ijtihad” terapi suluk atau khalwat yang lazim dipraktekkan dalam tradisi tasawuf dalam rangka pembersihan jiwa (tazkiyatun nafsi). Saat ini Inabah-inabah tersebut berjumlah 25 buah, 6 (enam) diantaranya tidak aktif (www.suryalaya.org/inabah.html diakses tanggal 10 Oktober 2012).

Untuk mencari dan menemukan esensi dari pandangan Anak Bina terhadap terapi inabah di Inabah VII, maka digunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah pendekatan yang berpijak pada asumsi dasar bahwa pengalaman kehidupan dunia dialami, diproduksi, dirasakan langsung oleh masyarakat itu sendiri (Denzin & Lincoln, 1994: 263). Oleh karena itu, studi fenomenologi terhadap budaya mengharuskan peneliti untuk memahami partikularis budaya tersebut dan mengharuskan untuk terlibat langsung dengan pelaku budaya setempat. Studi demikian sebagaimana yang dilakukan Geertz dengan konsep “thick description”.

Menurut Edmund Husserl (dalam Smart,1995) fenomenologi mencoba menguraikan fenomena sebagaimana adanya. Dengan demikian, fenomenologis mengharuskan subyek peneliti untuk membebaskan diri dari klaim agama dan

(21)

21 budaya. Peneliti harus berusaha menyentuh dan mengalami

cara pandang dan cara hidup masyarakat dari sudut pandang mereka. Cara analisis seperti ini lebih tepat oleh diistilahkan dengan ‘structured emphaty’. Hadirnya rasa empati akan sangat menolong untuk memahami realitas budaya masyarakat dalam hal ini Anak Bina, dengan jalan ikut merasakan apa yang dirasakan Anak Bina dan ikut mengalami apa yang mereka alami (Smart: 1995: 5). Sedangkan Schultz (dalam Denzin & Lincoln, 1994; 263) mengistilahkan cara pemahaman budaya dari sudut pandang pelaku budaya itu dengan “natural attitude”. Peneliti dalam hal ini menfokuskan diri pada bagaimana cara anggota masyarakat mengapresiasi kehidupan mereka sendiri sebagaimana adanya.

Studi fenomenologi menurut Swidler (1990: 144) menekankan pada tiga hal, yaitu simpati, empati dan apresiasi. Fenomenologi menekankan pentingnya pemahaman yang simpatik terhadap fenomena-fenomena budaya masyarakat; pentingnya empati dalam mengalami pengalaman-pengalaman budaya masyarakat; dan pentingnya mengapresiasi bagaimana masyarakat mengklaim dan memahami budaya dan tradisi mereka. Oleh karena itu, pendekatan ini digunakan untuk mencari hakikat atau esensi dari apa yang berada dibalik segala macam bentuk pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah. Alasan utama memilih pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini, sebab melalui pendekatan ini, peneliti dapat lebih dalam memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya dalam situasi tertentu, atau terhadap individu dan masyarakat dalam situasi tertentu atau aspek subjektif dari perilaku seseorang. (Moleong, 1999: 9).

(22)

22 Prinsip fenomenologi adalah kembali pada data bukan

pada pemikiran. Subyek dalam kaitan ini harus melepaskan, atau menurut istilah Husserl, menaruh tanda kurung, langkah ini disebut epoche. Lewat proses ini objek pengetahuan dilepaskan dari unsur sementaranya yang tidak hakiki, sehingga tinggal eidos (hakikat objek) yang menampakkan diri atau yang menkonstitusikan diri dalam kesadaran (Davamony, 1996:6). Dalam implementasi fenomenologis, peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya, sedemikian rupa sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari, Weber menyebutnya dengan verstehen.

G. Metode Penelitian

Dalam mengumpulkan data di lapangan pada penelitian yang saya lakukan secara spesifik menitikberatkan pada model kerja etnografer. Untuk kepentingan penelitian saya memfokuskan diri di lingkungan Inabah VII yang berlokasi Kampung Rawa, Desa Cilincing, Kec. Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya Pos Rajapolah 46155.

1) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Inabah VII berlokasi di Kampung Rawa, Desa Cilincing, Kec. Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya Pos Rajapolah 46155.

2) Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah deskripsi mengenai penerapan terapi Inabah dan pandangan Anak Bina terhadap proses pelaksanaan terapi Inabah di Inabah VII Putra Kp. Rawa, Desa Cilincing, Kec. Sukahening, Tasikmalaya Pos

(23)

23 Rajapolah 46155. Saya menfokuskan diri pada 5 informan

Anak Bina yang telah mengikuti proses terapi Inabah lebih dari empat bulan dengan pertimbangan informan sudah dapat menyesuaikan diri dan berkurang ketergantungannya pada NAPZA sehingga mudah diajak komunikasi. Keterangan, penjelasan, ucapan dan jawaban dalam bentuk kata-kata yang diungkapkan oleh Anak Bina, Pembina dan Wakil Pembina Inabah VII diperoleh melalui pengamatan langsung atau melalui informasi lisan dan tulisan. Informasi lisan adalah berupa hasil wawancara dengan para Anak Bina, Pembina dan Wakil Pembina Inabah VII. Adapun informasi tulisan, diperoleh dari referensi tertulis, penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan dokumentasi tentang berbagai hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan fokus penelitian.

