• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik responden dalam

penelitian ini dilihat berdasarkan jenis kelamin, umur, status tinggal, pendidikan terakhir orang tua dan pekerjaan orang tua Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasakan Karakteristik Responsen di FKM USU tahun 2014 Karakteristik responden Kasus Kontrol n % n % Umur 18-20 tahun 14 43,8 15 46,9 21-23 tahun 18 56,2 17 53,1 Jenis kelamin Laki-laki 7 21.9 7 21,9 Perempuan 25 78,1 25 78,1 Suku Batak 23 71,9 31 91,9 Jawa 4 12,5 1 8,1 Melayu 1 3,1 0 0 Lain nya 4 12,5 0 0 Status tinggal Indekos 22 68,8 18 56,2 Rumah orangtua 10 31,2 13 40,6 Rumah saudara 0 0 1 3,2 Pendidikan bapak <S1 22 68,8 18 56,2 ≥S1 10 31,2 14 43,8 Pendidikan Ibu <S1 17 53,1 23 71,9 ≥S1 15 46,9 9 28,1 Pekerjaan bapak Bekerja 32 100,0 32 100,0 Tidak bekerja 0 0 0 0 Pekerjaan ibu Bekerja 22 68,8 23 71,9 Tidak bekerja 10 31,2 9 28,1

Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa bahwa umur mahasiswa yang paling banyak pada kelompok kasus dan kontrol adalah 21-23 tahun. Pada kelompok kasus dan kontrol, jenis kelamin laki-laki maupun perempuan sama banyak karena variabel jenis kelamin adalah variabel yang dimatching. Suku mahasiswa pada kelompok kasus dan kontrol yang paling banyak adalah suku batak. Pada kelompok kasus dan kontrol, mahasiswa paling banyak memiliki status tinggal indekos.

Karakteristik orangtua meliputi

4 Bapak dan ibu mahasiswa pada kelompok

kasus dan kontrol dominan memiliki tingkat pendidikan terakhir <S1.Variabel pekerjaan orangtua pada kelompok kasus dan kontrol dapat diketahui bahwa orangtua mahasiswa dominan bekerja. Bapak kelompok kasus dan kontrol semua nya bekerja, sedangkan ibu kelompok kasus yang bekerja sebanyak 68,85(22 orang) dan ibu kelompok kontrol yang bekerja sebanyak 71,9% (23 orang).

Rata-rata berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh

Terdapat perbedaan Berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh pada kelompok kasus dan kontrol. Perbedaan dari ketiga variabel tersebut dapat diketahui melalui tabel berikut:

Tabel 2. Rata-rata berat badan, tinggi badan dan indeks masssa tubuh mahasiswa Variabel Kasus (Means ± SD) Kontrol (Means ± SD) Berat badan 69,81 ± 8,75 54,91 ± 7,3 Tinggi badan 161,03 ± 8,60 159,41 ± 7,4 Indeks massa tubuh 26,88 ± 1,65 21,52 ± 1,6

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa rata-rata berat badan pada kasus lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Terdapat selisih tinggi badan kelompok kasus dan kontrol sebesar 14,9 kg. Demikian juga dengan tinggi badan dijumpai rata-rata tinggi badan pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok kasus lebih tinggi 1,62 cm. Dan untuk nilai IMT, dijumpai IMT pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan selisih 5,36.

Gambaran frekuensi makan berdasarkan jenis bahan makanan.

Mahasiswa seluruhnya pada kelompok kontrol (100%) mengkonsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok setiap hari. Jenis lauk-pauk yang paling sering dikonsumsi setiap hari adalah ikan basah (25 %) dan daging

(10,9%). Sebagian besar responden jarang mengkonsumsi sayuran. Untuk sayuran yang paling sering dikonsumsi responden adalah wortel (9,4%) .Untuk buah- buahan yang sering dikonsumsi responden dapat dilihat pada tabel 4.8. Jenis buah-buahan yang paling sering dikonsumsi adalah pepaya (12,5%). Sedangkan untuk jenis minuman, rmahasiswa paling sering minum teh (27,5%) dan susu (26,6%). Dan untuk jenis jajanan, tidak ada diantara kedua jenis jajanan yang sering

dikonsumsi oleh mahasiswa kelompok

kontrol.

