• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKAN PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI TAHUN 2014

2. Gambaran Pertumbuhan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan

Perokok Di Kecamatan Berastagi Tahun 2014.

Pertumbuhan anak dapat ditentukan dengan status gizi, karena pertumbuhan berkaitan erat dengan status gizi. Status gizi anak pada penelitian ini ditentukan dengan standart terbaru yaitu baku rujukan WHO 2005/WHO MGRS dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U) dan berat badan menurut tinggi badan atau berat badan menurut panjang badan (BB/TB atau BB/PB). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Gambaran Pertumbuhan Berat Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi Berat Badan Keluarga Perokok Keluarga Bukan Perokok Total F % F % F Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih 16 63 0 84,2 45,6 0 3 75 1 15,7 54,3 100 19 138 1 Total 79 50% 79 50% 158

BB/U Laki-laki Perempuan Jumlah

n % n % n % Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih 9 79 0 47,4 57,2 0 10 59 1 52,6 42,8 100 19 138 1 100 100 100 BB/U

ISPA Tidak ISPA Jumlah

n % N % n % Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih 17 66 1 89,4 47,8 100 2 72 0 10,5 52,1 0 19 138 1 100% 100% 100%

Pada tabel 2 diatas berdasarkan hasil penelitian terhadap 158 balita di Kecamatan Berastagi, diperoleh bahwa terdapat 19 balita yang gizi kurang, 138 balita yang gizi baik dan 1 balita termasuk gizi lebih. Dari 138 balita gizi baik, diantaranya paling banyak terdapat pada keluarga bukan perokok yaitu 75 balita (54,3%). Begitu juga dari 19 balita yang termasuk kategori gizi kurang, paling banyak terdapat pada keluarga perokok yaitu 16 balita (84,2%). Hal ini disebabkan karna jumlah pengeluaran untuk bahan makanan pada keluarga perokok lebih kecil dibandingkan pada keluarga perokok. Hal ini menyebabkan pengeluaran untuk bahan makanan pada keluarga perokok menjadi berkurang dan tidak menutup kemungkinan ketersediaan bahan makanan yang bergizi dalam rumah tangga berkurang. Sehingga dapat menyebabkan menurunnya status gizi balita karena asupan makanan yang berkurang.

Berdasarkan dari tabel menunjukkan bahwa dari 138 balita yang termasuk kategori gizi baik, paling banyak pada balita jenis kelamin laki-laki yaitu 79 balita (57,2%). Sedangkan balita termasuk kategori gizi kurang, paling banyak pada balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu 10 balita (52,6%).

Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Hiswani (2012) yang menyatakan bahwa status gizi baik tertinggi pada anak perempuan (73,8%) sedangkan balita status gizi kurang tertinggi pada anak laki-laki (32,8%). Namun dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa tidak terdapat hubungan asosiasi yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi anak balita. Ini mengindikasikan bahwa baik anak balita laki-laki maupun perempuan, keduanya mempunyai kemungkinan yang relatif sama mengalami status gizi kurang.

Berdasarkan dari penelitian ini juga diperoleh bahwa dari 19 balita yang gizi kurang, terdapat 17 balita (89,47%) yang mengalami ISPA. Sedangkan dari 138 balita gizi baik, terdapat jumlah paling tinggi balita adalah balita yang tidak menderita ISPA yaitu 72 balita (52,17%). Dalam hal ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA.

6 Penelitian ini sesuai dengan penelitian

Nuryanto (2012) yang menyatakan bahwa proporsi balita yang mengalami ISPA lebih banyak pada balita yang status gizinya kurang yaitu 88,9% dibandingkan balita yang status gizinya baik yaitu 48,8%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p =0,004, yang berarti terdapat hubunganantara penyakit ISPA dengan status gizi balita. Nilai OR = 8,40 artinya balita dengan status gizi kurang mempunyai peluang 8,40 kali menderita ISPA dibandingkan balita dengan status gizi baik

Tabel 3. Gambaran Pertumbuhan Tinggi Badan Menurut Umur Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi

TB Keluarga Perokok Keluarga Bukan Perokok Total F % F % F % Sangat Pendek Pendek Normal 6 29 44 100 64,4 41,1 0 16 63 0,0 35,5 58,8 6 45 107 100 100 100 Total 79 50% 79 50% 158 100