3) Teknik pengumpulan data

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan untuk mengetahui kondisi lapangan dan permasalahan yang akan diteliti di Inabah VII. Selanjutnya mengajukan permohonan kepada Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya, dalam hal ini Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Suryalaya. Setelah perijinan tersebut disetujui baru dilakukan penelitian lebih lanjut. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, participant observation, studi pustaka dan dokumentasi dan mendengar aktif dilakukan untuk memperoleh data mengenai fokus penelitian.

a. Wawancara (interview)

Saya melakukan wawancara secara langsung kepada beberapa responden, meliputi pembina, wakil pembina dan beberapa Anak Bina.Wawancara dilakukan saat istirahat

(24)

24 maupun di sela-sela melakukan aktifitas yang ada. Wawancara

dilakukan secara bebas dan terarah dan untuk menghindari kelupaan dari hasil wawancara data yang didapat dicatat dan dikumpulkan secara langsung (on the spot).

b. Observasi terlibat

Observasi terlibat dilakukan guna memperoleh informasi secara natural tentang fokus studi. Melalui metode ini meniscayakan saya melibatkan diri dalam pelaksanaan terapi Inabah bagi Anak Bina yang diteliti. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memahami gejala yang ada sesuai maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat – dalam hal ini Anak Bina- yang sedang diteliti (Suparlan, 1994: 9).

Saya ikut secara langsung dalam aktifitas terapi Inabah yang dilakukan di Inabah VII Putra, seperti: mandi Taubat, shalat Tahajud berjamaah dan dzikir TQN. Pengamatan dan observasi terlibat dilakukan dalam situasi bebas dan alami (free situation observation). Data yang didapat dari hasil pengamatan dan observasi terlibat dikumpulkan dengan menggunakan kata-kata kunci atau simbol, cara ini dipilih agar tidak mengganggu aktifitas atau proses terapi.

c. Studi Pustaka dan Dokumentasi

Selain untuk mendukung dan melengkapi data-data dalam penelitian ini dilakukan juga studi pustaka dan dokumentasi. Studi pustaka terhadap jurnal, buku dan lain-lain. Dokumentasi melalui pengambilan gambar atau foto-foto sarana dan prasarana, kegiatan Anak Bina dan Proses pelaksanaan Terapi Inabah di Inabah VII yang dianggap penting dan ada relevansi dengan tema pokok kajian penelitian.

(25)

25

4) Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara terus menerus, selama proses tersebut dilakukan pengkode-an terhadap hal yang ditemukan berdasarkan konteks dan perspektif partisipan (Gay & Airasian, 2000: 29). Spradley; membagi analisis data berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut: proses penelitian berangkat dari yang luas, kemudian memfokus dan meluas lagi, (Spradley, 2007: 14).

5) Pemeriksaan Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data dilakukan secara kritis selama proses penelitian berlangsung, dengan melakukan langkah sebagai berikut; 1). Perpanjangan pengamatan/ perpanjangan waktu tinggal di Inabah VII, 2). Melakukan pengamatan secara tekun; melalui cara ini kepastian data dan urutan peristiwa dapat direkam secara pasti dan sistematis, 3). Trianggulasi: Semua data yang dikumpulkan harus dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, untuk itu dilakukan trianggulasi sumber, trianggulasi teknik pengumpulan data dan waktu. 4). Analisis kasus negative; kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai/berbeda dengan hasil penelitian sampai pada saat tertentu. Dalam penelitian ini peneliti mencari data yang berbeda dan bertentangan sampai data jenuh. Untuk meningkatkan kredibilitas data terhadap kasus negatif peneliti melakukan wawancara kepada beberapa subjek untuk meningkatkan kredibilitas data. 5). Menggunakan bahan referensi sebagai pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan di lapangan. 6). Member check: proses pengecekan data yang diperoleh oleh peneliti kepada pemberi data, tujuannya untuk mengetahui tingkat keabsahan data yang diberikan oleh informan. Proses pengecekan data yang

(26)

26 diperoleh peneliti kepada pemberi data dengan memperhatikan

validity, transferability, dependability, dan confirmability. Dari beberapa cara pengumpulan data yang saya tetapkan, penelitian ini diarahkan untuk mengetahui pelaksanaan penerapan terapi Inabah. Bagaimana pandangan Anak Bina terhadap pelaksanaan terapi Inabah. Karena penelitian ini diarahkan untuk mengetahui pandangan Anak Bina terhadap terapi Inabah maka penelitian ini bersifat fenomenologis. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah etnoscience.