Pada kelompok kasus bahan makanan pokok yang paling sering dikonsumsi adalah nasi (100%) dan mie (3,1%). Jenis lauk-pauk

yang paling sering dikonsumsi pada

kelompok kasus yaitu ikan basah (34,4%). Pada kelompok kasus, dapat diketahui bahwa

mahasiswa tidak banyak yang selalu

mengkonsumsi sayur setiap hari. Jenis sayur yang paling banyak dikonsumsi setiap hari adalah wortel (12,5%). Pada jenis buah-buahan yang paling sering dikonsumsi oleh responden juga dapat diketahui bahwa mahasiswa tidak banyak yang setiap hari mengkonsumsi buah-buahan. Buah-buahan yang paling sering dikonsumsi adalah pisang (21,9%). Jenis minuman yang paling sering dikonsumsi oleh kelompok kasus berdasarkan tabel adalah susu (21,9%) dan jenis jajanan

yang paling sering dikonsumsi oleh

mahasiswa adalah gorengan (12,5%)

Gambaran keluhan kesehatan yang dialami oleh kelompok kasus

Akibat dari gizi lebih adalah

meningkatnya resiko mengalami penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, dislipidemia, dan lain-lain. Responden pada kelompok kasus yang mengalami gizi lebih juga telah mengalami keluhan-keluhan kesehatan yang diasumsikan akan menjadi awal terjadinya

penyakit-penyakit degeneratif tersebut.

Keluhan-keluhan kesehatan yang dialami oleh

5

Keluhan kesehatan yang paling

banyak dialami adalah cepat lelah yaitu sebanyak 46,90% (15 orang) dan yang paling sedikit adalah mudah sesak nafas yaitu sebanyak 9,40% (3 orang). Keluhan lain nya

adalah mudah merasa lapar, mudah

berkeringat.

Hubungan genetik dengan kejadian gizi lebih

Hasil tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara genetik dengan kejadian gizi lebih berdasarkan tabel 4.10 diperoleh nilai p = 0,005 (p<0,05) artinya pada alpha 5% disimpulkan adanya hubungan bermakna antara genetic dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh genetik terhadap kejadian gizi lebih ditunjukkan dengan nilai OR 2,006. Artinya mahasiswa yang memiliki orang tua dengan status gizi lebih baik bapak atau ibu beresiko untuk mengalami gizi lebih sebesar 2 kali lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki orangtua dengan status gizi normal.

Jumlah kelompok kasus yang

memiliki bapak dengan status gizi lebih sebesar 50% dan ibu dengan status gizi lebih sebesar 65,6%, sedangkan untuk kelompok kontrol yang memiliki bapak dengan status gizi lebih ada sebanyak 21,9% dan ibu dengan status gizi lebih sebesar 25% . Terlihat perbedaan jumlah antara status gizi orang tua pada kelompok kasus dan kontrol

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Padmiari (2002) yang menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara status gizi orang tua dengan kejadian gizi lebih pada anak. Status gizi Ibu dapat meningkatkan kejadian gizi lebih pada anak sebesar 2.69 kali (CI 95%: 1.38-5.22), sedangkan status gizi bapak dapat meningkatkan kejadian gizi lebih pada anak hanya sebesar 1.99 kali (CI 95%: 1.02-3.92). Begitu juga dengan hasil penelian Loos (2002) yang menyatakan bahwa setiap anak yang mengalami obesitas (gizi lebih), 30-70 % merupakan kontribusi dari keturunan. Anak yang obesitas dari kecil cenderung akan

mengalami oebsitas hingga dewasa

kemungkinan nya sebesar 40-70%.

Menurut penelitian Simatupang

(2008) menyatakan bahwa keturunan

memberikan kontribusi terhadap kejadian gizi

lebih Anak yang memiliki orang tua dengan status gizi lebih beresiko untuk mengalami gizi lebih sebesar 3 kali lebih besar. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Manurung (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan status gizi bapak dan status gizi ibu dengan kejadian obesitas. Hal ini diperkirakan karena orangtua telah lebih menjaga asupan gizi dari anak supaya tidak mengalami gizi lebih. Kejadian gizi lebih yang dialami anak diasumsikabukan karena faktor genetik tetapi karena asupan gizi.