TB/U Laki-laki Perempuan Jumlah

n % N % n % Sangat Pendek Pendek Normal 4 26 58 67 58 54,2 2 19 49 33 42 45,8 6 45 107 100 100 100 TB/U ISPA Tidak ISPA Jumlah n % n % n % Sangat Pendek Pendek Normal 3 34 48 50 75,5 44,8 3 11 59 50 24,4 55,1 6 45 107 100 100 100

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada keluarga perokok, pertumbuhan tinggi badan balitanya lebih banyak yang pendek yaitu 29 balita (64,4%) dan yang sangat pendek ada 6 balita (100%). Sedangkan untuk tinggi badan normal lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 63 balita (58,9%). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ada hubungan antara status merokok keluarga dengan pertumbuhan tinggi badan balita. Balita yang bertubuh pendek lebih banyak terdapat pada keluarga yang perokok dan balita bertubuh normal lebih banyak pada keluarga bukan perokok.

Berdasarkan penelitian Semba (2006) terhadap anak umur 0-59 bulan yang menderita malnutrisi pada keluarga miskin di daerah kumuh urban di Indonesia, dimana

dapat diketahui bahwa anak dengan orang tua yang perokok memiliki resiko bertubuh pendek sebesar 1,11 kali (95% CI 1,08-1,14, P<0,0001) dan resiko bertubuh sangat pendek sebesar 1,09 kali (95% CI 1,04-1,15, P<0,001) dibanding anak dengan orang tua yang bukan perokok.

Berdasarkan jenis kelamin balita diperoleh bahwa dari 107 balita yang pertumbuhan tinggi badannya termasuk kategori normal, paling banyak ada pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 58 balita (54,2%). Begitu juga dari 6 balita yang pertumbuhan tinggi badannya termasuk kategori sangat pendek, paling banyak pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 4 balita (67%). Untuk balita dengan kategori pendek, jumlah yang paling tinggi ada pada balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 26 balita (58%). Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pertumbuhan tinggi badan balita dengan jenis kelamin.

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa dari 6 balita yang sangat pendek, ada 3 balita (50%) yang mengalami ISPA dan 3 balita (50%) tidak mengalami ISPA. Dari 45 balita yang pendek, ada 34 balita (75,55%) mengalami ISPA. Dan dari 107 balita yang tinggi badannya normal, jumlah paling tinggi adalah balita yang tidak mengalami ISPA yaitu 59 balita (55,14%).Dalam hal ini terlihat bahwa balita yang bertubuh pendek lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang bertubuh normal lebih banyak tidak mengalami ISPA. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa ada hubungan antara tinggi badan balita dengan kejadian ISPA.

Berdasarkan Depkes RI (2004) menyatakan bahwa status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Status gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB merupakan indeks yang baik untuk menilai status gizi saatkini (sekarang), serta dapat memberikan gambaran lingkungan

7 yang tidak baik, kemiskinan, dan akibat tidak

sehat yang menahun.

Tabel 4. Gambaran Berat Badan Menurut Tinggi Badan Balita Pada Keluarga Perokok Dan Bukan Perokok Di Kecamatan Berastagi BB/TB Keluarga Perokok Keluarga Bukan Perokok Total F % F % F % Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Resiko Gemuk 8 16 44 4 7 89 73 44 36 47 1 6 57 7 8 11 27 56 64 53 9 22 101 11 15 100 100 100 100 100 Total 79 50% 79 50% 158 100

BB/TB ISPA Tidak ISPA Jumlah

n % n % n % Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Resiko Gemuk 9 18 40 6 10 100 81,8 39,6 54,5 66,7 0 4 61 5 5 0 18,2 60,4 45,5 33,3 9 22 101 11 15 100 100 100 100 100

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa untuk pertumbuhan BB/TB balita yang termasuk kategori sangat kurus, jumlah yang paling tinggi ada pada keluarga perokok yaitu 8 balita (89%). Untuk kategori kurus, jumlah balita yang paling banyak ada pada keluarga perokok yaitu 16 balita (73%). Sedangkan untuk kategori normal, jumlah yang paling sedikit ada pada keluarga perokok yaitu 44 balita (44%). Untuk balita yang gemuk, jumlah yang paling banyak ada pada keluarga bukan perokok yaitu 7 balita (64%) dan balita resiko gemuk paling banyak pada keluarga bukan perokok yaitu 8 balita (53%). Dari hasil ini terlihat bahwa ada hubungan antara status gizi berdasarkan BB/TB balita dengan status merokok keluarga. Tampak jelas bahwa balita yang BB/TB nya kurus lebih tinggi pada keluarga perokok dibandingkan keluarga bukan perokok. Sedangkan balita yang BB/TB nya normal, jumlah paling tinggi ada pada keluarga bukan perokok.