BAB II

INABAH SELAYANG PANDANG

Kajian mengenai Pondok Remaja Inabah6 tidak bisa dilepaskan dari Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Hal ini dikarenakan cikal bakal berdirinya Pondok Remaja Inabah (Inabah) berawal dari kegiatan penanganan dan pembinaan para korban NAPZA dan gejala kejiwaan yang dilakukan di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Menghadirkan sejarah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya diharapkan pemahaman tentang Pondok Remaja Inabah tidak lepas dari akar historisnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat.

A. Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya

6

Pada beberapa kajian penamaan tempat rehabilitasi penyalahgunaan NAPZA dan gangguan kejiwaan Pondok Pesantren Suryalaya, disebut dengan Pondok Remaja Inabah Pesantren Suryalaya, Pondok Inabah Pesantren Suryalaya, Pondok Inabah, Inabah Pondok Pesantren Suryalaya.

(27)

27 Pondok Pesantren Suryalaya didirikan pada tanggal 7

Rajab 1323 H atau bertepatan dengan tanggal 5 September 1905 M oleh Syaikh Abdullah Mubarok bin H. Nur Muhammad dengan modal awal sebuah masjid7 yang terletak di kampung Godebag, Tanjung Kerta, Pagerageung, Tasikmalaya. Secara geografis Pondok Pesantren Suryalaya berada di hulu sungai Citanduy yang sejuk pada ketinggian sekitar tujuh ratus di atas permukaan laut. Pesantren ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota kabupaten dan sekitar 180 km ke arah timur dari Bandung ibukota Propinsi Jawa Barat. Adapun batas-batas lokasi Pondok Pesantren Suryalaya Godebag, Tanjungkerta, Pagerageung, Tasikmalaya adalah sebagai berikut:

1. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Puteran Kecamatan Pagerageung

2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sindangherang Kecamatan Panumbangan

3. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Guranteng Kecamatan Pagerageung

4. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tanjungsari Kecamatan Sukaresik

Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah Sunda yaitu Surya = Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit yang secara tersirat dari simbol matahari terbit oleh Syaikh Abdullah Mubarok bin H. Nur Muhammad

7

Masjid ini bernama Nurul Asror, masjid Nurul Asror menjadi unsur pokok keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya yang kemudian tanggal pembangunan masjid tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Pondok Pesantren Suryalaya (Praja, 1995:55)

(28)

28 dimaksudkan agar segenap hamba Allah yang datang ke

Pondok Pesantren Suryalaya hatinya dapat diterangi dengan cahaya keimanan, sebagaimana Allah menerangi bumi ini dengan cahaya matahari yang tiada henti (Sanusi, 1991: 89).

Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Syaikh Abdullah Mubarok bin H. Nur (Abah Sepuh) mendapatkan khirqoh dari Syaikh Tholhah bin Talabudin8. Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan. Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat sehingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan (TQN)9 mulai diakui. Untuk kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thoriqah Qadiriyah Naqsabandiyah, beliau dibantu oleh sembilan orang wakil talqin. Syaikh Abdullah Mubarok bin H.

8 Syekh Tholhah merupakan guru dari “Abah Sepuh” pendiri pondok

pesantren Suryalaya. Pada tahun 1908 Syeikh Tholhah memberikan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) kepada “Abah Sepuh” atau tepatnya tiga tahun setelah pesantren berdiri (www.suryalaya.org/sejarah.html diakses tanggal 21 Oktober Mei 2012).

9

Thoriqah Qadiriyah Naqsabandiyah atau sering disingkat dengan TQN Perpaduan dua tarekat ini merupakan jasa dari seorang ulama Indonesia yang berasal dari Sambas Kalimantan Barat bernama Syeikh Ahmad Khatib As Sambasi (lahir tahun 1802 M), yang bermukim dan meninggal di Mekkah pada tahun 1878 M (Abdullah, 1980: 177). Sebagai seorang guru tarekat, ia mengangkat muridnya yang dianggap dipercaya atau sering disebut khalifah yang sewaktu-waktu menjadi asistennya dalam memperlancar proses transformasi ajarannya. Mereka para khalifah tersebut adalah tiga orang yang dianggap paling berpengaruh dan menonjol yaitu; Syekh Abdul Karim yang berasal dari Banten, Syekh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad yang berasal dari Madura, dan Syekh Tholhah yang berasal dari Cirebon (Rahmad, 2002: 100).

(29)

29 Nur meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan

jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu tanbih.10

Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) berpulang ke rahmatullah pada tahun 1956 di usia yang ke 120 tahun. Selanjutnya kepemimpinan dan kemursyidan dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin11 yang akrab dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan negara.