Hubungan frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih

Hasil tabulasi silang untuk melihat hubungan frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih diperoleh nilai p sebesar 0,157 (p>0,05). artinya pada alpha 5%, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh frekuensi makan dengan kejadian gizi lebih ditunjukan dengan nilai OR sebesar 1.793 (CI 95%: 1.045-3.048). Artinya setiap mahasiwa yang memiliki frekuensi makan kurang dari 3 kali dalam sehari memiliki resiko untuk mengalami gizi lebih sebesar 2,273 kali dibandingkan dengan yang memiliki frekuensi makan sama dengan 3 kali dalam sehari

Jumlah kelompok kasus yang

memiliki frekuensi makan lebih kecil dari 3 kali sehari sebanyak 34,4% dan untuk kelompok kontrol sebesar 18,8% . Sedangkan untuk frekuensi makan sama dengan 3 kali

sehari pada kelompok kasus terdapat

sebanyak 65,6% dan kelompok kontrol 81,2%.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Simatupang (2008) yang menyatakan bahwa frekuensi makan memiliki hubungan dengan kejadian gizi lebih (p = 0,0001). Penelitian yang dipublikasikan oleh American Journal of Epidemiology meyebutkan bahwa orang yang mengkonsumsi makanan sampai tiga kali per hari beresiko mengalami gizi lebih (obesitas) 45% lebih tinggi daripada yang memiliki frekuensi makan lebih dari tiga kali sehari . Pada bangsa-bangsa yang frekuensi makannya dua kali dalam sehari lebih banyak orang yang gemuk dibandingkan bangsa

6 dengan frekuensi makan sebanyak tiga kali

dalam sehari. Hal ini berarti bahwa frekuensi makan sering dengan jumlah yang sedikit lebih baik daripada jarang makan tetapi sekali makan dalam jumlah yang banyak (Suyono, 1986).

Hubungan asupan zat gizi dengan kejadian gizi lebih

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk melihat hubungan jumlah zat gizi yang dikonsumsi dengan kejadian gizi lebih diperoleh nilai p < 0.05. Zat gizi yang diteliti apakah memiliki hubungan dengan kejadian gizi lebih adalah protein, lemak dan karbohidrat. Kecukupan zat gizi ini dilihat berdasarkan kategori lebih, baik, dan kurang berdasarkan energi yang dikonsumsi.

Melalui tabel 4.13 diketahui untuk asupan protein, kelompok kasus mengalami

asupan yang lebih dari energi yang

dikonsumsi sebesar 59,4% dan pada

kelompok kontrol sebesar 21,9%. Setelah diuji statistik diperoleh nilai p sebesar 0.023 (p<0.05), artinya pada alpha 5% disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara asupan protein dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh asupan protein terhadap kejadian gizi lebih tidak dapat diketahui karena tidak bisa dilakukan uji Odds Ratio karena ada 5 expected count.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Yuniarti (2009) bahwa asupan protein secara kualitas jika dikonsumsi berlebih dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan akan beresiko mengalami gizi lebih. Menurut penelitian Manurung (2009) menyatakan hal yang sama bahwa terdapat hubungan antara asupan protein dengan kejadian gizi lebih (obesitas). Asupan protein yang dikonsumsi berlebih akan menyebabkan resiko sebesar 2, 72 kali. Hal ini dapat diketahui dari frekuensi makan berdasarkan jenis bahan makanan. Untuk jenis lauk-pauk yang paling sering dikonsumsi oleh responden adalah ikan basah dan daging yang memiliki protein tinggi.

Dapat diketahui juga untuk asupan

lemak, jumlah kelompok kasus yang

mengalami asupan lebih dari energi yang

dikonsumsi sebesar 68,8% dan pada

kelompok kontrol sebesar 37,5% . Setelah

diuji statistik dengan uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0.042, artinya pada alpha 5% disimpulkan ada hubungan bermakna antara asupan lemak dengan kejadian gizi lebih. Analisa besar pengaruh asupan lemak terhadap kejadian gizi lebih dengan uji Odds Ratio tidak dapat dilakukan karena adanya 5 expected count.