Hasil peneitian ini sesuai dengan penelitian Dianti dan Lailatul yang dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita berdasarkan indikator BB/U (p = 0,020) dan PB/BB atau TB/BB (p = 0,004). Hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi

kurang akibat belanja tembakau yang sangat menguras ketahanan panganrumah tangga.

Berdasarkan hasil silang antara status kesehatan dengan pertumbuhan balita berdasarkan BB/TB menunjukkan bahwa dari 22 balita yang BB/TB nya kategori kurus, jumlah paling banyak adalah balita yang mengalami ISPA. Sedangkan dari 101 balita yang normal, terdapat jumlah paling tinggi ada balita yang tidak mengalami ISPA. Hasil ini menggambarkan bahwa ada hubungan antara status gizi berdasarkan BB/TB balita dengan kejadian ISPA.

Tabel 5. Gambaran Distribusi Frekuensi Jumlah Batang Rokok Yang Dihisap ,Umur Pertama Kali Merokok, Pengeluaran Untuk Rokok Dan Jenis Rokok Yang Dihisap Pada Keluarga Perokok Di Kecamatan Berastagi

Umur (tahun) Total

n % 15-20 55 69,62% 21-25 24 30,37% Total 79 100% Pengeluaran/Minggu Jumlah n % <50000 13 16,45% 50000-100000 56 70,88% 100000-200000 9 11,39% >200000 1 1,26% Total 79 100%

Jenis Rokok Jumlah

n %

Rokok Putih 0 0

Rokok Kretek 79 100

Rokok Cerutu 0 100

Hasil penelitian pada jumlah rokok yang dihisap anggota keluarga per hari menunjukkan bahwa anggota keluarga yang merokok paling banyak menghabiskan 6-12 batang rokok per harinya yaitu 69 orang (87,34%). Secara rata-rata status merokok di Kecamatan Berastagi termasuk dalam kategori perokok sedang. Sesuai dengan kategori perokok oleh Depkes, dimana kategori perokok dibagi dalam kategori perokok ringan (1 sampai 10 batang perhari), perokok sedang 11 sampai 20 batang perhari dan perokok berat lebih dari 20 batang perhari (Depkes,2009). Jumlah Rokok (batang) Jumlah n % 6-12 69 87,34% 13-24 9 11,84% 25-36 1 1,26% Total 79 100%

8 Untuk umur pertama kali merokok

pada responden keluarga perokok di kecamatan Berastagi, paling banyak pada kelompok umur 15-20 tahun yaitu 55 orang (69,62%). Sedangkan pada kelompok umur 21-25 tahun hanya 24 orang (30,37%). Dari hasil ini tampak jelas bahwa mayarakat perokok di daerah Kecamatan Berastagi rata-rata merokok di umur 15-20 tahun.

Jumlah pengeluaran per minggu yang dikeluarkan untuk membeli rokok, paling banyak dengan pengeluaran sekitar 50000-100000 yaitu 56 orang (70,88%). Untuk pengeluaran <50000 ada 13 orang (16,45%). Sedangkan untuk pengeluaran >200000 hanya ada 1 orang (1,26%). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa masyarakat perokok di Kecamatan Berastagi rata-rata menghabiskan dana 50.000-100.000 per minggu untuk membeli rokok.

Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang diisap olehperokok disebut asap utama (mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasilpembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandungkarbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kankerkadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap utama (WHO, 2008).

KESIMPULAN

1. Gambaran status kesehatan balita di kecamatan Berastagi yang menderita ISPA paling banyak adalah balita pada keluarga perokok yaitu 61,44% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 38,55%.