Pondok Pesantren Suryalaya mengalami kemajuan seiring dengan membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan

10

Kata tanbih dalam bahasa Arab berarti “hal yang menjagakan, mengingatkan, dan peringatan”. Kata tanbih juga dapat berarti “penyegaran kembali” seperti yang dituliskan A. Hasjmy (1974) dalam buku karangannya “Dustur Dakwah Menurut Al-Quran”. Tanbih dalam tradisi TQN Pondok Pesantren Suryalaya adalah wasiat Syaikh KH. Abdullah Mubarok bin H. Nur Muhammad yang beliau tulis pada tahun 1954 dalam bahasa sunda. Tanbih bukan hanya sebuah wasiat tentang ajaran TQN Suryalaya melainkan juga berisi bagaimana sekalian ikhwan menginplementasikan ajaran Islam secara kaffah dan mematuhi aturan Negara. (http://tqnmargadana.blogspot.com/2012/10/oleh-ustadz-hendri-lisdiant-tanbih.html diakses pada tanggal 15 Oktober 2012)

11

KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin memimpin Pondok Pesantren Suryalaya pada tahun 1950. Beliau merupakan putra Abah Sepuh kelima yang lahir pada tanggal 1 Januari 1915 di Suryalaya

(30)

30 DI/TII. Keadaan ini membuat masyarakat yang ingin belajar

TQN semakin banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Penyebaran juga dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh. Usaha yang dilakukan oleh para wakil talqin dan mubaligh ini bertujuan untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan TQN dan tanbih. Pada era kepemimpinan KH. Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin (Abah Anom) berbagai upaya dilaksanakan demi kemajuan Pondok Pesantren. Pada pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Menteri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953) dibentuk Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.

Yayasan Serba Bakti Pondok Suryalaya mendirikan berbagai jenis jenjang pendidikan formal, non formal maupun informal yang meliputi penyelenggaraan Pendidikan Usia Dini (Paud), Taman kanak-kanak, Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Pengajian Tradisional, Perguruan Tinggi Latifah Mubarokiyah (IAILM) yang meliputi fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah (STIELM). Atas usaha dan pencapaianya selama ini Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan Thailand, menyusul Australia, negara-

(31)

31 Ada tiga hal yang menjadikan titik episentrum terkenalnya

Pondok Pesantren Suryalaya secara nasional maupun internasional, yaitu :

a. Pondok Pesantren Suryalaya selalu menjaga konsistensi secara utuh ciri khas akar tradisionalisme pesantren sekaligus menyambungkannya atau mengidentifikasi diri dengan perkembangan modern terutama dalam bidang pendidikan.

b. Menjaga ciri khas identitas warisan pendiri Pondok Pesantren Suryalaya sebagai pesantren yang mengembangkan thoriqah, khususnya Thoriqah Qodiriyah Nasyabandiyah (TQN).

c. Tetap menjaga fungsi pesantren dalam pelayanan sosial, terutama dari pribadi Abah Anom dengan segala kharismanya. Cikal bakal pelayanan sosial terhadap masyarakat yang dirintis Abah Sepuh dilestarikan dan diteruskan Abah Anom dengan segala kejeniusannya membaca situasi dan kondisi perkembangan masyarakat dan tanggap terhadap berbagai problema yang dihadapi masyarakat (http://www.suryalaya.org/sejarah.html diakses pada tanggal 15 Oktober 2012).

Pada tahun 1970 Pondok Pesantren Suryalaya mulai menerima santri khusus, santri tersebut adalah para remaja korban penyalahgunaan NAPZA. Dengan menggunakan metode riyadlah dalam TQN, Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif untuk kesembuhan bagi mereka yang mempunyai penyakit psikis dan penyakit-penyakit fisik akibat gangguan psikis (psikosomatik) karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang (Arifin, 1995: 84-85). Untuk kepentingan terapi ini, kemursyidan TQN membuka “cabang-cabang

(32)

32 pondok pesantren” dalam bentuk Inabah yang menurut

Kharisudin Aqib pondok Inabah ini merupakan suatu bentuk “ijtihad” metode suluk atau khalwat yang lazim dipraktekkan dalam tradisi tasawuf dalam rangka pembersihan jiwa (tazkiyatun nafsi) (Aqib, 2001:151).

Pada awalnya proses rehabilitasi bagi Anak Bina dilakukan oleh Abah Anom di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Karena jumlahnya semakin banyak dan sebagian besar tidak tertampung lagi dan juga agar tidak mengganggu kegiatan proses belajar mengajar terhadap santri-santri lain yang sedang menimba ilmu pengetahuan agama di Pondok Pesantren Suryalaya, atas inisiatif Abah Anom maka pada tahun 1980 didirikan pondok khusus yang tempatnya terpisah dari Pondok Pesantren Suryalaya yang diberi nama “Pondok Remaja Inabah”, dalam perkembangan selanjutnya Pondok Remaja Inabah dikenal dengan istilah Inabah; Pusat Rehabilitasi dan Pembinaan Anak Nakal dan Musibah Narkotika yang khusus membina para remaja korban penyalahgunaan NAPZA dan anak-anak bermasalah lainnya (Wresniwito, 1996: 57).