Adanya hubungan antara asupan lemak dengan kejadian gizi lebih sejalan dengan penelitian Sembiring (2011) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara perilaku makan termasuk dalam mengkonsumsi asupan lemak yang berlebihan dengan kejadian gizi lebih (p =0,040). Hal yang sama juga dikemukakan Sutiari (2007) yaitu konsumsi lemak yang berlebihan dari angka yang dianjurkan memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi lebih. Dan hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Simatupang (2008) yang menyatakan bahwa konsumsi lemak yang berlebihan dari angka yang dianjurkan memiliki resiko mengalami gizi lebih sebanyak 25 kali.

Berdasarkan tabel 4.13 dapat

diketahui untuk asupan karbohidrat, jumlah kelompok kasus yang mangalami asupan lebih dari energi yang dianjurkan sebesar 18,8% dan kelompok kontrol sebesar 6,2% . Setelah diuji statistik dengan uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0,010, artinya pada alpha 5% disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh asupan karbohidrat terhadap kejadian gizi lebih dengan uji Odds Ratio tidak dapat diketahui karena adanya 5 expected count.

Adanya hubungan asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Yuniarti (2009) mengemukakan bahwa secara kualitas konsumsi karbohidrat yang tidak sesuai dengan anjuran PUGS (Pesan Umum Gizi Seimbang) akan mempengaruhi terjadinya gizi lebih pada anak. Penelitian Yulni (2013) juga menyatakan hal yang sama bahwa ada

hubungan bermakna antara asupan

karbohidrat dengan resiko mengalami gizi lebih dengan nilai p = 0,011. Penelitian yang dilakukan Lestari (2012) mendukung hal ini yang menyatakan adanya hubungan bermakna

7 antara asupan karbohidrat dengan kejadian

gizi lebih (p = 0.0001).

Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, diketahui bahwa jumlah kelompok kasus yang melakukan aktivitas ringan sebesar 96,9% dan kelompok kontrol yang melakukan aktivitas ringan sebesar 81,2% dan setelah diuji statistik dengan uji chi square untuk hubungan aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih diperoleh nilai p sebesar 0.045, artinya pada alpha 5% disimpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian gizi lebih ditunjukkan oleh nilai OR sebesar 7.154 (CI 95%: 0.809-63.299). Artinya mahasiswa yang hanya melakukan aktivitas fisik ringan memiliki resiko 7.154 kali untuk mengalami gizi lebih dibandingkan dengan mahasiswa yang melakukan aktivitas sedang.

Hal ini sejalan dengan penelitian Lestari (2012) menyatakan bahwa anak yang hanya melakukan aktivitas ringan memiliki peluang sebesar 23 kali dibandingkan dengan anak yang melakukan aktivitas fisik sedang.

Hal yang sama diungkapkan melalui

penelitian Hutahean (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik ringan (p = 0,005) memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi lebih. Hal ini juga sesuai dengan

penelitian Simatupang (2008) yang

menyatakan bahwa aktivitas fisik (p = 0,0001) memberikan kontribusi terhadap kejadian gizi lebih. Semakin ringan aktivitas yang dilakukan maka resiko untuk mengalami gizi lebih akan semakin besar. Penelitian lain yang menyatakan hal yang sama adalah yang

dilakukan oleh Sutiari (2008) yang

menyatakan kurang melakukan aktivitas fisik dengan tingkat asupan energi yang berlebih akan meningkatkan resiko mengalami gizi lebih.

KESIMPULAN

1. Ada hubungan antara genetik dengan

kejadian gizi lebih (p=0,005 ;

OR=2,006). Ada hubungan status gizi

bapak (p=0,019 ; OR=2,003) dan status gizi ibu (p=0,001 ; OR=2,468) dengan kejadian gizi lebih

2. Ada hubungan antara pola konsumsi yaitu frekuensi makan (p=0,024 ) dengan kejadian gizi lebih dan asupan

zat gizi yaitu asupan protein

(p=0,009), asupan lemak (p=0,042) dan asupan karbohidrat (p = 0,010) dengan kejadian gizi lebih. Analisa pengaruh asupan zat gizi terhadap kejadian gizi lebih tidak dapat diketahui karena adanya 5 expected count.

3. Ada hubungan antara aktivitas fisik

(p=0,045 ; OR=7,154) dengan

kejadian gizi lebih yaitu aktivitas fisik ringan.

4. Responden pada kelompok kasus mengalami keluhan kesehatan akibat

mengalami gizi lebih.