2. Gambaran pertumbuhan balita berdasarkan indeks BB/U dengan kategori gizi kurang di Kecamatan Berastagi, jumlah paling tinggi adalah balita pada keluarga perokok yaitu 84,21% dibandingkan dengan keluarga

bukan perokok yaitu 15,78%. Sedangkan pada kategori gizi baik, jumlah paling tinggi adalah balita pada keluarga bukan perokok yaitu 54,34% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 45,65%. 3. Gambaran pertumbuhan tinggi badan

balita di kecamatan Berastagi yang termasuk dalam kategori sangat pendek hanya ada pada keluarga perokok yaitu 100%. Sedangkan untuk tinggi badan balita yang tergolong pendek, jumlah yang paling tinggi ada pada keluarga perokok yaitu 64,44% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 35,55%. Dan untuk tinggi badan balita yang tergolong normal, lebih banyak pada keluarga bukan perokok yaitu 58,87% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 41,12%.

4. Gambaran pertumbuhan balita di kecamatan Berastagi berdasarkan indeks BB/TB yang tergolong sangat kurus, paling banyak ada keluarga perokok yaitu 89% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 11%. Sedangkan pada balita yang indeks BB/TB nya tergolong kurus, jumlah yang paling tinggi ada pada keluarga perokok yaitu 73% dibandingkan dengan keluarga bukan perokok yaitu 27%. Untuk balita yang pertumbuhan BB/TB nya normal, lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 56% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 44%. Kategori gemuk lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 64% dibandingkan dengan keluarga perokok yaitu 36%. Untuk balita resiko gemu lebih tinggi pada keluarga bukan perokok yaitu 53% dibandingkan dengan keluarga perokok 47%.

SARAN

1. Diharapkan pada Dinas Kesehatan untuk melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat atau pun pemuka-pemuka agama untuk bekerja sama mencari solusi guna menurunkan kebiasaan merokok masyarakat di Kecamatan Berastagi. Memberikan penyuluhan mengenai bahaya rokok dengan disertai gambar-gambar yang menunjukkan akibat dari konsumsi rokok

9 dalam waktu yang cukup lama.

Memberikan gambaran gizi kurang dan gizi buruk yang akan dialami oleh anak yang mengalami gangguan pertumbuhan. 2. Untuk ibu-ibu yang memiliki balita dan

anggota keluarga yang merokok di Kecamatan Berastagi diharapkan agar dapat lebih memperhatikan pertumbuhan balitanya.

DAFTAR PUSTAKA

Dachroni, 2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan Indonesia No XII. Jakarta.

Dep.Kes RI. 2002. Pedoman

Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Ditjen PPM-PLP. Jakarta. Dep.Kes RI. 2008. Bahaya Perokok Pasif

yang Terabaikan.

http://www.republika.co.id/berita [25 Maret 2014]

Dep.Kes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta

Dep.Kes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Dep.Kes RI. 2009. Perokok Pasif Mempunyai Resiko yang Lebih Besar.http://www.depkes.go.id. [ 15 Maret 2014 ].

Nur, Rizkya. 2008, Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan IMT menurut umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Depok. Pradono, J, Kristanti Ch. M, 2003. Perokok

Pasif Bencana Yang Terlupakan. Buletin Penelitian Kesehatan Volume 31, No.4 Tahun 2003, Jakarta

Profil Kecamatan Berastagi. Data Dasar Profil Kecamatan Berastagi. 2014 Profil. Kesehatan Sumatera Utara. 2008. Profil Puskesmas Berastagi. Hasil Capaian

Program Gizi Puskesmas Berastagi. 2014

Semba, Richard D, et al. 2006. Ayah Perokok Dikaitkan dengan Malnutrisi Anak yang Meningkat pada Keluarga Miskin Pedesaan di

Indonesia.

http://www.lindungikami.org/site_me dia/artikel/Jurnal_PHN.zip. [12 Mei 2014]

Sudaryati. 2013. Proporsi Rumah Tangga Perokok Berdasarkan Ketahanan Keluarga Sehat di Kecamatan Berastagi.

Tjiong, Roy. 2008. Rokok dan Hilangnya

Sebuah Generasi.

http://www.news.id.finroll.com/.../529 78-rokok-dan hilangnya sebuah generasi.html. [18 Juni 2014]

Trisnawati, Yuli dan Jurwani. 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga. Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto. Purwokerto.

1

FAKTOR RESIKO YANG MENYEBABKAN KEJADIAN GIZI LEBIH PADA