B. Pondok Remaja Inabah Pondok Pesantren Suryalaya

Pada tanggal 28-29 Desember 1980 Pondok Pesantren Suryalaya mengadakan seminar dan lokakarya (semiloka) tentang: “Penanggulangan Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja“. Semiloka ini melibatkan berbagai unsur departemen seperti Departemen Sosial, Kesehatan, Kehakiman, Agama, Penerangan, pendidikan, Pertahanan dan Keamanan dan beberapa orang dosen IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Departemen-departemen tersebut tergabung secara

(33)

33 lintas sektoral dalam Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi

Presiden Republik Indonesia (Bakorlak Inpres) No.6 tahun 1971. Semiloka tersebut menghasilkan dua kesimpulan yang sangat penting, yaitu: 1) Menegaskan pemakaian nama Pondok Remaja Inabah12 untuk perawatan khusus Anak Bina korban penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya, di bawah naungan Pondok Pesantren Suryalaya dan diketahui secara resmi serta dilindungi oleh pemerintah, 2) Menegaskan metode perawatan bagi remaja korban pernyalahgunaan narkotika dengan sebutan Inabah. Metode ini adalah model asli yang diciptakan oleh Abah Anom, diturunkan dari ajaran Tasawwuf TQN. Metode ini menjadi pedoman untuk penyusunan kurikulum dan ko-kurikulum pembinaan di Pondok Remaja Inabah yang harus dilengkapi dengan piranti-piranti keras seperti masjid, mushola, rumah pembina, asrama anak bina, air dan sarana prasarana pendukung lainnya.

Pondok Remaja Inabah tidak hanya didatangi oleh masyarakat yang ingin menitipkan anaknya akibat penyalahgunaan napza, tetapi ada juga anak muda dan orang tua yang datang ingin sembuh akibat berbagai persoalan hidup lainnya, seperti akibat stress, depresi, dan lainnya. Dari data di Bagian Inabah Pusat www.Inabah.com jumlah Pondok Remaja Inabah sampai sekarang adalah 25 tempat yang tersebar di berbagai daerah dan luar negeri. Untuk lebih jelas silahkan lihat Lampiran Lokasi Inabah.

12

Pondok Remaja Inabah secara lengkap disebut Pondok Pembinaan Akhlak dan Mental Remaja Inabah Pondok Pesantren Suryalaya, merupakan tempat pembinaan dan penyadaran para remaja korban penyalahgunaan NAPZA dan bermasalah lainnya melalui pendekatan amaliyah TQN (Praja, 1995: 55).

(34)

34

C. Sejarah Inabah VII Putra

Pondok Remaja Inabah VII atau disebut Inabah VII berdiri pada tanggal 11 Januari 1983 di Kampung Rawa, Desa Cilincing, Kec. Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya Pos Rajapolah 46155. Luas area Inabah VII lebih kurang 2800 M2 yang terdiri dari dua bangunan utama yaitu ruangan kantor, kamar pembina, ruang tamu, dapur, garasi, masjid dan bangunan asrama Anak Bina yang terdiri dari kamar Anak Bina, tempat mandi, wudhu, lapangan olah raga dan mushola.

Pada awal berdiri, Inabah VII diperuntukkan khusus untuk menampung para Anak Bina dari Inabah XVII dan Inabah II yang sementara vakum. Saat ini asrama Anak Bina Putri Inabah VII sudah beralih menjadi Sekolah Menengah Kejuruan, sebagaimana yang dituturkan Pembina Inabah VII, KH. Ahmad Anwar sebagai berikut;

“Kita punya asrama putri karena waktu Inabah II putri punya Gaos membubarkan diri, terus Inabah XVII putri harus ditutup oleh Pangersa Abah jadi tidak ada penyaluran waktu itu, akhirnya Abah nyuruh dibawa kesini (Inabah VII), memang awalnya kita ngontrak dulu rumah tiga tahun, alhamdulillah ada rejeki kita bangun asrama ini, kira-kira setelah berjalan sepuluh tahun Inabah II buka lagi, Inabah XVII juga buka,...”.

Keberadaan lokasi Inabah VII tergolong sepi. Kesan sepi ini yang peneliti rasakan pertama kali datang ke Inabah VII. “Pada hari Rabu tanggal 19 September 2012 sekitar pukul 09.15 WIB saya tiba bersama Rombongan teman-teman Short Course Metodologi Etnografi 2012 dengan menggunakan 2 mobil dari kampus IAILM. Kami datang dipandu panitia, yaitu

(35)

35 Kang Asep, Kang Saeful dan Kang Wawan. Keadaan Pondok

lengang waktu kami tiba, kami bahkan sempat berputar-putar menyusuri beberapa lantai bawah Inabah VII. Saya sempat berfoto-foto dengan teman-teman, seperti biasa teman kami Pak Abdurrahman dari Bogor paling sibuk dengan urusan dokumentasi pribadi. Setelah beberapa saat panitia berinisiatif naik ke lantai atas untuk menghubungi pembina Inabah VII. Kira-kira sekitar 5 menit kemudian kami disuruh naik ke lantai atas dipandu oleh Kang Asep yang turun menemui kami di lantai bawah untuk menemui pengelola Inabah VII Pondok Pesantren Suryalaya”.