Keluhan-keluhan kesehatan yang dialami

adalah cepat lelah (46,9%). Mudah sesak nafas (9,4%), mudah pusing dan nyeri kepala (15,6%) dan keluhan lainnya seperti mudah lapar, mudah berkeringat (28,1%)

SARAN

Pihak kampus FKM USU disarankan untuk menyediakan sarana olahraga untuk mahasiswa. Diharapkan juga menambah kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Dan kepada mahasiswa disarankan supaya mengatur pola makan dan melakukan aktivitas fisik yang lebih banyak agar energi yang masuk sesuai dengan energi yang dikeluarkan

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan VII. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Depkes RI. 1999. Rencana Pembangunan

Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta

Depkes RI. 2003. Indikator Indonesia Sehat

8

Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta.

FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirement, Report of a joint

FAO/WHO/UNU Expert

Consultation. Rome

Fahey, Thomas D. 2004. Fit And Well Sixth

Edition Core Concepts And Labs In Physical Fitness And Wellness.

McGraw Hill. Boston USA

Gibney,M dkk. 2009. Gizi Kesehatan

Masyarakat. Jakarta: EGC.

Hardinsyah & Tambunan,V. 2004. Angka

Kecukupan Energi, Protein, Lemak Dan Serat Makanan. Prosiding

Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.

Hutahean. G.D. 2013. Hubungan Pola

Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Obesitas Anak Kelas V dan VI di SD YP Shafiyyatul Amaliyyah tahun 2013. [Skrips] FK

USU.

Istiany,A & Rusilanti. 2013. Gizi Terapan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset

Kesehatan Dasar. Jakarta. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Lestari.S. 2011. Faktor Risiko Penyebab

Kejadian Obesitas Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2011. [Tesis]

. Medan,FKM USU.

Manurung, N.K. 2008. Pengaruh

Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Obesitas di SMU Trisakti Medan tahun 2009. [Tesis].

FKM USU

Notoatmodjo,S. 2002. Metodologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Padmiari. Ida. A, 2002. Prevalensi Obesitas

dan Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Resiko Terjadinya Obesitas

Pada Anak SD di Kota

Denpasar,Bali. Tesis Magister Gizi

dan Kesehatan Pasca Sarjana

Universitas Gadjah Mada,

Sastroasmoro,S. 2011. Dasar-Dasar Metode

Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung

Seto.

Sembiring,R.A.2011. Hubungan Perilaku

Konsumsi Pangan Dan Aktivitas Fisik Dengan Gizi Lebih Pada Mahasiswa Akademi Kebidanan Sari Mutiara Medan Tahun 2011.

[Skripsi].Medan, FKM USU.

Simatupang,R,M. 2008. Pengaruh Pola

Konsumsi, Aktivitas Fisik Dan Keturunan Terhadap Kejadian Obesitas Pada Siswa Sekolah Dasar Swasta Di Kecamatan Medan Baru Kota Medan. [Tesis]. Medan. FKM

USU

Soetjaningsih. 2004. Tumbuh Kembang

Remaja dan Permasalahanya.

Jakarta:PT. Rhineka Cipta.

Sutiari. 2007. Pola Makan dan Aktivitas

Fisik pada Siswa Gizi Lebih di SDK Soverdi Tuban Kuta Bali. [Skripsi]

Yulni. 2013. Hubungan Asupan Zat Giza

Makro dengan Status Gizi pada Anak SD di Wilayah Pesisir Kota Makassar tahun 2013. [Skripsi]

Yuniarti. 2009. Analisis Pola Makan dan

Aktivitas Fisik Siswa-Siswi Gizi Lebih di SMA Labschool Kebayoran Baru Jakarta Selatan tahun 2009. [Skripsi] UIN Jakarta.

World Health Organitation. 2006, Diet,

nutrition and the prevention of Chronic Disease. WHO Technical Report. Geneva.