Gambaran suasana Inabah VII yang sepi pada kedatangan pertama peneliti rasakan juga pada kedatangan kali kedua. “Pada Hari Jum’at, tanggal 12 Oktober 2012 saya mengunjungi Pondok Inabah VII Suryalaya untuk kedua kalinya, sama seperti pada kunjungan pertama saya beserta rombongan Short Course Etnografi keadaan Pondok ketika saya sampai dalam keadaan sepi begitu juga dengan rumah di sekitarnya. Sore itu di Masjid Jumhuriyah yang berada di sebelah kanan Inabah VII sedang digelar pengajian sore khusus untuk ibu-ibu. Setelah beberapa saat saya menunggu dengan bantuan seorang anak kecil yang sedang bermain-main di depan Pondok saya meminta bantuannya untuk memanggil pembina Inabah VII. Tak lama kemudian saya bertemu dengan Bu Haji. Selanjutnya saya dipersilahkan oleh Ibu Haji-sebutan untuk istri KH. Anwar Mahmud- duduk di ruang tamu lantai II sambil menunggu Pak Haji pulang. Beberapa saat kemudian saya dipersilahkan minum teh oleh staf Inabah VII”.

(36)

36 Bentuk desain bangunan yang lebih menyerupai sebagai

tempat kegiatan, tempat pertemuan atau semacam aula daripada sebagai tempat rehabilitasi. Hal ini dipertegas dengan keberadaan masjid yang terletak disamping sebelah kiri bangunan Inabah VII. Berdasar pengamatan bentuk bangunan Inabah VII banyak didominasi berupa ruangan yang terhubung dengan lorong-lorong sempit. Lorong-lorong yang ada dalam bangunan Inabah VII bagi orang awam, tentu akan membingungkan, terlebih lagi ruang-ruang di Inabah VII terintegrasi antara lorong satu dengan yang lain tanpa terkecuali akses masuk asrama Anak Bina Inabah VII. Pintu masuk Asrama Anak Bina dapat dicapai melalui akses dua pintu melalui ruangan pembina dan ruang dapur yang terhubung hingga ke ruang tamu.

Masjid Al- Jumhuriyyah yang berada di kompleks Inabah VII digunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan ibadah dan keagamaan bagi warga sekitaran Kampung Rawa, Desa Cilincing. Menurut KH. Ahmad Anwar selain sebagai tempat menunaikan sholat, masjid Al- Jumhuriyyah juga berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Pengajian yang diselenggarakan selain bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan juga bertujuan sebagai sarana bagi Inabah VII untuk meminta permohonan doa dari para jamaah pengajian bagi kesembuhan para Anak Bina yang sedang menjalani rehabilitasi di Inabah VII.

Saat ini Inabah VII dibina oleh KH. Ahmad Anwar yang dibantu oleh beberapa orang staf. Untuk pengelolaan harian di Inabah VII Putra, ditugaskan beberapa staf yang menangani kelancaran operasional diantaranya; staf dapur, adminitrasi, keamanan dan pembantu umum. Anak Bina yang menghuni

(37)

37 Inabah VII saat ini berjumlah 46 Anak Bina, beberapa

diantaranya masih labil sehingga harus diperlakukan secara khusus. Pada umumnya Anak Bina berasal dari seluruh Indonesia tetapi masih didominasi daerah Pulau Jawa. Adapun penghuni dari luar daerah seperti Kalimantan dan Sumatra tetapi hanya sebagian saja. Umur Anak Bina yang menghuni Inabah VII Putra bervariasi dari usia remaja sampai orang tua, dari kisaran usia 18 tahun hingga yang tertua 83 tahun. Jumlah alumni Inabah VII telah mencapai total 4400 Anak Bina yang terdiri atas 3900 Anak Bina putra dan 500 Anak Bina putri.

Menurut KH. Ahmad Anwar para korban penyalahgunaan NAPZA atau penyimpangan perilaku yang datang ke Inabah VII tidak bisa dianalisis terlebih dahulu tingkat ketergantungan Narkoba yang dideritanya. Kedatangan awal Anak Bina pada umumnya tidak bisa diobservasi terlebih dahulu seberapa besar ketergantungannya akan tetapi Anak Bina langsung dimandikan oleh Pembina atau wakil Pembina Inabah VII. Proses mandi taubat ini merupakan rangkaian awal dari tahapan-tahapan terapi Inabah selanjutnya yang harus dilalui anak bina. Tahap-tahap terapi Inabah selanjutnya adalah; melaksanakan sholat Fardhu dan sholat sunnah, dzikir dan membaca Al- Qur’an, puasa dan kegiatan-kegiatan penunjang terapi Inabah lainnya (Wawancara dengan KH. Ahmad Anwar pada tanggal 12 Oktober 2012). Beliau menambahkan bahwa ada tiga cara Anak Bina ke Inabah VII; yang pertama, datang dengan kemauan sendiri. Kedua, ditipu dengan berbagai cara, dibohongi dengan dalih mencari ilmu kekebalan dan lain sebagainya. Ketiga, dengan cara melalui dinas terkait; ada yang dikirim melalui polisi, tentara dan ada juga yang melalui

(38)

38 bantuan Rumah Sakit Jiwa, dengan cara disuntik dan dibawa ke

Inabah VII.

Untuk rencana pengembangan kedepan selain membina Anak Bina, Inabah VII berencana membuka Pondok Pesantren Jumhurriyah Inabah VII. Pendirian Pondok Pesantren Jumhurriyah bertujuan untuk menfasilitasi anak kurang mampu di sekitar lokasi Inabah VII untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai upaya Inabah VII untuk memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar, tidak hanya menfasilitasi kegiatan-kegiatan keagamaan, tetapi juga memberikan solusi kongkrit bagi anak-anak putus sekolah untuk melanjutkan pendidikan (Hasil wawancara dengan KH. Ahmad Anwar pada tanggal 13 Oktober 2012).

Fasilitas-fasilitas yang dimiliki Inabah VII berasal dari dana pribadi pengelola dimana pengelola mendapatkan dana tersebut dari iuran pembayaran orang tua Anak Bina yang dirawat di Inabah VII serta bantuan dari pihak-pihak lain yang tidak mengikat. Seluruh aset sarana dan prasarana, baik gedung maupun fasilitas lainnya yang digunakan adalah milik Inabah VII. Sebagai sebuah tempat rehabilitasi Inabah VII memiliki sarana dan prasarana pendukung yang cukup memadai dari segi penyediaan fasilitas sebuah tempat rehabilitasi. Yang menjadi kendala saat ini adalah faktor bangunan yang sudah saatnya untuk direnovasi, terutama musholla dan asrama bagi Anak Bina. KH. Ahmad Anwar saat ini tengah mengupayakan dana untuk renovasi Inabah II.

Tabel 1. Sarana dan Prasarana Inabah VII Putra No. Sarana dan Prasarana Jumlah

(39)

39

2. Kamar Tidur 12 Unit

3. Kantor 1 Unit

4. Aula 1 Unit

5. Masjid 1 Unit

6. Ruang Konseling 1 Unit

7. Kamar Mandi 8 Unit

8. Ruang Makan 1 Unit

9. Kasur Perawatan 50 Unit

10. Dapur Umum 1 Unit

11. Garasi 1 Unit

12. Mushola 1 Unit

No. Sarana dan Prasarana Penunjang

Jumlah 1. Ruang Komputer 1 Unit

2. Komputer 2 Unit

3. Televisi 2 Unit

4. Ruang Terapis 1 Unit

5. Printer 1 Unit

6. Tape 3 Unit

7. Kulkas 1 Unit

8. Mesin Cuci 2 Unit

9. Telepon 1 Unit

(Data Sarana dan Prasarana Inabah VII Putra Tahun 2012)

Dari hasil pengamatan letak asrama Anak Bina berada di tengah-tengah bangunan Inabah VII yang mengitari lapangan olahraga yang juga berfungsi sebagai tempat jemuran bagi

(40)

40 Anak Bina. Kamar Anak Bina berupa ruangan seluas ±4X5 m

yang dihuni antara 2 sampai 3 Anak Bina.

Dari segi bentuk, kamar Anak Bina mirip dengan kamar kos-kosan pada umumnya, hanya berbeda pada pintu depan yang terbuat dari besi dan jendela yang berjeruji. Ruang isolasi terletak di ujung jajaran kamar Anak Bina atau persis berada di sebelah belakang mushola. Ruangan isolasi (karantina) dipergunakan bagi Anak Bina yang masih ngeblenk (labil). Saat ini terdapat sekitar empat Anak Bina yang masih harus menjalani masa karantina.

Mushola Anak Bina dilengkapi dengan tempat wudhu yang berada di depan pintu masuk mushola yang berdekatan dengan bak mandi yang berfungi memandikan bagi Anak Bina yang masih labil. Tempat ini persisnya berhadapan dengan ruang isolasi, musholla dan tempat wudhu itu sendiri. Mushola ini menjadi sentral kegiatan pelaksanaan terapi Inabah, khususnya terapi sholat dan terapi dzikir bagi Anak Bina.

Dari hasil pengamatan dijumpai di beberapa bagian dinding mushola sudah mulai mengelupas dan penuh dengan coretan-coretan, bahkan saya menjumpai langit-langit mushola ada sebagian yang hampir roboh. Keadaan mushola dan juga asrama Anak Bina di Inabah VII yang lapuk dimakan usia, dibenarkan oleh Pembina Inabah VII. Renovasi perlu segera dilakukan, hal ini sebagai langkah pencegahan untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan juga sebagai upaya peningkatan mutu kualitas pelayanan terapi di Inabah VII. (Wawancara dengan KH. Ahmad Anwar pada tanggal 13 Oktober 2012).