1 PENGUKURAN NILAI INDEKS GLIKEMIK COOKIES TEPUNG TALAS BELITUNG

(Xanthosoma sagittifolium)

(Measuring Glycemic Index of Cocoyam Cookies (Xanthosoma sagittifolium))

Dian Fifit Sundari1, Albiner Siagian2, Jumirah3

1

Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU 2,3

Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU Email : dian_fifit@yahoo.com

ABSTRACT

One of the ways in treatment of nutritional problems is by eating through selection of setting the amount and type of carbohydrates that is appropriate to use the concept of the Glycemic Index (GI). GI is food levels according to their effect on blood glucose levels. Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) is a source of carbohydrate foods with a low glycemic index (GI = 50) and is often consumed by diabetics as a food substitute for rice. However, products of cocoyam such as cocoyam cookies have unknown glycemic index value. This study aimed to determined the glycemic index value of cocoyam cookies.

This study was experimental study with 6 healthy subjects selected by purposive sampling method. Cocoyam used came from the district Hatonduhan. Measurement of glycemic index value performed by standard methods (Miller, 1996) with a food standard such as white bread. The portion of the test food and the standard food contained 50 g carbohydrate. The content of carbohydrates in cocoyam cookies was calculated by luff schroll method. GI was calculated by comparing the under kurve area of food test with food standard. Under kurve area of test food/ food standard was calculated by drawing horizontal and vertical lines thus forming wide awakes. Based on these calculations, the glycemic index value of cocoyam cocokies with white bread as a standard food is 79,9%. GI of cocoyam cookies included in high category (>70).

It is recommended to further research to examine the glycemic index value of the other processed food that made from cocoyam (Xanthosoma sagittifolium). So it can add to list of foods that have an index glycemic value.

Keywords : Glycemic index, cocoyam, cookies PENDAHULUAN

Masalah gizi yang terjadi di Indonesia adalah masalah gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Tingginya prevalensi gizi

kurang dapat menyebabkan turunnya

imunitas tubuh dan meningkatnya penyakit infeksi. Sedangkan peningkatan prevalensi gizi lebih berdampak pada meningkatnya penyakit degeneratif.

Salah satu cara dalam penatalaksanaan permasalahan penyakit degeneratif adalah dengan cara pengaturan makan atau diet yang dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat

dengan menggunakan konsep Indeks

Glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), Konsep indeks glikemik (IG) menekankan pada pentingnya mengenal

pangan (karbohidrat) berdasarkan

kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah setelah pangan tersebut dikonsumsi. Konsep IG berguna untuk semua orang, antara lain orang yang mengalami obesitas,

diabetes, atlet, bahkan orang sehat

sekalipun.

Bahan pangan lokal yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah adalah Umbi-umbian salah satunya adalah talas

2 belitung. Talas belitung atau kimpul

digunakan oleh sebagian orang sebagai salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti nasi bagi penderita diabetes. Berdasarkan data penelitian dari The University Of Sydney, nilai indeks glikemik talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) yaitu sebesar 63. Nilai indeks glikemik talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) yang dikupas dan direbus selama 30 menit yaitu sebesar 50.

Talas belitung atau kimpul

(Xanthosoma sagittufolium) adalah jenis umbi yang pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pengolahan umbi talas belitung yang sangat sederhana seperti direbus,

dikukus, dan digoreng mengakibatkan

kurangnya minat masyarakat untuk

mengkonsumsi talas tersebut. Talas belitung atau kimpul (Xanthosoma sagittifolium) merupakan salah satu sumber pangan lokal

alternatif sumber karbohidrat serta

mengandung zat gizi lain seperti protein, lemak, dan serat. Menurut Slamet (1980) dalam Gardjito, dkk. (2013), kandungan energi pada 100 g talas belitung yaitu 145 kal, karbohidrat 34,2 g, protein 1,2 g, Lemak 0,4 g dan seratnya 1,5 g. Talas belitung juga mengandung vitamin C sebesar 2 mg dan kalsium 26 mg.

Talas dapat diproses dalam bentuk tepung talas yang dapat dimanfaatkan

menjadi bahan pembuatan cookies.

Berdasarkan uji organoleptik cookies tepung talas belitung yang dilakukan oleh Indrasti (2004), kandungan kimia pada cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung yaitu kadar karbohidrat 65,51%, kadar air berkisar 2,20%, kadar abu 3,26%, kadar lemak 24,14%, dan kadar protein 6,99%. semakin tinggi kandungan tepung talas belitung dalam cookies maka semakin rendah kandungan proteinnya. Cookies dengan kandungan 40% tepung talas belitung masih dapat diterima oleh panelis dari segi rasa dan warna.

Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara termasuk