(41)

41

BAB III TERAPI INABAH A. Landasan Teori Terapi Inabah

Nama Inabah13 adalah diberikan langsung oleh KH. Shahibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) dengan merujuk kepada Al-Quran yang menggunakan kata tersebut dalam berbagai derivasinya. Kata-kata yang seakar dengan kata Inabah dalam Al-Quran tersebut mengandung arti: “ kembali kepada jalan Allah ( ar-ruju’ ila Allah) dengan penuh ketaatan kepada-Nya.

Menurut al-Mu’jam al-Wasith, 2/961 : Inabah memiliki asal kata ‘naaba’ yang artinya dekat atau kembali. Naaba ila syai’ artinya kembali kepada sesuatu dan membiasakan diri denganNya. Dan apabila dikatakan : naaba ilAllah maka maknanya adalah : taaba wa lazima thaa’atahu (bertaubat dan tetap mentaati-Nya). Dan apabila dikatakan anaaba fulan ila syai’ maka maknanya adalah : roja’a ilaihi marratan ba’da ukhro (terus kembali kepadaNya untuk kesekian kalinya). Dan apabila dikatakan anaaba ilAllah maka maknanya adalah : taaba wa roja’a (bertaubat dan rujuk kepada Allah). Untuk itu Inabah bukan saja bertaubat dari berbagai dosa yang pernah dilakukan, melainkan juga kembali mengharap Allah Ta’ala.

Syeikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Inabah adalah kembali kepada Allah Ta’ala dengan

13

Derivasi kata-kata tersebut adalah : anaba ( QS.Ar-Rad : 27 ), anabu (QS. Al- Zumar : 17), anibu (QS.al-Zumar : 54), unibu (QS.Hud: 88), munibun (QS.Hud: 75)

(42)

42 melaksanakan ketaatan kepada-Nya serta menjauhi

kemaksiatan kepada-Nya. Makna Inabah ini mirip dengan taubat, hanya saja Inabah lebih halus daripada taubat karena di dalamnya terkandung perasaan bergantung kepada Allah dan memulangkan persoalan kepada-Nya…”. Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan dalam kitab Hushul al-Ma’mul hal 90, ia berkata, “Inabah semakna dengan taubat akan tetapi para ulama mengatakan bahwa Inabah memiliki derajat yang lebih tinggi daripada taubat. Karena taubat itu meliputi sikap meninggalkan (maksiat), menyesal dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Adapun Inabah, maka di dalamnya tercakup ketiga unsur tersebut dan selain itu ia juga memiliki kelebihan lainnya yaitu menghadapkan jiwa-raga kepada Allah dengan mengerjakan ibadah-ibadah. Maka apabila ada seseorang yang meninggalkan perbuatan maksiat kemudian bertekad untuk tidak melakukannya lagi dan dia menyesali perbuatan yang telah dilakukannya itu, dan dia terus konsisten dalam beribadah maka orang itu disebut sebagai taa’ib (pelaku taubat), akan tetapi apabila setelah bertaubat itu dia terus berusaha memperbaharui sikap menghadapkan diri (kepada Allah) maka orang ini disebut sebagai muniib (orang yang berinabah) kepada Allah Ta’ala.”

Dalam terapi Inabah, seseorang yang telah bertaubat kepada Allah diupayakan dan dikondisikan agar selalu meningkatkan ibadah dengan memperbanyak dzikrulloh, memperbanyak berbagai sholat-sholat sunat, mandi taubat, puasa, khotaman, manaqiban, dan lainnya. Taubat bukan hanya sekedar mengucapkan “Astaghfirulloh al-‘adhim”, melainkan harus diikuti aksi nyata untuk lebih meningkatkan ibadah kepada Allah dan berusaha agar selalu ingat kepadaNya

Gambar

Tabel 3. Jadwal Harian Praktek Pembinaan Inabah
Tabel 2. Daftar Informan Anak Bina
Gambar 1. Pandangan Informan   pada Proses Terapi Inabah di Inabah VII

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi pembelajaran, yang sesuai dengan (1) topik yang sedang dibicarakan, (2)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh orientasi pada kepuasan pelanggan, biaya, infrastruktur serta kesadaran dan pengetahuan terhadap kesuksesan

Dalam jangka panjang perusahaan dapt menambah semua faktor produksi atau input yang akan digunakan. Oleh karena itu, biaya produksi tidak perlu lagi dibedakan dengan

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH

Rekanan (PT/CV) sebelum menyerahkan barang inventaris atau non inventaris kepada rumah sakit, sebelumnya koordinasi dengan Staf Rumah Tangga dan harus diperiksa

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Telah dirancang suatu sistem otomatisasi untuk buka tutup atap rumah serta pengontrol kelembaban udara menggunakan Raspberry Pi 3, motor DC, SHT30, limit switch,

Pada bagian sebelumnya telah dilakukan analisa teks yang hasilnya menunjukan bahwa pemberitaan yang dilakukan CNN mendukung adanya perubahan/ revolusi kebijakan